#23 | Ikhlas

بسم الله الرحمن الرحيم

¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --

Barangsiapa yang menyebarkan api fitnah maka dia sendiri yang akan menjadi bahan bakarnya
- Ali bin Abi Thalib

✍✍

Kondisi Omai memang belum pulih sepenuhnya namun selama Ghulam ada disisinya. Rasanya seperti dapat kehidupan kedua.

Dafi, Tantri dan Rayya memang harus kembali ke Indonesia setelah mereka menyelesaikan seluruh rangkaian umroh mereka. Selain itu ada kabar yang lebih penting, yaitu dalang dari pembunuhannya yang akhirnya meleset kepada adik ipar Farzan Shakeil telah ditemukan.

Yah ternyata memang bukan orang jauh, orang terdekat Dafi yang merasa sepak terjangnya di pemerintahan merasa selalu mendapat rintangan dari orang nomor satu di pemerintahan tempat dia bernaung sekarang.

Dafi memang friendly, ramah tapi cukup tegas dengan seluruh regulasi apapun dibawah kendali kepemimpinannya. Baik itu berupa esek-esek bawah tangan sampai pada tanda tangan di atas cek yang bernilai bisa sampai milyaran rupiah. Intinya, jika tidak memenuhi standar kerja ya pasti tidak akan dia pakai. Itu sudah menjadi rahasia umum seluruh masyarakat di kotanya. Jika tidak seperti itu, mana ada seorang walikota yang hanya memiliki rumah sederhana dengan total kekayaan tidak lebih dari 2M.

Mengenai praduga awal tentang keterlibatan seorang Diandra dan Silvi mengenai kasus yang menimpa Omai akan segera Tantri selidiki secepatnya. Dia tidak ingin sendiri, dia juga akan mengajak Rayya untuk menyelidikinya dan kali ini Tantri benar-benar telah geram dengan kelakuan orang yang dulu pernah dia sebut sebagai sahabat.

"Ray kamu musti bantu mbakmu ini nanti, kita buktikan. Apakah tuduhan mbak ini benar atau tidak." Kata Tantri ketika mereka berada di pesawat.

"Tapi Mbak, kalau pun toh benar semua tidak akan merubah keadaan." Jawab Rayya masih enggan untuk mengikuti permainan Tantri.

"Sampai kapan pun aku tidak akan pernah ikhlas dengan caranya sampai calon cucu kita yang menjadi korban. Tapi sepertinya kita memang harus bersandiwara, kita harus bermusuhan." Kata Tantri masih dengan wajah penuh amarah.

"Bermusuhan?"

"Dengan kita bermusuhan aku bisa dengan mudah kembali menjadi sekutu buat mereka yang seolah olah akan menghancurkanmu." Geram Tantri saat mengingat persahabatannya yang berujung kekonyolan.

"Maksud Mbak Tantri, aku harus marah sama Mbak?" tanya Rayya yang masih belum sepenuhnya mengerti dengan jalan pemikiran kakaknya.

"Lebih tepatnya seperti itu, biar seolah-olah aku yang merasa baik dan akhirnya kamu tuduh macam-macam hingga aku bisa berkomplot dengan mereka." Akhirnya Tantri menjabarkan point demi point mengapa mereka harus beracting untuk saling bermusuhan karena memang itu satu satunya jalan, untuk mengetahui kondisi lawan kita harus ada yang berkorban seolah-olah berada di posisi mereka. Jika kata licik itu telah mereka permainkan di awal, maka kini Tantri hanya tinggal mengimbangi untuk mengetahui siapa pelaku diantara mereka.

Dan benar, setibanya di Indonesia Rayya dan Tantri seolah-olah memang saling bermusuhan, tidak saling mengenal dan saling mencaci. Awalnya Dafi bingung dengan semuanya namun karena Tantri dan Rayya berhasil menjelaskan maka diapun akhirnya juga mengikuti alur permainan dua kakak beradik itu.

🍒🍒

Ada asap tentu ada api, buih pun tercipta karena adanya ombak. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi akibat ulah manusia tanpa adanya penyebab sebelumnya.

Tantri pernah melakukan kesalahan, bahkan kesalahan fatal yang dia perbuat berbuntut panjang setelahnya. Tapi dia benar-benar telah bertaubat dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi.

Sungguh Allah lebih menyayangi orang yang berani mengakui kesalahan, meminta maaf dan tidak mengulangi perbuatannya kembali. Manusia memang tidak ada yang sempurna, bahkan sesama manusia kita tidak memiliki hak untuk memberikan balasan atas perbuatan seseorang. Biarlah tangan tangan Allah yang menyelesaikan semuanya.

"Hai Tantri, masih punya muka kamu kemari setelah apa yang kamu dan keluargamu lakukan kepada kami?" ucap Silvi ketika membukakan pintu saat Tantri berkunjung ke rumahnya.

"Silvi, aku sudah minta maaf kepadamu bukan? Apa yang bisa aku lakukan disaat semua menekanku?" jawab Tantri.

"Lantas apa maumu sekarang?"

"Kamu pasti tahu mauku seperti apa. Kita bersahabat bukan setahun dua tahun." Tantri benar-benar ingin marah dengan 'mantan' sahabatnya tapi dia sadar sesadar sadarnya jika dia harus memerankan perannya dengan sangat apik.

Suasana menjadi hening dan kaku. Tantri memang tidak banyak bicara dibandingkan sebelumnya. Dia ingin membaca situasi. Sedangkan Silvi memang belum sepenuhnya percaya kembali dengan temannya itu.

Ternyata bukan hanya sakit yang butuh recovery, pertemanan yang hampir retak juga membutuhkannya. Intinya, kepercayaan itu memang nomer wahid untuk mengukur seseorang itu benar-benar ada di pihak kita atau tidak.

Tantri? Ah, semoga sandiwara yang dia sutradarai landing sempurna sampai paripurna.

Silvi memang sangat murka mengetahui anaknya gagal menikah dengan putra sahabatnya. Ah, benar-benar rencananya gagal total. Sebenarnya pernikahan bisnis diantara keduanya diharapkan Silvi bisa mendongkrak pundi-pundi rupiahnya.

Bisnis suaminya butuh suntikan dana yang lumayan besar. Rasa-rasanya jika berbesan dengan pejabat akan lebih mudah untuk melenggangkan kaki menutup semua kekurangannya.

Dengan menimbang baik buruknya, akhirnya senyum Silvi tercetak di bibir merahnya. Kedua tangannya terentang menyambut Tantri kembali.

"Diandra kemana kok sepi?" tanya Tantri akhirnya.

"Dia masih ada perlu keluar dengan papanya."

Akhirnya memang keduanya bercengkerama. Sungguh itu membuat Tantri muak. Harus berpura-pura iya padahal hatinya mengingkari.

'Mantan' sahabatnya ini benar-benar menjadi ujian terberat baginya. Bagaimana tidak, seolah-olah dia telah tuli dan buta bahwa Ghulam telah menikah. Masih juga membicarakan tentang perjodohannya bersama Diandra yang memang sudah Tantri gagalkan. Tapi penggagalan yang memang sesuai dengan skenario Allah itu benar-benar disyukuri oleh Tantri. Setidaknya kini dia benar-benar yakin bahwa Ghulam tidak jatuh ke tangan orang yang keliru.

Tantri melakukan perannya dengan sangat sempurna. Dia memang berhasil menahan egonya untuk tidak membantah perkataan Silvi, hanya mengangguk dan mengiyakan. Meskipun bibirnya tak pernah lepas dari kalimat istighfar.

'Jika bukan demi kalian anak-anakku, Bunda tidak akan pernah mau menginjakkan kaki di rumah ini kembali' lirih kata hati Tantri bermonolog. Sebenarnya tidak perlu berasumsi lebih banyak lagi, Tantri sudah bisa mengambil kesimpulan dan keputusan hanya saja menuduh tanpa bukti itu benar-benar membahayakan. Fitnah memang lebih kejam daripada pembunuhan.

"Eh ada bunda di sini?" sapa Diandra yang tiba-tiba datang dari luar

"Eh Sayang, apa kabar kamu?"

"Baik Bunda. Ada angin apa ini Bunda kemari? Biasanya juga aku yang kerumah Bunda." Kata Diandra.

"Dia mungkin akan sering kemari Di. Banyak yang harus segera kita luruskan dan selesaikan." Kata Silvi. Percakapan ketiganya pun akhirnya banyak di dominasi dengan pertanyaan seputar Ghulam dan Diandra. Ya, pokok dari semuanya memang berpusar dari perjodohan Ghulam dan Diandra.

"Aku nggak apa-apa kok Bunda jadi yang kedua, inshaallah ikhlas. Dan yang jelas aku pasti bisa memberikan cucu yang cantik dan ganteng untuk Bunda dan Mamah" Ucap Diandra dengan penuh percaya diri. 'Ingat Diandra kamu bukan Tuhan, jangan terlalu sombong dengan ucapanmu' hati Tantri meremas seluruh kata katanya berhenti di kerongkongan.

"Ah iya Sayang, kemarin Bunda memang benar-benar kecewa. Harusnya memang Bunda akan segera dapat cucu hanya saja___" kata Tantri menggantung.

"Berarti memang dia nggak benar-benar mencintai Ghulam bunda. Buktinya dia nggak bisa jaga kandungannya kan. Keguguran." Jawab Diandra.

Hei, Tantri belum membicarakan perihal Omaira yang mengalami musibah dengan meninggalnya calon buah hatinya bersama Ghulam di dalam kandungan yang masih berumur 19 minggu. Bagaimana mungkin Diandra bisa mengetahuinya?

"Kamu tahu tentang itu Sayang?" tanya Tantri.

"Ya iyalah Bunda. Kan Diandra yang me___" belum selesai Diandra menjawab pertanyaan Tantri Silvi segera memotongnya "Diandra, coba ambilin kue yang kita buat kemarin deh. Sepertinya cocok untuk teman ngobrol kita kali ini."

"Eh nggak perlu Say, sepertinya aku juga sudah lama disini sebaiknya aku pulang dulu. Nanti kabar kabari kalau kita meet up lagi." Putus Tantri. Ya dia memang harus bersabar untuk mengorek semuanya menjadi terbuka. Supaya sandiwaranya terlihat lebih natural.

Selepas kepergian Tantri, Silvi memberikan wejangan kepada Diandra. Memang dia sudah mulai membuka diri tetapi Silvi belum sepenuhnya percaya dengan yang namanya Tantri. "Kita lihat dulu seperti apa dia dengan kita, jangan semua diomongin dong Sayang. Ingat, papamu butuh dana sokongan untuk proyeknya."

"Iya Ma, Diandra mengerti kok sepenuhnya. Tante Tantri itu berubah pasti tidak akan lama, dari awal Di yakin jika beliau masih berada di pihak kita." kata Diandra mencoba untuk mengutarakan pendapatnya.

"Kita lihat saja nanti, dalam satu bulan ini perkembangannya seperti apa."

🍒🍒

Lengkungan senyum kini mulai menghiasi wajah ayu namun sayu milik Omaira. Wanita 21 tahun itu kini mulai sibuk dengan urusan kuliah dan kajian islamiahnya di beberapa pusat centre di Madinah.

Guratan lelah tergambar jelas di wajah putihnya. Hingga detik ini, sang suami selalu mendukung dengan apa yang dilakukan oleh istri tercintanya.

'Selama itu untuk kebaikan hatimu aku akan selalu memberikan semangat. Lelahmu saat ini akan berbuah manis untuk masa depan kita, tugasku yang akan menghapuskan kepenatan itu dan menggantinya dengan kehangatan untuk setiap langkahmu, bidadariku.'

Ada banyak hal yang sengaja Ghulam kerjakan untuk membuat Omaira melupakan kesedihan bahwa dia kehilangan sesuatu yang bahkan belum mereka miliki seutuhnya.

Ghulam selalu disampingnya. Ghulam selalu memberikan pundaknya untuk Omai bersandar. Ghulam selalu memperhatikan kebutuhan fisik Omaira, meskipun dengan sekuat tenaga Omai mengaktifkannya hanya sekedar untuk belajar bersyukur bahwa nikmat Allah yang lain untuknya lebih besar daripada tangisan yang selama ini dia lakukan.

"Suka?" mata Ghulam menatap Omai saat mereka berada di dalam kamar.

Semalaman memang Omai bercinta dengan laptop dan lembaran-lembaran HVS, menorehkan beberapa tulisan untuk melengkapkan tugas kuliah yang dibebankan kepadanya. Namun sungguh matanya tidak bisa diajak berkompromi.

Masih jelas dalam ingatannya semalam Omai mengerjakan beberapa rangkaian nama penyakit dan obat-obatan yang harus diberikan kepada penderitanya. Ada ribuan jenis obat yang harus dia salin kedalam worksheet di laptopnya. Baru juga dapat seperempatnya, namun seolah seperti orang yang pingsan. Dia tidak ingat apa-apa, dan pagi ini saat matanya terbuka. Sebuah tangan kekar melingkar di pinggangnya, siapa lagi kalau bukan Ghulam suami tercintanya.

"Mas yang memindahkanku ke tempat tidur?" tanya Omai dengan mengerjapkan mata menyesuaikan cahaya masuk ke matanya dengan baik hingga akhirnya dua mata belok itu terbuka sempurna.

"Katanya mau mengerjakan tugas, nggak mau dibantu. Eh kok malah ketiduran." Jawab Ghulam yang masih berada di sampingnya.

"Subhanallah Mas, tugasku. Belum aku salin di worksheet semua, masih dapat seperempat padahal hari ini harus dikumpul di matkul jam pertama. Bagaimana ini?" Omai yang telah mengingat semua tugasnya mulai gundah. Masalahnya memang dia harus mengetik cepat dengan nama nama obat-obatan yang sebenarnya sudah tidak asing lagi di telinga hanya saja seribuan jenis obat itu membutuhkan paling tidak beberapa jam untuk menyelesaikan dengan sempurna.

Omai segera bangun dari tidurnya, meraih laptop dan menghidupkan kembali yang kini masih dalam mode stand by. Sementara Ghulam kembali memejamkan matanya. Baru satu jam matanya bisa terpejam dengan sempurna.

Dan begitulah Omai saat tahu worksheetnya kini telah terisi penuh. Matanya yang sudah belok semakin membelok menyaksikan semua tugasnya telah paripurna. "Mas Ghulam yang nyelesaiin semuanya?"

Tidak hanya ucapan terima kasih yang keluar dari bibir tipisnya. Kini Omai telah memeluk lelaki halalnya. "Mas tahu apa yang membuatku semakin tidak bisa berjauhan denganmu?"

"Hmmmm, apa itu?"

"Bahkan kamu lebih mengenal diriku lebih baik dibandingkan aku sendiri." Jawaban Omai membuat Ghulam mau tidak mau membuka matanya kembali. Memang paling pintar wanitanya ini membuat hatinya bergetar.

"Tapi kali ini masmu tidak menerima ucapan terima kasih saja."

"So?"

"Compliment some gift for completely."

"Like?"

"Buka puasa ya, ya, ya?" pinta Ghulam.

Omai langsung tersenyum melihat muka polos suaminya. Ya, setelah peristiwa memilukan itu memang Ghulam berpuasa hingga kini hampir 3 minggu dia tidak mendapatkan haknya.

"Do it."

Yakinlah, selain umrah ibadah yang satu ini selalu ditunggu dan dinikmati oleh keduanya. Mungkin tidak hanya Ghulam dan Omaira saja. Setiap insan pasti akan berpendapat yang sama dengan mereka.

"Oh God, finally after three weeks I take a fast for it. Syukraan ya habibati." Kata Ghulam seusai melengkapkan buka puasanya.

"Ayo mandi dan segera ke masjid. Kita rayu Allah kembali dalam sujud sepertiga malam ini. Semoga Dia segera menghadirkan adiknya Alifia segera disini." Ajak Omai.

Saat semua sudah bersiap untuk berangkat ke masjid tiba-tiba gawai Omai berkedip dan bergetar. Ada nama 'Umma Rayya' terpampang jelas di dalam layarnya.

"Assalamu'alaikum." Ghulam menjawab panggilan telepon itu tak berselang lama ucapan istighfar dan istirjak kembali menghiasi bibirnya.

"Mas____?"

"Astaghfirullah, butik umma terbakar sayang. Untung segera dapat dipadamkan tapi separo dari pakaian yang ada di dalamnya tidak bisa diselamatkan." Jawab Ghulam setelah dia meletakkan gawai itu di atas meja.

"Innalillahi. Mengapa musibah ini datang silih berganti?"

"Allah sedang menguji sabar dan ikhlas kita. Ayo sekarang berangkat ke masjid."

Kecewa pastinya. Manusiawi dengan segala rasa yang dimiliki. Namun semua iradhah itu wajib kita syukuri dengan seluruh kesabaran dan keikhlasan. Karena sesungguhnya ujian itu bukan hanya saat kita sakit dan berada di bawah, tetapi juga saat kita sehat dan bergelimang harta. Akan ada saatnya kita dimintai pertanggungjawaban atas semua yang pernah kita lakukan. Bahkan meski hanya sebesar dzarrah pun.

🍒🍒
-- to be continued --

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama

Jazakhumullah khair

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top