#29 | Ujian Allah
بسم الله الرحمن الرحيم
¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --
Dosa yang paling berbahaya adalah dosa yang diremehkan oleh pelakunya - Ali bin Abi Thalib
✍✍
Sudah hampir 3 jam Omai menyelesaikan perubahan jadwal keberangkatannya menuju Madinah. Ternyata memang merubah jadwal pesawat luar negri itu memang tidak semudah kita merubah jadwal pemberangkatan domestik.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Untunglah Omai memiliki semua itu.
Ya, keesokan harinya baru bisa terbang ke Madinah. Dan akhirnya pilihan terakhir dia harus menginap di penginapan terdekat dengan bandara.
"Sabar ya anak Umma, kita akan kembali ke Madinah secepatnya." tangan Omai mengelus perutnya yang masih rata.
Sengaja Omai mematikan gawainya. Bukan karena dia ingin memutus komunikasi tapi karena merasa belum siap hati untuk menerima semuanya. Hanyalah Allah tempatnya berpasrah diri kini.
"Maaf jika mungkin kepergianku akan membuat luka lebih dalam lagi di hatimu Mas. Kutitipkan engkau kepada dzat pemilik ruhmu. Ridhoi jalanku, karena sungguh aku tahu melangkah tanpa ridhomu sama halnya aku melangkahkan kakiku masuk kedalam nerakaNya." ucap Omai sebelum kedua matanya menutup untuk beristirahat dari harinya yang panjang.
Dua hari kemudian, Omaira telah menginjakkan kembali kakinya di bandara Prince Muhammed bin Abdulaziz. Satu hal yang terlupakan olehnya, bahwa akses masuk apartmentnya tidak terbawa. Persisnya masih ada bersama suaminya di Indonesia. Bagaimana dia bisa masuk ke dalam apartmentnya sementara dia tidak memiliki kartu untuk membuka pintunya.
"Astaghfirullahaladziim, aku tahu ini salah ya Rabb. Mungkin inilah teguranmu untukku. Kemana kakiku akan kulangkahkan? Sementara disini tidak mungkin aku bepergian seorang diri, apalagi dengan menggunakan taxi tanpa seorang mahram yang mendampingi." bibir Omai merancau merutuki kebodohannya.
Kini pikirannya berputar keras, kemanakah akan dia akan berlari. Paman Hasan, tidak. Omai tidak ingin keluarga Abinya tahu bahwa kini dia sedang bermasalah dengan hatinya karena sesuatu hal yang tidak bisa dia ceritakan.
"Allahuakbar, Isna." tiba-tiba tercetus nama sahabatnya yang mungkin bisa menolongnya.
Dengan langkah gontai dia berjalan menuju pemberhentian bus bandara. Tidak memungkinkan baginya memakai taxi. Pasti tahu sendiri bagaimana rawannya seorang perempuan naik taxi seorang diri. Meski tidak semuanya tapi bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati.
Hingga sampai pada Halte Top Ten Mall putaran Malik Fath Omai meminta sopir untuk menghentikan busnya.
Berjalan kaki kurang lebih lima belas menit, kini Omai telah sampai di mahtab milik Fawwaz. Dengan sedikit perasaan was-was dan bimbang, Omai menekan bel yang ada di samping pintunya.
"Assalamu'alaikum." sapa Omai lirih.
Namun tidak menunggu lama ada seorang wanita yang membukakan pintu dan meminta Omai untuk menunggu. Setelahnya baru Isna keluar seraya merentangkan kedua tangannya. Perutnya yang kini sudah kelihatan membuncit membuat pelukan mereka seolah ada yang mengganjal.
"Kamu sendiri? Mas Ghulam mana?" tanya Isna.
"Aku baru sampai dari Indonesia, sendiri."
"Subhanallah, terus?"
"Mas Ghulam masih di Indonesia. Dan aku tidak membawa kartu akses untuk masuk ke apartment." cerita Omai.
"Mengapa tidak minta untuk dibuatkan kartu lagi kepada receptionisnya. Pasti bisa." jawab Isna.
Bukan masalah bisa atau tidak bisa. Apartment itu disewa mereka atas nama Ghulam sementara jika Omai meminta untuk membuatkan kartu pengganti tentunya harus dengan persetujuan Ghulam. Sedangkan Omai sementara waktu masih belum siap berbicara dengan suaminya. Lalu bagaimana?
"Bisakah aku untuk sementara waktu menginap disini Isna?" tanya Omai.
Merasa ada yang janggal dari sahabatnya, Isna tidak langsung menjawab pertanyaan sahabatnya. Kenal dan bersama dengan Omai selama 3 tahun sewaktu mereka SMA, Isna telah hafal dengan perangai sahabatnya itu.
"Sebentar, kamu ada masalah?" tanya Isna.
"Tidak."
"Baiklah kalau begitu pulanglah. Kami tidak bisa menerimamu menginap disini. Rumahmu ada pada suamimu Omai." tolak Isna.
"Setidaknya untuk hari ini, mintakan izin kepada suamimu bahwa aku akan menginap disini. Hanya kamu satu satunya harapanku. Tolong__", tidak pernah sekalipun selama mereka bersahabat Omai menghiba seperti ini bahkan Isna tahu bahwa sahabatnya ini sedang menahan air mata supaya tidak menetes.
"Katakanlah, adakah sesuatu yang kamu sembunyikan dariku. Inshaallah, aku pasti akan menolongmu tapi sebelum itu aku ingin tahu masalahmu supaya nantinya kami tidak disalahkan jika terjadi sesuatu denganmu ataupun keluargamu." kata Isna.
Omai sedikit menimbang. Jujur dia tidak ingin bercerita semuanya. Dia memilih untuk menyimpan rapat-rapat masalahnya. Namun akhirnya beberapa saat kemudian bibirnya berucap, "Aku ingin menjauh dari Mas Ghulam untuk beberapa waktu. Kami memang sedikit ada masalah, tapi aku tidak bisa menceritakan kepadamu atau siapapun juga tentang itu."
"Apa mas Ghulam tahu kalau kamu kemari?"
"Mungkin dia tahu, karena aku telah pamit kepada Umma ketika aku memutuskan untuk berangkat ke bandara." jawab Omai.
"Omaira, kamu tahu aku pasti tidak bisa menolak permintaanmu karena kamu adalah sahabatku. Tapi sebagai sahabat yang baik, aku wajib menasihatimu. Sebaik-baiknya istri itu adalah berada disamping suami. Suami itu bukan hanya pendamping tetapi juga rumah untuk istri berteduh saat hujan dan tempat istri bernaung dari panas. Seberat apapun masalahmu dengan Mas Ghulam, jika kamu menghindari tidak akan pernah ada penyelesaian. Minumlah terlebih dahulu. Akan aku mintakan izin dulu kepada Mas Fawwaz bahwa kau akan menginap disini." kata Isna sebelum meninggalkan Omai sendiri.
Nasihat singkat Isna begitu memantul di dalam hatinya. Semua adalah salahnya, dari awal Omai pergipun telah salah.
"Ampuni aku ya Rabb." Omai terisak dalam tundukan dalamnya. Bahkan sampai tidak mengetahui jika Isna telah kembali dan merengkuhnya kedalam pelukan.
"Sabar, Allah pasti memberikan jalan keluar yang terbaik." ucap Isna. Saat mereka berpelukan tiba-tiba perut Isna bergerak. Omai yang merasakan itu langsung menyeka air matanya.
"Mashaallah, anakmu bergerak Isna. Kuat sekali sepertinya didalam dia sedang bermain bola." kini mata Omai mulai berbinar.
"Iya, inshaallah yang ada di dalam sana laki-laki. Makanya tendangannya sekuat abinya. Hahahaha." kata Isna sambil tertawa renyah.
Omai yang mendengar langsung memukul bahu temannya. Omongannya masih suka ngasal seperti jaman SMA mereka, Isna yang ceplas ceplos.
"Kamu? Bagaimana apakah disini sudah tersemai lagi, hmmmm?" tanya Isna sambil mengusap perut datar Omai.
"Inshaallah, enam bulan lagi dia akan melihat indahnya dunia ini." jawab Omai dengan muka yang berseri.
"Mashaallah, jadi kamu sekarang sedang hamil?" tanya Isna yang dijawab anggukan oleh Omai. Kini keduanya berpelukan kembali. Dua sahabat yang kini tengah berproses menjadi wanita seutuhnya.
Sambil lalu mereka asyik bercerita, pengalaman hamil dan membaca beberapa literatur tentang menjaga kehamilan dan menjadi ibu hamil yang sehat.
"Kamu tidak pernah morning sickness?" tanya Isna.
"Yang itu bagiannya Mas Ghulam, bagianku hanya menghabiskan makanan. Karena semenjak hamil, nafsu makanku bertambah." jawab Omai.
Mulai dari yang slow hingga akhirnya yang berat mereka bahas. Tidak ada habisnya memang. Hingga pada saat Isna menyebutkan beberapa calon nama untuk calon bayinya, muka Omai menjadi berubah termenung.
"Hei___apa lagi?" tanya Isna.
"Enak ya ada yang diajak diskusi."
"Makanya, masalah itu bukan untuk dihindari tapi untuk diselesaikan. Jika kuku kita panjang yang dipotong ya kukunya bukan jarinya. Jika ada masalah dengan suami, teman atau saudara. Yang dipotong ya masalahnya bukan tali silaturahimnya." kalimat Isna benar-benar memukul telak hati Omai. Kini yang bisa dia lakukan hanya diam, karena Omai mengakui kalau dia memang keliru tapi sekali lagi. Egonya masih sulit menerima semua itu. "Oh iya, Mas Fawwaz mengizinkanmu untuk tinggal disini."
"Syukraan Isna, Jazakhillah khair."
Sementara itu di Indonesia, Dafi, Tantri dan Rayya hilir mudik seperti sebuah setrika. Kesana kemari untuk mengupayakan kesembuhan Ghulam. Operasi yang dilakukan oleh dr. Iskandar berjalan dengan baik. Hanya saja Ghulam masih belum juga siuman dari tidur panjangnya pasca operasi.
Beberapa alat dipasangkan di dada, bahkan bunyi elektrokardiograf membuat jantung Tantri dan Rayya menjadi semakin menciut. Takut jika bunyi tit tit itu berubah menjadi tit panjang dan monitornya menampilkan garis lurus yang panjang juga.
"Maafkan Omai Mbak. Ini semua salahku, aku yang tidak bisa mendidik putriku, hingga dia menjadi penyebab Ghulam seperti ini." kata Rayya diantara isak tangisnya.
"Bukan salah Omai Ray, ini salah Mbakmu. Mbak yang salah hingga membuat mereka bertengkar dan akhirnya seperti ini ceritanya. Maafkan aku." jawab Tantri yang juga bersimbah air mata.
Dafi yang juga sibuk mengurus kasus Silvi menjadi tidak bisa berlama-lama di rumah sakit. Hari ini, akhirnya Dafi bisa melaporkan dugaan wanprestasi yang dilakukan oleh PT yang dikelola oleh suami Silvi. Beberapa laporan pekerjaannya dianggap tidak sesuai dengan pekerjaan yang dia kerjakan di lapangan. Juga tentang kasus pembakaran butik Rayya dan pembunuhan janin yang ada di dalam kandungan menantunya.
Sikap tegas Dafi yang akhirnya membungkam Silvi dan Diandra. Segala macam ancaman seolah diacuhkan oleh bapak dua anak itu. Keluarganya lebih penting dari segala-galanya.
Baginya, apa yang telah dilakukan terdahulu biarlah menjadi kisah kelam yang tidak perlu diungkit bahkan dimunculkan kembali ke permukaan. Yang paling penting, istrinya telah mengakui dan berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Toh juga kejadian itu jauh sebelum Dafi mengenal Tantri hingga akhirnya dia memutuskan untuk menikahinya.
Dafi hanya menyesalkan, mengapa 'mantan pacar' itu sekarang seolah berubah menjadi seekor serigala yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Munafik dan sangat berlebihan.
Melihat Dafi yang berjalan mendekati dengan aura yang amburadul membuat Tantri semakin teriris. Namun akhirnya setelah Dafi berbicara ada sedikit perasaan lega di dalam hatinya.
"Masalah Silvi dan keluarganya sudah Ayah bereskan. Bunda tidak perlu khawatir. Seharusnya dari awal Bunda bisa langsung cerita dengan Ayah, bukan dengan Ghulam dan Omai yang akhirnya menyebabkan mereka salah paham dan berujung di rumah sakit seperti ini." kata Dafi.
"Maafin Bunda, Yah. Bunda hanya ingin meminta pendapat Ghulam sebagai anak tertua sebelum akhirnya Bunda cerita kepada Ayah." jawab Tantri.
"Iya, tapi kalau akhirnya Ghulam masuk rumah sakit sedangkan Omaira masih juga belum bisa dihubungi sampai sekarang?" kata Dafi. Sebenarnya dia tidak ingin memarahi istrinya, hanya saja karena mungkin badannya capek, pikirannya kalut, akhirnya dia tidak bisa mengontrol kata kata yang keluar dari bibirnya.
"Ayah boleh menimpakan semua kekesalan Ayah kepada Bunda, Bunda terima." jawab Tantri.
"Percuma Bunda, semuanya tidak akan mengembalikan keadaan. Sekarang yang terpenting adalah Ghulam dan Omaira. Masalah papanya Diandra, akhirnya Ayah laporkan sekalian kepada polisi. Pekerjaannya tidak sesuai dengan kontrak kerja yang telah kita sepakati, jika Silvi dan Diandra berani mengancam Bunda. Mungkin ayah harus juga bertindak tegas."
"Terimakasih Ayah, maafkan Bunda sekali lagi."
"Iya, Ayah sudah maafin. Bunda dan Dik Rayya jangan lupa makan. Jangan sampai kalian sakit juga. Nanti Ayah juga yang akan repot." pesan Dafi kepada istri dan adik iparnya.
Sebelum akhirnya Dafi melangkah pergi meninggalkan keduanya seorang perawat memanggil dengan lantang, "Keluarga pasien Ghulam Rafif."
Langkah Dafipun terhenti kemudian berbalik arah.
"Kami." jawab ketiganya kompak.
"Silakan ikuti saya untuk menemui dokter yang menangani Bapak Ghulam." ketiganyapun akhirnya mengikuti perawat wanita yang akan membawa mereka ke ruangan dr. Iskandar.
"Jadi begini Bapak Ibu__" setelah semuanya dipersilakan duduk oleh dr. Iskandar sang dokter justru berdiri untuk menyalakan LED Film viewer untuk melihat beberapa hasil rontgen milik Ghulam.
"Ada beberapa tindakan lanjutan yang harus diambil terkait dengan kesembuhan pasien dimana terjadi beberapa pergeseran tulang sendi dan juga beberapa pembengkakan akibat benturan yang sangat keras." jelas sang dokter.
"Apakah separah itu kondisi putra kami dok?"
"Alhamdulillah, meski memar namun bagian di kepala ini cukup aman karena memarnya hanya sedikit yang bersinggungan dengan otak. Bagian thorax juga masih aman pak, hanya saja ternyata terjadi pergeseran yang cukup berarti di sendi yang menghubungkan clavicle dan humerus. Ini yang harus dilakukan operasi kembali. Selain itu karena hentakan juga menyebabkan disfungsi syaraf tulang belakang yang jika tidak segera tertangani bisa menyebabkan kelumpuhan,______"
Menyimak penjelasan dari dokter itu bukan malah membuat perasaan ketiganya lega tetapi justru membuat mereka semakin kalut.
"Baiklah dok, intinya kami menginginkan yang terbaik untuk putra kami." kata Dafi menutup penjelasan dari dokter. Hanya sedikit penjelasan dari dokter tersebut yang masuk di kepalanya yang kini mulai berdenyut.
"Baiklah tapi yang perlu bapak ibu ketahui bahwa untuk operasi syaraf tulang belakangnya ini memiliki kans kesembuhan fifty-fifty." jelas dokter lagi.
"Lakukan yang terbaik dokter." jawab Dafi mantap.
Akhirnya sesuai dengan kesepakatan yang telah ditanda tangani oleh Dafi sebagai wali pasien maka operasi besar dilakukan untuk Ghulam. Berharap yang terbaik untuk sang putra.
Selama hampir enam jam, dokter bedah syaraf dan semua tim telah selesai melaksanakan tugasnya. Dan Ghulam dipindahkan ke ruang ICU.
"Jika dalam 24 jam pasien belum sadarkan diri. Kita akan melakukan pemeriksaan MRI lengkap. Mohon doakan yang terbaik untuk kesembuhan pasien." pesan dokter sebelum meninggalkan wali pasien di depan ruangan operasi.
Hanya Allah yang mengetahui berapa banyak waktu yang kita miliki. Kesempatan sehat sebelum sakit, longgar sebelum sempit, muda sebelum tua. Jika sudah seperti ini satu yang selalu terlintas di benak kita. Satu kepastian atas setiap makhluk yang dihidupkan olehNya, kematian.
Tantri masih tergugu melihat kondisi putranya. 'Jangan ambil dia ya Rabb, masih banyak tanggung jawab yang menjadi beban di pundaknya. Istrinya dan calon anaknya. Mereka adalah nafas dari anakku yang kini sedang berjuang untuk menjadi sehat kembali.'
Tidaklah penting kini baginya dunia dan seisinya. Apa yang bisa dibanggakan oleh manusia jika sedang terdiam membujur diantara hidup dan mati.
🍒🍒
-- to be continued --
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top