#26 | Di Penghujung Gundah
بسم الله الرحمن الرحيم
¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --
Apabila sesuatu yang kau senangi tidak terjadi maka senangilah apa yang terjadi - Ali bin Abi Thalib
✍✍
Akan ada masa dimana sesuatu yang benar akan tenggelam dan sesuatu yang salah begitu diagungkan.
Perjuangan untuk hidup atau hidup dengan perjuangan.
Tantri masih sulit mempercayai, temannya benar-benar membuatnya tidak habis pikir. Teman yang sudah dianggap sahabat bahkan saudara. Aib, entah berapa banyak yang sudah Tantri ceritakan kepadanya kala itu. Dia percaya bahwa sahabatnya ini bisa menyimpan semuanya dengan baik. Ternyata Tantri salah, bukannya menyimpan justru sekarang Silvi mengumbar aib yang benar-benar telah disimpannya dengan begitu rapi oleh Tantri.
Lima tahun sebelum Dafi menikahinya, Tantri telah menjalin hubungan dengan seseorang. Dan tentu saja Silvi sebagai sahabatnya sangat tahu bagaimana cara mereka memandu kasih saat asmara mulai meledak di dalam dada.
Semua masih tersimpan rapi, serapi Tantri menyembunyikannya dari setiap tatap mata yang menelanjanginya.
Flashback on
"Aku hamil." Kata gadis dengan seragam putih abu-abu kepada sang kekasih.
"Kamu gila? Kita melakukan itu hanya sekali, sekali." Tolak pria yang juga masih mengenakan seragam putih abu-abu.
"Tapi aku sudah telat satu minggu, dan hasil testpacknya positif." Jawab sang gadis sambil menunjukkan testpack yang telah dia bungkus dengan apik.
"Kamu gila? Kita masih SMA mana mungkin kita____ahhhh, atau jangan jangan kamu ngelakuin dengan orang lain dan sengaja menjebakku dengan peristiwa bulan lalu." Si pria yang berada di depannya tetap tidak mau bertanggung jawab atas perbuatan yang mereka lakukan beberapa minggu yang lalu.
Plakk
Satu tamparan keras mendarat di pipi si pria hingga memerah. Kata-kata yang sangat tidak enak di dengar oleh siapapun. Bagaimana mungkin dia justru menuduh wanitanya melakukan perbuatan terkutuk itu dengan orang lain. Padahal jelas-jelas mereka melakukan dan menikmati perbuatan itu bersama.
"You are bastard!" satu kali lagi tamparan di pipi sebelah kiri. Kemudian gadis itu berlari menjauh.
Masa remaja yang seharusnya berlomba untuk memperoleh prestasi, ini justru merusak moral bangsa. Apa kata dunia?
Pengalaman pahit itu akhirnya membawa Tantri untuk belajar ilmu pengobatan, awalnya memang dia berniat untuk menggugurkan kandungannya. Tapi sayang, pertolongan Tuhan ataukah memang sudah jalan takdirnya. Belum sampai janin itu di gugurkan, dia telah luruh sendiri karena faktor kondisi rahim yang masih rentan dan tidak siap ditempeli oleh janin.
Flashback off
Tidak ada yang tahu, bahkan sampai orang tua pun tidak mengetahui perihal ini. Satu-satunya orang yang tahu adalah Silvi, sahabat dekat Tantri.
Ibarat api dalam sekam, akan cepat terbakarnya.
Apapun yang diucapkan oleh Silvi berikut dengan bukti bukti yang dia miliki. Membuat Tantri sedikit berpikir untuk maju atau mundur dan menyerah.
"Kamu mau jadi lilin, hangus terbakar seorang diri tapi semua mengabaikanmu." Kata Silvi pada Tantri saat perang mereka berdua dimulai.
"Aku tidak gentar dengan ancamanmu." Jawab Tantri.
"Hei, ibu walikota yang terhormat. Ingat siapa suamimu sekarang, apa kamu juga akan mempertaruhkan nama baik suamimu juga akibat kelakuan konyolmu jaman dulu. Kamu itu munafik, didepan wargamu saja kamu seolah baik tapi sebenarnya kamu itu busuk." Kata Silvi tak kalah sengitnya.
"Aku tidak akan menyerah."
"Terserah, pilihan ada ditanganmu sekarang. Nikahkan Diandra dengan anak lelakimu atau semua orang akan tahu tentang masa lalumu." Ancam Silvi lagi.
"Itu tidak akan terjadi!!"
"Baik, kalau begitu. Aku berbaik hati loh memberikan waktu 3 bulan untukmu berpikir. Selamat tinggal." Kata Silvi kemudian berlalu pergi.
Sepeninggal Silvi, Tantri termenung sendiri. Dia tidak takut jika Dafi harus mengetahui. Lebih baik dia yang mengalah daripada harus memisahkan Ghulam dengan Omaira yang sudah berbahagia.
Hanya saja, mengingat jabatan suaminya kini. Apa nanti yang akan dikatakan oleh masyarakat jika mereka semua mengetahui latar belakang istri seorang walikota pernah hamil diluar nikah bahkan ketika masih SMA.
Sejak kejadian Silvi yang mendatangi Tantri, sikap Tantri menjadi berubah. Dia tidak lagi banyak bicara. Hanya beberapa kali saja dia bicara jika memang diharuskan untuk bicara seperti memimpin suatu rapat atau memberikan sambutan dalam suatu acara. Selebihnya dia memilih diam.
Hari yang terus berlari seolah semakin menyempitkan Tantri untuk menyegerakan mengambil suatu keputusan.
Bertahan dan bertaruh atau mundur dan menyerah.
Dafi yang beberapa hari memperhatikan istrinya menjadi sedikit bertanya-tanya.
"Bun, ada masalah?"
"Eh, Ayah eng__gak kok. Biasa saja, Ayah butuh apa Bunda siapkan?" tanya Tantri yang terbata-bata.
"Enggak butuh apa-apa. Justru Ayah mengkhawatirkan kamu Bun, beberapa hari terakhir ini Ayah lihat Bunda murung. Kenapa, hmmm?" tanya Dafi.
"Bunda hanya capek saja Yah, nggak ada apa-apa." Bohong Tantri.
"Ya sudah istirahat yuk, sudah malam. Bunda sudah telpon Ghulam? Dia sudah mulai kerja di sana katanya dengan teman kuliahnya dulu waktu di Malang." kata Dafi memberikan info.
"Oh iya? Iya besok Bunda telpon Ghulam atau Omai. Hari ini Bunda banyak yang harus dikerjakan Yah, jadi lupa nggak nelpon Ghulam." Kata Tantri, memang tidak berbohong karena hari ini dia harus menghadiri beberapa acara PKK di 3 kecamatan.
"Kalau capek jangan dipaksakan Bun. Jika memang butuh istirahat ya istirahatlah, jangan dholim sama diri sendiri." Pesan Dafi.
Akhirnya mereka berdua beradu dalam mimpi. Dafi telah terlelap terlebih dulu, terbukti dengkuran halus dan nafas teraturnya sudah mulai terdengar. Sedangkan Tantri masih juga belum bisa memejamkan mata, semua masih terasa gelap dan suram.
🍒🍒
Termometer badan itu masih dipegang oleh Omai. Panas badan Ghulam masih normal namun mendadak dia tidak bisa ikut sholat subuh karena lemas tak berdaya.
"Masa iya karena kebayakan gahwa semalam Mas?" tanya Omai.
"Biasanya juga nggak apa-apa."
"Mas Ghulam kecapekan kerja pasti ini, beberapa hari ini kan bolak balik keluar kota menggantikan kak Fawwaz yang lagi terbang ke Dubai." Kata Omai menambahkan lagi.
"Enggak Sayang, hanya butuh istirahat sebentar. Bangunkan aku satu jam lagi." Perintah Ghulam.
Omai akhirnya mengiyakan perintah sang suami. Sambil menunggu Ghulam, bibir mungilnya merapalkan lantunan murotal AlQur'an lirih supaya tidak terlalu mengganggu.
Sedangkan Ghulam yang mendengar suara Omai seperti anak-anak yang sedang dinina bobokan. Belum juga ada satu jam, tiba-tiba Ghulam bangkit dari tidurnya dan berjalan sempoyongan menuju kamar mandi.
Terdengar di telinga Omai bahwa Ghulam sedang memuntahkan semua yang ada di perutnya.
"Astaghfirullah, Mas Ghulam kamu kenapa?" Omai bingung. Sepengetahuannya sebagai calon dokter tidak ada hal yang mengkhawatirkan dengan suaminya namun melihat suaminya kini lemas tanpa daya rasanya Omai harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
"Minum madu dan zam-zam saja Sayang. Nanti kalau tidak juga berhenti mualnya baru kita tes darah." Kata Ghulam.
Kini Ghulam kembali berbaring dan memejamkan mata setelah perutnya merasa tidak bergolak. Sedangkan Omai memandangi suaminya sedemikian lekat. Senyum Ghulam semalam, sebelum mereka tertidur masih dia rasakan. Tidak ada yang berbeda masih hangat seperti dulu.
Tapi pagi ini seolah semuanya menjadi berubah, tanpa angin tanpa hujan Ghulam lemas tak berdaya, mual dan muntah seperti orang yang lagi ngidam saja.
Oh no!!
Omai mengingat sesuatu, tangan kanan yang tadinya membelai wajah kekasih halal itu beralih menggapai kalender yang ada di nakasnya. Selesai nifas 2 bulan yang lalu dia masih mendapatkan haid.
"Bulan kemarin berarti ya, tanggal___? Sekarang? Mashaallah ini sudah hari ke 9 aku tidak mendapat haid atau jangan-jangan? Ya Allah___" racau Omai dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
Sebenarnya sungguh dia ingin berbagi dengan Ghulam. Hanya saja melihat suaminya yang sedang mendengkur lirih membuatnya mengurungkan niat.
Dengan sangat pelan jemari Omai menelusup dalam setiap helai rambut tebal Ghulam. "Semoga harapan kita disegerakan Allah ya Mas. Ah, aku nggak sabar memintamu untuk membelikan alat itu dan besok kita akan melihat hasilnya bersama."
Omai masih dengan senyum yang sama saat Ghulam menggeliat dan membuka matanya.
"Puas sudah memandangku seperti itu, hmmmm?" tanya Ghulam yang akhirnya memindahkan kepalanya ke pangkuan Omai kemudian tangannya mulai membelai perut rata istrinya dan menciuminya.
"Kapan di sini ada lagi adiknya Alifia?"
"Mas___"
"Hmmmmm, apa?"
"Dulu waktu aku hamil Alifia, apa yang Mas rasakan?" tanya Omai pada suaminya. Karena waktu kehamilan Alifia mereka sedang berjauhan. Jadi Omai tidak tahu persis apa yang dirasakan suaminya.
Ghulam seperti mengingat-ingat sesuatu, saat dulu dia baru saja tiba di Indonesia. Bola matanya bergerak gerak kemudian menatap Omai dengan begitu tajam.
"Katakan padaku, apakah sekarang kamu sedang___?" tanya Ghulam setelah otaknya bisa mengingat peristiwa setengah tahun yang silam
Omai tersenyum kemudian mencium kening Ghulam dan berkata, "Aku belum tahu, tapi hari ini sudah hari ke-9 aku terlambat haid. Mas Ghulam bisa membelikan testpack untukku?"
Tanpa perintah kedua kalinya, Ghulam segera bangkit dan menyambar jaketnya.
"Mas mau kemana?"
"Beli testpack."
"Lho bukannya masih lemas?"
"Sudah sembuh. Ini buktinya sudah nggak lemas lagi." Jawab Ghulam dengan semangat.
Ghulam memang begitu antusias, ingatan yang kembali terkenang 6 bulan yang lalu adalah persis seperti saat ini. Perutnya bergolak, sering mual yang akhirnya disertai dengan kemalasan. Jadi ketika Omai mengatakan bahwa dia telah terlambat 9 hari, harapannya kembali hadir untuk mendengar tangisan bayi diantara mereka secepatnya.
Tentu saja rasa bahagia sedang menyelimuti keduanya. Meski belum tahu persis bagaimana keputusan Allah, tapi bolehkan mereka berharap bahwa doa-doa yang selalu dilangitkan kini akan segera terkabul?
Allah maha penyayang setiap umatnya.
"Mas_____, allahuakbar." Teriak Omai ketika keesokan paginya baru saja keluar dari kamar mandi.
Tanpa bertanya pun Ghulam telah mengetahui, air mata yang mengalir di kedua pipi wanita halalnya telah menceritakan semuanya. Bahwasanya Allah segera meniupkan ruh atas gumpalan darah yang kini sedang berproses di rahim Omaira
"Aku hamil Mas. Alhamdulillah." Kata Omai saat kini dia berada dalam dekapan suaminya.
Ghulam mendaratkan ciumannya ke semua sisi sang istri. Tiada hal yang lebih membahagiakan, amanah Allah yang akan mereka jaga dengan baik di dalam kandungan 8 bulan ke depan.
"Aku janji selalu disampingmu, apapun yang terjadi nanti." Kata Ghulam.
Seketika Ghulam ingin sesegera mungkin untuk bisa melihat calon anaknya lebih dekat.
"Kita ke dokter ya, setidaknya untuk memastikan bahwa kehamilanmu baik-baik saja." Ajak Ghulam yang langsung mendapatkan sambutan dari Omaira.
Berdua, sementara menikmati kebahagiaan bersama. Tidak menyampaikan kepada keluarga terdekat lebih dahulu, Ghulam masih setengah trauma dengan kejadian beberapa bulan yang lalu.
Biarlah hingga saatnya nanti mereka semua tahu, bahwa Allah telah memberikan amanah kepada mereka kembali.
Dua bulan berlalu dari Omaira dinyatakan positif hamil. Entahlah apa hubungannya. Morning sickness yang biasanya dialami oleh wanita yang sedang hamil ini justru Ghulamlah yang merasakan. Mual dan muntah setiap pagi menjadi kebiasaan baru yang membuat haru.
Ngidam? Jangan ditanyakan, tidak ada hal-hal aneh yang terjadi diantara mereka berdua. Hanya memang Omaira lebih cepat merasa lelah. Bersyukurlah, karena semua makanan bisa ditelan tanpa ada penolakan dari dalam tubuh wanitanya.
Hingga saat mereka melakukan ritual jalan pagi bersama setelah melaksanakan sholat subuh. Ada panggilan dari gawai Ghulam. Sang bunda menelponnya.
"Waalaikumsalam Bunda," jawab Ghulam dengan tenang. Namun beberapa detik kemudian mukanya menunjukkan rasa keterkejutan.
"Apa, Prince Muhammed bin Abdulaziz? Sekarang? Subhanallah Bunda mengapa tidak mengabari kami kalau akan berkunjung ke sini." Omaira ikut bingung menatap Ghulam yang sedang bertelepon dengan sang Bunda.
Setelah gawai terkunci kembali, bibir Ghulam berujar "Bunda telah sampai di bandara, tidak berani ke sini sendiri. Kita cari taxi untuk menjemputnya."
"Bunda?" rasanya memang tidak dapat dipercaya. Tidak ada kabar berita tiba-tiba mengetahui bahwa sang bunda telah berada di Bandara. "Kok mendadak sekali Mas, ada apa?"
"Entahlah, katanya ada yang mau dibicarakan dengan kita. Penting," jawab Ghulam.
Jika bukan karena sesuatu yang mendesak dan sangat penting pasti Tantri memilih untuk berkomunikasi melalui telepon. Bukan karena tidak ingin bertemu dengan anak dan menantu, tapi baru 4 bulan mereka berpisah saat Omaira keguguran dan dia melaksanakan ibadah umroh.
Di terminal kedatangan, Ghulam dan Omaira memperhatikan seseorang yang duduk di kursi panjang dengan sebuah koper di depannya.
"Itu Bunda, Mas." Tunjuk Omai
Bertiga akhirnya mereka menaiki taxi untuk kembali ke mahtab. Ghulam kini telah menyewa sebuah rumah sederhana, seperti apartment karena dia memang telah memutuskan untuk bermukim di Madinah sampai dengan Omaira menyelesaikan semua studinya.
Setelah membersihkan badan dan istirahat beberapa saat. Inilah waktu yang tepat untuk Ghulam menanyakan, perihal apa yang membawa sang bunda terbang menemui mereka.
"Bunda__" masih juga kalimat pembuka yang Ghulam sampaikan Tantri sudah memotongnya.
"Maafkan Bunda Zayang. Tapi Bunda benar-benar bingung. Bunda belum berani cerita ini pada Ayah kalian. Bukan Bunda takut, tapi karena memang Bunda tidak ingin melihat ayahmu hancur." Tantri yang berbicara sambil terisak kencang.
"Bunda pelan-pelan, ceritakanlah. Jika kami bisa membantu kami pasti akan membantu." Omai yang kini memberikan air zam-zam yang telah dia simpan kepada Tantri. Membantunya untuk meneguk air dalam gelas itu secara perlahan.
Awalnya Tantri diam, namun karena Ghulam dan Omai berhasil meyakinkan. Tantri memulai ceritanya. Aibnya kini benar-benar terbuka, hamil sebelum nikah pada waktu SMA hingga keguguran, pernah melakukan ilmu pelet untuk memikat hati Dafi agar mau menjadi pasangan hidupnya, obat-obat yang dibawa Silvi hingga menyebabkan Omaira keguguran, perencanaan pembakaran butik milik Rayya hingga ancaman Silvi jika Dia akan menaikkan kedua kasus yang telah dilakukan oleh mereka berdua dan permintaan mereka untuk menikahkan Diandra dengan Ghulam.
"Maafkan Bunda, Omai." Kata Tantri sambil memeluk Omaira erat.
Jujur, Omaira sangat kaget dan begitu terpukul. Dia tahu bahwa Tantri telah berubah. Namun dia juga tidak tega jika harus melihat ayah dan ibu mertuanya akan menanggung malu sementara Tantri telah mengakui salahnya serta telah insyaf dan bertaubat.
"Bunda, tidak mungkin Ghulam melakukan itu. Menikah dengan Diandra itu sama saja menyakiti hati Omaira. Tidak Ghulam tidak akan melakukan itu." Jawab Ghulam.
"Bunda juga tidak ingin memaksa kamu untuk menikahi Diandra. Bunda hanya ingin tahu pendapatmu, bagaimana nanti jika Silvi benar benar akan membuka aib Bunda dan akhirnya Ayahmu yang menjadi korban, jabatannya sebagai walikota akan tercemar karena Bunda. Itu yang Bunda tidak mau." jawab Tantri masih dalam isakan tangisnya.
"Ghulam yang akan bicara kepada ayah, ayah pasti punya solusi untuk ini." Jawab Ghulam.
Omaira hanya terdiam. Melihat ibu mertuanya yang linglung seperti orang yang mengalami depresi berat.
Kata hatinya tidak tega membiarkan semua ini terjadi. Bundanya benar, jika Silvi membuka aib maka jelas akan membuat nama ayah mertuanya tercemar. Masyarakat akan memandang remeh kepada keluarganya.
Bukankah sudah jelas dikatakan bahwa Allah akan menutup aib kita kelak di akhirat jika kita juga menutup aib kita sendiri.
Aib Tantri dimasa lalunya adalah juga aib Omai. Dia ingin menutupnya, meski sakit mungkin inilah yang harus diambil.
"Mas____?"
"Apa Sayang?" jawab Ghulam dengan begitu lembut.
"Menikahlah dengan Diandra." Omai menyampaikan dengan pelan tidak ada nada yang mengisyaratkan amarah sedikitpun, singkat dan sangat jelas tapi sungguh membuat Ghulam menjadi emosi.
"Kamu jangan gila, bagaimana mungkin aku menikahi Diandra sementara kamu sedang hamil anakku. Buah cinta kita!" kata Ghulam mengagetkan Tantri. Selama ini memang kedua anaknya tidak pernah mengatakan bahwa Omai sedang mengandung.
'Tuhan, harusnya aku menyambut menantu dan calon cucuku dengan baik. Mengapa justru aku yang membuat kacau semuanya?' Rintih Tantri dalam hati.
"Omai akan berusaha ikhlas." Kata Omai kemudian lagi.
"Aku yang tidak akan pernah ikhlas memadumu dengan siapa pun." Tolak Ghulam tegas.
Melihat kedua anaknya kini mulai berselisih pendapat. Tantri langsung memeluk keduanya.
"Maafkan Bunda. Bunda akan hadapi ini seorang diri. Kalian jangan bertengkar." Kata Tantri.
"Bund____" bibir Omai yang baru saja terbuka tertutup kembali.
Tatapan mata Ghulam kepadanya membuat bibirnya mengatup dengan sendirinya. Butuh kesabaran untuk menyadarkan Ghulam agar dia mau sedikit berkorban untuk orang yang telah menjadikannya ada di dunia.
🍒🍒
-- to be continued --
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top