#19 | Tamu dari Indonesia
بسم الله الرحمن الرحيم
¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --
Betapa bodohnya manusia, dia menghancurkan masa kini sambil mengkhawatirkan masa depan, tetapi menangis di masa depan dengan mengingat masa lalunya
- Ali bin Abi Thalib
✍✍
Pesta tasyakuran di rumah orang tua Ghulam telah usai. Drama keluarga di rumahnya juga telah berlalu. Dafi masih dengan sikapnya yang mendiamkan Tantri atas kekecewaannya. Sedangkan Vida hanya bisa menangis melihat kebekuan tiba-tiba dalam keluarganya. Ghulam, jangan ditanya lagi semenjak pengakuan bundanya malam itu dia masih memilih diam dan berada di rumah Rayya.
"Mas, Mas pulang ke rumah dulu ya. Vida takut banget. Ayah sama bunda diem-dieman terus. Sebenarnya ada apa dengan mereka?" cerita Vida ketika menemui kakaknya di rumah Rayya.
"Bibi, apa bibi Raya mengetahuinya?" kini Vida ganti bertanya kepada Rayya namun sama halnya dengan Ghulam, Rayya hanya terpaku dalam diamnya. Melihat sang kakak berdiri dan hendak berlalu dari hadapannya, Vida segera menahan tangan Ghulam.
"Mas Ghulam mau kemana? Vida harus bagaimana? Vida nggak mau ayah sama bunda berpisah Mas." Kata Vida sambil menangis tergugu.
"Bukan mas Ghulam atau malah bibi Rayya yang bisa menjelaskan semuanya kepadamu. Suatu saat pasti mereka akan bercerita. Sabarlah, jika kamu tidak nyaman tinggal di rumah. Pulanglah kemari, nanti mas yang akan bilang kepada ayah dan bunda." Jawab Ghulam kemudian memeluk Vida untuk menenangkan adiknya.
Bayangan Ghulam kembali berselancar pada peristiwa seminggu yang lalu. Bagaimana seorang Bundanya yang terlahir meski bukan dari keluarga agamis namun pasti dia sangat mengerti bahwa dosa-dosa manusia yang tidak akan diampuni Allah itu salah satunya adalah syirik. Menyekutukan Allah dengan sesuatu yang naudzubillahmindalik, tidak akan pernah terampuni.
Bukankah seharusnya Bunda Tantrinya percaya bahwa jodoh itu adalah qodarullah yang telah digariskan kepada setiap hambanya. Kita, sebagai hamba tentu bisa merubah itu semua yang termasuk dalam qodarullah muallaq. Tentu saja dengan berdoa dan berikhtiar dengan cara yang baik bukan malah mendatangi seorang dukun yang bisa memberikan jampe-jampe dan menyimpan benda yang dianggap keramat.
Astaghfirullah, membayangkan saja Ghulam sangat takut. Api neraka yang panasnya 1000 atau bahkan jutaan kali dari panas matahari. Sanggupkah kita? Surga dan neraka itu bukan bonus tapi itu adalah tujuan hidup kita nantinya. Hidup yang kekal abadi selamanya di akhirat.
Lagi-lagi Ghulam tercekat mengingat cerita bundanya dia jadi teringat lagu dangdut yang biasanya diputar di berbagai acara. Nella Kharisma dengan ajian jaran goyangnya. Ghulam berpikir bahwa syair lagu itu hanya sekedar ditulis untuk dinyanyikan dengan nada yang pas sehingga enak didengar di telinga.
Tetapi saat Ghulam tahu bahwa sang Bunda melakukan itu kepada ayahnya hanya karena Dafi mau untuk menyuntingnya menjadi istri? Benar-benar kenyataan yang membuatnya shock ditempat seketika.
Tidak lucu jadinya apabila ada sebuah surat kabar yang memuat tagline tajuk 'Seorang Walikota ternyata terjerat cinta jaran goyang dengan istri yang telah mengorbankan sahabatnya'.
Silvi-mama Diandra, adalah mantan kekasih Andafi ketika di bangku kuliah. Cerita itu yang baru di ketahui oleh Ghulam. Silvi memang satu kampus dengan Dafi di Fakultas Ekonomi, sedangkan Tantri memilih Fakultas Kedokteran dengan memilih program studi Farmasi sama dengan Ghulam.
Sejak SMA Silvi dan Tantri bersahabat sangat dekat. Mengapa sampai Rayya tidak mengetahui, karena sejak lulus SD Rayya memilih untuk mondok sambil melanjutkan sekolahnya.
Tantri dan Silvi mencintai laki-laki yang sama. Saat Dafi memilih Silvi untuk menjadi pasangannya, saat itulah Tantri tidak bisa menerima. Dia rela mendatangi beberapa orang yang bisa dimintai bantuan untuk membuat Dafi jatuh cinta padanya.
Hingga akhirnya Dafi bertekuk lutut untuk melamar dan menjadikannya istri padahal Tantri tahu persis bahwa Dafi belum menyelesaikan kisahnya dengan Silvi.
Darimana dia tahu? Silvi dan Tantri bersahabat bukan? Jadi adalah suatu hal yang sangat wajar jika antara dua orang sahabat itu saling bercerita, dan Silvi mempercayakan semuanya kepada Tantri yang dianggapnya sebagai 'sahabat'.
Namun apalah daya, peribahasa pagar makan tanaman sepertinya sangat pas untuk persahabatan itu. Hingga akhirnya Silvi mengetahui hubungan Dafi dan Tantri dibelakangnya yang sudah sangat serius.
Awalnya Silvi tidak ingin memaafkan sikap Tantri kepadanya, namun pada akhirnya bersedia memaafkan dengan catatan bahwa Tantri mau bersumpah jika nanti keturunan mereka sepasang mereka akan dinikahkan jika tidak kemungkinan Silvi akan memastikan bahwa keluarga Tantri tidak akan utuh lagi.
Qodarullah, lahirlah Ghulam dan Diandra di tengah tengah keluarga mereka.
"Mas Ghulam, aku nginep di sini saja. Bolehkan Bi? Untuk sementara sampai Ayah dan Bunda menyelesaikan masalah mereka." Kata Vida mengoyak lamunan Ghulam.
"Hmmmmm, Mas mintakan izin Ayah dulu ya?" kata Ghulam.
"Iya, biar masmu telpon ayah kalian dulu. Bibi merasa senang jika kamu mau di sini, Mbak. Jadi Bibi nggak kesepian lagi." Jawab Rayya.
🍒🍒
Di belahan bumi lainnya, terlihatlah wanita dengan lemah lembut dan santunnya sedang membagikan beberapa kurma dan minuman kepada jamaah yang hendak menunaikan sholat dhuhur di Masjidil Nabawi.
Pagi tadi, Omaira mendapatkan sebuah pesan dari sahabatnya Isna bahwa ia akan melaksanakan ibadah umroh bersama keluarganya. Isna meminta kepada Omai untuk bisa bertemu di pelataran Masjidil Nabawi.
Cling
Gawai Omaira bergetar kemudian berkedip hijau
From : Isnatul Hilya
Omai, aku sudah di tower jam burung. Kamu dimana?
Secepat kilat Omai segera membalas pesan singkat sahabatnya
To : Isnatul Hilya
Meluncur, tunggu
Dengan perlahan namun pasti langkah kaki Omai segera bergerak menuju tempat yang telah ia dan sahabatnya sepakati untuk bertemu.
Menara jam burung dekat pintu 22 di Masjidil Nabawi. Ah iya, disebut menara jam burung karena di sekitar menara tersebut sangatlah banyak burung merpati beterbangan ke sana kemari. Bahkan banyak yang bertengger di atasnya.
Selain itu Hotel bertingkat pencakar langit juga mengelilingi menara jam burung ini. Jika jamaah haji atau umroh yang datang di Masjidil Nabawi ini pasti sebagian besar dari mereka pernah untuk berswa photo di menara jam ini.
Dan inilah saatnya, ketika 2 orang sahabat yang telah terpisah 3 tahun bertemu kembali dengan suasana dan kondisi yang berbeda dengan dahulu saat mereka masih menyandang status sebagai seorang pelajar SMA.
"Omaira." Teriak Isna manakala dia mengenali sosok wanita dengan abaya berwarna hitam lengkap dengan khimar dan niqob senada. Isna bisa mengenali Omai karena Omai telah melambaikan tangannya terlebih dahulu.
"Isna, Mashaallah. 'Ahlaan wasahlaan bik 'iilaa 'ard Rasulallah." Sambut Omai ketika mereka sudah berdekatan dan akhirnya saling berpelukan.
"Ahlan bik. Kaifa haluki, Omai?" tanya Isna akhirnya.
Merasa ada yang janggal dengan ucapan sahabatnya Omai segera memandang wajah Isna yang tidak lepas dari senyum merekahnya.
"Alhamdulillah bi khair. Kamu bisa bahasa arab sekarang? Mashaallah, aku senang sekali mendengarnya." Kata Omaira masih belum percaya.
"Ah kamu bisa aja. Sedikit, hanya kalimat sapaan saja. Jika dibandingkan kamu jauhlah." Jawab Isna merendah.
"Apa pun itu aku sangat senang mendengarnya. Ngomong-ngomong keluarga kamu mana kok sendirian?" tanya Omai sambil memutar wajahnya mencari keluarga Isna.
Isna kemudian kembali tersenyum mendengar pertanyaan sahabatnya. Memang dia dan keluarganya melaksanakan panggilan sunnah dari Allah untuk berumroh ke tanah suci. Namun selain untuk itu ada acara besar yang tidak kalah pentingnya yaitu silaturahim anjangsana keluarga Isna kepada besannya yang tidak lain adalah mertua Isna yang menetap di kota Madinah.
"Mashaallah, jadi sahabatku ini sudah menikah? Alhamdulillah, menikah muda juga Buk?" sambut Omai.
"Iya Alhamdulillah dapat onta arab lagi." Jawab Isna.
"Onta arab? Maksud kamu suamimu orang arab?" tanya Omai.
"Abinya asli orang arab, tetapi uminya orang Indonesia sahabat ibuku. Kami dikenalkan ketika suamiku gagal ta'aruf dengan seorang akhwat." Cerita Isna.
"Lantas dimana dia sekarang? Kok membiarkan kamu seorang diri di sini?"
"Tadi izin ke toilet, karena aku harus nunggu kedatanganmu akhirnya ya ditinggal di sini sendiri." Jawab Isna yang masih diliputi rasa bahagia karena bisa berjumpa dengan sahabatnya. "Kamu sendiri bagaimana kabarnya, kapan menyusulku? Kalau sudah nikah pasti kamu akan benar-benar nyesel." Kata Isna kemudian.
"Nyesel?"
"Iya nyesel mengapa nggak nikah dari dulu aja. Hahahahahaha, semua yang awalnya haram menjadi halal dan bahkan menjadikan ladang pahala untuk kita." Jawab Isna dengan antusias.
"Eh kamu bisa saja, Is. Tapi memang benar sih, semua akan indah apalagi kalau pasangan kita selalu ada di samping kita." Kata Omai menerawang jauh membayangkan Ghulam yang kini jauh darinya.
"Eh, yang namanya sudah nikah itu ya hidup bersama. Untuk apa menikah tapi hidup terpisah dari pasangan?" kata Isna yang memang belum mengetahui bahwa sahabatnya sedang menjalani Long Distance Married dengan suaminya.
Tidak ada yang salah dengan ucapan Isna. Semuanya adalah benar, buat apa menikah jika setelahnya harus berjauhan. Bukankah ibadah akan terasa lebih sempurna jika dilakukan bersama-sama?
Omai hanya menggelengkan kepala, dia juga tidak menginginkan semua ini terjadi. Namun entah karena apa dia dan Ghulam harus menjalani semuanya. Pernikahan tanpa direncanakan, hingga Long Distance Married yang sangat menyiksa hati.
"Omai?"
"Y___yaaa?" tanya Omai tergagap karena baru saja melamun.
"Kok jadi melamun si ditanyain. Jadi kapan mau menyusulku?" tanya Isna.
"Menikah?" tanya Omai.
"Huum," jawab Isna dengan semangat.
"Emmmmmm, sebenarnya aku _____"
Beep...beep...beep
Gawai Omai berdering dan bergetar. Satu nama 'Paman Hasan' muncul di layar pipihnya.
Omai segera menerima panggilan dari pamannya. Ternyata pamannya telah menjemput dan mengajak Omai untuk segera pulang, mengingat ia akan ada acara dengan Farida-bibinya Omai.
"Isna, kamu masih lama kan di Madinah? Biasanya 4-5 hari. Aku harus pulang dulu karena paman Hasan telah menjemputku." Tanya Omaira dengan nada enggan berpisah dengan sahabatnya.
"Yaahhh, padahal aku ingin mengenalkanmu dengan suamiku Omai. Aduh ini kok ya lama banget ke toiletnya." Kata Isna.
"Besok kita bertemu di sini selepas isya ya karena siang aku harus ke kampus seharian. Bisa kan?" tanya Omai.
"Besok? Aduh aku harus melakukan persiapan untuk pesta pernikahan kami lusa Omai. Nanti coba aku tanyakan suami dimana alamat lengkapnya kemudian aku kirim kepadamu, dan kamu wajib untuk datang." Kata Isna kemudian memeluk Omaira.
"Inshaallah, itu mobil Pamanku. Aku pamit dulu. Assalamu'alaikum." Pamit Omaira.
"Waalaikumsalam."
🍒🍒
Ghulam belum bisa mempercayai, bahwa Tantri masih belum juga meminta maaf kepada ayahnya. Hampir tiga minggu dan suasana semakin mencekam.
Sementara Rayya meminta kepada Ghulam untuk tidak memberitahukan semuanya kepada Omaira. Mengingat dia sedang hamil muda dan sendirian di negri orang. Tidak ingin Omaira berpikir yang berlebihan sehingga mengganggu dengan tumbuh kembang janin yang ada di rahimnya.
"Umma tidak perlu khawatir. Ghulam pasti mengerti yang terbaik untuk Omai. Apapun yang terjadi disini biarlah kita saja yang mengetahui." Kata Ghulam
"Sebenarnya umma juga tidak mengetahui masalah persisnya mas Dafi dan mbak Tantri, Mas. Dan tidak ingin mengetahui, itu urusan mereka berdua. Namun apa pun yang akan terjadi nanti, mereka berdua tetap orang tuamu. Hormatilah mereka selalu." Kata Rayya.
"Ghulam mengerti, Umma." Jawab Ghulam.
Vida telah kembali karena Dafi memintanya untuk tetap tinggal di rumah mereka. Beberapa kali dia meminta bantuan kepada sang kakak untuk bisa menjadi penengah antara Ayah dan Bundanya namun sekali lagi sepertinya Ghulam masih belum berminat untuk masuk mencampuri masalah yang sedang menggerogoti hubungan orang tuanya.
Dafi memang masih aktif di kantor, begitu pula Tantri masih aktif dengan acara-acara pemerintahan yang melibatkan dirinya sebagai istri dari walikota. Namun mereka hanya tersenyum di depan media, di depan rekan sejawat dan selebihnya akan kembali berdiam diri.
Seperti siang ini Tantri memimpin rapat dharma wanita yang akan menyelenggarakan acara pengajian dan santunan kepada anak anak yatim piatu. Panitia mengusulkan untuk membuatkan pakaian seragam muslim syar'i untuk semuanya. Baik untuk peserta maupun panitia. Dan sepertinya panitia memilih memakai 'Omaira Butik' untuk menjadi rekanan dalam menyelesaikan pengadaan seragam ini.
"Mengapa harus Omaira butik?" tanya Tantri kepada ketua panitia acara.
"Selama ini saya melihat bahwa produk yang dijual di Omaira sangat bagus. Beberapa kali saya memesan pakaian untuk seragam keluarga juga sangat memuaskan. Adiknya bu Tantri memang tidak pernah membohongi pembeli, beliau tidak pernah mengecewakan." Jawab ketua panitia.
"Alasan yang lainnya?"
"Selain itu juga karena harganya yang paling miring jika dibandingkan dengan butik yang lain dengan kualitas dan bahan yang sama."
"Baiklah. Urus semuanya, saya tidak ingin terjadi miss ketika hari H." Kata Tantri kemudian menutup rapat dan segera meninggalkan tempat.
Mendapat pesanan dari seragam memang bukan untuk pertama kalinya bagi Rayya. Dia sudah beberapa kali melayani pesanan seperti ini. Yang jelas, kini tugasnya akan kembali banyak karena dia harus mengecek sendiri bahan, jahitan, potongan dan memastikan semuanya harus selesai dalam waktu yang telah ditentukan.
Hari ini selepas sholat dhuhur dia harus mengecek dan memastikan pekerjaan para penjahitnya selesa 75% karena lusa semua barangnya harus sudah dikirimkan ke tempat panitia acara pengajian dan santunan anak anak yatim tersebut.
Catatan sudah dia siapkan, kontak sepeda motor juga sudah ditangan. Jaket sekaligus helm sudah ada di tangannya. Namun langkahnya terhenti saat kedua manik matanya menangkap sosok wanita yang kini memasuki butiknya, menatapnya dengan sorot mata yang ehm sulit untuk diartikan.
"Bahagia kamu sekarang?" kata sosok yang baru saja masuk ke butik Raya yang tak lain adalah Tantri.
"Maksudnya Mbak Tantri apa? Ayo masuk dulu kita bicara di dalam." Ajak Rayya kepada kakaknya.
"Tidak perlu. Biar, biar semuanya tahu. Mengapa kamu malu? Atau takut? Para pelangganmu tidak akan kembali belanja disini karena kamu di labrak oleh orang sepertiku?" nada suara Tantri tentu saja meninggi dengan muka merah padam penuh dengan amarah.
"Bukan, bukan seperti itu aku tidak takut."
"Jadi kamu bahagia sekarang ? Dulu sudah mengambil anakku sekarang justr____"
"Mbak, aku tidak takut kepada pelangganku. Tapi aku hanya berpikir bahwa sangat tidak pantas ibu walikota marah-marah di depan warganya seperti ini. Mereka tidak perlu tahu kemarahan Mbak Tantri. Mbak boleh marah kapan pun sama aku, aku pasti akan menerimanya tapi jangan di depan warga Mbak sendiri. Bukan aku yang akan malu tetapi Mbak Tantri. Ibu walikota yang seharusnya menjadi panutan untuk mereka." Jelas Rayya yang langsung menggelandang kakaknya untuk masuk kedalam ruangan di belakang show room butiknya. Ruangan yang biasa dipakai Rayya untuk sholat dan menggambar beberapa sketsa pakaian yang akan dia jual di butiknya.
"Apa yang bisa aku banggakan dari keluarga yang mungkin sebentar lagi akan karam." Kata Tantri masih dengan nada yang cukup tinggi.
"Sabar Mbak, istighfar."
"Dulu Ghulam telah kalian ambil untuk menikahi anakmu, itu juga yang menyebabkan aku harus membuka rahasia besarku kepada Mas Dafi hingga akhirnya kini dia mengacuhkanku atau bahkan mungkin akan menceraikanku. Apa lagi Rayya yang kamu inginkan dari aku?" tanya Tantri dengan nada mirisnya.
"Astaghfirullah Mbak, nyebut Mbak, eling. Allah tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hambanya."
"Cukup Rayya, kamu nggak perlu ceramah di sini. Aku nggak butuh itu. Mas Dafi sudah me____"
"Mbak, sebaiknya apa yang terjadi di keluarga Mbak tidak perlu orang lain ketahui termasuk aku meski aku ini adikmu. Itu aib, Allah akan menutup aib seseorang sampai hari kiamat apabila dia sendiri juga menutupnya." Jelas Rayya sambil memberikan air putih kepada Tantri.
"Kamu ah benar-benar membuatku __" geram Tantri.
"Jika marahnya Mbak Tantri kepadaku membuat Mbak lebih baik, maka marahlah." Rayya berusaha untuk menenangkan Tantri.
Namun kemudian saat Tantri sudah tidak ingin menjawab kata-katanya Rayya kembali berbicara, "Jodoh, hidup, mati seseorang itu di tangan Allah Mbak. Sebaik apa pun rencana Mbak untuk menjodohkan Ghulam dengan putri sahabat Mbak Tantri dan sejauh apa pun Omaira menghindari Ghulam jika Allah telah mengucapkan 'Kun' takdir Ghulam berjodoh dengan Omaira dan mereka berdua berperang dalam doa-doanya yang akhirnya dikabulkan oleh Allah. Kita sebagai hambanya bisa apa?"
"Ray __"
"Minta maaflah kepada Mas Dafi terlepas siapa yang salah diantara masalah kalian. Duduk dan selesaikanlah. Masalah tidak akan pernah selesai jika kita hanya diam." Kata Rayya memandang kakaknya yang telah awut-awutan karena menangis dan mengusap air matanya secara kasar.
Minta maaf duluan bukan tentang siapa yang salah dan benar. Kita bisa saja memilih diam, tapi masalah tidak akan pernah selesai. Namun semua akan berbeda jika kita berani meminta maaf lebih dulu. Dengan ketulusan dan kerelaan hati, kita mengorbankan ego untuk menyudahi pertengkaran. Bukankah dengan begitu kita sedang membentuk diri untuk jadi lebih baik lagi?
"Pulanglah Mbak, temui suamimu. Minta maaflah kepadanya. Akhiratmu, surga dan nerakamu bergantung kepadanya." Pesan Rayya kepada sang kakak.
Tantri mengangguk lunglai kemudian merapikan pakaian dan jilbabnya.
"Ray aku ___" kata Tantri menggantung. Ah mengapa begitu susah meminta maaf meski kepada adik sendiri.
"Mas Dafi pasti menunggu penjelasanmu, jangan melangkahkan kaki keluar rumah jika suamimu tidak meridhoinya. Malaikat akan melaknat kita, percayalah." Rayya menggenggam kedua tangan kakaknya kemudian mengusap punggung tangan kanan Tantri dengan lembut. Senyum yang selalu menghiasi wajah yang bersih tanpa make up itu pun langsung meluluhkan hati sang kakak.
Binar matanya tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia. Sejelek apa pun sikap Tantri yang ditujukan kepadanya namun Rayya tidak ingin membalasnya.
"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar." (QS. Fussilat: 34-35)
🍒🍒
-- to be continued --
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair
Noted :
Well, pesan yang dapat di sampaikan bahwa "kita tidak perlu membalas keburukan orang lain yang diberikan kepada kita. Balaslah keburukan dengan kebaikan yang bisa kita lakukan. Serahkan kepada Allah yang maha adil untuk menghukumi makhluknya. Dan ingat, tidak ada hijab antara Allah dengan makhluk yang teraniaya hati dan fisiknya..."
So readers, jika merasa teraniaya balaslah kejelekan yang kita terima dengan kebaikan namun jangan lupakan untuk mendoakan orang yang telah menganiaya kita 🙈🙊😂🤣 dengan doa semoga dia diberikan ilham dan hidayah untuk segera bertaubat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top