#27 | Berbagi Kasih

بسم الله الرحمن الرحيم

¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --

Cinta kepada makhluk hendaknya tidak mengikis cinta kepada dzat pemberi cinta itu sendiri
- Ali bin Abi Thalib

✍✍

"Aku yang tidak akan pernah ikhlas memadumu dengan siapa pun." Tolak Ghulam tegas.

Tatapan mata Ghulam kepada Omai membuat bibirnya mengatup dengan sendirinya. Butuh kesabaran untuk menyadarkan Ghulam agar dia mau sedikit berkorban untuk orang yang telah menjadikannya ada di dunia.

'Allah, sudah banyak kepedihan yang mungkin Engkau timpakan hingga membuatku tersadar bahwa sesungguhnya pedih itu adalah untuk menambah rasa syukurku atas semua ujianMu' Omai bermonolog dengan hatinya.

Bukan hal yang mudah, atau mungkin ini adalah ujian tersulit baginya. Bahkan anak Rasulullah sendiri Fatimah AzZahra binti Rasulullah memberikan syarat kepada Ali bin Abi Thalib untuk tidak memadunya.

Akankah hati Omaira setegar itu hingga begitu mudah bibirnya mengizinkan suaminya untuk menikahi wanita yang kelak akan menjadi madunya.

Tuhan, madu itu memang manis. Tapi jika dimadu? Akankah masih terasa manis seperti harfiah rasa madu itu sendiri? Tentu tidak, jadi pilih dimadu atau diracun? Pasti tidak akan ada pilihan untuk keduanya.

Sepeninggal Ghulam, Omai memeluk ibu mertuanya. Memompakan semangat bahwa dia dan Ghulam akan mendampinginya selalu. Membantu keluar dari masalah ini secepatnya.

Ghulam sendiri tentu berusaha untuk menenangkan hatinya. Ucapan Omai yang ada diluar nalarnya membuat amarahnya terasa di ubun-ubun.

Bagaimana mungkin orang yang selama ini dia cinta dengan sepenuh jiwa dan raga, dia perjuangkan dan dia utamakan justru meminta untuk melakukan sesuatu yang sama sekali tidak pernah terbersit sekalipun di dalam angannya.

Segelas air putih dan rapalan istighfar mulai menghiasi bibirnya. Ghulam butuh waktu sendiri untuk menenangkan hatinya.

Hati Omai kembali tersayat perih. Melihat ibunda dari suami menangis, menyesali semua perbuatan yang pernah dilakukannya dahulu. Sungguh dia tidak ingin berbagi atas nama suaminya. Tapi apa daya, jika hal itu harus dia korbankan untuk menutup aib semuanya. Belajar mengikhlaskan adalah jalan terakhir pilihannya.

"Maafkan Bunda nak, karena Bunda kamu jadi korbannya. Bunda tidak ingin, sungguh tapi Bunda juga memikirkan ayahmu." kata Tantri di sela isak tangisnya.

"Bunda jangan berpikir seperti itu. Omai juga anaknya Bunda, jadi wajib buat Omai untuk menutup aibnya Bunda. Allah telah menakar semuanya, inshaallah tidak akan terjadi apa-apa." jawab Omai.

Keduanya kembali berpelukan. Kini tidak hanya Tantri yang terisak, Omaipun juga ikut terderai dalam kepiluan.

Keduanya saling menguatkan. Menantu dan mertua itu saling berbagi kegundahan hati.

🍒🍒

"Tidak akan pernah, Sayang." kata Ghulam saat mereka mulai membahas masalah Tantri berdua di kamarnya.

"Mas, ikhlas itu tidak pernah memandang apapun. Jika memang itu diperlukan, ya harus diikhlaskan." kata Omai.

"Iya, ikhlas itu tidak bisa memilih. Tapi jangan untuk itu, Sayang. Aku menyayangimu karena Allah telah menuntun hatiku kepadamu." tambah
Ghulam lagi.

"Seperti halnya cinta yang tidak pernah mengenal kasta Mas. Ikhlasku ini akan bermuara ke surga nantinya." Omai masih juga bersikukuh dengan keputusannya. Supaya Ghulam mau menikahi Diandra.

Ghulam tertunduk menekuri lantai yang ada dipijakannya. Hatinya teriris pedih. Kekasih halalnya meminta sesuatu yang tidak bisa dia kabulkan.

"Jangan paksa aku untuk melakukan sesuatu untukmu yang tidak akan pernah aku ridhoi bahkan seumur hidupku, tidak akan pernah. Kamu pertama dan satu satunya wanita yang membuat hatiku bergetar." pinta Ghulam dengan suara bergetar.

Omai berdiri seraya memeluk suaminya. Dengan lembut jari jari tangannya menelusup di helaian rambut tebal Ghulam.

"Aku tidak akan bisa adil pada kalian nantinya. Tolong, jangan bebani hisabanku nanti di hadapan Allah. Aku tidak ingin menjadi imaroh yang dholim kepada rokyahku." kini air mata Ghulam tidak bisa terbendung lagi.

"Mas Ghulam pasti bisa, aku yang akan membantumu." lirih ucap Omai tepat disamping telinga suaminya.

"Tidak mungkin aku bisa menyentuh Diandra sementara hatiku hanya tertuju padamu, ya habibati. Kaulah wanitaku dunia dan akhirat, hanya engkau. Itu tidak adil buat Diandra, terlebih jika air matamu menetes karenanya. Laknat Allah terlalu pedih untukku, bidadariku. Mengertilah akan hal itu____" terang Ghulam yang akhirnya memilih untuk tidak melanjutkan kata-katanya.

Dengan begitu luar biasanya Omai menahan segala sesuatu yang berkecamuk di dalam dada. Akalnya bekerja namun hatinya memberontak. Keduanya saling bertolak belakang.

Ghulam yang akhirnya memilih untuk mengistirahatkan diri. Bukan menentang, karena agama memang memeperbolehkan, menikah dengan dua istri bahkan empat. Namun sisi hatinya yang lain, dia tidak akan pernah ikhlas untuk berbagi kasih dengan orang lain sementara orang yang selalu dia sebut dalam doanya setiap sujud teronggok berselimutkan dinginnya malam. Membayangkan saja sepertinya Ghulam tidak mampu.

Adil, buat Ghulam itu bukan hanya karena takarannya sama. Adil itu harus pas, pas dibutuhkan akan selalu ada, pas diminta bisa memberi, dan pas yang lainnya. Ghulam tidak meragukan Omaira, ilmu agama yang melebihinya. Dia paham sekali bahwa istrinya bisa tapi bagaimana dengan Diandra?

Tidak, Diandra bukan Omaira.

Purnama yang menggantikan raja siang bergelayut manja dengan gugusan awan-awan di langit nan hitam. Tak seperti wajah kekasihnya yang kini sedang berbalut duka.

"Sayang, kita harus bicarakan ini dengan Ayah. Aku putuskan untuk kembali ke Indonesia. Hari ini aku sudah pesan tiket pesawatnya. Bunda akan bersama kita." perintah Ghulam selepas sholat isya. Dia tidak ingin menunda terlalu lama. Masalah ini harus segera diselesaikan.

Alasan utamanya adalah dia tidak ingin membebani istrinya yang sedang hamil dengan beban pikiran yang terlampau berat. Tidak ingin kehilangan calon buah hati mereka untuk yang kedua kalinya.

"Aku akan membantumu menyiapkan semuanya, kita akan di Indonesia selama dua minggu." titah Ghulam yang tidak bisa di tolak oleh Omaira.

Keesokan harinya, Ghulam benar-benar merealisasikan semuanya. Bertiga menuju ke bandara Prince Muhammed bin Abdulaziz. Bersama garuda besi yang akan membawanya kembali ke tanah air.

Dafi, jangan bertanya bagaimana kagetnya dia. Menemukan sang istri yang dia cari selama beberapa hari terakhir ini tiba-tiba pulang bersama anak dan menantu mereka.

"Ghulam, Bunda, Omai, kalian paling bisa ya ternyata bikin surprise. Bikin jantung ayah deg degan nggak karuan saja." kata Dafi kepada ketiga orang yang begitu disayanginya.

"Ada beberapa hal yang harus Ghulam selesaikan disini Ayah. Mohon bantuannya." jawab Ghulam.

"Apakah itu? Katakanlah." pinta Dafi.

"Biarkan mereka istirahat ayah, bumil tidak boleh terlalu lelah." ucap Tantri yang membuat mata Dafi membulat.

"Alhamdulillah, kita akan punya cucu, Bun? Ngga sabar dipanggil yangkung sama anaknya Ghulam." ucap Dafi kemudian memeluk Ghulam.

"Selamat ya Mas, jaga istrimu dengan baik. Sebagai seorang apoteker, apalagi Omaira yang calon dokter, kalian pasti lebih tahu pasca abortus komplit itu harus seperti apa." pesan Dafi.

"Pasti Ayah, sebenarnya Ghulam juga kaget. Mengingat jarak antara abortus dengan kehamilan Omai masih di titik rentan. Ngga boleh banyak pikiran, itu sebabnya Ghulam pulang ke Indonesia." kata Ghulam.

"Baiklah, kalian sebaiknya istirahat dulu. Nanti selepas maghrib kita bicarakan kembali." Dafi meminta kedua anaknya untuk segera mengistirahatkan diri.

Seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Omai mengekori kemana langkah suaminya melangkah. Ini kali pertama Omaira memasuki kamar Ghulam.

"Belum ada yang berubah, dari semenjak aku belum menikahimu. Didalamnya kamu akan tahu semua tentang aku." kata Ghulam ketika dia hendak membuka pintu kamarnya.

Nuansa abu-abu dan biru telor asin lebih mendominasi kamar Ghulam. Ada sebuah kaligrafi yang terpampang jelas di dinding. Tidak banyak yang bisa membaca tulisan arab nan indah itu. Namun bagi Omai melihat kaligrafi itu langsung membuat mulutnya terbuka. "Kapan Mas Ghulam membuat kaligrafi itu?"

"Waktu aku masih kelas 2 SMP. Bukan aku yang membuat, namun aku pesan khusus pada ahlinya." jawab Ghulam sambil tersenyum.

"Mashaallah indah, tapi mengapa harus tulisan itu. Itu artinya___?" kata Omai.

"Ya, sejak saat itu terpatri dalam hatiku. Mengapa? Karena aku tahu, kamu tidak akan masuk ke ranah privasiku Omaira sayang." jawab Ghulam.

"Aku___" kedua tangan Omai kini menutup mulutnya. Tak sanggup lagi dia berkata kata.

"Kita sama bukan, mencinta dalam diam. Karena mengagumi dan peduli itu tidak harus saling menyapa, mengamati juga tidak harus bertatap mata, hening dalam kata namun riuh dalam doa, hingga doa kita dibersatukan oleh langit." jawab Ghulam kemudian memeluk Omai dengan penuh cinta.

Masih juga terdiam dengan penjelasan suaminya. Omai tidak pernah berpikir sejauh itu.

"Menuliskan namamu dengan indah waktu itu adalah cara satu-satunya untukku mengagumimu dalam diam. Bukan berarti aku seorang pengecut karena tidak berani mengatakan langsung kepadamu. Namun_____"

"Mas, aku tidak pernah menganggapmu sepengecut itu. Islam melarang kita untuk melangkah lebih jauh dengan hati atas nama cinta sebelum halal. Yakinlah jika muslim sejati mencinta, maka pilihannya hanya 2 halalkan atau tinggalkan." jawab Omai.

Kini Omai mulai bergerak menuju rak buku yang tertata manis di ujung kamar suami yang kini akhirnya juga menjadi kamarnya sejak dia sah menjadi nyonya Ghulam Mufazzal.

Satu rak teratas berisi tentang mushaf AlQur'an dan Hadist. Dibawahnya ada buku-buku tentang medis dan pengobatan. Hingga mata Omai tertarik untuk mencabut sebuah album photo berwarna hitam di rak paling ujung.

Menatap Ghulam terlebih dulu untuk meminta izinnya. Senyum yang mengembang di bibir suaminya telah menjawab semuanya bahwa dia mengizinkan Omai untuk membukanya.

Bagai tersedot seluruh memori Omaira. Membuka album halaman pertama sudah seperti melihat cermin beberapa tahun yang silam. Memakai seragam merah putih, menjadi seorang pembaca pembukaan undang-undang 1945 di sekolahnya. Lembar kemudian dia melihat saat dirinya sedang asyik bermain dengan Vida. Selanjutnya sampai terakhir hanya wajah Omaira yang terabadikan di dalam album photo itu.

"Mas, aku____" kata Omai yang langsung dipotong oleh Ghulam.

"Aku mencintaimu, sayangku, bidadariku. Kemarilah masih banyak waktu kamu akan menemukan dirimu di kamar ini. Tapi calon anakku juga ingin beristirahat." Omai memang sangat membutuhkan untuk mengistirahatkan tubuhnya.

Satu yang baru Omai tahu, kaligrafi yang sudah 10 tahun menghiasi kamar Ghulam itu adalah nama panjangnya. Album photo yang hanya ada photo kegiatannya hingga dia SMA. Dan entah apa lagi yang akan dia temukan di kamar itu.

Memilih untuk merebahkan tubuh disamping suaminya. Membau setiap aroma cytrus musk yang menguar dari tubuh suami adalah posisi paling menentramkan hatinya.

'Biarlah seperti ini terus ya Rabb, hingga nyawaku terhempas dari tubuh ini' Ghulam berkata dalam hati seiring dengan mengeratkan pelukan kepada wanita halal yang kini telah bermain dialam mimpinya.

🍒🍒

Apa yang terjadi setelah maghrib berkumandang?

Tuhan rasanya Dafi seperti orang yang paling bodoh sedunia. Mendengar pengakuan dari istri sekaligus ibu dari anak-anaknya.

Tantri mengatakan tanpa ada yang harus ditutup-tutupi lagi. Semakin dia menutupi, kebahagiaan Ghulam dan Omai yang akan menjadi taruhannya.

"Jika Ayah marah sekarang rasanya juga tidak ada gunanya. Meskipun sejujurnya Ayah kecewa, mengapa Bunda tidak mengatakan dari awal. Dan mengapa harus Ghulam dan Omai yang menanggung akibatnya?" kata Dafi dengan penuh bijak.

"Menurut Ghulam, tindakan Tante Silvi dan Diandra itu sudah termasuk kriminal Ayah, okelah kami sudah mengikhlaskan Alifia. Menuntutnya sejauh apapun juga tidak akan menghidupkan Alifia lagi, buat apa. Tapi tindakannya yang tidak bisa dibiarkan." kata Ghulam.

"Tapi, ini aib Mas. Semuanya akan menjadi runyam jika kita bertindak gegabah." kata Omaira.

"Sebenarnya buat apa sekarang mereka menutup auratnya jika kelakuannya seperti itu?" kata Ghulam semakin geram.

"Astaghfirullah, istighfar Mas. Jangan salahkan pakaian dan jilbabnya. Allah telah meminta seluruh muslimah untuk menutup auratnya. Jika kelakuan mereka yang minus, tolong jangan salahkan pakaian yang mereka kenakan." kata Omai menanggapi kalimat suaminya.

Memang benar adanya. Pakaian itu adalah identitas kita. Jika masih ada orang yang memakai pakaian syar'i tetapi kelakuannya minus. Jangan salahkan Islam. Islam itu adalah rahmatan lil alamin.

"Maafkan Bunda, Yah. Ketidakjujuran Bunda berakibat fatal. Mereka mengancam akan menyebarkan ini. Bukan Bunda takut atas diri Bunda sendiri, demi Allah. Bunda tidak ingin martabat Ayah akan jatuh di masyarakat." kata Tantri dengan terisak.

"Jabatan itu amanah Bunda. Jika sudah diambil Ayah bisa apa? Kita bukan korupsi, tapi itu juga semua masa lalu. Kalau Ayah sudah menerimanya. Masyarakat mau apa?" kata Dafi.

Kini giliran Omai yang berbicara. "Maaf Ayah, menurut Omai. Apa yang kita bicarakan ini sebaiknya memang hanya kita yang tahu sebagai keluarga. Aib Bunda, aib kita bersama. Tidak sepatutnya masyarakat tahu, sekali lagi supaya Allah juga akan menutupnya di akhirat kelak. Mengenai permintaan mereka tentang pernikahan Mas Ghulam dan Diandra, inshaallah Omai menyetujuinya." kata Omai dengan sangat pelan.

"Sayang, jangan memulai sesuatu yang telah selesai kita bahas." kata Ghulam tidak terima dengan ucapan istrinya.

"Mas, percayalah aku akan berusaha ikhlas untuk berbagi." kata Omai.

"Aku yang tidak akan pernah ikhlas sampai kapanpun." Ghulam selalu emosi ketika Omai sudah mulai membahas tentang hal ini.

"Ketahuilah Mas, ikhlasku akan berbuah surga nanti." jawab Omai.

Kini amarah Ghulam seolah memuncak. Dia memang tidak bisa mendengar tentang semua ini. Hingga akhirnya dia berkata yang membuat Omai langsung berlari menuju kamarnya. "Sumpah atas nama dzat pemilik hidup dan matiku Omaira, itu memang sunnah untukku dan surga bagimu. Tapi demi Allah, aku pasti akan membimbingmu masuk surga tapi bukan melalui pintu itu. Camkan itu!"

Kata terakhir yang keluar dari mulut Ghulam sangat menyakiti hati Omai. Tidak pernah sekalipun dia berkata dengan nada meninggi. Baru kali ini, ya kali ini Ghulam berkata dengan nada yang sangat tinggi.

"Bibirmu bisa berkata ikhlas, tapi aku selalu yakin bahwa hatimu tidak akan mengamininya. Aku tidak akan pernah bisa bersikap adil nanti pada kalian." ucap Ghulam ketika Omaira pergi.

"Ghulam, segera ikuti istrimu!" kini suara Dafi yang menggelegar.

"Sayang, tunggu. Buka pintunya, jangan dikunci dari dalam. Aku masih membutuhkanmu."

Omai menangis di dalam kamar sendirian. Ah jika seperti ini tidak akan ada penyelesaiannya. Sambil terisak dia mulai menggoreskan tulisan diatas selembar kertas yang ada di rak buku Ghulam.

Teruntuk suamiku tercinta,

Maaf, tapi bukan karena aku meragukan cintamu kepadaku
Maaf, bukan karena aku tidak mencintaimu.

Cintaku lebih dari segalanya dengan rahmat Illahi Rabb tentunya.

Mas,
Adakalanya kita harus mundur sejenak untuk melompat lebih tinggi kedepan.
Yakinlah bahwa Allah tahu yang terbaik untuk kita
Allah mengerti apa apa yang tidak kita fahami

Izinkanlah, bersama surat ini aku untuk menepi
Sekali lagi inshaallah karena ikhlasku
Aku siap untuk berbagi.

Kekasih halalmu,
Omaira Medina

🍒🍒

-- to be continued --

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama

Jazakhumullah khair

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top