#15 | Bermuka dua ?

بسم الله الرحمن الرحيم

¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --

Banyakkan mengatakan 'tidak tahu' walaupun kamu mengetahui perkara itu. Maka kamu akan diberitahu sehingga kamu menjadi orang yang lebih tahu - Ali bin Abi Thalib

✍✍

Percaya akan ketauhidan Allah. Sudah semestinya sebagai seorang hamba yang selalu membutuhkan Allah mengiringi setiap langkah kaki kita berjalan.

Tidak ada peristiwa dibumi ini tanpa adanya campur tangan dari Allahu Rabb. Dzat mahadaya diatas segalanya. Tidak ada yang perlu ditangisi atas kepergian seseorang. Allah telah menentukan qodarNya dengan begitu indah.

Pagi ini Rayya membuat beberapa kue dan memasak makanan untuk diberikan kepada kakaknya yang sekarang juga telah menjadi besannya.

Sejak pemakaman suaminya, Rayya memang belum bertemu dengan kakaknya. Karena memang tugas dan kewajiban yang harus diemban dan amanah untuk rakyat.

"Assalamu'alaikum." Sore ini sengaja Rayya sendiri mengunjungi rumah sang kakak untuk silaturahim.

Hening tanpa jawaban dari dalam hingga beberapa saat kemudian Rayya mengucapkan salamnya sekali lagi. Masih juga belum mendapatkan jawaban hingga dia mengucapkan salam untuk ketiga kalinya.

'Mungkin memang tidak ada orang dirumah' kata Rayya dalam hati sebelum akhirnya dia berputar untuk kembali ke rumah.

Baru beberapa langkah Rayya berjalan menuju sepeda motor yang terparkir agak jauh dari pintu gerbang. Sapaan khas penjaga rumah kakaknya. Pak Purnowo, security yang bertugas untuk menjaga rumah memanggilnya.

"Bu Rayya, maaf tadi saya ke belakang. Ada yang bisa saya bantu Bu? Mari masuk kebetulan Ibu juga ada di dalam kok." Sapa Purnowo.

"Assalamu'alaikum Pak Pur. Syukraan, saya pikir tadi tidak ada orang makanya saya berniat untuk kembali." Jawab Rayya yang akhirnya memarkirkan sepeda motor maticnya di dalam halaman rumah sang kakak.

Satu tas yang berisi makanan dan kue telah beralih di jinjing oleh security walikota yang bertugas untuk menjaga rumahnya. "Tolong diserahkan ke mbok Minah ya Pak Pur, biar segera diangetin lagi."

"Dengan senang hati Bu Rayya. Ibu ada di ruang tengah. Silakan, saya ke belakang dulu." Purnowo memang sangat sopan dengan orang, bicaranya sangat halus tetapi dia sangat tegas. Karenanya dia dipilih untuk dinas di rumah walikota bersama dengan beberapa anggota Pol PP jika memang dibutuhkan untuk berjaga.

"Maturnuwun."

Pelaku pembunuhan Farzan masih dalam tahap penyelidikan tetapi sepertinya kepolisian telah menetapkan beberapa DPO untuk kasus itu. Rayya, telah menyerahkan semuanya kepada Allah dan kepada hukum yang berlaku di negara ini. Selama ini yang dia ketahui bahwa Farzan tidak pernah memiliki masalah dengan siapapun. Meski dia tidak sepaham dengan Farzan tentang akidah keislamannya, Farzan tidak serta merta menentang atau memusuhi mereka. Justru Farzan berusaha untuk merangkul dan beramar makruf untuk menjelaskan bagaimana yang seharusnya benar.

"Assalamu'alaikum Mbak Tantri." Rayya mengucapkan salam ketika masuk dan mengetahui kakak perempuannya sedang menyaksikan televisi.

"Waalaikumsalam." Singkat padat dan jelas. Rasanya memang sangat asing ditelinga Rayya. Biasanya sang kakak ini sangat antusias menyambut kedatangannya kemudian mereka bercerita bersama atau sang kakak dengan penuh perhatian mendengarkan ceritanya. Namun kali ini jawaban sapaan salamnya terdengar sangat dingin.

"Mbak, tadi aku buat kue dan masak beberapa makanan. Inshaallah cukup untuk dipakai makan malam serumah. Sudah di serahkan mbok Minah sama Pak Pur." Kata Rayya kemudian.

"Terima kasih."

Tidak ada pertanyaan balik dari Tantri, yang membuat Rayya semakin yakin jika ada sesuatu dengan sang kakak.

"Mbak___"

"Hmmmm?"

"Maaf jika aku lancang, tapi sepertinya Mbak Tantri sedang ada masalah?" tanya Rayya hati-hati takut sang kakak tersinggung dengan pertanyaannya.

Nafas besar dihela oleh Tantri dan dihembuskan secara kasar. Tatapannya kini beralih kepada Rayya dengan sangat tajam. "Masih pantas kamu bertanya seperti itu kepadaku?"

Dingin, dan sangat beku. Pertanyaan Tantri menghentakkan sisi naluri Rayya sebagai saudara sedarahnya.

"Maksud Mbak?"

"Seharusnya aku yang bertanya kepadamu. Maksudmu apa?" kata Tantri masih berusaha meredam amarahnya namun tetap dengan suara yang dingin.

"Maksudku? Maksud yang mana? Hari ini memang sengaja aku ke sini. Silaturahim ke rumah kakakku. Apa ada yang keliru?" Rayya masih juga belum mengerti apa yang dimaksudkan kakaknya.

"Kalian lancang Rayya, kalian telah mengambil Ghulamku tanpa izin. Mengapa? Apa kurang aku telah membantu keluarga kalian? Apa masih kurang? Mengapa harus Ghulam yang kalian minta." Kini tangis Tantri sudak tidak dapat dibendung lagi. Air matanya tumpah, sesak di dalam dadanya kini mencuat ke permukaan. Ya, dia menumpahkan semua kekesalan hatinya kepada sang adik yang telah menikahkan putra kebanggaannya dengan sepupunya.

Rayya tidak dapat berkata apa pun. Melihat bagaimana histeris kakaknya, tatapan tajam sang kakak membuat nyalinya menciut. Rasa bersalah semakin menangkupi hatinya.

Ah, bukankan setelah keberangkatan Ghulam ke Madinah Dafi telah memberitahukannya bahwa sang kakak telah menerima pernikahan Ghulam dan Omai. Tapi mengapa sekarang sikap kakaknya berbanding terbalik dari apa yang dikatakan Dafi kepadanya?

"Apa maksudnya waktu itu? Jelaskan!" Rayya masih shock mendengar dan melihat semuanya. Akalnya masih mencoba mencerna semua apa yang dikatakan oleh kakaknya. Melihat tidak ada satu kata pun keluar dari bibir sang adik, Tantri akhirnya berada di puncak kemarahannya. "Kalian benar-benar membuat aku kecewa! kalian menghancurkan semua mimpiku! Ingat Rayya, apa pun alasannya aku akan tetap menetapi janjiku dengan Silvi dengan menikahkan Ghulam dan Diandra. Ingat baik baik itu!" geram Tantri kemudian meninggalkan Rayya seorang diri di ruang keluarga.

Tidak ada satu pun orang tua di dunia ini yang menginginkan anaknya terluka. Tidak seorang pun.

'Astaghfirullahaladziim.'

Ini bukan salah Omai, tidak juga salah Ghulam. Mereka saling mencintai meski tidak pernah mengungkapkan sebelumnya.

"Allah, jika harus ada yang menangis karena kisah ini. Timpakan semuanya kepadaku, jangan Omaiku. Tidak ada satu pun kekhilafan atasnya, kami sepenuhnya. Jangan dia." Ucap Rayya lirih diantara isak dan air mata yang telah menetes deras di kedua pipinya.

Rayya meninggalkan rumah kakaknya dengan hati yang lara. Tidak pernah terbayangkan olehnya. Ucapan Tantri sungguh diluar pikirannya. Belum pernah sekalipun dia mendengar ucapan kakaknya yang mengiris hati.

Teriring adzan maghrib, Rayya mengendarai sepeda motornya meninggalkan kediaman kakaknya tersayang.

🍒🍒

Jangan kamu mengkhawatirkan apa yang telah dijamin olehNya, kamu mungkin tidak akan pernah tahu dimana rizkimu namun rizkimu tahu dimanapun kamu berada.

Work hard !! pray hard !! Do the best let's God do the rest.

Ghulam begitu menikmati setiap detiknya berada di samping Omai. Siapa yang akan menolak berada di dekat orang yang kita sayang?

"Mas, jadi ikut paman Hasan nanti?"

"Inshaallah. Amr juga mengajakku serta."

"Tapi ini buka passion mas Ghulam. Apakah tidak terlalu berat nantinya?"

"Mengapa bertanya begitu Sayang. Hei, lihat masmu." Kata Ghulam saat kedua tangannya menangkup muka wanita halalnya yang berada di hadapannya. "Tidak ada sesuatu di dunia ini yang tidak bisa dipelajari. Memang, aku seorang apoteker. Tapi tidak mungkin diaplikasikan disini. Mengapa? Masmu tidak punya izin praktek di sini. Jadi apa hanya karena alasan itu kemudian aku tidak memberikan hakmu? Atau karena kamu pengen dikelon tiap hari, hmmm?" kata kata Ghulam membuat pipi Omai kembali merona.

"Mas ishhh."

"Jadi nggak mau dikelon sama masmu ini? Here still winter season, are you sure?" kerlingan nakal Ghulam membuat Omai semakin merona.

"Mas Ghulam!!!"

"Yes, I'm here. Malu ya? Malu-malu tapi mau, hmmmmm." Lembut bibir Ghulam mendarat sempurna di pucuk kepala Omai.

"Mas mesum ih." Omai membalikkan tubuh. Menstabilkan detak jantung yang sedang maraton di dalam dadanya.

"Mesum itu jika dengan wanita lain. Ini dengan istri sendiri, mesum dari mananya?" kata Ghulam kemudian mendaratkan bokongnya di atas petiduran empuk mereka.

"Sini duduk di sampingku, kita vidcall bunda yuk." Ghulam menarik Omai untuk duduk di sampingnya. Tangan terampilnya telah berhasil menekan nomor untuk menghubungi sang bunda.

"Assalamu'alaikum Bunda." Sapa Ghulam saat panggilan tersambung. Wajah Tantri sangat berbinar saat Ghulam menyapanya dari ujung telepon.

"Waalaikumsalam. Mukamu kok tambah tirus le? Opo ra tau maem neng kono?" tanya Tantri dengan senyum yang masih mengembang. -- apa tidak pernah makan di sana --

"Masih adaptasi Bunda, makanan di sini berbeda dengan di Indonesia. Lidah Ghulam belum sepenuhnya cocok. Ini ada dik Omai juga, Bunda ingin bicara?" tanya Ghulam kepada ibunya.

"Iya, mana adikmu?" Ghulam langsung mengarahkan kamera gawainya ke muka Omai. Dengan senyum sumringah Omai segera menyapa ibu dari suaminya itu.

"Assalamu'alaikum Budhe. Budhe Tantri sehat?" sapa Omai kepada wanita yang kini tersenyum di gawai suaminya.

"Kok budhe sih Dek, Bunda. Budhemu itu sekarang jadi bunda kita. Jadi kamu juga harus panggil bunda kepada beliau." Nasehat Ghulam kepada Omai dijawab senyum nyengir Omai.

Tantri melihat tatapan mata keduanya. Tidak dipungkiri memang, cinta telah tumbuh diantara keduanya. Sepertinya memang sangat mudah. Keduanya tumbuh bersama, Ghulam memang sangat memperlihatkan bagaimana dia begitu perhatian kepada Omai. Tantri sangka bahwa perhatian Ghulam kepada Omai itu memang perhatian seorang kakak terhadap adik. Namun kini, melalui tatapan mata mereka berdua Tantri menyadari sesuatu yang disembunyikan Ghulam dengan begitu rapinya. Ghulam menyayangi Omai sebagai seorang laki-laki kepada perempuan, bukan hanya sebatas sayang kakak kepada seorang adiknya.

"Sudah Ghulam nggak apa-apa. Kalau Omai lebih nyaman memanggil bunda dengan sebutan budhe, bunda memang budhenya Omai kan? Alhamdulillah sehat sayang. Kamu bagaimana di sana, kuliah lancar?" tanya Tantri menekan semua yang ada di hatinya. Dia benar-benar tidak ingin memperlihatkan rasa kecewanya di hadapan putra kesayangannya itu.

"Alhamdulillah Budhe. Omai sehat dan kuliah sedang libur agak panjang. Pakdhe Dafi sehat juga kan Budhe?"

"Iya, pakdhemu sekarang tambah sibuk ngurus ini itu. Sekaligus ngurus ke kantor polisi juga."

Omai memang langsung menunduk mendengar penuturan Tantri tentang mengurus ke polisi. Sudah bisa dipastikan jika itu berkenaan dengan musibah yang menimpa abinya sampai harus merenggut nyawa Farzan.

"Sudah jangan sedih O, didoakan saja abimu. Di sana ada masmu kan? Jaga diri kalian baik-baik. Ghulam, jaga adikmu dengan baik." Pesan Tantri kepada keduanya.

"Siap komandan. Doain juga ya Bun. Semoga bunda segera dipanggil eyang. Kami sepakat tidak ingin menundanya." Kata Ghulam yang langsung dihadiahi cubitan kecil di pahanya oleh Omai.

Tantri tersenyum hambar. Bukan Omai yang ingin dia jadikan menantu, bukan karena Omai wanita yang tidak baik tetapi lebih karena Tantri tidak ingin mengingkari janjinya dengan Silvi sahabatnya.

"Ghulam, Bunda harus siap-siap karena akan memimpin rapat dharma wanita pagi di pendopo. Bunda tutup dulu ya, assalamu'alaikum." Kata Tantri memutuskan panggilan setelah anaknya menjawab salam.

Ya Ghulam melihat jam yang melingkar di lengan kirinya. Pukul 03.00 waktu Madinah berarti di Indonesia masih pukul 7 pagi. Sambil melingkarkan tangan di pinggang Omai, Ghulam tersenyum yang membuat hati Omai kembali cenat cenut. "Benar kan apa yang aku bicarakan dengan bunda tadi? Kita tidak akan menundanya?"

"Mas____"

"Dik, mengapa selalu ada tomat di sini ketika aku membicarakan masalah itu?" tanya Ghulam sambil menunjuk pipi Omai.

"Mas, ishhh. Entahlah, aku malu Mas. Jangan bicara terlalu vulgar. Aku belum terbiasa." Kata Omai masih dengan pipi yang merona bersemu merah.

"Tunggu sebentar." Ghulam seketika meninggalkan Omai untuk mengambil wudhu. "Ambil wudhu dulu ya, kita sholat malam sekaligus sholat sunnah untuk itu. "

Ghulam segera menyiapkan sajadah untuk dipakai sholat mereka.

"Kemarilah Sayang." Ghulam meminta Omai untuk mendekatinya seusai menyelesaikan sholat mereka kemudian segera meletakkan tangan kanannya di atas ubun-ubun Omai dan mengucapkan doa sakralnya.

"Belum biasa kan? Baiklah kita biasakan mulai sekarang." Kerlingan mata Ghulam menyadarkan Omai untuk segera melaksanakan kewajibannya.

"Mas___"

"Hei Dear, kita sudah beberapa kali melakukan ini ada apa denganmu?" tanya Ghulam dengan senyum nakalnya.

"Mas___, jangan menggodaku seperti itu, sungguh senyummu yang seperti itu justru membuat jantungku dangdutan di dalam sana." Jawab Omai masih tertunduk dan tersipu malu.

"Allahu akbar, kamu masih malu sama aku? Aku ini suamimu dan kita sudah halal melakukan apa pun. Mengapa kamu masih seperti ini?" tanya Ghulam sambil melepas khimar yang menutup kepala Omaira.

"Boleh?" tanya Ghulam sekali lagi sebelum tangannya menarik leseting pakaian Omai.

Anggukan kepala Omai menandakan bahwa dia siap menerima Ghulam untuk melengkapkan ibadahnya hari ini.

"Iya." Jawab Omai lirih tepat didekat telinga Ghulam.

Mengulang nikmatnya beribadah bersama. Ah, jika masih ada yang bertanya, apa istimewanya? Ghulam menikmati setiap prosesnya, belajar bersama dan menikmati bersama. Istimewanya, jika belum berhasil bisa diulang lagi, lagi dan lagi.

Penyatuan sempurna.

Ghulam berbaring di sebelah Omai. Memandang wanita halalnya tanpa hijab diantara mereka. "Syukraan, ya habibati. Perfecto."

"Semoga tersemai di dalam sini ya Nak. Baba dan umma tidak sabar menantimu hadir melengkapi kami." Kata Ghulam yang diaminkan oleh Omai saat dia mencium perut rata Omai sebelum akhirnya membersihkan diri di kamar mandi.

Adzan subuh segera dikumandangkan membuat Ghulam dan Omai bergegas untuk memakmurkan masjid. Ya, anggap sebagai wisata religi yang selalu merindukan Masjidil Nabawi untuk melangitkan semua doa-doa yang ada di dalam hati.

"Sudah siap?" kata Ghulam setelah Omai memakai niqobnya.

"Inshaallah."

Pujian untuk dan hanya kepada Allah diagungkan. Bersama fajar yang mulai menapaki jalurnya untuk menjelajah angkasa. Menjadi raja yang selalu menerangi bumi dari kegelapan sebagaimana islam sebagai agama yang ada untuk membuat segalanya terang, aman dan penuh kedamaian.

🍒🍒

-- to be continued --

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama

Jazakhumullah khair

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top