#16 | Long Distance Married

بسم الله الرحمن الرحيم

¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --

Jika ada kata kata yang melukai hati, menunduklah dan biarkan ia melewatimu. Jangan dimasukkan di dalam hati biar tidak lelah hatimu
- Ali bin Abi Thalib

✍✍

Hidup terpisah dari orang yang kita cintai, membayangkan saja sudah membuat hati nyeri. Apa kabar hati yang menjalani?

Ghulam memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah 4 bulan menemani Omaira di Madinah. Ya, selain karena alasan visa pekerjaannya di Indonesia juga telah menanti campur tangannya. Ditambah lagi dengan Rayya yang sendirian mengurus toko peninggalan Farzan membuat Ghulam dan Omai tidak kuat hati membiarkan sang ibunda seorangan memegang kendali perekonomian keluarganya.

Tidak ingin izin praktek apotekernya dicabut karena off terlalu lama, membuat Omaira akhirnya mengikhlaskan lelaki halalnya kembali kepangkuan ibu pertiwi.

"La tuqilu 'aya 'iikhlas. 'Iilaa al'abad 'ana 'aydaan 'urid 'an 'akun bijanibik. Maeak." Kata Ghulam ketika dia sedang mengepak beberapa pakaiannya ke dalam koper yang akan dibawa kembali ke Indonesia -- Jangan berkata tidak ikhlas. Selamanya aku juga ingin selalu disampingmu. Bersamamu --

Tidak ada jawaban dari Omai, selain wajah sendu yang beberapa hari ini memang selalu ia tampakkan di hadapan suaminya.

"Ya habibati , 'ana 'uhibbuki fillah. 'In sha' allah 'iilaa al'abad sawaf 'aetani bik. Sadaqani." Kembali Ghulam meyakinkan Omai kemudian merengkuhnya ke dalam pelukan -- Ya kekasihku, aku mencintaimu karena Allah. Inshaallah selamanya aku akan menjaga hatiku untukmu. Percayalah --

Wajah Omai kini berada di dada bidang Ghulam. Melihat bahu Omai yang bergetar hebat, meski tanpa suara Ghulam mengetahui bahwa Omaira sedang menyembunyikan dan menumpahkan isakan tangisnya disana.

"Hei, masmu ini tidak akan kemana-mana. Jarak kita memang akan jauh Sayang. Tetapi hati Masmu ini selalu ada disini, dihatimu. Jangan menangis seperti ini. Mas tidak akan tenang nanti di sana. Let me share a smile please?" kata Ghulam menenangkan Omai dan menghapus semua air mata yang mengalir.

Biarlah apa kata orang, kekanak-kanakan atau apalah itu namanya. Omai hanya ingin menumpahkan perasaannya saat ini. Tidak ingin berbicara lebih. Besok hingga mungkin satu semester kedepan suaminya tidak akan berada disampingnya lagi. Tidak ada lagi seseorang yang begitu setia mengantar kemanapun dia ingin pergi. Tidak akan ada lagi seseorang yang selalu menemani dan berceloteh riang bersama merpati-merpati manakala selesai melaksanakan sholat subuh di Masjidil Nabawi. Tidak ada lagi, sepi dan pasti akan sepi. Tanpa seorang Ghulam yang biasanya selalu ada di sisi.

"Jangan pernah berpikir bahwa Mas ingin berjauhan denganmu. Tidak sedetik pun. Masih ingat kisah cinta Nabi Ibrahim dan Siti Hajjar yang begitu indah? Jika kamu sudah lupa, kemarilah mendekatlah padaku. Akan aku ceritakan kembali kisah cinta penggugah jiwa itu." Kata Ghulam yang sudah duduk di ujung diatas ranjang petiduran mereka.

Ghulam mulai bercerita, tangan kiri Ghulam menggenggam erat jemari Omai. Sedangkan tangan kanannya merengkuh Omai untuk bisa menyandarkan kepalanya di bahu Ghulam.

'Allah amaruka bihadza? Apakah Allah yang memerintahkan kepadamu?'

Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk mengajak serta istri dan anaknya meninggalkan Palestina menuju Makkah. Kota yang tidak ada penghidupan sama sekali karena gersang dan tandus. Sepanjang kota hanyalah gurun pasir dan gunung batu yang tandus. Tidak ada tanda tanda kehidupan disana yang ada hanyalah tanda tanda kematian. Bahkan bisa dikatakan saking menyeramkannya kota itu tidak ada jin pun yang berani tinggal di sana.

Lantas ketika mereka telah sampai di kota yang dimaksud. Lalu Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk meninggalkan keduanya disana. Hingga Siti Hajjar bertanya sampai 3 kali kepadanya, memastikan apakah itu benar-benar Allah yang memerintahkan, 'Allah amaruka bihadza?'

Nabi Ibrahim hanya bisa menjawab 'Allah' sambil memandang langit yang menaungi kota Makkah itu. Dan dia harus merelakan meninggalkan Siti Hajjar dan Nabi Ismail yang kala itu masih merah atas perintah Allah di sebuah gurun pasir dan gunung batu yang tandus di daerah Makkah.

Tidak pernah ada kerelaan dari dalam hati Nabi Ibrahim untuk meninggalkan mereka namun karena perintah Allah untuk berjihat kepadaNya, sekali lagi akhirnya dengan berat hati Nabi Ibrahim meninggalkan mereka berdua.

Hingga akhirnya Siti Hajjar menghibur Nabi Ibrahim dan mengizinkan beliau meninggalkanya bersama Ismail 'kalau begitu Ibrahim, Allah tidak akan sia-siakan kami, engkau berangkatlah, jangan kau pikirkan kami, Allah akan menjaga kami dan Allah tidak akan menyia-nyiakan kami, berangkatlah wahai Ibrahim.'

Hingga akhirnya Nabi Ibrahim mantap meninggalkan mereka di lembah yang bernama Hudai. Ketika Nabi Ibrahim menengok dan sudah tidak kelihatan karena tertutup oleh bukit, disitulah dia memanjatkan doa dengan linangan air mata. Ya, dia telah meninggalkan keluarganya. Anaknya yang masih merah yang telah ditunggunya dan Allah baru memberikan saat di usianya yang ke 80 tahun.

"Rabbanaa innii askantu min dzurrii-yatii biwaadin ghairi dzii zar'in 'inda baitikal muharrami rabbanaa liyuqiimuush-shalaata faaj'al af-idatan minannaasi tahwii ilaihim waarzuqhum minats-tsamaraati la'allahum yasykuruun(a)" *

Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah tempatkan sebagian dari keturunanku di lembah yang tak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau yang suci, ya Rabb kami yang demikian itu agar mereka mendirikan sholat, maka jadikanlah hati sebagian manusia condong kepada mereka, dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, semoga mereka bersyukur.

Empat tahun kemudian Allah mengizinkan kepada Nabi Ibrahim untuk dapat menengok istri dan anaknya namun tidak terlalu dekat. Apa yang dilihat, tempat dimana Nabi Ibrahim meninggalkan Siti Hajjar dan anaknya telah menjadi satu perkampungan kecil. Sudah ada rumah, ada penduduk, ada juga telaga, ada kambing-kambing, ada sumur, tentunya Nabi Ibrahim tidak tahu apa yang terjadi kepada Siti Hajjar dan Ismail, sibuk da'wah selama 4 tahun tidak mendapat berita istri dan anaknya.

Namun Allah meminta Nabi Ibrahim untuk kembali ke Palestina kembali. Hingga akhirnya 4 tahun kemudian Nabi Ibrahim baru diperbolehkan Allah untuk kembali kepada keluarganya. Siti Hajjar yang kaget mengetahui bahwa suami yang telah 8 tahun pergi tiba-tiba kembali langsung menyambutnya dengan perasaan rindu dan kangennya.

"Kita sudah punya rumah sekarang, ada telaga zam-zam, daging, roti, silahkan masuk ke rumah." Namun Nabi Ibrahim hanya diam saja, kembali Siti Hajjar mempersilakannya berkali-kali tetapi tetap Nabi Ibrahim hanya diam saja. Dan akhirnya kembali Siti Hajjar bertanya, "Apakah ini perintah Allah wahai Ibrahim?" maka beliau katakan, "Ya, ini perintah Allah. Aku diperintahkan menengokmu tapi tidak diperbolehkan turun dari kendaraan." Maka karena ini perintah Allah mereka langsung menerima dan tidak memprotesnya lagi. Siti Hajjar bertanya lagi, "Wahai Ibrahim, kalau aku membasuh mukamu, membasuh kakimu, membasuh tanganmu, membersihkan tubuhmu dari debu-debu gunakan air zam-zam ini dilarang atau tidak?" maka beliau katakan bahwasanya hal itu tidak dilarang.

Maka langsung diambilnya air zam-zam oleh Siti Hajjar dan bersihkan tubuh Nabi Ibrahim yang ada diatas kendaraan tersebut, ketika itu Nabi Ibrahim tidak tahan lagi untuk membendung air matanya, maka beliau minta kepada istrinya untuk membasuhkan air zam-zam dimukanya, dan bersama dengan tumpahnya air di muka beliau maka jatuh pulalah airmatanya tetapi tidak diketahui oleh Siti Hajjar, sengaja Nabi Ibrahim meminta air dibasuhkan ke mukanya agar istrinya tidak tau bahwasanya beliau sebenarnya menangis, takut kalau nanti terjadi istrinya tahu mereka akan lemah sehingga melanggar larangan Allah turun dari kendaraan tersebut. Disembunyikanlah tangisan Ibrahim tersebut. Ini perintah Allah apapun yang terjadi tidak boleh dilanggarnya. Maka setelah itu Nabi Ibrahim langsung berangkat lagi da'wah lagi. Setelah 4 tahun berikutnya barulah beliau diperbolehkan untuk berkumpul bersama keluarganya di Makkah.

"Mas, pasti aku tidak sekuat ibunda Siti Hajjar, untuk menantimu seperti kepergian Nabi Ibrahim." Tanggap Omai ketika Ghulam telah menyelesaikan ceritanya.

"Pasti bisa, bunda Hajjar bersama nabi Ismail saja bisa kok. Omaira juga pasti bisa, sekarang masih sendiri belum ada baby kita di sini." Tatapan teduh Ghulam sambil menunjukkan jarinya ke perut Omai. "Masih ada paman Hasan, bibi Farida, dan Haura di sini. Jangan pernah takutkan itu." Jelas Ghulam menenangkan Omai meski hatinya sendiri juga merasakan apa yang dirasakan oleh Omai.

Malam yang begitu panjang. Bungkam dalam kebisuan untuk menyelami dalamnya hati anak manusia yang sedang dirundung pilu untuk sebuah kata perpisahan meski hanya untuk sementara.

Selepas sholat subuh Omai dan Ghulam telah bersiap untuk berangkat ke Jeddah. King Abdulaziz International Airport. Penerbangan yang akan membawanya ke Juanda akan boarding pukul 11.30 dan flight pukul 12.10 waktu Saudi.

Hingga akhirnya mereka harus berpisah. Omaira tersenyum melepas Ghulam namun air matanya juga mengalir dengan deras.

"Ingatlah cerita Nabi Ibrahim dan Siti Hajjar, kala engkau merindukanku. Akan kubelai engkau selalu dalam sujud dan doa sepertiga malamku. Aku berjanji kepadamu, wahai kekasihku." Pesan Ghulam hingga akhirnya dia mendaratkan ciumannya di kening Omai.

Anggukan dan tatapan sayu yang terbungkus dalam senyuman tipis melepas kepergian Ghulam. Melarutkan molekul rindu dalam setiap helaan nafas yang akan menemani hari-hari tanpanya disisi.

Omai melangkahkan kakinya meninggalkan airport ketika punggung Ghulam sudah tidak terlihat dari sudut matanya. Bersama paman dan bibinya, mereka kembali ke Madinah.

Belum sampai di tempat parkir mobil. Pandangan mata Omai mengabur. Kedua kakinya lemas seketika, seakan tak kuat menopang berat tubuhnya. Beruntunglah ketika tubuhnya mulai terhuyung, bibi Faridanya sempat mengucapkan kalimat istirjak yang membuat Hasan menoleh seketika dan menangkap tubuh Omai yang sudah tidak berdaya. Pingsan.

🍒🍒

Hampir 11 jam Ghulam berada di udara. Meninggalkan hati dan pikirannya di Madinah bersama wanita halalnya.

'Tidak ada yang lebih berat bagiku selain berjauhan denganmu. Dulu aku telah merasakannya dan itu sangat menyakitkan. Kini, terlebih setelah tanggung jawabmu ada padaku' batin Ghulam ketika kakinya melangkah keluar dari pesawat udara yang membawanya kembali ke Indonesia.

Tiga puluh menit kemudian, Ghulam telah berada di pintu keluar terminal kedatangan. Saat matanya sedang mencari keberadaan seseorang tiba-tiba telinganya menangkap suara memanggil namanya dengan kencang.

"Ghulam."

Mata Ghulam kembali mencari arah sumber suara. Seorang wanita cantik, tinggi semampai mengenakan pakaian syar'i lengkap dengan khimar yang menutup kepalanya senada dengan pakaian yang dikenakan.

"Assalamualaikum Ghulam. Bunda memintaku untuk menjemputmu."

Mata, pikiran dan hati Ghulam masih belum sinkron dengan semua yang dia lihat kini. Gadis cantik yang berada 1 meter didepannya itu memang sangatlah anggun dengan senyum manis khasnya.

'Astaghfirullahaladziim.' Lirih bibir Ghulam mengucapkan istighfar ketika dia menyadari begitu menikmati pemandangan yang ada di depannya.

"Waalaikumsalam, Diandra. Kamu sudah berjilbab?"

"Alhamdulillah. Demi kamu, setelah semua kontrakku selesai aku telah merubah penampilanku sesuai maumu." Jawab Diandra dengan begitu bangganya.

'Kamu salah Diandra. Harusnya kamu berubah karena Allah bukan karenaku. Kamu menutup auratmu karena itu kewajibanmu dan juga kamu membutuhkan itu untuk melindungi dirimu bukan karena memenuhi permintaanku' Ghulam masih setia dengan kata hatinya.

"Bagaimana perjalanan umrohmu Ghulam. Apakah menyenangkan? Ah, betapa bahagianya kemarin jika aku ikut serta. Sayang aku baru saja baru balik dari Amrik seminggu yang lalu." Tanya Diandra kepada Ghulam kemudian dia berusaha menjelaskan beberapa bulan terakhir memang sangat disibukkan dengan kegiatannya di benua paman sam.

"Umroh? Dengan siapa kamu kemari?"

"Sendiri, aku menjemputmu Ghulam. Kamu tidak melupakan untuk mendoakan hubungan kita kan?" Diandra memastikan semuanya.

Ghulam menggeleng keras mendengar pertanyaan terakhir dari Diandra. Maksud Ghulam adalah dia tidak mengerti mengapa Diandra bertanya seperti itu kepadanya bukankah seharusnya Diandra telah mengetahui jika kini dirinya telah menikah? Tetapi menurut Diandra gelengan Ghulam diartikan bahwa Ghulam tidak melupakan untuk mendoakan hubungan mereka, hingga akhirnya senyum Diandra merekah sangat lebar.

"Bukankah seharusnya pak Tarjo, sopirnya ayah yang menjemputku sekarang?"

"Iya, tapi tadi siang bunda menyuruhnya untuk tidak ikut. Jadi aku sendiri yang menjemputmu. Ayo kita pulang, hari sudah dini hari kamu pasti lelah perjalanan 10 jam. Atau kamu mau nginep dulu di dekat Bandara ini? Pagi baru kita lanjutkan perjalanan ke rumah?" tanya Diandra masih dengan muka ramahnya.

Ghulam masih tidak habis pikir dengan wanita yang berdiri di depannya. Bagaimana mungkin Ghulam menerima ajakan wanita ini. Berdua di dalam mobil selama 4 jam dengan wanita yang bukan mahramnya. Lebih parahnya lagi dia justru menawarkan menginap. Dia menggeleng pelan kemudian meninggalkan Diandra dan mencari taxi untuk mengantarkannya pulang.

"Ghulam! Kamu kenapa sih, aneh." Teriak Diandra ketika Ghulam menarik handle pintu taxi yang telah berhenti di depannya.

"Aku nggak mungkin pulang bersamamu Diandra."

"Aku sudah capek-capek meluangkan waktuku untuk menjemputmu. Seharusnya kamu lebih menghargaiku." Geram Diandra.

Ghulam tetap menggelengkan kepala. Sambil memasukkan kopernya ke dalam bagasi taxi Ghulam berbalik menghadap Diandra namun tatapannya jatuh kepada ujung sepatunya sendiri.

"Jika kamu berniat untuk berhijrah, niatkanlah hijrahmu hanya untuk Allah. Bukan karena sesuatu terlebih untuk seseorang. Allah itu maha pencemburu." Ujar Ghulam menasihati Diandra.

"Ah Ghulam, aku juga kan masih awal. Jadi wajar dong jika aku berubah karenamu, karena itu syarat untukku agar kamu menerimaku menjadi istrimu kan?" tanya Diandra.

"Maafkan aku Diandra, kamu sudah terlambat. Aku memang mensyaratkan itu, tapi aku juga tidak ingin kamu berubah karenaku. Berubahlah karena Allah bukan karenaku. Dan satu lagi, aku tidak bisa berkhalwat dengan akhwat yang bukan mahramku. Terimakasih atas perhatianmu, aku permisi dulu. Assalamu'alaikum." Ucap Ghulam kemudian masuk ke dalam taksi yang telah menunggunya beberapa saat. Bagi Ghulam lebih baik membayar mahal argo taxi yang dia naiki sampai 4 jam kedepan daripada harus berduaan dengan wanita yang jelas-jelas dilarang oleh Allah untuknya.

"Berkhalwat dengan akhwat? Maksudmu?" tanya Diandra sebelum Ghulam menjatuhkan diri di jok taxi dan menutup pintunya.

"Berduaan dengan wanita." Jawab Ghulam singkat kemudian menutup pintu taxi dan meminta drivernya untuk segera meninggalkan bandara.

Dengan tatapan nanar dan penuh dengan rasa kecewa Diandra hanya bisa memandangi taxi yang telah bergerak menjauhinya. Rasanya dia ingin meninju muka datar Ghulam jika tidak mengingat dia begitu mencintai pemuda yang telah dijodohkan kedua orang tua mereka untuk menjadi suaminya kelak.

'Mungkin tidak sekarang Ghulam, tapi lihatlah nanti siapa yang akan sepenuh hati mencintai' ucap Diandra dalam hati kemudian berjalan menuju tempat dimana sebuah mobilnya telah dia parkir lebih dari satu jam yang lalu.

🍒🍒

-- to be continued --

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama

Jazakhumullah khair

Noted:

*) Surrah Ibrahim ayat 37



Bagi yang beberapa tanya akun sosmed author boleh yuk follow

IG : @marentin.niagara
FB : Marentin N. Niagara


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top