#21 | Berhijrah
Jangan lupa yah, monggo di follow akunnya author
Ig : @marentin.niagara
Fb : Marentin N. Niagara
🍒🍒
بسم الله الرحمن الرحيم
¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --
Barangsiapa yang mengetahui hakikat dirinya maka ia telah mengenal siapa Tuhannya - Ali bin Abi Thalib
✍✍
Siapa yang tidak bahagia, berdekatan dengan pasangan jiwa. Seluruh keluarga berkumpul dan mendoakan kebahagiaan, keberkahan dan tentunya kelancaran dalam segala aspek kehidupan untuk akhiratnya. Andafi baru saja melangkahkan kakinya menuju pelataran Masjidil Nabawi yang dijadikan sebagai tempat berjanji untuk bertemu dengan anak sekaligus menantunya.
Mereka hendak melaksanakan sholat dhuhur, sengaja Andafi, Tantri dan Rayya berangkat lebih awal untuk bersama sama putra putri mereka melaksanakan rangkaian munajahnya kepada Allahu Rabb.
"Rasanya seperti mengulang semua memori yang begitu aku rindukan bersama mas Farzan Mbak." Ucap Rayya kepada kakaknya. Tantri memang kali pertama menginjakkan kaki di Madinah bumi Rosulullah, namun bagi Rayya Madinah adalah kota kedua baginya dimana begitu banyak kenangan manis dan juga deraian air mata yang harus ia peras untuk mencapai tujuan akhirnya. Surga.
"Sabar Dik, Allah pasti memberikan tempat yang terbaik untuk dik Farzan. Doakanlah dia, di sini kalian dulu memang dipertemukan dan disatukan oleh Allah. Pasti sangat berat berada di sini, tapi kamu tidak sendiri. Ada aku dan masmu, juga anak-anak kita." Jawab Tantri menenangkan Rayya yang kini telah bersimbah air mata.
Belum cukup rasanya berapapun banyaknya istighfar dan sholawat kepada Nabi Muhammad untuk menenangkan hatinya. Kilasan-kilasan roll film kehidupannya dimulai dari kota ini. Kisah cinta dan pengharapan surganya dimulai dari sini.
"Umma__"
"Omai, hati-hati Dik. Kamu sedang hamil jangan berjalan begitu cepat." Kata Tantri dengan tatapan khawatir dengan sikap Omai yang begitu ekspresif.
"Iya benar apa kata bundamu," tambah Rayya.
"Iya Bunda, Umma, Omai saking senengnya ada kalian di sini jadi semangat. Maaf ya, sudah menunggu lama? Ini tadi mas Ghulam mengajak Omai untuk jalan-jalan, sedikit kangen Madinah katanya." Jawab Omai.
"Ghulam, jangan dikerjain ya menantu Bunda. Awas saja kalau sampai kecapekan dan kenapa-kenapa babynya. Kamu bakalan Bunda gantung di pohon ceplukan." Kata Tantri dengan seringai lucunya.
"Bunda, dijaga itu bicaranya ini kota suci apa yang Bunda ucapkan bisa jadi langsung tersampai pada Allah. Astaghfirullah, masa Ghulam sekejam itu dengan istri. Ya enggaklah, semalam kan sudah disayang-sayang ya Dik. Jadi nggak apa-apakan olahraga pagi biar sehat."
"Ishh, mas Ghulam__"
"Sudah, sudah kalian ini. Itu Ayahmu mau ke rawdhah Mas Ghulam, bisa mengantarkan?" kata Rayya menengahi semuanya.
Dafi hanya mendengarkan perdebatan mereka dengan seksama. Merasa pernah merasakan apa yang kini dialami oleh Omai mungkin itu alasan yang tepat mengapa Tantri bersikap seperti itu.
Dan disinilah mereka, berpisah untuk masuk ke Masjidil Nabawi. Hamparan dispenser air zam-zam dan karpet berwarna merah menyambut kedatangan para jamaah yang akan bermunajah kepada Allahu Rabbnya.
"Mashaallah, rasanya seperti mimpi." Tantri masih mengagumi bangunan kokoh yang bisa menyerap jutaan jamaah untuk melaksanakan aktifitas kerohaniannya.
Rayya dan Omai tersenyum lebar mendengar ucapan Tantri tersebut. Bagi Rayya dan Omai, Masjidil Nabawi adalah rumah kedua sehingga tidak heran jika Tantri pun merasakan takjub dan damai berada di dalamnya.
"Ini baru Masjidil Nabawi, bagaimana dengan Masjidil Haram?" tanya Tantri kemudian kepada Rayya dan Omai.
"Bunda, nanti bunda akan melihat bagaimana megahnya rumah milik Allah itu." Jawab Omai sambil memegang tangan kanan Tantri dengan penuh semangat.
"Nggak sabar bunda ke sana, Sayang."
"Besok hari jumat kita semua akan umrah ke sana. Jadi bunda tinggal menyiapkan mental dan fisik saja." Jawab Omai.
Oh, tidak dilupakan bahwa Tantri dan Rayya melaksanakan umrah plus. Dimana mereka akan stay di Makkah Madinah selama kurang lebih satu bulan. Dan karena sekali lagi mereka memiliki saudara yang bermukim di Madinah maka akan lebih memudahkan akses menuju Makkah. Tidak harus bersama rombongan mereka.
"Dik, kamu masih kuat untuk berumrah? Kalau nggak kuat nggak usah ikut." Kata Rayya.
"Inshaallah Umma, dia tidak merepotkan kok. Apalagi ada babanya di sini." Jawab Omai dengan cengiran khasnya.
"Duh yang lagi bahagia didampingi pak suami, cie cie cie___tapi benar Sayang, kata ummamu, jangan dipaksain kalau sudah tidak kuat. Eh iya kemarin bunda lihat Ghulam membawakan beberapa vitamin buat kamu. Sudah diminum belum?"
"Sudah dibawa kok Bunda, tapi belum diminum. Kita cari tempat dulu baru setelahnya Omai ambilkan zam-zam untuk semua terus diminum deh vitaminnya." Jelas Omai panjang kali lebar.
Bertiga pun akhirnya memilih tempat yang masih lengang dan segera melaksanakan sholat sunnah tahiyatul masjid dan sunnah yang lainnya. Omai mengambil botol kosong untuk mengambil zam-zam dari dalam tasnya dan tak lupa botol tempatnya menyimpan kapsul vitamin dia keluarkan juga dari dalam tasnya. Berjalan menuju dispenser zam-zam dan mengisi penuh 3 botol kosong itu dengar air suci yang hanya dia dapatkan secara gratis jika berada di negeri rasulullah ini.
Tidak seberapa lama Omai kembali ke tempat duduknya untuk memulai berdzikir atau melantunkan khalam Allah melalui mukzizat terbesar pada nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umatnya, AlQur'an. Namun baru saja dia hendak berbalik, kedua manik matanya menatap Umma dan bundanya sedang berbincang dengan 2 orang wanita yang tidak asing olehnya, Diandra dan Silvi.
Omai berjalan dengan senyum di wajahnya, terlihat jelas karena dia sudah membuka niqabnya sedari melaksanakan sholat sunnah tadi.
"Mbak Diandra, assalamu'alaikum." Sapa Omai setelah dia berada ditengah tengah mereka dan menyerahkan 2 botol zam-zam untuk umma dan bundanya.
"Eh, Omai. Waalaikumsalam, selamat ya atas pernikahan kalian. Aku dengar sekarang kamu lagi hamil? Ini vitamin kamu? Ayo cepetan diminum biar babynya sehat di dalam." Kata Diandra dengan senyum mengembang yang tidak kalah manisnya dengan milik Omaira.
"Alhamdulillah Mbak, iya syukraan." Omai mengambil botol vitaminnya dan segera mengambil satu buah kapsul, hanya perasaan Omai atau memang benar nyatanya. Kapsul yang tadi dia siapkan di dalam botol tidak sebanyak ini, mungkin saja umma atau bundanya yang menambahkan karena rasa cinta dan perhatian kepada Omai.
Disegerakanlah olehnya menelan satu butir kapsul vitamin dengan zam-zam yang berada di botolnya. Tidak berselang lama kemudian Diandra dan Silvi segera pamit kepada Tantri untuk bergabung dengan kelompoknya.
"Alhamdulillah akhirnya Silvi dan Diandra telah memaafkanku, dan bersedia menghapuskan perjanjian kita dulu." Kata Tantri dibalas anggukan dan ucapan syukur dari bibir Rayya.
Melihat kedua ibunya rukun dan berbahagia membuat Omai semakin yakin dengan masa depannya. Ghulam adalah anugerah Allah yang maha besar, menjadi imam sekaligus pelindungnya. Pendamping dunia dan akhiratnya kelak, inshaallah.
Begitu banyak aktivitas yang dilakukan semua orang yang berada di Masjidil Nabawi, apa pun yang dilakukannya tidak lain dan bukan adalah untuk selalu menyerukan keagungan sang arsy memilik dunia dan seisinya. Menangisi kesalahan dimasa lalu dan meminta ampunan kepadaNya. Biarlah kini Tantri menjadi orang paling naif di dunia dengan hanya melihat kesalahan di masa lalunya. Menangisi semua apa yang telah dia lakukan di masa lalu dan meminta pengampunan Allah atas semuanya. Bertaubat dan menyerahkan diri sepenuhnya.
"Dik, setelah ini ajari mbakmu untuk berhijrah sepertimu ya." Kata Tantri yang kepada Rayya yang dipandang takjub oleh Omai.
Omaira mengenal dengan pasti siapa wanita yang kini telah menjadi mertuanya, karena Tantri adalah budhenya. Dia mengenal sedari kecil, budhenya adalah salah satu keluarganya yang masih susah untuk diajak mengkaji AlQur'an dan AsSunnah sebagaimana mestinya. Beberapa masih memakai dalil dari dulu dikenalkan Islam sudah seperti ini, tidak ingin memperjelas dengan mengkaji ilmunya melalui AlQur'an dan AlHadist sebagai pegangan. Hanya berupa katanya dari nenek moyang yang entah bagaimana bisa seperti itu jadinya. Parahnya lagi memang lingkungan sekitar juga masih melakukan kegiatan seperti itu.
Datang berziarah membawa bunga dan entah air apa yang ada di dalam botol, katanya bisa membantu memintakan ampunan kepada Allah atas jenazah yang ada di dalamnya. Mana ada Hadist yang diturunkan untuk mempertegas masalah itu, bahkan nabi merawat jenazah hanya sampai memakamkan sang mayit tidak ada acara acara setelahnya, bahkan tidak juga dengan menaburkan bunga satu pun.
Alih-alih berdoa meminta ridho dan kelancaran kepada Allah atas semua acara yang akan dilakukan ketika kita memiliki hajat, eh ini malah datang ke pekuburan orang yang dituakan untuk mencari wangsit atau apalah itu namanya yang katanya nyekar. Berpikir tentang itu Omai jadi mengingat sesuatu yang selalu Bundanya lakukan ketika menjelang bulan ramadhan tiba.
"Bunda ingin berhijrah kan, mengkaji AlQur'an dan AlHadist dengan benar?" tanya Omai halus kepada budhe yang juga bundanya kini.
"Iya Sayang."
"Nanti ketika pulang ke Indonesia tepat sebelum ramadhan loh. Apa bunda masih mau ikut ikutan orang untuk melakukan acara dan ritual yang tidak ada dalil hadisnya di Islam?"
"Apa itu?"
"Apa ya namanya." Sejenak Omai berpikir mengingat istilah yang sering dilakukan banyak warga yang ada di desa tempat tinggalnya di Indonesia. "Oh iya, Omai ingat. Nyadran dan Megengan? Itu biasa dilakukan sebelum puasa ramadhan kan Bunda?"
Kata kata lugas Omai benar benar menohok hati Tantri, selama ini dia memang masih melakukan ritual itu untuk menyambut datangnya bulan ramadhan meskipun Ghulam dan juga Dafi telah berkali-kali mengingatkan untuk tidak melakukannya.
"Itu peninggalan nenek moyang yang harus dilestarikan sayang. Apa Bunda salah?"
"Jika itu tidak ada di dalam syariat kita apa masih ada alasan lain Bunda untuk kita tidak melaksanakan itu?"
"Apa itu tidak dikatakan kearab-araban nantinya? Kita orang Jawa loh nduk ayu, jangan dilupakan itu. Ayah dan masmu sebenarnya juga sudah sering memberitahu ini tapi entahlah, Bunda masih merasa kurang jika tidak melakukan itu. Hanya untuk menghormati budaya dan nenek moyang kita." Jawab Tantri masih mempertahankan apa yang menurutnya benar.
"Kita memang orang Jawa Bunda, tidak ada yang meragukan itu. Namun esensi berhijrah itu adalah membuat kita menjadi lebih baik lagi. Sama seperti jaman Nabi dulu, berhijrah dari jaman jahiliyah ke jaman yang penuh rahmat dan syafaat. Jadi jika niat dalam hati kita sudah berhijrah, bukan hanya tentang penampilan yang harus kita rubah tetapi juga tindakan serta tutur kata kita." Jelas Omai.
"Jadi yang bunda lakukan itu salah menurutmu?"
"Omai tidak menyalahkan Bunda, hanya saja semua itu tidak ada dalam syariat yang kita pegang. Bukankah ALQur'an dan AlHadist sudah cukup untuk kita jadikan pegangan hidup menuju jannahNya."
Tantri masih terdiam dalam pikirannya. Mencerna beberapa kalimat yang dikatakan menantunya. Masih tidak ingin dia dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya dengan meninggalkan beberapa kebiasaan yang seringkali dikerjakan tanpa dasar yang jelas.
"Jika Omai tidak sayang Bunda, pastilah Omai akan mengatakan penggalan surrah AlKafiruun ayat 6."
"Lakum diinukum waliadiin." Jawab Tantri melafalkan ayat yang dimaksudkan Omaira.
"Ya, untukmu agamamu dan untukku agamaku. Bagaimana Bunda? Masih ingin penjelasan yang lebih? Umma pasti bisa menjelaskan tetapi tidak disini. Nanti di Indonesia biar dibacakan hadist-hadist pendukung tentang ketauhidan dan meluruskan niat karena Allah oleh Umma." Kata Omai dijawab anggukan oleh Tantri.
Omai memilih untuk memainkan jari jarinya dan merapalkan kalimat untuk bersholawat atas nabinya. Hingga adzan dhuhur berkumandang dan segera dia berdiri untuk menegakkan sholatnya sunnah rowatibnya.
🍒🍒
Beberapa hari didampingi oleh keluarga adalah sesuatu yang menyenangkan. Hingga kini jumat pertama keluarganya yang akan melaksanakan umroh ke Makkah, pun demikian halnya dengan Omai. Dia juga bersiap untuk melaksanakan ibadah sunnah yang memiliki pahala lipat ganda ini.
Meski Omai merasa bahwa tubuhnya sedang tidak enak, padahal sebelumnya dia merasa baik-baik saja. Menjelang subuh ini, dia baru merasakan bahwa tubuhnya seperti limbung, kepalanya sedikit pusing dan rasa mual kembali menyerang.
Beberapa butiran keringat dingin mengalir di keningnya. Hingga sang suami menyadari bahwa keadaanya tidak dalam keadaan yang baik-baik saja.
"Omai Sayang, jika tidak kuat jangan dipaksa. Kita stay di sini saja ya?"
"Aku nggak apa-apa Mas, biasa namanya juga hamil. Morning sickness, ada Mas Ghulam dan ayah juga kan jadi nggak perlu khawatir." Tolak Omai ketika Ghulam mengajaknya untuk tetap berada di Madinah.
Melihat sang istri sedikit lemas dan mual-mual membuat hati Ghulam teriris pelan. Apakah seperti ini keseharian istri tercintanya ketika dia tinggal pulang ke Indonesia dahulu? Hamil pertama untuk trimester pertama pasti sangat berat jika harus sendiri dan berada di negeri orang.
Tak terasa tetesan air mata mengalir di pipi Ghulam. Secepat kilat dia segera menghapus sebelum Omai melihatnya, namun telat "Mas Ghulam mengapa menangis?"
Tidak ada jawaban hanya rengkuhan Ghulam untuk menarik Omai ke dalam dekapannya. Satu kata yang terucap dari bibirnya, lirih. "Maaf," hingga kepala istrinya kini berada tepat di dadanya. Hembusan nafasnya terasa hangat, sepertinya memang Omai sedang dalam keadaan yang tidak baik tapi dia sempurna membungkusnya dengan mengatakan tidak apa-apa.
Perjalanan panjang dan harus melakukan ibadah fisik tentu saja sangat menyedot energi ditambah lagi dengan kondisi hamil. Omaira masih sanggup bertahan sampai dengan melakukan tahalul namun setelahnya dia sudah tidak ingat apa apa lagi. Semuanya menghitam dan gelap.
Hingga sampai akhirnya kedua matanya terbuka di sebuah ruangan yang berwarna serba putih dengan bau obat-obatan yang begitu menyengat.
Suami tercintanya berada disamping hospital bed, dengan mendung menggelayuti raut wajahnya. Ketiga orang tuanya juga tidak jauh berbeda bahkan sang umma dan bundanya kompak, mengeluarkan air mata hingga menganak sungai.
"Aku kenapa Mas?"
🍒🍒
-- to be continued --
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top