#20 | Berjumpa Kembali

بسم الله الرحمن الرحيم

¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --

Manusia yang kuat hatinya adalah yang mampu mendengar dan mampu membantu penderitaan orang lain, sementara dirinya sendiri mengalami kesusahan
- Ali bin Abi Thalib

✍✍

Gawai Omai tidak berhenti berkedip. Padahal ia baru saja bisa membaringkan tubuhnya karena pengaruh hormon kehamilan yang membuatnya susah untuk memejamkan mata. Apalagi ditambah dengan tugas kuliahnya serta beberapa hafalan yang harus dia rampungkan dalam waktu yang sama.

Untunglah morning sickness yang dia alami tidak seberapa menganggu aktifitasnya. Beberapa kali muntah dan lemas namun setelah meminum vitamin yang dikirim oleh Ghulam dari Indonesia rasanya akan segar kembali.

Dengan rasa enggan dan tetap ingin meneruskan tidurnya Omai mengabaikan panggilan itu. Namun seperti tidak ingin diabaikan, suara dering gawai dan getarannya membuat kelopak mata Omaira terbuka sempurna.

"Allahuakbar, siapa pagi-pagi seperti ini sudah menelpon." Lirih suara Omai bergumam dan segera meraih benda kotak pipih yang berada di nakas sisi tempat tidurnya.

Matanya kembali membulat saat tahu siapa yang menelponnya. Pasangan sesurganya, Ghulam Rafif Mufazzal. Tangannya kini bergerak lincah untuk menggeser icon hijau keatas menerima panggilan video call dari lelaki tercintanya.

"Assalamu'alaikum Sayang. Lah kok masih kucel begitu, baru bangun tidur? Biasanya jam segini sudah siap siap ke masjid?" tanya Ghulam saat muka bantal Omai tampil di layar gawainya.

"Waalaikumsalam, iya Mas baru juga tidur 3 jam. Sepertinya susah sekali untuk memejamkan mata dan lagi tugas kuliah lumayan banyak. Jadi ___" jawab Omai masih dengan muka ngantuknya.

"Mas kangen Sayang. Jangan dipaksain loh kalau nggak kuat istirahat dulu. Ghulam junior apa kabarnya?"

"Alhamdulillah, dia baik Mas, sehat. Kangen juga katanya sama baba yang ada di Indonesia. Kapan nengokin adek, Ba?" kata Omai sambil memperlihatkan perutnya yang sudah sedikit membuncit kepada Ghulam.

"Secepatnya ya Sayang, jagain umma di sana. Dik, insyaallah bulan depan mas akan berangkat dengan ayah, bunda dan kemungkinan umma juga akan ikut. Mereka akan melaksanakan ibadah umroh plus." Jawab Ghulam.

Rona bahagia tidak dapat disembunyikan dari muka Omai. Rasanya tidak sabar menunggu bulan berganti dan keluarganya akan berkunjung ke bumi Nabi.

Tidak berbeda dengan Omai, Ghulam lebih daripada itu. Jika tidak memperhitungkan ini dan itu dia ingin segera berangkat dan menumpahkan rasa rindunya kepada wanita yang kini tengah mengandung benih cintanya.

Usia kandungan Omai sudah memasuki bulan keempat itu tandanya lima bulan lagi seorang bayi mungil akan berada di tengah-tengah mereka. Menjadi amanah untuk diluruskan ibadah kepadaNya.

"Nanti aku telpon umma, Mas. Nggak sabar nunggu waktu itu tiba."

"Tidak ada masalah kan sayang sama kandungannya? Sudah USG lagi?" tanya Ghulam masih penasaran.

Selama 4 bulan kehamilannya ini. Omai baru satu kali melakukan USG, itu pun diantar oleh bibi dan pamannya.

"Nanti diantar Mas saja ya, nggak enak sama paman dan bibi kalau merepotkan terus, Mas. Lagian inshaallah dia aman di perutku. Ini sudah mulai gerak-gerak juga." Cerita Omai.

"Coba Dik, eluskan dia sambil bacakan surrah Al Ikhlas ya, sampaikan bahwa babanya merindukan dan mencintai dia selalu." Perintah Ghulam kepada Omai.

Sesuai dengan pesan Ghulam, Omai melakukannya dengan sangat lembut. Lantunan surrah Al Ikhlas sebanyak 4 ayat terdengar sangat merdu. Hingga Ghulam benar-benar memahami sekarang mengapa istrinya itu begitu menyukai surrah Allah yang sangat pendek itu.

Sederhana, itu jawaban dari mulut Omai. Sederhana tetapi isinya sangat spektakuler. Sederhana karena hampir semua umat Islam hafal dengan surrah itu. Ketauhidan Allah, isinya justru tidak ada yang menyentuh tentang keikhlasan.

"Boleh tanya Dik?" Ghulam memasang muka serius kepada Omai sehingga membuat Omai mengangguk secara otomatis. "Mengapa waktu akad nikah di Madinah dulu tidak ingin mahar yang berbeda dengan akad nikah waktu mas ucapkan dengan abi?"

Omai terkikik mendengar pertanyaan suaminya. "Mas, mau perkara adatlah, garis keturunanlah atau bahkan garis khatulistiwa pun. Jika kita sudah dijodohkan maka Allah akan mempermudahnya. Semakin tinggi ilmu kita, baik itu ilmu pengetahuan atau justru ilmu agama maka seharusnya seorang akhwat memudahkan mas kawinnya. Mengapa? Karena yang berilmu maka dia akan memudahkan sunnah."

"Mengapa harus Al Ikhlas, mengapa bukan surrat yang lain seperti Ar Rahman misalnya?" tanya Ghulam lagi.

"Mas, apa mas tidak ikhlas dengan mahar yang kuminta itu?"

"Hahahahaha, justru aku sangat ikhlas sekali Sayang. Tapi mengapa kamu hanya meminta itu, padahal kamu tahu jika aku inshaallah bisa memberikan lebih dari itu." Kata Ghulam sambil terkekeh lebar.

"Mudahkanlah maharmu, mahalkanlah cintamu. Jangan menyepelekan yang sedikit Mas, Al Ikhlas itu luar biasa." Kata Omai tidak mau jika suaminya berkata seperti itu.

"Iya, iya. Syukraan telah memudahkan semuanya. Aku tidak menyepelekannya Sayang. Hanya ingin mengetahui alasanmu saja." Jawab Ghulam gemas dengan muka Omai yang cemberut serius. "Ya sudah sekarang siap-siap, sholat malam dulu Sayang. Minta sama Allah, sehat, lancar, barokah dan rezeki Masmu ini melimpah ruah biar bisa segera menemuimu dan segera memberimu nafkah batin."

Omai langsung merona mendengar pernyataan Ghulam di kalimat terakhirnya. Ah, rasanya sudah seabad lamanya tidak melakukan ibadah bersama suami halalnya. Padahal baru juga 3 bulan mereka berpisah sementara karena jarak yang memisahkan keduanya.

"Jangan membuatku semakin tersiksa karena merinduimu, Mas." Kata Omai akhirnya kepada Ghulam untuk menyudahi video call pagi ini.

🍒🍒

Semenjak kejadian Tantri menangis di butik Rayya, akhirnya membawa Tantri untuk segera meminta maaf kepada suaminya Andafi.

"Ayah, maafkan bunda atas semua yang pernah bunda lakukan pada Ayah dan keluarga kita. Bunda memang egois, sekarang bunda siap menerima hukuman apa pun dari ayah dan keluarga ini." Kata Tantri saat hanya berdua bersama Dafi

Aura dingin masih juga menyelimuti wajah Dafi. Namun beberapa saat kemudian dia berkata kepada istrinya. "Jika aku menghukummu sekarang apa masih ada gunanya? Bertaubatlah kepada Allah Bun, akui dan sesali semua perbuatanmu di hadapanNya. Mohon ampunlah engkau padaNya. Aku sudah memaafkanmu, jangan kamu ulangi lagi perbuatan biadab seperti itu."

Tantri tidak lagi bisa membendung hasratnya untuk memeluk laki-laki yang amat dicintainya itu.

"Terima kasih Ayah, bunda akan meminta maaf kepada semuanya. Termasuk kepada Rayya dan Omaira," kata Tantri kemudian. Dia sangat menyesali perbuatannya terdahulu.

'Jika memang harus ada yang menanggung semua dosanya, biarlah aku yang mempertanggungjawabkan semuanya' kata Tantri dalam hati.

Yang diinginkan kini hanya satu, melihat keluarganya kembali utuh. Tertawa bersama suami dan anak-anak mereka. Dia tidak lagi peduli dengan ancaman dari sahabatnya, yang jelas kini Tantri akan menerima Radhwah Omaira Medina bukan hanya sebagai keponakan tetapi juga menantu yaitu istri dari putra kesayangannya.

"Kamu hanya membawa sedikit sekali Ghulam, apa kamu tidak memerlukan pakaian di sana?" tanya Tantri ketika mereka sedang berkemas.

"Pakaian Ghulam ada banyak di sana Bun. Bunda juga jangan terlalu banyak membawa pakaian, biasanya wanita suka sekali berbelanja pakaian ketika sudah sampai di sana." Pesan Ghulam kepada bundanya.

"Ummamu, sudah selesai packingnya? Besok pagi setelah subuh kita berangkat loh. Pesawatnya jam 14.00 sudah take off." Tanya Tantri mengingatkan Ghulam supaya membantu Rayya.

"Umma sudah selesai Bunda, beliau hanya berpesan untuk membawakan beberapa vitamin untuk Omai." Jawab Ghulam.

Tanpa bertanya kepada Ghulam, Tantri segera membuka beberapa plastik yang berisi vitamin. Fetavita, Hemobion, Maltofer, Volamil Genio. Dengan dahi mengernyit Tantri minta penjelasan kepada Ghulam, untuk Omai?"

"Iya Bunda"

"Jelaskan pada Bunda, Ayah sudah mengetahuinya?"

"Sudah"

"Ummamu?"

"Sudah"

"Jadi hanya Bunda yang belum mengetahui jika menantu bunda sekarang sedang mengandung cucu bunda?" tanya Tantri dengan muka sangat sedih.

"Maaf Bunda, timingnya tidak pas kemarin bunda sedang ada masalah dengan ayah dan sepertinya dengan Omai ___" kata Ghulam menggantung.

Tantri kemudian meneteskan air matanya. Memeluk dengan erat putra kesayangannya. Tidak ingin mengingat kesalahannya lagi. Kini, dia hanya menginginkan kedua putra putrinya hidup bahagia.

"Bunda minta maaf Ghulam"

"Sudah Bunda, Omai pasti sangat senang jika keluarganya nanti berkumpul semua. Kemarin dia berjanji akan mengantarkan kita jalan-jalan."

"Tidak, bunda tidak mau. Istrimu tidak boleh capek. Bunda ke sana mau beribadah Ghulam bukan untuk bersenang-senang dengan jalan-jalan atau lainnya. Bunda ingin bertaubat kepada Allah." Jawab Tantri dengan muka penuh penyesalan.

Batu pun akhirnya juga akan berlubang jika ditetesi air terus menerus. Terlebih dengan hati manusia. Di Bandara Juanda kali siang ini sudah siap dengan sepenuh hati untuk melaksanakan ibadah sunnah yang begitu besar pahalanya.

Tantri duduk dengan Rayya, membicarakan kehamilan Omai. Tantri yang memang baru mengetahui jika sang menantu telah hamil 4 bulan merasa sangat bersalah sehingga selama perjalanan dan menunggu masuk ke pesawat Tantri hanya ingin mendengar bagaimana Omai di sana. Sendirian, membagi waktu untuk kuliah, kemudian memperdalam ilmu agama dalam kondisi hamil.

"Aku tidak mengizinkan Ghulam kembali ke Indonesia sebelum Omai melahirkan dan anak mereka bisa dibawa untuk perjalanan jauh dengan pesawat." Kata Tantri kepada Rayya.

"Nggak apa-apa Mbak. Omai itu bukan wanita yang manja. Dari kecil dia selalu mandiri, aku pikir dia pasti sangat mengerti mengapa suaminya harus kembali ke Indonesia," kata Rayya.

"Big No. Tidak Ray, Omai harus didampingi tidak boleh. Ghulam harus di sampingnya selama dia hamil." Tolak Tantri dengan tegas.

Rayya hanya tersenyum mendengar penuturan kakaknya. Rasanya kini Rayya kembali mempercayai bahwa Tantri telah berubah dan kembali menyayangi Omai seperti sebelum dia menjadi istri dari putra kakaknya ini.

Perbincangan mereka terus berlanjut. Rayya bahkan sampai berangan-angan nanti bersedia untuk mengasuh cucunya jika Omaira kewalahan karena dia harus menyelesaikan kuliahnya. Hingga tanpa disadari oleh mereka bahwa ada dua pasang telinga yang mencuri dengar perbincangan mereka berdua.

"Hai Bunda." Sapa seorang wanita yang suaranya tidaklah asing di telinga Tantri. "Bunda umroh juga? Ghulam pasti ke sana juga kan? Alhamdulillah, aku dan mama juga mau umroh. Wah kita bisa beribadah bersama ya nanti disana." Kata Diandra yang memang sebelumnya telah mendengar pembicaraan Tantri dan Rayya tentang perjalanan umroh mereka juga tentang kehamilan Omaira.

"Eh iya Di, dimana Mama kamu?" jawab Tantri.

"Itu bunda, sepertinya memanggil Papa untuk segera masuk. Karena sebentar lagi waktunya pemeriksaan imigrasi dan boarding kan? Bunda tidak masuk juga?" tanya Diandra.

Belum sempat Tantri menjawab pertanyaan Diandra, Ghulam sudah datang mendekat dan berkata kepada umma juga kepada bundanya, "Umma, Bunda, ayo masuk ditunggu ayah untuk pemeriksaan imigrasi dan segera boarding." Sekilas Ghulam melihat Diandra kemudian menganggukkan kepala dan tersenyum tipis.

Akhirnya mereka berdua segera mengikuti langkah Ghulam dan meninggalkan Diandra dalam kegetiran hatinya.

'Bunda, kau sudah membuat hati mamaku terluka dan menangis. Aku tidak akan pernah merelakan itu. Kau boleh menyakitiku lebih daripada ini, tapi setitikpun membuat airmata mamaku menetes, jangan panggil aku Diandra jika aku tidak bisa menyelesaikan semuanya dengan sangat baik'

🍒🍒

Tidak ada penjemputan seperti saat pertama kali Ghulam menginjakkan kakinya di Madinah. Omai hanya menunggu semuanya di hotel yang telah diberitahukan oleh Ghulam ketika dia baru saja mendarat.

Perut yang telah membuncit membuat Omai semakin sulit untuk bergerak bebas. Meskipun dia memakai gamis yang longgar. Hingga dia hanya duduk di lobi hotel sambil membaca mushafnya bersama Hasan dan Farida.

Hingga sebuah bis yang berhenti di depan hotel yang dimaksud oleh Ghulam.

Puluhan koper diturunkan dari bagasi bis, salah seorang penanggung jawab daripadanya mengambil beberapa catatan dan kunci kamar yang akan dibagikan. Beberapa jamaah berusaha untuk masuk kedalam lobi dan secepatnya mendapatkan kunci untuk mereka segera beristirahat mengingat penatnya perjalanan panjang mereka. Hingga sesosok manusia yang sangat dirindui oleh Omaira berdiri tegap dengan senyum yang terukir manis di bibirnya.

Menghampiri Omai dengan satu langkah pasti. Merentangkan kedua tangan untuk mendekap erat tubuh mungil Omai. Bibirnya kini mendarat di kening Omai tak lama kemudian tangan kanannya segera mengusap lembut perut Omai yang kini telah membuncit.

"Adek, Baba datang kamu dengar?" Ghulam kemudian mencium perut Omai. Merasakan pergerakan dari dalam perut istrinya membuat Ghulam tak mampu membendung air matanya.

Rayya juga sudah bernostalgia bersama Farida juga Hasan sementara Tantri dan Dafi melihat kebahagiaan putranya dengan penuh haru.

"Omai, kemari Nak. Peluk Bunda." Pinta Tantri setelah Ghulam dan Omai selesai melepaskan rindu mereka. "Maafkan Bunda yang mungkin dengan atau tanpa sengaja telah membuatmu terluka."

"Maksud Budhe___?"

"Panggil budhemu ini bunda Nak, kamu sudah menjadi anakku. Dan selamanya akan tetap menjadi anakku." Kata Tantri memeluk erat Omaira dengan air mata yang menetes deras di pipinya.

"Bunda___" kata Omaira akhirnya.

Sampai pada akhirnya pertemuan mereka harus terpisah. Ghulam ikut Omai pulang ke mahtab pamannya sementara Rayya, Tantri dan Dafi menginap di hotel tersebut.

Tiupan angin yang berhembus seolah membawa kesejukan untuk semua makhlukNya. Dalam benak Ghulam tidak jauh berbeda Madinah dengan 4 bulan semenjak dia meninggalkan kota ini. Masih megah dan penuh religi.

Duduk berdampingan dengan sang paman di jok depan membuat Ghulam bisa leluasa melayangkan pandangannya menyapu pemandangan yang ada di sekelilingnya. Hingga saat mobil pamannya bergerak lambat. Matanya menangkap sepasang kekasih yang sepertinya tidak asing dalam ingatannya.

"Sayang, itu Isna kan. Sahabatmu?"

"Mana Mas?"

"Itu, yang sedang berjalan dengan laki-laki."

"Ouhhh iya, Isna. Dia memang ada disini Mas. Suaminya keturunan arab. Bulan lalu dia menikah dan mengadakan pesta pernikahannya di sini. Ituloh mas yang aku izin ke Mas Ghulam datang dengan bibi Farida dan Haura."

"Tau siapa suaminya?"

"Iya, ternyata putra temannya paman Hasan." Jawab Omai.

"Owh, jadi pada saat peristiwa abi tertembak dulu dia ingin bertemu orang tuanya Isna. Kok nggak ngabari aku ya Dek kalau dia menikah?" kata Ghulam sambil manggut-manggut ingin mengetahui bagaimana reaksi Omaira tentang pernyataannya ini. Namun dia tidak merasakan perubahan apa pun tentang itu semua. Aman, berarti Omai belum tahu bahwa sebenarnya Fawwaz telah meminta izin kepada Abinya untuk segera mengajaknya ta'aruf tapi sekali lagi takdir Allah berpihak kepadanya.

"Mas Ghulam kenal?"

"Tentu, dia adalah sahabatku. Karena dia juga akhirnya masmu bisa fasih berbahasa arab seperti sekarang ___" jawab Ghulam.

Hasan yang mendengar percakapan Ghulam dan Omai hanya menyimak. Khawatir akan timbul lingkaran konflik membuat mulut Paman Omaira ini terbungkam bisu.

🍒🍒

-- to be continued --

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama

Jazakhumullahu khair

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top