#14 | Rahasia Hati

بسم الله الرحمن الرحيم

¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --

Dirimu yang sebenarnya adalah apa yang kamu lakukan di saat tiada orang yang melihatmu - Ali bin Abi Thalib

✍✍

Rasanya masih seperti mimpi mendengar dan mengetahui musibah yang kini tengah melanda keluarganya. Dafi, suaminya yang kini sedang diajukan kembali untuk menjadi pemimpin daerah sepertinya memang menjadi penghalang oknum-oknum yang ingin berbuat kecurangan dalam berbagai hal yang berkaitan dengan birokrasi pemerintahan, baik itu tentang mekanisme dan alur maupun tentang anggaran penggunaan dana.

Tantri masih belum bisa mempercayai bagaimana mungkin ada seseorang yang kini tengah mengincar keluarganya hanya karena suatu jabatan atau hal lainnya terkait dengan iklim politik yang kini sedang hangat-hangatnya. Ya, pencalonan kembali suami tercintanya serta masalah yang kini sedang menjadi penyelidikan utama suaminya terkait dengan penyelewengan anggaran dana menjadi fokus utama penyelidikan polisi setelah percobaan pembunuhan yang kemungkinan besar diarahkan kepada suaminya. Tetapi ternyata pembunuhan itu salah sasaran, dan adik iparnyalah yang kini menjadi korbannya.

Farzan Shakeil, meregang nyawa setelah timah panas menembus tubuhnya. Di saat yang sama Tantri dan Vida tidak bisa berada di rumah sakit karena jadwal kegiatan yang harusnya hari ini dihadirinya bersama suami dan pasangannya bersama keluarganya harus dihadirinya sendiri. Mengingat Dafi sedang mengaudit beberapa dinas dibawah koordinasi jabatannya. Memang tidak sampai lama, safari turba ke kecamatan telah selesai mereka laksanakan selepas adzan ashar berkumandang. Namun karena ada pemberitahuan mendadak tentang kegiatan PKK di propinsi minggu depan maka mau tidak mau Tantri harus mengambil beberapa keperluan yang telah dia pesan di luar kota untuk acara tersebut.

"Yah, Bunda izin ke luar kota ya. Ini tadi dapat telepon ternyata acara lomba PKK di propinsi diajukan jadi bunda sama bu Wawali harus mengambil beberapa contoh produk dan keperluan lainnya di sana."

"Sudah sore loh Bun, nanti sampai rumah jam berapa?"

"Kemungkinan tengah malam baru sampai rumah. Besok Bunda harus memimpin rapat di pendopo."

"Vida?"

"Ikut bunda saja, ayah jangan pulang malam-malam. Nanti langsung telpon Ghulam saja kalau perlu apa-apa, dia pasti masih di rumah dik Farzan."

"Hati-hati Bun."

Tidak ada firasat sama sekali jika bencana telah mengintai suaminya. Semua berjalan dengan sangat baik. Namun ketika selepas maghrib Tantri memperoleh telepon yang memberitahukan bahwa Farzan mendapat musibah. Rasa tubuhnya seperti tertimpa runtuhan gedung maha dasyat. Bahkan tidak menunggu lama Tantri memutuskan untuk kembali ke kotanya. Tetapi karena waktunya bersamaan dengan penghujung weekend sehingga membuat perjalanan pulang Tantri sedikit tersendat.

Setiba di rumah adiknya, Tantri mendapati keramaian disana. Bukan keramaian yang membahagiakan. Melainkan keramaian duka atas meninggalnya adik walikota. Beberapa karangan bunga duka telah terkirim dan berjajar di depan rumah Farzan.

Farzan Shakeil meninggal dunia karena percobaan pembunuhan yang ditujukan kepada sang walikota.

Tidak ada yang lebih menyedihkan dibandingkan dengan kejadian memilukan yang menimpa adik iparnya. "Ayah," tangis Tantri tak lagi bisa dibendung saat dia berada dipelukan suaminya. Mendapati Rayya yang diam tertunduk dan merapalkan beberapa doa untuk kepergian suaminya.

"Ghulam dimana, Yah?" tanya Tantri.

"Sedang mengurus segala sesuatunya di makam." Jawab Dafi.

"Langsung dimakamkan malam ini juga?"

"Jika semuanya sudah siap untuk apa lagi menundanya Bun?"

"Tidak menunggu kedatangan Omai dulu?"

"Omai sekarang ada di Saudi Bun, butuh waktu 10 jam perjalanan untuk sampai ke Surabaya, belum dari Surabaya ke sini, apa ia di sana dia bisa langsung memperoleh tiket. Ghulam tidak memberinya izin dan dia yang mengambil alih semua kewajiban dan tanggung jawab Omai sebagai anak Farzan." Jelas Dafi.

Tantri memahami sepenuhnya. Adiknya Rayya memang hanya memiliki seorang putri yaitu Omai yang kini sedang melanjutkan studi kedokteran di Saudi Arabia. Sangat tidak mungkin jika pemakaman Farzan Shakeil harus menunggu kehadiran Omai.

Tepat pukul 23.00 jenazah Farzan dikebumikan. Ghulam sendiri yang mengumandangkan adzan untuk paman sekaligus ayah mertuanya di lahad.

"Ane tidak sangka beliau paman ente Lam." Kata Fawwaz.

"Syukraan Fa, ente udah membawa paman ane ke rumah sakit tadi. Tapi ngomong-ngomong tadi ane tidak melihat ente disana mem_" tanya Ghulam kepada Fawwaz.

"Ane harus ke kantor polisi untuk menjadi saksi atas penembakan paman Farzan karena mobil ane tepat di belakang mobil ayah ente yang menjemput paman Farzan."

"Ouughh, maaf membuat repot ente pada akhirnya."

"La Ghulam. Ini semua musibah dan takdir Allah yang telah tertulis untuk paman Farzan. Kita wajib mendoakan yang terbaik untuk beliau."

Ghulam mengangguk dan mengajak semuanya untuk kembali ke rumah. "Fa, ente nginap di rumah saja. Ini sudah malam, bahaya kalau harus kembali ke Malang mengemudi sendirian." Ghulam mengkhawatirkan kondisi Fawwaz sedangkan untuk meminta tolong ke Ali rasanya juga tidak mungkin. Mengingat istri Ali sedang hamil besar dan siap untuk melahirkan.

"Syukraan. Ane nginep di hotel saja Lam, bukan karena tidak menghargai ente sebagai sohib ane tapi kurang etis jika ane harus berada di keluarga yang sedang berduka dan masih membutuhkan privasi keluarga untuk itu."

"Afwan. Baiklah jika memang seperti itu alasannya."

"Ane pamit. Salam untuk keluarga ente dan juga bibi Rayya."

"Inshaallah, nanti ane sampaikan."

🍒🍒

Malam ini Ghulam diminta untuk tidur di kamar Omai oleh Rayya. Bukan, ini bukan malam tetapi sudah menjelang subuh namun matanya belum bisa terpejam. Ingatannya kembali berputar seperti kilatan kaset yang sedang direwind semua terasa menyesakkan dadanya.

Ya, Ghulam sangat mencintai Omai. Meminang dan menikahinya adalah keinginan yang selama ini dia impikan. Namun bukan berarti dia harus kehilangan Paman yang juga sangat dicintainya. Paman, guru mengaji dan sekarang telah menjadi ayah mertuanya telah mendahului untuk menghadap Illahi Rabb.

Ghulam membuka kembali galeri yang ada di gawainya. Ikrar ijab qobulnya atas nama Omaira sebelum Farzan menghembuskan nafas terakhirnya membuat Ghulam tak kuasa menahan air mata yang menetes. Kini dia telah sah menerima tanggung jawab sebagai pelengkap iman Omaira. Harusnya hari ini menjadi hari yang paling membahagiakan untuknya. Tapi tidak, dia sangat sedih hari ini. Kehilangan seseorang yang ia cintai untuk selamanya.

Ghulam akhirnya beranjak dari ranjang tidurnya untuk segera mengambil wudhu dan menunaikan sholat malamnya. Namun matanya memicing sejenak saat melihat sosok wanita yang kini sedang duduk di ruang tengah.

"Umma."

"Mas Ghulam, kamu sudah bangun?"

"Umma mengapa duduk di sini sendirian?"

"Umma tidak bisa tidur. Jika berada di kamar seperti masih ada abimu di samping umma. Itu yang membuat umma semakin sedih."

Ghulam duduk di samping Rayya kemudian menepuk pelan pundak bibi yang juga sebagai ibu mertuanya.

"Qodarullah Umma. Inshaallah abi memperoleh tempat yang terbaik di sisiNya. Maafkan Ghulam jika tidak mengizinkan dek Omai untuk kembali ke sini dalam waktu dekat." Kata Ghulam.

"Umma bisa memaklumi semuanya. Maafkan abi juga ya Mas yang tiba-tiba memintamu untuk menerima tanggung jawab atas adikmu Omai. Sebenarnya_" kata Rayya.

Ghulam tersentak atas pernyataan Rayya. Sepertinya memang ada sesuatu yang belum Ghulam tahu dan disembunyikan oleh keduanya.

"Sebagai orang tua, kami sebenarnya tahu apa yang terjadi diantara kalian. Awalnya hanya sebuah asumsi, namun setelah abimu menemukan puisi adikmu di buku yang sering dia baca. Rasanya asumsi kami mengarah pada kebenaran bahwa Omai menaruh perasaannya untukmu dalam diamnya. Kamu sudah membacanya kan?" ucap Rayya.

Ghulam mengangguk membenarkan sebelum pada akhirnya bibirnya menjawab singkat "iya Umma."

"Abi memberikan buku itu kepadamu, saat beliau mengetahui bahwa sebenarnya kamu juga memendam perasaan terhadap seseorang."

"Iya."

"Apa benar perasaanmu itu untuk adikmu? Dan alasan kamu menolak perjodohan dengan Diandra selain karena dia belum berjilbab juga karena adikmu?" telisik Rayya. Ghulam tergagap mendengar pertanyaan dari ibu mertuanya. Iya, semuanya memang benar. Alasannya karena Omai.

"Ketahuilah Mas, adikmu mengambil program sarjana kedokteran di Saudi Arabia sebenarnya untuk menghidarimu. Dia sangat tahu bagaimana cara untuk mengalihkan perhatiannya darimu, yaitu dengan mendekatkan diri padaNya. Dan di sanalah tempatnya dia bisa dengan sangat baik mendekatkan diri padaNya."

Ghulam masih terdiam mendengar penuturan ummanya.

"Oleh karenanya abi memberikan izin kepada adikmu untuk menjauhkan kalian. Terlebih setelah acara malam itu di rumahmu Mas. Kamu dan Diandra_"

"Umma_"

"Maafkan abi jika kami salah mengira, hingga akhirnya kamu dengan terpaksa menerima tanggung jawab abi atas Omaira."

"Umma tolong, jangan berkata seperti itu. Ghulam ikhlas melakukan semuanya." Jawab Ghulam.

"Satu hal lagi Mas yang harus kamu tahu, bahwa sebenarnya sebelum musibah yang menimpa Abi. Fawwaz, ikhwan itu kemari untuk meminta izin abi akan meminang Omai." Kata Rayya kemudian.

"Fawwaz? Fawwaz Adzhani teman Ghulam tadi Umma? Jadi maksud kalian Fawwaz itu_?" tanya Ghulam tidak percaya.

"Abi menyerahkan semuanya kepada Omai. Karena Fawwaz belum meminta langsung kepada Omai dan musibah yang menimpa abimu tadi sore terjadi lebih dahulu akhirnya abi memintamu untuk menerima tanggung jawab itu. Mungkin karena abi merasa bahwa beliau tidak memiliki banyak waktu lagi hingga membuatnya memutuskan sepihak tanpa bertanya kepadamu terlebih dulu. Abi percaya, bahwa kamu mampu menjadi imam yang baik untuk Omai. Karena jauh sebelum abi mengetahui apa yang tersembunyi di balik hati Omaira kami menginginkan ikhwan sepertimu untuk bisa menjaga Omai dan ternyata Allah benar-benar mengabulkan doa kami. Semoga kami tidak salah memilihmu. Maafkan kami ya Mas. Semua diluar kendali kami." Ucap Rayya masih dengan pipi yang basah.

"Umma tolong jangan berkata seperti itu lagi. Kalian benar, Ghulam memang memendam semuanya untuk Omai. Ghulam terlalu pengecut untuk mengakui dan meminta Omai dari kalian. Maaf, sebenarnya Ghulam ingin melakukan itu, ingin sekali, hanya saja Ghulam menunggu sampai setidaknya Omai menyelesaikan kuliahnya. Ghulam tahu itu cita-cita Omai dari kecil sehingga tidak mungkin Ghulam merenggut kebahagiaan dan cita-citanya. Dengan tiba-tiba meminta ayah untuk melamarkan, iya kalau keluarga Ghulam menerima semuanya, jika tidak. Ghulam tidak ingin menjadi penyebab terpecahnya jalinan persaudaraan antara kita. Ghulam ikhlas sepenuhnya menerima Omai menjadi istri dan satu-satunya pasangan Ghulam sampai ke surga." Ghulam tidak kuasa menahan sesak yang dia pendam di hatinya.

Ghulam telah berjongkok di hadapan ummanya dengan kedua tangan menggenggam erat tangan Rayya.

"Ghulam berjanji Umma untuk selalu membahagiakan Omai, membimbingnya dan memberinya surga, inshaallah. Besok Ghulam segera melengkapi semua persyaratan pencatatan pernikahan Ghulam dan Omai di KBRI. Ghulam minta tolong surat-surat Omai ya Umma."

"Nanti Umma siapkan. Kita sholat subuh dulu. Adzan sudah berkumandang, Allah telah memanggil kita. Mas sholat di rumah saja ya menggantikan abi menjadi imam." Pinta Rayya.

"Iya Umma, Ghulam siap-siap dulu."

🍒🍒

Selama dua minggu Ghulam menyiapkan semuanya. Surat surat yang dibutuhkan untuk mengurus pernikahan di KBRI telah dia serahkan kepada pihak travel umrah dan haji yang menyediakan jasa untuk mengurus pernikahan di Saudi Arabia. Tinggal kurang tanda tangan wali nikahnya saja yang nanti akan ditandatangani oleh Hasan Shakeil, adik Farzan yang kini tinggal di Madinah dan menjadi wali mahram Omaira disana. Visa atas namanya juga telah selesai diurusnya. Beberapa pakaian telah dia masukkan kedalam koper.

"Mas, memang mau kemana kok packing dan ini apa? Paspor? Mas Ghulam mau ke luar negeri? Ikut dong." Vida yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Ghulam langsung menginspeksi kegiatan kakaknya.

"Bunda, Ayah, Mas Ghulam mau ke luar negeri. Vida boleh ikut ya?" teriak Vida yang langsung keluar dari kamar Ghulam untuk memberitahu orang tua mereka. Tantri yang sedang sarapan bersama suaminya terkejut mendengar teriakan putri bungsunya.

"Mas Ghulam sedang packing Bun, mau keluar negeri sepertinya bawa paspor segala."

"Iya memang?" tanya Tantri kepada putrinya.

"Lah memang Bunda belum tahu Mas Ghulam mau kemana? Mas Ghulam belum izin Bunda?" tanya Vida disambut gelengan dari bundanya tercinta.

"Ayah?" tanya Tantri meminta jawaban kepada suaminya. Dafi masih dengan santainya menghabiskan sarapan yang ada di depannya.

"Isshhh Ayah? Bunda bertanya kok diem saja." Wajah cemberut pasti ditunjukkan setiap wanita jika pertanyaannya tidak pernah diperhatikan oleh lawan bicaranya.

"Apa Bun?" jawab Dafi dengan pertanyaan balik.

"Ghulam sudah izin ke ayah kalau mau pergi keluar negeri?"

"Sudah, justru ayah yang memintanya segera." Jawab Dafi.

"Maksudnya?" Tantri tidak mengerti dengan suami dan putra sulungnya. Mengapa semua seperti menyimpan sesuatu yang tidak diketahuinya.

"Iya Bunda. Ghulam akan menemui serpih rusuknya yang masih berserak dan sekarang ada di luar negeri." Jawab Dafi setelah menandaskan air mineral yang ada di gelasnya.

"Serpih rusuk? Ayah jangan main perumpamaan begitu deh. Bunda tidak sedang bercanda ini." Kata Tantri.

"Siapa yang bercanda, ayah juga serius. Itu anaknya sudah siap. Jadi_Ghulam duduk di sini, jelaskan sama bunda dan adikmu." Kata Dafi memanggil Ghulam yang baru saja keluar dari kamarnya sambil menyeret koper di tangan kirinya.

Hening sesaat Ghulam menunduk dalam diamnya, hingga kemudian Ghulam menarik nafas besar dan menghembuskannya perlahan.

"Bismillahirrohmanirrohiim. Bunda_" semua menunggu lanjutan dari perkataan Ghulam.

"Ghulam mohon izin_" ucapan Ghulam terpotong kembali.

"Ya, katakan Sayang ada apa?" tanya Tantri dengan penuh seksama mendengarkan putranya.

"Ghulam mohon izin untuk menemui menantu bunda di Madinah. Mengurus dan mencatatkan pernikahan kami di KBRI Saudi Arabia." Jawab Ghulam dalam satu tarikan nafas sama halnya ketika dia membacakan qobul atas nama Omaira di hadapan Farzan dan saksi-saksi.

Tidak ada jawaban, Tantri masih mencerna ucapan putranya dengan bahasa yang menurutnya masuk di akalnya.

"Maksud kamu, menantu bunda? Diandra ada di Indonesia Ghulam, mengapa harus mengurusnya di KBRI Saudi?" tanya Tantri masih dengan tatapan belum mengerti.

Dafi yang tadinya diam kini mulai membantu Ghulam untuk menjelaskan kepada istrinya. "Jadi begini Bun__" jeda sesaat, Dafi mengambil nafas kemudian melanjutkan bicaranya "Maaf jika ayah dan Ghulam baru memberitahu bunda sekarang, karena memang waktu itu semua serba mendadak dan harus segera dilakukan mengingat____dik Farzan,_" ucapan Dafi terpotong karena matanya telah berkaca-kaca.

"Abi Farzan akan dioperasi untuk pengambilan peluru akibat penembakan malam itu, Bun." Kata Ghulam menyambung ucapan ayahnya yang terpotong.

"Abi Farzan?" tanya Tantri kepada Ghulam.

"Mungkin dik Farzan telah merasa bahwa dia tidak memiliki banyak waktu lagi hingga akhirnya sebelum operasi dia meminta izin kepadaku untuk menitipkan Omaira kepada Ghulam." Cerita Dafi akhirnya kepada bundanya Ghulam.

"Mas aku tidak paham sama sekali tolong, perjelas semuanya." Kata Tantri dengan nada bingung.

"Ghulam telah menerima ijab dari dik Farzan dengan qobul atas nama Omaira Bunda, dan sekarang dia akan berangkat ke Madinah untuk menyelesaikan pengurusan semua pencatatan administrasi pernikahan mereka di KBRI Saudi Arabia. Tolong berikan izinmu." Terang Dafi kepada istrinya.

Kaget, bingung, marah, sedih, semua tercampur menjadi satu. Tidak dapat diungkapkan dengan kata, bagaimana rasanya hati Tantri Wirya Atmaja sekarang. "Kalian berdua benar-benar terlalu. Bagaimana mungkin cerita sepenting ini aku sampai tidak mengetahuinya, apa kalian pikir aku tidak berhak atas masa depan Ghulam? Mengapa kalian tidak menunggu kedatanganku pada waktu itu untuk memutuskan semua ini." Teriak Tantri dengan air mata yang mengalir deras di kedua pipinya.

"Maaf Bunda, tapi waktu itu benar-benar tidak ada waktu lagi untuk berdiskusi. Semua berjalan begitu cepat." Jawab Ghulam.

"Ghulam benar Bun. Tidak ada yang salah, Omaira anak yang baik. Dia pasti bisa menjadi istri yang baik untuk Ghulam dan sekaligus menantu yang baik untuk kita." Sambung Dafi.

"Kamu keterlaluan Ghulam, mengapa kamu tidak memberitahukan kepada bunda dari kemarin-kemarin. Mengapa baru sekarang saat kamu sudah siap untuk berangkat ke Madinah?" tanya Tantri tegas meminta jawaban dari putranya.

"Maafkan Ghulam Bun, Ghulam ingin menjaga perasaan umma Rayya yang sedang berduka Bun." Jawab Ghulam dengan tertunduk.

"Kamu berhasil menjaga perasaan orang lain tetapi justru menghancurkan perasaan bundamu. Ibu yang telah melahirkan dan membuatmu ada di dunia ini."

Dafi menengahi perdebatan itu dengan memberikan banyak penjelasan dan contoh kepada sang istri hingga akhirnya Tantri memberikan izin Ghulam untuk segera berangkat ke Bandara.

"Jawab pertanyaan bunda, Ghulam."

"Ya?"

"Apakah kamu mencintai Omaira?"

"Iya, karena Allah Bun. Omaira inshaallah bisa menjaga izzahnya dengan baik, tidak tabbaruj dan inshaallah dia adalah muslimah yang memegang prinsip al haya'. Ghulam mencintainya karena Allah." Jawab Ghulam mantap.

"Baiklah. Bisa apa Bunda jika sudah seperti ini? Hati-hati di jalan, di sana juga jaga diri baik-baik. Salam untuk menantu bunda." Tidak ingin membuat Ghulam terlambat dengan jadwal penerbangannya akhirnya Tantri memberikan izinnya.

Di sinilah sekarang Ghulam berada. Setelah 4 jam melakukan perjalanan darat menuju bandara internasional Juanda. Dia menunggu panggilan untuk segera menaiki pesawat yang akan membawanya menemui pasangan sejiwanya.

To : Bidadari Surgaku
Assalamu'alaikum bidadari surgaku, 10 jam dari sekarang aku akan mendaratkan hatiku sepenuhnya untukmu bersama pesawat yang akan membawaku untuk menggapaimu. Sampai ketemu di Prince Mohammed bin Abdul Aziz international airport. Can't wait to see you soon, I do long for you.

🍒🍒

-- to be continued --

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama

Jazakhumullah khair

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top