#17 | Kehidupan Baru

بسم الله الرحمن الرحيم

¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --

Hiburlah hatimu dan siramilah ia dengan percikan hikmah. Seperti halnya fisik, hati juga merasakan letih - Ali bin Abi Thalib

✍✍

Ghulam telah sampai di kediaman Rayya. Sengaja memang dia ingin menginap di rumah sang umma. Merebahkan tubuhnya di kamar yang dulu selalu di tempati Omaira untuk bergelung dengan selimut, mengukir mimpi dan tentu pula melangitkan doanya.

Ketika di dalam taxi Ghulam telah menyampaikan niatnya kepada Rayya, pun juga telah mengabarkan kepada kekasih hatinya bahwa dia telah mendarat di Indonesia dengan selamat.

"Assalamu'alaikum Umma." Ghulam mengetuk pintu rumah mertuanya dengan pelan.

Belum juga mendapat jawaban dari ummanya yang masih berada di dalam rumah. Ghulam sampai di rumah pagi hari. Jam di pergelangan tangannya telah menunjukkan waktu 07.05, itu artinya umma Rayya kemungkinan masih bergelut dengan kegiatan paginya di dapur.

Sekali lagi Ghulam mengetuk pintu untuk meminta ummanya agar membukakan pintu dan dia bisa masuk kedalam rumah. Ketukan pintu yang lebih pelan dari sebelumnya, tak lupa ucapan salam dilafadzkan sekali lagi. Namun juga masih sama, hingga akhirnya Ghulam mengetuk pintu rumah ummanya untuk ketiga kalinya. Kali ini benar-benar sangat pelan.

Ghulam akhirnya duduk di kursi yang berada di teras rumah ummanya. Ketika hendak menaikkan kakinya untuk meluruskannya lalu memejamkan matanya, telinganya mendengar suara pintu dibuka dari dalam.

"Umma?"

"Mas Ghulam, maafkan umma tidak mendengar suara salammu. Kamu sudah lama di sini? Ayo segera masuk."

"Belum Umma, baru saja sampai."

"Mengapa tidak kau telepon umma? Umma sedang memasak di dapur."

"Tidak Umma. Rosulullah tidak mencontohkan seperti itu. Ghulam tidak ingin menganggu kegiatan Umma. Maaf." Jelas Ghulam ketika dia telah berada di dalam rumah.

"Tidak akan pernah mengganggu umma, Nak. Kamu mau umma buatkan minum?" tanya Rayya kepada menantunya.

"Syukraan Umma, tidak perlu. Ghulam ingin mandi kemudian istirahat. Umma lanjutkan lagi memasaknya." Tolak Ghulam dengan penuh kesantunan.

"Baiklah Mas. Umma akan melanjutkan memasak lagi bersama mbak Ning." Semenjak Farzan meninggal mbak Ning yang biasanya membantu Rayya untuk mengelola toko diminta untuk tinggal di rumah Rayya. Karena suaminya menjadi TKI di Malaysia dan anaknya berada di pondok pesantren.

Sesampai di kamar mandi Ghulam segera membersihkan badannya. Membasuh seluruh tubuhnya dengan air segar hingga kepalanya kini merasa dingin kembali.

'Biasanya kamu yang selalu mengeringkan rambutku Dek. Kini aku harus terbiasa melakukannya sendiri. Seperti malam ini dan mungkin untuk 6 bulan kedepan aku akan tidur tanpa ada kamu disisiku' Ghulam berkata dalam hati dan menatap nanar ranjang petiduran yang akan dipakai olehnya untuk merebahkan tubuh.

Mata Ghulam belum juga bisa terpejam hingga akhirnya diambillah gawai dan ditekan nomor whatapps Omaira untuk melakukan video call.

Pada panggilan kedua baru tersambung dan wajah Omai yang tengah berada di Masjidil Nabawi.

"Assalamu'alaikum Mas." Suara Omai terdengar dari ujung gawainya.

"Waalaikumsalam Sayang. Belum subuh ya di sana?" tanya Ghulam.

"Belum Mas, ini tadi baru selesai adzan subuhnya. Omai sedang murojaah menunggu iqomah. Mas mau istirahat? Baru sampaikah?"

"Sudah sampai satu jam yang lalu, Sayang. Iya, aku nggak bisa tidur. Nggak ada kamu di sisi jadi nggak enak sekarang."

Terlihat Omai tersenyum tipis dibalik wajahnya yang pucat.

"Sayang, tunggu sebentar. Kok muka kamu pucat?" tanya Ghulam kepada Omai "Kamu sakit?"

Omai menggeleng lemah kemudian tersenyum kembali. "Mas Ghulam sebaiknya tidur gih. Nanti kalau sudah bangun baru beraktivitas kembali. Diistirahatkan tubuhnya."

"Iya Sayang. Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam." Omai menjawab salam Ghulam kemudian segera menutup panggilan video callnya.

Sesaat jemari Omai mengetikkan sesuatu di atas gawainya. Kemudian segera mengirimkannya kepada sang suami yang kini ada di Indonesia.

Belum juga terpejam matanya suara pesan masuk membuat Ghulam ingin mengacuhkannya. Namun perasaannya meminta untuk membuka pesan yang masuk kedalam gawainya.

'Siapakah yang kurang kerjaan mengirimkan pesan disaat dia ingin mengistirahatkan tubuhnya' kata Ghulam dalam hatinya. Namun matanya kembali terbelalak ketika mendapatkan orang yang mengirimkan pesan adalah wanita halalnya.

"Baru juga selesai video call sudah mengirimkan pesan. Ada apa denganmu sayang?" lirih kalimat tanya dari Ghulam tanpa adanya jawaban.

Ketika tangan kanan Ghulam membuka sebuah pesan dari Omai, kini rasa kantuknya langsung menguap entah kemana. Setengah berlari kemudian Ghulam segera mencari Rayya untuk memberitahukan kabar yang dikirimkan kepadanya.

"Umma, Umma dimana?" kata Ghulam setengah berteriak.

"Ada apa Mas? Umma masih di dapur." Jawab Rayya sangat terkejut karena Ghulam tidak pernah bertingkah seperti itu sebelumnya.

"Dek Omai mengirimkan ini kepada Ghulam. Ghulam harus bagaimana?" Ghulam menunjukkan pesan yang telah diterimanya dari Omai.

Beberapa airmata menetes dari pelupuk mata Rayya. Bibirnya bergetar lirih mengungkapkan pujian kepada Rabbnya. Terakhir dia memandang menantunya kemudian merengkuhnya kedalam pelukan.

"Jika Ghulam tahu akan seperti ini jadinya. Pasti Ghulam akan menunda kepulangan Ghulam ke Indonesia."

"Percayalah Omai pasti kuat disana. Sebaiknya kamu sarapan dulu Mas. Kemudian istirahat."

"Ghulam ikut umma saja ke toko. Di rumah sendirian justru akan membuat Ghulam sedih mengingat Dek Omai."

"Kamu tidak ingin pulang ke rumah orangtuamu dulu?"

"Tidak Umma."

"Mengapa?" tanya Rayya penuh dengan selidik.

"Ghulam masih ingin di sini menemani umma." Jawab Ghulam tanpa ada perasaan apa pun.

"Pulanglah. Temui mereka terlebih dahulu, setidaknya dengan menyapa mereka dan memberikan selamat untuk ayahmu yang telah memenangkan pilkada untuk menjabat sebagai walikota kembali untuk periode 5 tahun mendatang." Saran Rayya kepada Ghulam.

"Pasti Umma, nanti ketika tasyakuran kemenangan ayah Ghulam akan ke rumah mereka bersama umma tentunya." Jawab Ghulam tidak ingin melanjutkan pembicaraan mengenai itu dengan Rayya.

Seolah mengerti dengan keinginan sang menantu, akhirnya Rayya segera mengambilkan sarapan untuk Ghulam.

"Mbak Ning, ayo kita makan disini. Sama anakku yang paling ganteng ini." Ucap Raya disambut kekehan lirih dari bibir Ghulam.

"Iya Bu, kesempatan yang langka juga saya sarapan bareng anak pejabat nomer wahid di kota ini." Jawab mbak Ning kemudian mengambil kursi yang ada di meja makan.

"Aku orang biasa mbak Ning. Jangan begitulah, lebih senang dikenal sebagai anaknya umma yang orang biasa ini daripada disebut sebagai anak pejabat." Jawab Ghulam setelah menyelesaikan kunyahannya.

Rayya yang mengerti ketidaksukaan Ghulam hanya tersenyum. Dahulu Ghulam pernah mengatakan padanya bahwa sebenarnya dia kurang setuju dengan keputusan ayahnya untuk ikut berpartisipasi dalam panggung politik di negeri ini. Bukan tanpa alasan, menurutnya memang seorang imaroh atau pemimpin itu sangat berat nanti pertanggungjawabannya di akhirat. Jika pemimpin itu bisa bersikap adil, siddiq, amanah, tabligh, fathonah. Pasti tidak bisa sesempurna Nabi Muhammad saw, namun setidaknya mendekati apa yang dilakukan oleh nabi. Karena seorang imamah yang jauh dari sifat-sifat itu sudah bisa dipastikan tempat duduk abadinya di neraka.

"Sudah habiskan sarapannya, kemudian kita siap-siap buka toko ya, sudah jam 9." Kata Rayya kemudian ketiganya menikmati sarapan dalam diam. Hanya beberapa kali dentingan sendok dan garpu yang menari indah di atas piring.

Tiga puluh menit kemudian Ghulam telah berada di toko ummanya. Membantu Rayya menyiapkan beberapa keperluan untuk menyambut pelanggan-pelanggan mereka.

Rayya ditinggalkan amanah untuk menjaga dan melanjutkan bisnis suaminya. Di sana dia memiliki 3 buah ruko yang berjajar di pinggir jalan. Paling ujung ada sebuah toko seluler dan aksesorisnya yang biasanya selalu dijaga oleh Farzan dahulu. Sebelahnya ada minimarket dan mini cafe yang baru saja dibuka oleh Rayya sebelum Omai meninggalkan Indonesia untuk menempuh pendidikan dokternya. Dan di sebelahnya ada butik muslimah di lantai satu dan lantai dua dari ketiga ruko itu dijadikan satu untuk ruangan spa dan massage muslimah. Termasuk untuk perawatan muka dan body treatment untuk muslimah.

"Mas, amal sholih untuk pegang kasir di butik umma ya. Hari ini umma ada stock opname untuk beberapa HP dan aksesoris yang baru datang kemarin di ruko sebelah." Kata Rayya meminta bantuan kepada Ghulam.

"Inshaallah bisa Umma. Minimarketnya?" tanya Ghulam.

"Kita sudah ada pegawai kasir di situ tenang saja. Mereka bekerja sesuai rule. Lagian sudah pakai sistem kok untuk perangkat komputernya. Sebenarnya sama juga dengan butik dan spa. Hanya saja biasanya kalau butik yang beli butuh beberapa pertimbangan jadi ya harus kita yang jaga." Jelas Rayya.

"Siap Umma. Inshaallah Ghulam amanah." Kata Ghulam yang telah beberapa kali menjadi kasir di toko pakaian sang mertua.

Duduk di meja kasir menjadi keasyikan tersendiri untuk Ghulam. Dia bisa sesekali membuka mushaf dan membacanya lirih. Hingga beberapa wanita datang silih berganti untuk naik ke lantai 2. Tidak jarang diantaranya memandang Ghulam yang sedang asyik dengan mushafnya dengan tatapan penuh pesona.

"Mas e masih baru ya? Kok jarang terlihat?" tanya seorang wanita separuh baya kepada Ghulam.

"Iya Bu, ada yang bisa saya bantu?" tanya Ghulam menawarkan bantuan setelah dia menyelesaikan bacaannya dan menutup mushafnya.

"Saya butuh pakaian untuk anak perempuan saya. Ini fotonya." Kata sang ibu pembeli sambil menunjukkan foto putrinya. "Cantik ya, tingginya 163 cm. Sangat cocok loh kalau jadi istrinya Mas e."

Tidak ingin menanggapi perkataan calon pembelinya Ghulam segera memilihkan beberapa helai pakaian untuk sang ibu pembeli itu.

"Mau dipakai untuk acara apa ya Bu?"

"Saya sebenernya ingin anak saya bisa memakai jilbab Mas. Makanya sengaja saya belikan di butik ini yang menyediakan busana muslim. Yang nyaman saja untuk dipakai sehari-hari."

Ghulam benar-benar membantu sang pembeli untuk menawarkan beberapa pilihan model serta warna pakaian yang cocok untuk dipakai putrinya.

"Ini saja Mas, semuanya saya ambil ada 5 piece ya?"

"Iya Bu baik, saya bungkus dulu." Kata Ghulam yang kemudian meminta pelayan untuk membungkuskan pakaiannya kedalam plastik dan mengepak ke dalam goodie bag setelah menghitung rupiah yang harus dibayarkan oleh pembeli.

"Satu juta tujuh ratus tiga puluh empat ribu semuanya Bu. Jilbab yang lain nggak sekalian Bu? Mumpung masih di sini."

"Maunya, tapi biar anak saja milih sendiri saja sekalian bisa langsung kenalan dengan Mas e. Gimana mau nggak saya kenalkan?"

Ghulam masih juga tersenyum kemudian menjawab pertanyaan ibu pembeli itu dengan halusnya. "Boleh Bu, silaturahim sesama muslim itu baik. Hanya saja mungkin nanti saya harus minta tolong kepada mertua saya yang memiliki butik ini untuk mendampingi saya serta. Supaya tidak ada fitnah."

Dengan muka yang langsung berubah sang ibu pembeli langsung mengucapkan terima kasih dan keluar dari butik.

Masih dengan senyumnya yang merekah. Ghulam kembali membuka gawai. Melihat pesan dari Omai yang telah diterimanya beberapa jam yang lalu.

From : Bidadari Syurgaku

Jika Nabi Ibrahim membutuhkan waktu hingga usianya mencapai 80 tahun untuk menunggu ini. Bersyukurlah seorang Ghulam Rafif Mufazzal akan dipanggil 'BABA' pada 8 bulan mendatang. Uhibbuka fillah, ya Zauwji. Syukraan telah menitipkan sesuatu yang paling berharga di dalam rahimku.

Kemudian ia membaca kembali pesan balasan untuk istrinya.

To : Bidadari Syurgaku

I'm trully speechless. Jaga dia ketika aku tidak bisa bersama kalian kini. Syukurku memilikimu wanitaku. Allah benar-benar memberikan ujian kepadaku. Saat aku harus membahagiakanmu bersamanya, aku justru menjauhkan diri dari kalian. Maafkanlah suamimu.

Ingin sekali dia kembali menuju pada wanita halalnya. Namun logikanya kembali berbicara, jika dia kembali kesana sekarang maka bukan tidak mungkin pada waktu Omai akan melahirkan justru dia tidak bisa mendampingi. Oleh karenanya, mungkin Ghulam akan bertahan 3 sampai 4 bulan untuk menyelesaikan pekerjaannya di Indonesia.

🍒🍒

Ghulam akhirnya pulang ke rumah orang tuanya setelah beberapa kali Rayya memintanya untuk segera menemui mereka berdua.

Meski sebenarnya Ghulam masih sangat murka dengan bundanya yang telah mengirimkan Diandra untuk menjemputnya di bandara 2 hari yang lalu.

"Masih ingat jalan pulang?" sindir Tantri ketika Ghulam selesai mencium tangan kanannya.

"Umma Rayya yang meminta Ghulam untuk segera pulang Bunda," jawab Ghulam dengan sopan. Semarahnya Ghulam dengan Tantri, dia masih mengingat jika Tantri adalah wanita yang telah menjadikannya ada di dunia ini. Dia harus tetap menghormatinya.

"Jadi sekarang kamu lebih mendengarkan Rayya dibandingkan bundamu sendiri?" tanya Tantri kepada Ghulam.

"Bunda___"

"Dengar ya Ghulam, Bunda membesarkanmu dengan baik, menjadikanmu menjadi seperti sekarang ini bukan untuk menjadikanmu sebagai anak yang selalu melawan orang tua." Nasihat Tantri yang diangguki oleh Ghulam.

"Ghulam hanya ingin bunda mengerti posisi Ghulam sekarang. Ghulam sudah beristri Bun, lantas mengapa Bunda masih mengirimkan Diandra untuk menjemput Ghulam di Bandara. Bagaimana mungk___" protes Ghulam terpotong oleh pertanyaan Tantri.

"Diandra? Menjemputmu? di bandara? Bunda sudah meminta pak Tarjo untuk menjemputmu. Sebelum kamu take off kan ayah sudah bilang jika pak Tarjo yang akan menjemput. Bunda tidak pernah meminta Diandra untuk menjemputmu." Potong Tantri dengan terkejutnya.

"Wallahi?" Ghulam meyakinkan pernyataan bundanya.

"Astaghfirullah, Demi Allah Ghulam. Bunda malah tidak tahu jika Diandra sudah ada di Indonesia. Yang Bunda tahu beberapa bulan terakhir ini dia ada di Amrik. Lagian masa iya Bunda tega menyuruh anak gadis orang menjemputmu dini hari. Dan Bunda juga yakin kamu tidak bakal mau jika hanya berduaan saja dengan wanita yang bukan mahram kamu kan?" jelas Tantri.

"Itu Bunda sudah tahu pasti. Ghulam cuma kecewa saja mengapa bunda lakukan semua ini."

"Bunda? Ini fitnah, bukan bunda yang menyuruhnya, Demi Allah bunda bersumpah." Jawab Tantri dengan nada tegas di depan Ghulam kemudian tidak berselang lama dia segera meninggalkan anaknya untuk masuk ke kamar.

Dafi yang baru saja pulang dari dinasnya langsung melihat pemandangan dimana istri dan anak pertamanya sedang berdebat.

"Ghulam."

"Ayah."

Memberikan pelukan erat kepada putra sulungnya dipilih Dafi untuk mencairkan suasana yang sedikit menegang. Biar bagaimanapun dia adalah ayah yang juga merindukan anaknya ketika mereka lama saling berjauhan.

"Tidak baik seperti itu. Minta maaf sana sama bundamu. Ayah tidak ingin kamu menjadi anak yang durhaka." Kata Dafi dan segera menarik lengan Ghulam untuk masuk serta ke kamar menemui sang bunda.

🍒🍒

-- to be continued --

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama

Jazakhumullah khair

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top