#22 | Tunggu kami, Nak
بسم الله الرحمن الرحيم
¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --
Memaafkan adalah kemenangan yang terbesar - Ali bin Abi Thalib
✍✍
¤Ghulam Rafif Mufazzal¤
Bagaimana caranya menyampaikan, saat harapan membuncah di antara doa yang selalu dilangitkan. Apakah harus dengan memupus harapannya? Allah sungguh aku belum mampu.
Melihat binar matanya saat bercerita bagaimana indahnya berbagi nafas, bagaimana sempurnanya berbagi makan, bagaimana bahagianya menunggu kakinya menendang.
Empat hari yang lalu, wanita yang kini nampak bingung di depanku ini pingsan tak sadarkan diri. Masih dipelataran Masjidil Haram, aku melihat begitu banyak darah yang keluar dari tubuhnya. Allah, cobaan apa lagi yang harus kami terima dengan ikhlas?
Mengapa harus wanitaku yang merasakan sakitnya. Bisakah Engkau pindahkan rasa sakit itu padaku sekejap saja hingga aku bisa melihatnya tersenyum kembali.
Allah, tak adakah lagi waktu untuk kami sekedar untuk mengenalnya.
Kadang kami terlupa, jika itu adalah titipanMu, titipan yang kapan saja bisa Engkau ambil sewaktu-waktu.
"Aku kenapa Mas?" tanyanya padaku saat aku memandang lembut mukanya.
Suamimu ini seorang peramu obat, ahli peracik obat bagaimana bisa kecolongan dengan vitamin yang aku berikan kepadamu. Allah, masihkah aku disebut sebagai suami yang baik untuknya?
Aku membawakannya vitamin, demi Allah aku berani bersumpah. Tapi mengapa di botol vitamin istriku ada kapsul yang mengandung misoprostol, mengapa obat laknat itu ada bersama dengannya, cytotec. Allah, bahkan apotik yang aku miliki tidak pernah menjual obat itu. Bagaimana mungkin? Darimana obat obat terkutuk itu?
"Sayang, kalau boleh aku tahu. Selain dari Mas, kamu dapat vitamin ini dari mana?" tanyaku dengan nada yang kubuat begitu lembut, padahal hatiku sedang bergemuruh begitu hebat.
"Vitamin itu dari Mas Ghulam saja, biasanya ditambah habatussauda. Tiap hari adek minum kok sesuai dengan pesan yang Mas sering sampaikan." Jawabnya dengan sedikit lemah karena belum setengah jam siuman.
Mataku akhirnya basah. Amarahku meluap, tidak mungkin aku mencelakakan wanitaku sendiri. Allah, jika pelakunya ternyata aku sendiri bagaimana caraku mempertanggungjawabkan kepada Allah nantinya.
Bentuk asli cytotec itu adalah pil, lantas bagaimana ini bisa masuk kedalam kapsul. Adakah orang yang memang sengaja untuk membuat wanitaku merasakan ini.
Sorot tajam mataku mengarah kepada Bunda. Hanya aku dan dia disini yang mengerti tentang obat-obatan. Mengingat dahulu perlakuannya kepada wanitaku, membuatku mengarahkan dakwaan kesana.
"Ghulam, mata kamu? Demi Allah, Bunda tidak pernah sekalipun terlintas pikiran seperti itu." Bunda yang tanggap dengan tatapanku langsung bersuara dan menolak dengan tegas tuduhan itu, tentu dengan air mata yang semakin bertambah deras.
"Ada apa ini Mas, ceritakan kepadaku?" tanya Omaira yang masih bingung.
"Dek, vitamin yang kamu konsumsi ini mengandung misoprostol____" kataku yang langsung dipotong oleh Omai.
"Apa Mas, misoprostol? Itu artinya___? Anakku___" sontak Omai langsung meraba perutnya yang kini telah datar. Tiga hari yang lalu, dengan sangat menyesal tim dokter mengatakan bahwa janin yang ada dikandungan Omaira harus dikeluarkan karena tidak terdengar lagi detak jatungnya. Dan Omaira harus dicurettage untuk membersihkannya. "Anak kita Mas___" air mata langsung mengalir deras dari kedua pelupuk matanya.
Dekapanku belum bisa menenangkan psikologis wanitaku. Kehilangan sesuatu yang bahkan kami belum bisa melihatnya ada di dunia ini.
"Allah menyayangi dia melebihi sayangnya kita kepadanya. Tidak ada yang lebih indah selain menerimanya dengan kesabaran dan keikhlasan." Kataku dengan rasa yang entah apakah aku bisa melakukan seperti yang aku katakan padanya.
"Siapa yang melakukan ini?" getaran bahunya masih terasa bahwa dia sedang menangis. Merapuh, sekejap lalu wanitaku menjadi layu dalam kerapuhannya. Jerit dihatiku tak kalah meraung dari isakan tangisnya.
Sepuluh menit berlalu berada di dekapanku membuat tubuhnya semakin melemah hingga terdengar lirih ditelingaku yang membuat kami benar benar terkejut. "Jadi, apakah benar perasaanku waktu sholat bersama bunda dan umma pertama kali di Masjidil Nabawi. Rasanya vitamin itu bertambah banyak di dalam botol setelah aku mengambilkan air zam-zam untuk aku, Umma dan Bunda."
Bunda dan umma saling berpandangan, mencoba mengingat peristiwa beberapa hari yang lalu. seingatnya tidak mencurigai sesuatu hal yang ganjil.
"Saat itu, sepertinya kami bertemu dan berbincang sebentar dengan Silvi dan Diandra. Atau mereka seng___" kata Bunda yang langsung dipotong umma.
"Astaghfirullahaladziim, tidak baik suudzon Mbak."
Namun tetap saja bunda segera mengajak ayah keluar, mungkin untuk berbicara sesuatu yang membuat kepalaku semakin pening.
"Maafkan aku, Sayang. Aku tidak bisa menjaga kalian dengan baik___" perih hatiku bak teriris sembilu.
🍒🍒
-- PoV Author --
Istirahat total untuk memulihkan kondisi. Omaira sudah diperbolehkan untuk pulang dari rumah sakit. Dia beserta keluarganya kini berada di mahtab Hasan, pamannya.
Sedih, marah, kecewa, tentu sangat terlihat sekali di raut muka putihnya. Tapi menuduh tanpa bukti itu sama saja dengan memfitnah, dan fitnah itu sejatinya lebih kejam daripada pembunuhan.
"Mas, apa adek baik-baik saja bersamaNya kini?" tanya Omaira ketika dia menatap cetakan ultrasonografi terakhir yang diambil kurang lebih 10 hari yang lalu.
"Allah pasti menjaganya."
Omai benar-benar terpuruk dan kehilangan. Setiap hari hanya mendekam di dalam kamar. Makanan yang diantarkan oleh Ghulam tidak pernah disentuhnya sedikitpun. Matanya selalu memerah, kesedihan itu adalah fitrah manusia. Namun jika lama kelamaan seperti ini Ghulam takut, Omai justru akan sakit.
Omai selalu merasa bahwa dialah penyebab janinnya meninggal. Dia begitu ceroboh dengan memakan obat yang justru menggugurkan kandungannya.
Tidak ingin memperdulikan lagi siapapun yang ada di sekelilingnya. Introvert !!!
Hingga pada suatu malam dia terbangun dan tidak mendapati Ghulam ada disisinya. Rasa haus yang melanda membuatnya mau tidak mau keluar dari kamar untuk mengambil minum di ruang makan.
Sesaat beberapa langkah lagi dia sampai di dispenser air, telinganya mencuri dengar seseorang yang terisak dalam tangis di tengah malam. "Baba sudah gagal membuat ummamu tidak menangis lagi Dek. Padahal kemarin ketika baba memakamkanmu, baba telah berjanji untuk membuat ummamu bahagia." Jelas terdengar suara Ghulam di telinga Omai, menghentakkan kesadarannya bahwa bukan hanya dia saja yang kehilangan calon anak mereka. Bahkan Ghulam lebih dari itu, dia sudah kehilangan tapi harus berpura-pura kuat di depan Omai hanya untuk membuat Omai tidak bersedih lagi.
Omai tersadar hingga akhirnya dia kembali ke dalam kamarnya. Memberikan ruang dan waktu kepada suaminya sendiri. Hingga tangan kanannya kini memegang balpoin dan menuliskan sesuatu di atas kertas.
'Maafkan mas, tanpa meminta persetujuanmu mas memberinya nama Alifia Firdausy Mufazzal, karena dia seorang perempuan yang inshaallah secantik kamu di surga nanti'
Alifia sayang,
Kami menuliskan surat ini atas nama rindu yang besarnya hanya Allah yang tahu. Atas nama cinta dan kasih sayang yang juga hanya Allah yang mengetahui seberapa besarnya. Allah menghadirkanmu di rahim umma sebagai bentuk pertalian kasih dengan bumbu cinta antara umma dan baba.
Menunggumu hadir di dunia adalah suatu pengharapan terbesar kami. Riuh rendah serta bahagia kami rasakan saat kami tahu kamu telah ada di rahim umma. Bahkan buncah bahagia itu masih terasa hingga saat ini. Kebahagiaan yang indah karena didasari oleh sebuah cinta yang telah terasakan bahkan ketika yang dicintai belum sekalipun bertemu.
Saat pertama merasakan engkau hadir, baba baru saja meninggalkan umma untuk kembali ketanah air kita. Meskipun jauh, baba selalu melimpahimu dengan ungkapan syukur tiada terhingga. Hampir setiap malam, engkau selalu dibacakan khalam-khalam Allah olehnya. Karena baba belum bisa menyentuhmu saat itu, tangan ummalah yang selalu membelaimu dengan kasih sayang tulus. Mungkin itu bisa menyalurkan kasih baba untukmu, Nak. Seperti aliran listrik jutaan volt, agar kamu juga mengenalnya meski kita terpisah ribuan mile.
Anakku...,
ternyata kami terpilih olehNya untuk mengemban amanah dengan memilikimu, untuk membimbingmu kelak menjadi kekasih Allah. Haru dan bahagia tentu rasanya.
Namun lagi-lagi rasa sedih harus kembali menyapa, ungkapan pilu manakala umma harus mengalami peristiwa morning sickness seorang diri tanpa baba, karenamulah umma bertahan. Dan dalam waktu panjang di malam-malam yang sepi, dengan linangan air mata, kami mengadu dan berserah diri di hadapan Allahu Rabb.
Tidak pernah ingin mengeluhkan keberadaanmu meskipun umma mengalami morning sickness terhebat dengan tidak bisa menelan makanan hampir selama 3 bulan lamanya. Kau tahu bahkan umma seringkali diinfus untuk mendapatkan nutrisi guna pertumbuhan dan perkembanganmu. Apa pun itu untukmu umma ikhlas sepenuh hati. Dan itu sesekali berhenti seolah kau tahu saat dimana ummamu ini harus menghadapi beberapa ujian di kampus. Kau tidak rewel lagi, semua makanan seolah bisa dilahap masuk ke dalam perut.
Syukurlah, penyerahan diri kami kepadaNya mencerahkan kami, dan kami yakin Allah punya rencana yang indah dengan menjauhkan baba dan umma sesaat. Agar rasa saling memiliki itu begitu erat terasa, agar rasa kangen, rasa sayang, rasa cinta itu bisa terungkap dengan gamblangnya. Hingga akhirnya dua minggu yang lalu baba mendatangi kita kembali.
Tak pernah sedetik pun baba tidak mengingatmu anakku, ketahuilah. Dia juga mencintaimu sama seperti rasa cinta umma kepadamu.
Kami selalu berdoa semoga engkau bisa tumbuh dan berkembang dengan baik di rahim umma sampai nanti saatnya tiba kau siap untuk melihat dunia.
Anakku,
Ternyata Allah meridhoi doa kami. Kau selalu riang berada di dalam sana sehingga saat tangan Baba yang mengusap perut umma, kau selalu berusaha untuk menampakkan keberadaanmu diantara kami...kami sangat bersyukur kepadaNya.
Buah hatiku,
Ternyata kesempatan bersamamu, hanya diberikan Allah selama 19 minggu engkau berada di rahim umma. Selama 19 minggu itu kita berbagi nafas, berbagi makanan, dan berbagi cerita, hingga saatnya engkau dipanggil olehNya. Malaikat Izrail telah menjemputmu saat umma terkulai lemas tak berdaya.
Tak dapat kami gambarkan kesedihan kami kehilanganmu secara tiba-tiba. Baru beberapa menit ketika umma sedang melakukan thawaf engkau bergerak dengan lincahnya namun setelah tahalul ditunaikan kau telah pergi bersama dengan umma yang merasakan gelapnya dunia. Apakah gerakan lincahmu ketika thawaf itu menandakan bahwa kau sedang tersakiti, anakku. Maafkan umma dan baba yang tidak bisa menjagamu dengan baik, anakku.
Akhirnya timbul kesadaran bahwa engkau bukanlah milik kami, melainkan milik Allah yang hanya dititipkan sementara kepada baba dan umma. Tak ada hak kami untuk selalu bersamamu jika sang pemilikmu telah memintamu untuk kembali
Kami ikhlas, Inshaallah kami tabah dengan kepergianmu.
Sambungan jiwaku,
Sejauh kehadiranmu adalah masa-masa terindah dan paling kami banggakan di depan siapapun. Darimu kami belajar bagaimana untuk ikhlas, darimu kami belajar bagaimana mencintai dengan suci, darimu kami juga belajar agar kami menjadi lebih baik lagi di mata Allah.
Bersamamu, kami menjadi lebih sabar, lebih kuat, lebih berserah diri kepadaNya, dan lebih sering bersyukur.
Allah memang punya rencana yang indah ketika menitipkanmu kepada kami.
Terima kasih Sayang,
Akhirnya Nak,
Setelah 19 minggu engkau berada di dalam rahim Umma, Allah menjemputmu dan menempatkanmu di surgaNya, inshaallah.
Ketika pada saatnya nanti kami para manusia dikumpulkan di padang masyar berhadapan dengan Allah langsung, dan kami dapati jarak yang amat jauh dariNya, kami akan ikhlas karena seperti itulah amal ibadah kami di dunia.
Namun, bolehkah kami berharap, jika kami sangat ingin saat itu dapat bertemu denganmu dan bersamamu di surga, dekat dengan Allah, Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sama seperti nama yang disematkan baba untukmu anakku, Alifia Firdausy Mufazzal, keturunan pertama Mufazzal berada di Surga Firdausnya Allah.
Dengan penuh cinta dan sayang,
Baba Ghulam dan umma Omaira yang selalu mencintai dan merindukanmu.
Ghulam yang sudah sedari tadi memperhatikan istri sedang menulis dengan bersimbah air mata pun akhirnya mendekati dan ingin tahu lebih jauh apa yang sebenarnya Omai tulis.
Ghulam hanya membisu dan terpekur keseorangan, membaca bait demi bait ungkapan hati Omai untuk buah hati mereka tercinta.
Bahasanya lugas, namun sangat menyentuh hati Ghulam. Ya, baru disadari bahwa Omai lebih suka menyampaikan apa yang ada dalam hatinya melalui tulisan. Sama seperti dulu dia menulis puisi kegundahan hati dengan cinta dalam diamnya, yang akhirnya tersampai oleh semesta ke tangan Ghulam.
"Aamiin," ucap Ghulam lirih di belakang telinga Omaira.
"Mas Ghulam? Sejak kapan Mas berdiri di sini?"
"Sejak kekasih halalku ini sibuk menulis surat cintanya untuk Alifia." Jawab Ghulam.
"Maafkan aku Mas yang merasa kehilangan dia seorang diri, padahal Mas Ghulam juga sama kehilangannya seperti aku. Mungkin justru lebih, karena Mas Ghulam juga harus menenangkanku padahal kita sama sama kehilangan dia." Kata Omai sambil memegang jemari Ghulam.
Ghulam menarik Omai untuk berpindah di ranjang petiduran mereka. Duduk saling bersebelahan, tak lupa tangan kiri Ghulam berada di pinggang istrinya. "Allah pasti punya rencana terbaik untuk putri kita. Doakanlah dia selalu supaya kelak bisa mencari dan menjemput kita menuju surgaNya. Kita buktikan kepada orang yang berniat buruk pada kita, bahwa sejatinya memaafkan adalah kemenangan yang paling besar. Tidak mudah memang, namun kita berusaha bersama sama. Allah telah memilih anak kita, tentu karena Allah begitu mencintai kita."
"Iya Mas, kita sama-sama bangkit ya."
"Dan Mas Ghulam tidak akan kembali ke Indonesia lagi, jika itu tidak denganmu Sayang. Mas akan menemanimu di sini. Rezeki Allah sudah mengaturnya, kita ikhtiarkan bersama di sini." Kata Ghulam menatap teduh manik mata Omai.
Adalah Anas bin Malik Radhiallaahuanhu meriwayatkan ketika putra Rasulullah Ibrahim akan meninggal, dia datang menemui Rasulullah sedangkan Ibrahim nafasnya sudah terengah-engah, maka kedua mata Rosulullahpun berlinang air mata.
Riwayat lain juga disebutkan Rosulullah mengambil Ibrahim dan meletakkannya di atas pangkuan sambil berkata, "Wahai anakku! Aku tidak memiliki hak kuasa apapun yang dapat kuberikan kepadamu di sisi Allah". Melihat Nabi menangis Abdurrahman bin Auf dan Anas Radhialallhuanhu lalu bertanya: "Wahai Rosulullah mengapa Anda menangis? Bukankah Anda telah melarang menangis?" Beliaupun menjawab, "Wahai Ibnu Auf, sesungguhnya tangisan itu adalah rahmat, dan barangsiapa tidak memiliki kasih sayang maka ia tidak mendapatkan kasih sayang", kemudian beliau melanjutkan sabdanya, "Sesungguhnya mata bisa berlinang, hati juga bisa berduka namun kita hanya bisa mengucapkan yang diridhai Rabb kita. Wahai Ibrahim, sungguh kami sangat bermuram durja karena berpisah denganmu".*
🍒🍒
-- to be continued --
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair
Note *
HR. Al-Bukhari dan Muslim
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top