#25 | Pertemuan dua Sahabat

بسم الله الرحمن الرحيم

¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --

Lidah orang yang berakal itu dibelakang hatinya, sedangkan hati orang yang bodoh berada di belakang lidahnya - Ali bin Abi Thalib

✍✍

Menjalani ramadhan bersama pasangan halal. Nikmat Tuhan mana lagi yang bisa di dustakan?

Ini kali pertamanya, Omai menjalankan perannya. Puasa bersama, menikmati sahur dan buka puasa bersama. Buka puasa bersama dengan ribuan jamaah di pelataran Masjidil Nabawi.

Kali pertama juga untuk Ghulam menikmati buka puasa setiap harinya di masjid. Mengapa? Lebih praktis dan akan lebih banyak waktunya untuk berikhtikaf disana selama ramadhan.

"Subhanallah, sampai seperti ini Dik?" tanya Ghulam saat hari pertama buka puasa di pelataran Masjidil Nabawi.

"Tanda akhir jaman semakin dekat ya Mas?" bukan jawaban yang keluar dari bibir Omai. Lebih tepatnya seperti pertanyaan balik kepada suaminya.

Laya' tiyanna 'alaannasi zamaanu yatuufurrojulu fiihi bisshodaqoti minadzdzahabi, tsumma laa yajidu akhadan ya'khudzuhaa minhu. Sungguh akan datang kepada manusia suatu zaman di mana seseorang berkeliling dengan membawa harta shadaqah berupa emas, kemudian dia tidak mendapati seorang pun yang mau menerimanya darinya.

Subhanallah, itulah pemandangan yang terjadi di akhir jaman. Yang ingin bershadaqah justru mencari orang orang yang bersedia menerimanya.

"Jadi karena ini juga kamu lebih memilih berbuka di sini?" tanya Ghulam.

"Iya, aku hanya ingin memudahkan urusan mereka. Sehingga suatu saat nanti kita memiliki suatu urusan, Allah akan membantu kita untuk memudahkannya." Jawab Omai dengan penuh yakin.

Tahu mengapa ramadhan adalah bulan yang begitu istimewa?

Allah merantai seluruh syaiton dan iblis, tidak mengizinkan mereka mengganggu ibadah manusia. Tidak mengizinkan mereka untuk menjerumuskan manusia untuk bersamanya.

Ah, tapi masih ada pula manusia yang berbuat maksiat di bulan penuh berkah ini. Berarti itu bukan iblis yang membisikkan kedalam hatinya. Tetapi manusia itulah yang sudah menjelma menjadi iblis secara tidak langsung.

Menahan lapar dan dahaga. Ah, sungguh sangat merugi jika ramadhan hanya memperoleh itu saja.

Menghiasi ramadhan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, ketahuilah bahwa disitulah nikmatnya ramadhan. Lapar dan dahaga.

Memakmurkan masjid, mentasbihkan diri dengan bergelung bersama khalam Allah. Bahkan mendengar pun pahalanya disamakan dengan yang membaca, mashaallah.

Pahala dilipatgandakan, pintu neraka ditutup. Lantas apalagi yang harus kita lakukan selain berlomba untuk mendekatiNya. MerayuNya di sepertiga malam, menegakkan berdiri dan tentu saja berbusa lidah kita dengan lantunan tasbih, tahmid dan takbir mengagungkan namaNya.

Tidak banyak yang diambil Ghulam dan Omai. Hanya 5 butir kurma, secangkir haleeb ma'hal, dan sebungkus roti. Jika diawal dulu Ghulam masih sangat asing di lidah, sekarang justru lebih bersemangat.

"Sudah bersahabat Mas. Lidah dan perutnya?" tanya Omai.

"Ya, mau nggak mau. Toh semua itu nikmatnya hanya sampai kerongkongan saja. Setelah itu sama saja." jawab Ghulam. "Kita masuk masjid, setelah sholat tarawih bertemu lagi di sini ya?"

"Iya."

Semua berjuang dan berlomba menyukseskan puasa dan amalan ramadhannya. Sholat tarawih, tadarus AlQur'an, ikhtikaf dan sholat malamnya.

Malam ini untuk malam kedua kalinya. Omai berdiri, menegakkan sunnah 8 rokaat 2 kali salamnya. Tarawih di Masjidil Nabawi meski hanya 8 rokaat dengan 2 kali salam lamanya mengalahkan tarawih 20 rokaat di Indonesia.

Indah dan nikmatnya mendengarkan lantunan ayat ayat Allah dengan begitu merdu dan syahdu. Tidak pernah ada dongkol dihati, tidak pernah ada rasa pegal di kaki karena berdiri hampir 10 menit setiap rakaatnya, masaallah. Kuasa Allah dengan begitu sempurnanya.

Melengkapkan malam ramadhannya, Omai menyelesaikan murrotal 1 juz setelah salam 3 rakaat sholat witir.

Menyusuri barisan dispenser yang telah kosong. Omai beranjak keluar masjid. Memberikan waktu untuk memanjakan tubuhnya, istirahat setelah seharian beraktifitas.

"Ingin belanja sesuatu untuk besok?" tanya Ghulam.

"Mas Ghulam ingin sahur apa?"

"Apa pun jika itu kamu yang menyiapkan akan aku makan."

Omai hanya tersenyum mendengarnya. Suaminya itu memang paling mengerti. Mengerti jika Omai tidak lihai mengolah bumbu menjadi makanan yang lembut dan juzi di mulut.

Saat mereka berdua hendak melangkah. Telinga Ghulam mendengar ada seseorang memanggil namanya dari belakang.

"Ghulam____"

Omaira yang berada di sisi Ghulam pun akhirnya berbalik mendapati siapa empu pemilik suara yang memanggil nama suaminya.

"Isna___" suara Omai mendahului sebelum suaminya menyapa laki-laki yang berada di sisi sahabatnya itu.

"Omai. Mashaallah, akhirnya bertemu lagi setelah sekian lama." Kata Isna.

"Fawwas. Khaifa haluka?" sapa Ghulam sambil menjabat erat tangan sahabatnya.

"Alhamdulillah, bi khair. Mashaallah jadi Omaira___?" tanya Fawwas.

"Na'am Fa. Afwan, ana__" kata Ghulam.

"Allah tahu yang terbaik untuk umatnya. Antum tidak salah, toh waktu itu ana juga belum berproses. Masih mau bersahabat kan?" kata Fawwaz sambil tersenyum.

"Mashaallah, syukraan."

Omai dan Isna tahu persis bagaimana suami suami mereka meredam segala egonya untuk tetap menjalin silaturahim.

"Jangan cemburu, Omai itu sahabat anti. Semua sudah selesai saat Paman Hasan menelpon Abi untuk mengatakan proses ta'aruf ana tidak bisa dimulai." Kata Fawwaz kepada Isna yang berdiri di sebelahnya.

Ada rasa canggung antara Omai dan Isna. Fawwaz terlalu vulgar mengatakan semuanya. Hingga akhirnya Ghulam mencairkan suasananya. "Isna, dari kalian deket pasti tahu ke arah siapa hati Omai berlabuh?"

"Ah Mas Ghulam, kalian benar-benar. Jadi kalian sudah saling memahami hati satu dan lainnya sedari dulu? Waktu Mas bilang ingin menghalalkan Omai sewaktu di mobil itu berarti benar adanya?" tanya Isna kepada Ghulam tetapi matanya tertuju pada Omai.

Semua tertawa. Apa hanya Isna yang tidak mengetahui semua cerita ini.

"Waktu itu kita belum tahu Isna__" jawab Omai.

"Justru waktu itu dia memilih untuk menjauh kesini supaya bisa menghindariku Isna. Tapi ternyata irodhah Allah tidak bisa ditolak, sejauh apapun dia berlari menghindari semesta memiliki jutaan cara untuk menyatukan kami. Bukan begitu Sayang?" kata Ghulam mengelus jilbab yang menutup kepala istrinya.

"Mas__" suara Isna tiba-tiba melengking mengagetkan semuanya. Sambil memandang suaminya seperti meminta sesuatu.

"Anti pengen juga seperti Omai???" tanya Fawwaz sambil terkikik yang akhirnya membuat Ghulam dan Omai tertawa lirih.

"Bukan aku yang pengen, tapi yang di sini__" ucap Isna sambil menunjukkan jari ke perutnya.

Seolah mengerti maksud Isna, Omai segera bertanya "Kamu lagi hamil?"

Bukannya menjawab Isna malah langsung menanggapi suaminya. "Aduh duh, onta kecil pengen so sweet seperti uncle Ghulam dan aunty Omai ya__sini sini abi peluk."

"Onta kecil?" Ghulam menimpali.

"Lah iya, onta besarnya ada di sampingku ini Mas Ghulam." Jawab Isna menunjuk Fawwaz. Kemudian membawa Ghulam dan Fawwaz tertawa bersama.

"Eh sudah berapa bulan?" tanya Omai.

"Jalan 4 bulan ini, kamu kapan nyusul kita? Atau jangan-jangan lagi hamil juga?" jawab Isna.

Seketika itu air yang menggenang di pelupuk mata Omai luruh juga. Bahagia mendengar sahabatnya sedang mengandung buah cintanya, sekaligus bersedih atas musibah yang menimpanya 2 bulan yang lalu.

Menyadari akan hal itu, Ghulam segera merengkuh tubuh istrinya kedalam dekapan. Allah memiliki rencana yang indah di depan untuk mereka.

"Maaf Omai, apa aku salah?" tanya Isna setelah akhirnya menyadari sesuatu hal terjadi pada sahabatnya.

"Kita bicara di taman yuk, sekalian makan malam. Aku beli makanan dulu Fa, kalian tunggu di taman." Ajak Ghulam pada semuanya.

Fawwaz dan Isna mengikuti perintah sahabat mereka. Duduk di taman, diatas rumput nan hijau di sebelah pelataran Masjidil Nabawi. Sedangkan Ghulam mengajak serta Omai untuk membeli beberapa makanan yang bisa disantap bersama kedua sahabat mereka.

"Jadi_____" Ghulam pun mengawali ceritanya. Mulai dari rasa yang tersimpan, permohonan pernikahan yang mendadak dari abinya Omai, hingga musibah keguguran yang dialami oleh Omaira.

Fawwaz dan Isna mendengarkan dengan seksama. Sesekali mereka saling bertukar pandang, saling menguatkan. Sementara di akhir cerita Isna tidak bisa membendung air mata yang deras mengalir di kedua pipinya.

"Omai, maaf. Aku tidak mengetahui ini. Sekali lagi maafkan kami. Allah tahu kamu kuat, makanya diuji seperti ini." Kata Isna yang kini telah memeluk sahabatnya.

"Kamu tahu, aku seperti kehilangan seluruh dunia dan akhiratku. Bersyukur Mas Ghulam selalu di sisiku dan memberikan semangat, bahwa kami pasti bisa melalui ini bersama." Jawab Omai.

"Semangat ya, Mas Ghulam juga semangat." Kata Isna akhirnya.

"Ghulam pasti semangat dan selalu semangat untuk membuat kembali, ya kan?" gurau Fawwaz.

Semua pastilah tertawa. Fawwaz yang kesannya serius ternyata bisa juga bercanda. Surprise juga untuk Isna ternyata sang suami memiliki sisi yang belum diketahuinya.

"Untung cinta." Kata Isna tiba-tiba.

"Maksudnya?" Fawwaz yang menyadari bahwa istrinya sedang berpikir sesuatu.

"Ternyata suamiku yang biasanya serius seperti kanebo kering bisa bercanda juga. Untung cinta__" kata Isna.

Mendengar ucapan sang istri Fawwaz pun akhirnya kembali pada raut muka seriusnya.

"Doakan ya, supaya kami segera menyusul kalian. Omai bisa segera hamil lagi." Ghulam memecah keheningan yang tercipta beberapa saat.

"Aamiin, iya mas semangat buatnya. Nanti kalau sudah jadi kita buat kesepakatan bersama ya?" kata Isna.

"Kesepakatan? Apa itu maksudnya Isna?" tanya Omai.

"Kita jodohin aja nanti kalau anak-anak kita dewasa, itu jika anak kita berlainan jenis loh ya, kalau sejenis ya pasti akan bersahabat seperti kita." Sambut Fawwaz yang sebenarnya sangat akrab dengan kebiasaan ini.

"Big No", jawab Ghulam tegas. Tentu, tentu saja Ghulam tidak ingin mengulang kesalahan bundanya dengan menjodohkan anaknya kelak dengan seseorang. Biarlah campur tangan Tuhan yang akan menentukan nantinya.

Percakapan yang mengalir diantara 2 sahabat yang akhirnya menikah dengan pasangannya masing-masing itu akhirnya berakhir. Jam yang melingkar di lengan kiri Ghulam sudah menunjukkan pukul 22.30.

Bukan tidak ingin berbincang lebih lama, namun Ghulam dan Fawwaz paham bahwa istri-istri mereka membutuhkan waktu untuk istirahat.

"Baiklah, rezeki kita bertemu sampai disini. Besok bisa kita sambung kembali. Omai hubungi Isna jika membutuhkan sesuatu. Inshaallah kami akan selalu ada untuk kalian." Kata Fawwaz sebelum akhirnya mereka berpisah.

Malam penuh keberkahan. Ramadhan dengan nuansa islami yang membalutnya.

Bukan hanya di negara tempat Omai dan Ghulam berada sekarang. Setiap muslim bahkan di seluruh dunia pun akan selalu sama menyambut datangnya ramadhan dengan penuh suka cita. Kesucian hati dan jiwa untuk menggenapkan semua amalan yang tentunya akan berlipat ganda di bulan penuh berkah ini.

"Bunda, lancar puasanya?" sapa Ghulam melalui panggilan vidcall saat sebelum mengistirahatkan badannya. Sepertinya sang Bunda sedang menyiapkan makan sahur untuk ayah dan adiknya, Vida.

"Alhamdulillah, kamu bagaimana? Mana menantu bunda yang cantik?" jawab Tantri.

Kini Ghulam menyorotkan kameranya menuju wajah Omaira. Mengetahui sang suami sedang melakukan vidcall dengan bundanya, Omai segera bergabung.

"Dik, kalau nggak kuat jangan dipaksain loh ya. Kesehatan kamu yang utama." Pesan Tantri saat Omai sudah mulai berbincang dengannya.

"Iya Bunda, tapi alhamdulillah Omai kuat dan sehat di sini. Kan ada anaknya bunda yang super hero ini untuk jagain Omai di sini." Jawab Omai.

"Ghulam, jagain istrimu baik-baik. Jangan biarkan siapa pun mengganggunya, bahkan nyamuk sekalipun." Tantri yang mulai overprotektif semenjak Omai keguguran dan mengetahui bahwa ada dalang yang membuatnya seperti itu.

"Siap Bunda. Kami tutup dulu ya Bunda sudah larut kita tidur dulu besok disambung lagi." Kata Ghulam sebelum mengakhiri panggilannya.

Kini keduanya segera beraktivitas kembali. Omai yang harus berangkat ke kampus sementara Ghulam juga akan bertemu Fawwaz untuk membicarakan beberapa tawaran bisnis setelah mengantarkan sang istri.

Memilih berdekatan, memilih untuk tidak egois, memilih untuk melindungi, itulah yang dilakukan Ghulam saat ini.

Meski jauh dari terapan ilmu yang dia peroleh dari bangku kuliahnya. Ghulam yakin bahwa pintu rezeki Allah akan selalu terbuka dimana saja asalkan makhluknya mau berdoa dan berusaha.

Awalnya canggung, namun sekali lagi sahabat itu ada bukan hanya disaat kita sedang berbahagia tetapi justru ketika kita sedang bersedih dan dalam keadaan sulit.

Tawaran Fawwaz menarik hati Ghulam. Demi istrinya, demi keluarga kecilnya dia rela meninggalkan semua yang telah Ghulam rintis sebelumnya dan memilih untuk menjalankan usaha bersama sahabatnya di dekat keluarganya. Jika kebahagiaan itu bisa dinilai. Bukan seberapa besar yang kita peroleh tetapi seberapa besar keberkahan di dalamnya.

"Sudah siap memulai?" tanya Fawwaz saat Ghulam masuk ke ruang kerjanya.

"Inshaallah, semua yang halal akan membawa berkah untuk semuanya." jawab Ghulam.

Beberapa tumpukan berkas yang harus segera Ghulam pelajari segera diberikan Fawwaz kepadanya. Perlahan namun pasti, segurat harap itu akan selalu ada dalam usaha yang kita lakukan

🍒🍒

-- to be continued --

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama

Jazakhumullah khair

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top