#13 | Indahnya Pacaran Halal

بسم الله الرحمن الرحيم

¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --

¤ sambil bacanya jangan lupa klik tautan link diatas ya ¤

Bukan soundtrack tapi suara Cik Dato' Sri Siti Nurhaliza dan Judika kali ini telah menyentuh sisi hati yang terdalam untuk mengiringi kisah cinta Ghulam dan Omai

"Kisah ku Inginkan"

Spesial chapter ini author persembahkan full cerita Omai dan Ghulam
Jadi jika ada pertanyaan Fawwaznya kemana, Bundanya Ghulam bagaimana, Ummanya Omai seperti apa?? Tolong disave dulu pertanyaannya, innallaha maashobirin, semua ada waktu yang tepat untuk mengungkapkan 😊😊😊, let's see  👉👉

🍒🍒


what's yours will find you - Ali bin Abi Thalib

✍✍

Masih ada yang belum atau bahkan tidak sama sekali percaya akan qodho dan qodar? Allah maha kuasa menentukan. Lantas sebagai hambaNya, masih belum jelaskan kita bahwa apa-apa yang kita lakukan di dunia ini hanyalah sarana untuk mengharap ridhoNya?

Ghulam, telah menyerahkan sepenuhnya berkas-berkas pernikahannya dengan Omai kepada sebuah travel umrah dan haji yang juga menyediakan jasa untuk jamaahnya melaksanakan pernikahan di 2 kota suci umat Islam. Setelah Paman Hasan menandatangani perwaliannya untuk Omaira, berkas tersebut segera diserahkan Ghulam kepada penanggungjawabnya. Lazimnya, berkas masuk ke KJRI Jeddah harus 3 bulan sebelum dilaksanakan pernikahan, namun karena pernikahan Ghulam dan Omai yang memang dilaksanakan pada saat urgency dan harus segera maka inilah saatnya, satu minggu Ghulam menyelesaikan urusannya dengan KJRI. Dua kali harus bolak balik, Jeddah Madinah membuat Omai mengkhawatirkan suaminya.

"Ada Allah menyertaiku, Dek. Kamu nggak perlu risau."

"Tapi Mas, mas Ghulam itu di sini naik kendaraan umum. Orang-orang di sini jarang yang bisa berbahasa Inggris." Kata Omai.

"Hal tashik fi muharati fi allughat alearabia?" tanya Ghulam dengan senyum mengembang -- apakah engkau meragukan kemampuan bahasa arabku --

"Mashaallah, Mas? hawal maratan 'ukhraa, 'urid samaeuha maratan 'ukhraa?" pinta Omai dengan penuh haru. Mendengar suaminya mengucapkan bahasa arab dengan fasih dan sangat lancar. -- coba ulang sekali lagi, aku ingin mendengarnya kembali --

"Subhanallah, hal tashik fi muharati fi allughat alearabia, ya habibati?" pipi Omai langsung merona mendengar panggilan barunya dari sang suami. Ya Habibati, ya sayangku, ya kekasihku, ya cintaku. Wanita mana yang tidak bahagia dipanggil seperti itu oleh lelaki halalnya.

Masih dengan wajah merona bahagia, mata bulat Omai tidak dapat membendung tetesan mutiara yang jatuh dari dalamnya.

"Mas Ghulam belajar dari mana_"

"Aku pernah merasa sangat frustasi saat kamu tinggal pergi tanpa pemberitahuan sama sekali, karenanya aku segera mengambil paket khusus kursus bahasa arab dan bermaksud segera menyusulmu ke sini." Jawab Ghulam membelakangi Omai dengan tatapan menerawang jauh ke masa dimana dia benar-benar terpukul kehilangan Omai 3 tahun yang lalu.

Omai bergeming dari tempatnya berdiri. Mimik mukanya masih berharap Ghulam melanjutkan penjelasan pernyataan yang baru saja dia buat.

Sadar jika Omai menunggu Ghulam segera melanjutkan ucapannya kembali, "Namun akal sehatku menyuruhku untuk bersabar. Dan sekarang lihatlah. Allah memenuhi janjiNya, sabarku itu telah berbuah manis. Menghadirkanku di sisimu tanpa aku minta dan engkau juga. Karena Allah telah menentukan jalanNya untuk membuat kita bersatu."

Tidak ada yang lebih dasyat dari kekuatan doa. Usaha selebihnya tetap dalam koridor syariat yang tidak disalahartikan.

Kedua tangan Omai telah menyusup diantara pinggang kanan kiri Ghulam dan kedua lengannya. Memeluknya dari belakang dan meletakkan kepalanya dengan lembut di punggung kokoh lelaki di depannya.

"Uhibbuka fillah, zawji. Syukraan, telah memilihku untuk menjadi pasangan halalmu. Bimbing dan ajak aku selalu menuju surga yang selalu kita inginkan. Selalu kita rindui bersama." Ucap Omai dengan suara bergetar di belakang punggung Ghulam.

Lamunan Ghulam 4 hari kemarin sebelum akhirnya kini dia telah bersiap dengan mengenakan thoub putih, ghutra berwarna merah putih lengkap dengan igal serta sirwal berwarna putih melengkapi penampilan Ghulam.

Ikrar ijab qobul akan dilakukan kembali oleh Ghulam. Kali ini dengan Paman Hasan sebagai wali dari Omaira dan disaksikan dan dicatatkan di Departemen Agama Indonesia melalui KBRI yang berada di Saudi.

Awalnya kota Riyadh menjadi kota dimana Ghulam akan mengulang melafazkan qobul nikahnya. Namun ternyata pihak travel yang mengurus pencatatan keabsahan pernikahannya memberitahukan bahwa mereka bisa melaksanakan semuanya di Madinah.

Masjidil Nabawi akan menjadi saksi bisu, kembali untuk yang kedua kali prosesi ijab qobul diucapkan. Waktu dhuha Madinah, langkah pasti Ghulam diiringi oleh Paman Omaira, Amr ibn Haritsah dan beberapa petugas dari KJRI Jeddah menuju di salah satu tempat di Masjidil Nabawi yang telah disiapkan pihak travel untuk pelaksanaan ijab qobulnya.

Omaira, Farida, Hifza dan Haura menunggu dengan tenang di pelataran Masjidil Nabawi, lebih tepatnya dibawah payung raksasa hidrolis yang menjadi icon dari masjid terbesar nomor 2 di Saudi Arabia setelah Masjidil Haram.

"Bismillahirrohmanirrohiim, Ya Ghulam Rafif Mufazzal Bin Andafi Harun Elhaqq. Ankahtuka wa zawwaj-tuka makhthubataka Radhwah Omaira Medina binti Farzan Shakeil bi mahri alatil 'ibadah, 25 ghiram min aldhahab, 1000 riyal, wa suratin AlIkhlas. Haalan." suara Hasan menjabat tangan kanan Ghulam di depan para saksi.

"Qobiltu nikaahahaa wa tazwiijahaa bil mahril madz-kuur haalan." lafaz qobul diucabkan Ghulam dengan sempurna dalam satu tarikan nafas.

Sah.... Sah.... Sah....

"Alhamdulillah, Barrakallahulakuma wa baroka alaikuma wa jamaa bainakuma fi khoir."

Lega, haru dan bahagia itu yang terpancar dari muka Omai ketika Ghulam beserta rombongan berjalan menghampirinya. Bahkan air matanya kini mulai menetes manakala tinta bolpoin pertama dia bubuhkan untuk menandatangani beberapa dokumen atas penyatuan dirinya dan kekasih halalnya.

Setelah menyelesaikan semua pemberkasan dan memberikan kabar kepada ummanya di Indonesia. Ghulam akhirnya bisa berduaan berkeliling Saudi bersama kekasih halalnya.

"Pagi ini kita akan jalan-jalan kemana?" tanya Ghulam kepada Omai.

"Di sini dilarang capek ya, tidak ada sepeda motor. Jadikanlah kaki kita sebagai unta untuk tunggangan selama menikmati indahnya kota Madinah."

"Maksudnya?"

"Ya jalan kaki dan tentunya naik bis atau taxi di pemberhentian di sana."

"Oke, kita mulai dari mana ini?"

"Seminggu berada di Madinah Mas sudah merasakan nikmatnya berdoa di rawdhah?"

"Sudah, tetapi tidak bisa leluasa dan sangat sulit mencapainya. Mungkin karena semua orang ingin menuju ke sana."

"Jika tidak bisa mencapainya ketika sholat wajib, carilah tempat di belakangnya ketika waktu sholat wajib."

"Mengapa?"

"Karena ketika imam telah selesai mengucapkan salam untuk sholat jenazah atau sholat ghoib, Mas akan terdorong dengan sendirinya dari belakang menuju rawdhah. Puas-puaskan sholat dan bersujud di sana. Laskar tidak akan mengusir orang yang sedang sholat di rawdhah." Jelas Omai.

"Ah, mengapa kamu baru ngasih tahu aku cara mudah berada di sana. Padahal aku sudah setengah mati untuk mencapainya." Geram Ghulam kepada Omai sambil mencubit pipi kanannya.

"Makamnya nabi yang ada di dalam kubah hijau itu ya Dek?"

"Iya, di samping beliau ada makam Abu Bakar AshShiddiq dan Umar bin Khothob Rodiallahuanhu."

"Kita nggak bisa ke sana bersama ya?"

"Karena di sini itu dipisah waktunya, perempuan hanya memiliki 3 kali waktu dalam sehari. Habis sholat subuh, setelah sholat dhuhur dan setelah sholat isya. Kalau laki-laki bisa kapan saja. Asalkan bukan waktunya untuk perempuan."

"Baiklah kalau begitu kita kemana selain kesana. Nanti akan aku praktekkan cara mudah menuju rawdhah sesuai petunjukmu."

"Mas sudah pernah mendengar makam baqi? Tempat pemakaman yang berada di timur masjid ini. Makam dimana Aisya rodiallahuanha, istri Nabi Muhammad saw dikebumikan. Mas Ghulam jangan samakan makam disini dengan di Indonesia ya, di sini nisannya hanya berupa batu tidak ada tulisan sama sekali. Mengapa? Karena makam ini bisa dipakai untuk memakamkan seluruh orang sehingga jika sudah lama bisa dipakai lagi oleh yang lainnya. Mas ingin ke sana?" tanya Omai kepada suaminya.

"Tapi nanti kamu tidak bisa masuk kan? Perempuan tidak boleh mendatangi makam untuk berdiam diri di sana. Apa pun alasannya."

"Iya."

"Skip lanjut yang lainnya saja."

Omai mengajak Ghulam menuju pemberhentian taxi dan meminta sang driver menjalankan ke barat menuju King Faisal Road dan berbelok di Omar Ibn Alkhtab Road untuk membawa mereka ke Al Hejaz Railway Museum.

Puas melihat lihat beberapa pusaka dan pakaian serta artefak bertuliskan arab, Omai dan Ghulam keluar museum dengan wajah takjub. Sesungguhnya Omai juga belum pernah masuk di bangunan kokoh yang berada di barat daya Masjidil Nabawi itu.

"Kita ke masjid Quba ya, sekalian sholat dhuhur di sana."

"Jauh dari sini?"

"Lebih jauh sedikit dari Masjidil Nabawi kemari. Nanti kita balik ke King Faisal road kemudian belok kanan di Qiba Road, 20 menit dari sana sampai kok."

"Mantan pegawai dinas perhubungan Bu? Apal banget jalannya?" kini Ghulam berdiri di depan Omai masih lengkap menggunakan thoub, sirwal, ghutra dan igal. Hanya saja sekarang dia menambahkan dengan memakai blezer hitam di luar thoubnya dan syal hitam yang melilit longgar di lehernya. Tak lupa kacamata hitam menambah sempurna penampilannya.

Omai dan Ghulam telah sampai di Masjid Quba sebelum adzan dhuhur berkumandang. Sambil mengisi waktu mereka berdua berjalan menjelajah sekitar masjid Quba yang dikelilingi pohon kurma. Beberapa saat Omai teringat bahwa ia memiliki sisa makanan untuk merpati yang disimpan di tasnya.

"Mas, ke sana yuk. Kita kasih makan merpatinya. Aku masih punya di dalam tas, pantesan kok berat banget." Ajak Omai sambil menarik lengan kanan Ghulam.

Merpati-merpati itu beterbangan ketika Omai dan Ghulam menghampiri namun ketika mereka menyebarkan makanannya dengan seketika mereka berhamburan untuk mendekat.

"Di sini nggak ada yang menangkap merpati seperti ini Dek?"

"Tidak ada yang berani. Konon dikisahkan bahwa Aisyah sangat menyukai merpati bahkan beliau pernah memelihara merpati megan. Makanya masyarakat disini tidak mau menangkap justru kita lebih senang memberikan makan seperti ini." Cerita Omai masih dengan menghamburkan makanan merpati dari tangan kanannya.

Ghulam juga turut serta dengan apa yang dilakukan Omai. Bercengkerama sejenak dengan begitu banyak merpati di sekitarnya.

"Di Makkah jauh lebih banyak dari disini mas, setiap hari banyak orang yang memberikan makanan untuk merpati-merpati itu. Saking banyaknya jadi setiap pagi yang membersihkan makanan merpati ini sudah bukan tangan manusia lagi tetapi buldozer pembersih. Seperti buldozer pembersih yang ada di Masjidil Haram." Jelas Omai lagi sambil meringis karena silau terkena sinar matahari.

"Aku belum kamu ajak ke sana."

"Besok hari Jumat kan? inshaallah besok umroh perdana kita sebagai pasangan halal. Kita berangkat bersama paman dan Amr." Kata Omai dengan binar mata yang begitu ceria

Selesai sholat Dhuhur Omai dan Ghulam berbalik arah menuju ke utara yaitu ke jabal Uhud. "Masih ingat dengan Perang Uhud Mas?" tanya Omai ketika mereka berdua sedang berada di dalam taxi.

"Inshaallah, perang yang terjadi di Bukit Uhud di tahun ketiga setelah Rosululloh berhijrah dan terjadi satu tahun setelah Perang Badr kan?"

"Tepat sekali, pinter banget si, suami siapa ini?" goda Omai kepada Ghulam dengan menyelami manik mata Ghulam yang sedang menatapnya.

"Dek, jangan tatap aku seperti itu di sini." Racau Ghulam segera mengalihkan pandangannya.

"Memangnya mengapa, kita sudah halal bukan?"

"Iya halal, tapi ini public area, memangnya kamu mau aku khilafin di sini?" ucap Ghulam sambil memasukkan candy mint ke mulutnya.

Omai langsung terbelalak seketika mendengar ucapan suaminya.

"I'm a normal person." Kata Ghulam menekan sesuatu yang kini sedang bergemuruh di dalam hatinya.

Kaku dan beku setelahnya. Omai seperti menarik diri dari sisi Ghulam. Ada perasaan sungkan tetapi juga perasaan dongkol hinggap di hatinya. Omai sudah berusaha sekuat tenaga untuk bisa menciptakan suasana yang nyaman untuk keduanya, namun seakan terhempas dengan pernyataan Ghulam sesaat lalu. Namun pada akhirnya tangan kiri Ghulam menarik tubuh Omai untuk mendekat dengannya.

"Cemberut di depan suami itu_" ucap Ghulam menggantung.

"Aku nggak cemberut Mas."

"Ye, mana masmu ini tahu. Orang kamu pake niqob. Mata kamu yang berbicara seperti itu." Ucap Ghulam dengan setengah terbahak.

Dan Omai memilih diam di samping kiri Ghulam driver taxi menurunkan mereka di sebelah Bukit Uhud.

"Iya Sayang, maaf. Tapi benar, pandangan mata kamu seperti itu membuatku sungguh ingin mengkhilafi kamu saat ini juga."

"Buktinya enggak kan? Dari kemarin juga begitu. Bahkan_" Omai menutup mulutnya terlambat menyadari dia hampir keceplosan bicara.

Seolah mengerti apa maksud kekasihnya. Ghulam tersenyum bahagia kemudian memeluk Omai dan membisikkan kata di dekat telinganya, "Tunaikan kewajibanmu malam ini, aku akan meminta hakku."

Tidak dapat ditipu, pipi omai rasanya seperti tersiram bara. Panas, merah membara. Bisikan Ghulam seperti sengatan listrik berdaya ribuan volt untuk hati Omai, sungguh ini tidak baik untuk kesehatan jantungnya.

"Rasanya aku perlu memeriksakan jantungku kepada dokter Mas." Lemas Omai berkata lirih kepada Ghulam.

Sambil mengernyit Ghulam memicingkan sebelah matanya. "Mengapa, kamu sekarang lagi tidak enak badan?"

Gelengan Omai membuat Ghulam semakin bertanya tanya. "Takut terjadi serangan mendadak, jika mas berkata seperti itu." Kata Omai sambil meninggalkan Ghulam menuju bukit Uhud dan segera menengadahkan kedua tangannya untuk berdoa.

Ghulam hanya tersenyum kemudian mengikuti Omai dari belakang. Omainya masih seperti yang dulu, lugu dan lucu. Sebelumnya memang diantara mereka berdua tidak pernah mengatakan hal seintim ini. Hanya tentang hati dan seberapa besar cinta keduanya dalam diam menuju halal.

Keberadaan Jabal Uhud sekitar 4 mil dari Masjidil Nabawi, tempat dimana terjadinya Perang Uhud yang dipimpin langsung oleh Rosulullah dengan 700 bala tentaranya melawan 3000 kaum quraisy, dan rosul memenangkan perang ini karena formasi yang kompak meski kekuatan lawan 4 kali lebih besar. Di sayap kiri yaitu di Bukit Ainain ketika perang berlangsung Rosul menempatkan pemanah-pemanah yang ulung.

Namun sayang, setelah kekalahan lawan dan silau akan harta membuat tentara Rasulullah berpindah dari tempatnya. Mereka tidak mendengarkan nasihat Rasulullah untuk menjaga posisi dan memilih untuk mengambil harta sisa kaum kafir yang kalah. Mendengar itu, kaum kafir lalu menyerang umat Islam yang tengah lengah karena harta, dan kaum muslimin akhirnya menderita kekalahan.

"Mas Ingin berswa photo disini. Sana bergaya, aku fotoin." Ucap Omai ketika mereka telah selesai menikmati pemandangan yang ada di Jabal Uhud.

"Denganmu."

"No upload at sosmed ya, aku tidak ingin tabbaruj dan sufur Mas. Tidak akan ada artinya lagi nanti tentang Al Haya' sebagai muslimah sejati. Apa artinya khimar dan niqobku."

"Kapan aku pernah mengupload photo diri, bisa cek di medsosku semuanya, Sayang. Lagian mana aku rela upload photo istriku. Untuk apa? Semuanya hanya untukku dan hanya milikku. Tidak ada seorangpun yang boleh menikmatinya." Jawab Ghulam.

Omai tersenyum mendengarnya, dia memang tidak memiliki akun sosmed selain whatsapp. Itu pun dipakainya karena dia berada jauh dari orang tuanya. Dahulu dia lebih senang menggunakan 'ponsel stupid' yang nggak bisa dipakai untuk searching apa pun. Namun sekarang, dia membutuhkan itu untuk menunjang perkuliahannya oleh karena itu akhirnya mau tidak mau dia memakai smartphone dengan hanya memakai aplikasi whatsapp sebagai satu satunya akun sosmed di aplikasi telepon pintarnya itu.

Perjalanan selanjutnya menuju Masjid Qiblatain. Sebenarnya letaknya tidak jauh dari Al Hejaz Railway Museum, namun Omai telah memperkirakan waktu yang pas dengan waktu mereka melaksanakan sholat ketika berada di masjid. Kali ini mereka sholat asar di Masjid Qiblatain. Masjid yang menjadi tonggak sejarah dimana Allah memerintahkan Rasulullah untuk merubah arah sholatnya yang semula menghadap Masjidil al Aqso di Palestina menjadi menghadap ke Masjidil Haram yang berada di Makkah.

Tak lupa setelahnya Omai membawa Ghulam melihat beberapa masjid masjid kecil yang jaraknya berdekatan di sekitar Masjid Qiblatain.

"Fungsinya dulu apa ini Dek? Masjidnya kecil-kecil ya, ada yang berada di ujung bukit ada yang di tengah, kemudian juga ada yang di bawah. Satu jalur ada 3 masjid." Tatap Ghulam dengan takjub pada beberapa bangunan kecil yang disebut sebagai masjid.

"Al-Masajid As-Sab'ah atau Sab'u Masajid. Yaitu masjid 7 yang terdiri dari masjid al Fath, masjid Salman Al Farisi, masjid Abu Bakar AshShidiq, masjid Umar bin Khattab, masjid Ali bin Abi Talib dan Masjid Fatimah AzZahra"

"Itu masih 6, satunya?"

"Satunya ya masjid Qiblatain, sebuah masjid yang memiliki menara kembar dan satu satunya yang memiliki 2 mihrab yang kita pakai untuk sholat asar tadi. Tidak ada perintah dari Rosul maupun dalil syariat untuk mengutamakan mengunjungi masjid-masjid ini. Tempat ini hanya tempat bersejarah saja. Karena nabi telah bersabda bahwa 'Janganlah kalian bersusah payah mempersiapkan perjalanan kecuali ke tiga Masjid. Yaitu, Masjidku ini yaitu Masjid NabawiMasjidil Haram, dan Masjid Al Aqsha.' Hadist Riwayat Muslim." Terang Omai.

Ghulam mendengarkan dengan seksama cerita dan penuturan istrinya. Omai memang luar biasa, dia bahkan hapal diluar kepala semua sejarah Islam yang ada di Madinah ini. Selama dalam perjalanan tak sekalipun dia tidak bercerita tentang kisah-kisah nabi dan sabahat. Hanya setelah dari Masjid Quba' dan Ghulam menegurnya dia terdiam sesaat, namun selanjutnya kembali lagi menjadi Omaira yang penuh dengan semangat. Bahkan Ghulam baru tahu sisi lain dari Omaira yang selalu menjaga pandangannya itu. Wanita halalnya itu benar-benar suka bercerita dan banyak cara untuk membuatnya tetap memperhatikan semua ceritanya sampai tuntas.

"Makan dulu yuk, perutku sudah kruwes-kruwes minta diisi. Ada referensi?"

"Kita makan di Arabesque Restaurant saja ya, biar dekat dengan mahtab sekaligus dekat dengan Masjidil Nabawi, kita sholat maghrib dan isya sekalian baru kemudian pulang ke mahtab paman." Kata Omai.

Ghulam benar-benar buta tentang makanan yang dipesankan oleh Omai. Satu hal yang dia tahu bahwa Omai mengerti dengan selera lidahnya. Makanan di arab memang sangat jauh dari kebiasaannya di Indonesia. Jika di Indonesia dia terbiasa makan dengan nasi mungkin di arab dia mulai membiasakan memakan roti.

Hampir semua makanan kental dan tercium sekali aroma rempah juga kayu manis yang sangat khas.

"Mas, di sini cuma ada kentang? Bagaimana?"

"Makannya juga dengan roti?"

Senyum Omai mengembang. Dia sangat memahami bagaimana lidah Ghulam harus adaptasi dengan masakan Arabia.

"Sebulan di sini berat badanku turun 5 kg." Kekeh Ghulam.

"Masa iya? Mas belum ada sebulan di sini baru satu minggu." Protes Omai.

"Masa iya? rasanya baru sehari malahan. Deket kamu jadi nggak ngerasa lama ya. Waktu cepet banget berlalu."

"Baru tahu?"

Ghulam tersenyum melihat tatapan mata sewot istrinya. Meski dia tahu itu bukan marah yang sebenarnya namun dia mengetahui, semakin sewot, muka Omai terlihat begitu menggemaskan.

Kini Omai dan Ghulam telah berada di mahtab Hasan. Selepas sholat isya di Masjidil Nabawi, mereka langsung pulang ke mahtab. Ghulam mengganti thoubnya setelah membersihkan tubuh.

Melihat Omai memasukkan 1 buah thoub, sirwal, ghutra dan pakaian tidur serta 2 piece abaya miliknya kedalam tas membuat dahi Ghulam mengernyit.

"Kita mau kemana?"

"Besok kita umroh, Mas lupa?"

"Bukankah cukup membawa 1 thoub saja, pakaian tidur?"

"Paman mengajak kita semua menginap di Makkah semalam untuk besok. Mas belum pernah jalan-jalan kesana kan? Besok kita berwisata ke Arafat sekalian ke Jabal Rohmah. Ke masjid Namirah, sebuah masjid yang berdiri di Arafat sebagian di tanah halal sebagian di tanah haram. Musdalifah dan ke Minna."

"Kita berangkat jam berapa?"

"Sholat subuh Mas langsung pakai pakaian ihram ya, kita langsung ke Dhul Hulifa untuk mengambil miqot setelah sholat subuh di Masjidil Nabawi dan langsung meluncur ke Makkah."

"Nggak sholat malam?"

"Kita sholat malam di mahtab saja setelah itu baru berangkat ke Masjidil Nabawi untuk sholat subuh. Sekarang Mas segera istirahat karena besok jalannya lumayan jauh loh."

"Iya istirahat, tapi kita sholat sunnah 2 rokaat dulu. Ayo ambil wudhu sana."

"Sholat sunnah, untuk?"

"Untuk__?" mata Ghulam berputar melihat kesungguhan dari muka Omai.

"Istirahat Mas, seharian kita habis jalan loh. Besok jalan juga untuk thawaf dan sa'i."

"Kamu tidak lupa janjimu di Jabal Uhud tadi kan?"

"Janji?"

"Hmmmmm iya, kita akan berperang membantu melengkapi pasukan Rasulullah yang kocar kacir melawan tentara Quraisy. Ayo cepet ambil wudhu, jangan membantah perintah suami." Geram Ghulam karena Omai tidak segera memahami maksud perkataannya.

Meski masih belum paham juga Omai segera berdiri dan mematuhi perintah suaminya. Melihat Omai berdiri dan bertakbiratul ikhrom sendiri Ghulam segera menggapainya. "Kok sendiri? Kita lakukan berjamaah." Kata Ghulam.

Omai mengerjapkan mata, menurutnya tidak ada sholat sunnah berjamaah selain sholat tarawih, sholat istisqo, sholat eid, dan sholat gerhana. "Mas, sholat sunnah memang dilaksanakan sendirian kan? Sejak kapan_"

Tangan Ghulam segera terulur di atas ubun ubun Omai dan segera dia membacakan doa sakral untuk pertama kalinya, "Bismillah, Allahuma jannibanaasy syithoona, wa jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa."

Mata Omai membulat seketika namun beberapa detik kemudian bibirnya mulai melengkung ke atas. Dia baru mengingat janji yang diminta Ghulam ketika di Jabal Uhud, Omai pikir itu hanya bercanda nyatanya Ghulam memintanya segera untuk melengkapkan ibadahnya.

Ucapan salam dan tolehan kepala ke samping kanan mengakhiri sholat sunnah 2 rakaatnya bersama Ghulam. Ya, wajib salam hanya menoleh ke kanan. Tolehan ke kiri itu adalah sunnah, jadi boleh dilakukan boleh juga tidak.

"Pelan-pelan, aku baru pertama Mas."

"Ish__" Ghulam kembali gemas melihat muka Omai yang semburat merona. "Kamu pikir, aku juga sudah pernah melakukan. Ini juga yang pertama buatku. Kita belajar sama-sama. Kamu sudah siap?" kerlingan mata Ghulam menatap lembut wajah istrinya. Membuka khimarnya untuk yang pertama kali.

Omai memang telah sah menjadi istrinya sejak tiga minggu yang lalu, dari seminggu yang lalu mereka telah hidup bersama namun belum sekalipun Omai melepas khimarnya di hadapan Ghulam. Bahkan ketika tidur pun dia masih tetap memakainya.

Ghulam tidak pernah memaksa karena memang dia telah berjanji jika tidak akan menuntut Omai melaksanakan kewajibanya sebelum hubungan mereka sah menurut agama dan negara.

Malam ini, pertama kalinya Ghulam menyaksikan wajah bulat telor Omai tanpa khimar yang menghalangi. Rambut hitam lurus sebahu menambah cantiknya pesona wajah bidadari surganya itu.

Tangan Ghulam meraba dagu Omai dan mengusap pipi sebelah kanannya. "Mashaallah, bahagianya menjadi satu satunya orang yang bisa menikmati ciptaan Allah yang sangat luar biasa ini. Kamu cantik Sayang, bagaimana mungkin aku bisa jauh darimu setelah ini. Aku benar-benar mencintaimu."

Sentuhan Ghulam langsung membawa Omai ke tempat dimana serasa dia tidak lagi menginjakkan kakinya di bumi. Menyelami begitu dalam manik mata lelaki terhebatnya kini. Imam hidup dan matinya, imam dunia dan akhiratnya, imam surga dan nerakanya.

Dan yang terjadi setelahnya, Ghulam benar benar melengkapkan separuh agamanya, menyempurnakan ibadahnya dan sepenuhnya membuat Omai menjadi wanitanya.

"Syukraan ya habibati. Rasanya seperti bermimpi, beginikah rasanya orang berbulan madu. Aku baru mengetahuinya sekarang mengapa yang seperti ini disebut bulan madu." Kata Ghulam setelah menyudahi perang uhudnya bersama Omai.

"Afwan."

"Maaf ya jika sakit. Besok pasti sembuh, kalau nggak sembuh masa iya masmu ini akan gendong kamu waktu thawaf." Kekeh Ghulam sambil mengecup pucuk kepala Omai.

Tangan kiri Omai memukul dada bidang Ghulam dengan lembut, seperti tenaganya telah tersedot habis dengan ibadah fisik pertamanya dengan Ghulam.

"Mas sih, sakit kan jadinya, lemes juga."

"Tapi suka?" racau Ghulam yang langsung mendapat cubitan kecil dari Omai. "Kok jadi mas yang disalahin, kamunya juga menikmati kok." Kini Ghulam telah memiringkan badannya ke arah Omai, memandang dekat bidadarinya sambil melingkarkan tangan kanannya di atas pinggang sang istri.

"Ishh, masa iya aku nyalahin bibi Farida, orang yang bikin sakit mas Ghulam. Pokoknya Omai nggak mau tahu, biar nggak sakit besok harus diulang lagi." Rengek Omai sebelum kedua matanya pura-pura ditutup.

Rasa menggelitik di telinga Ghulam akhirnya tersampai juga pada syaraf sensorik dan motoriknya. Bara yang sudah mulai padam kini seakan berkobar kembali seperti mendapat siraman minyak di atasnya.

"Nggak usah nunggu besok, aku bisa mengulangnya sekali lagi supaya kamu cepat pintar." Dan Ghulam sudah berada di atas Omai.

"Mas?" mata Omai mengerjap.

"Jangan suka membangunkan harimau yang sedang tidur." Jawab Ghulam dengan mendaratkan bombardir ciuman di muka Omai sebelum akhirnya mereka, mereka ulang adegan yang telah membawa keduanya ke atas awan di langit ketujuh

🍒🍒

Sedikit tertatih, tidak menyurutkan langkah dan niat Omai berangkat ke Masjidil Nabawi untuk memenuhi panggilan subuhnya.

Ghulam, Hasan dan Amr sudah siap dengan pakaian ihram mereka. Sementara memang masih memakai jaket karena udara diluar masih 15°C.

"Dek, kok aku deg degan ya. It's my first experience for umrah at Makkah. Nanti bimbing aku ya di Masjidil Haram. Aku belum bisa membayangkan seperti apa rasanya melakukan ibadah umroh ini." Bisik Ghulam ketika mereka sama-sama duduk di mobil.

"Yang pasti rasanya_" ucapan Omai terpotong kemudian dia membisikkan kelanjutannya tepat ditelinga Ghulam supaya tidak terdengar oleh yang lainnya. "_rasanya seperti semalam. Pengen diulang-ulang terus."

Tangan Ghulam otomatis mencubit tangan Omai hingga menyebabkan bibirnya mengaduh "Awww, sakit."

"Kenapa Omai?" tanya Hasan yang sedang mengemudi.

"Tidak apa-apa Paman, kesangkut tangannya mas Ghulam."

"Kesangkut atau kamu yang menyangkutkan diri?" tanya Bibi Farida disambut gelak tawa semuanya kecuali Ghulam yang tersenyum merona dan Omai yang cemberut kepada suaminya.

Setelah dari Dhul Hulifa, kini Omai duduk di kursi tengah bersama bibi Farida dan Ghulam. Hifza dan Haura memilih duduk di jok belakang. Sedangkan Amr mengemudikan mobil dan Hasan duduk di samping kanannya.

Seperti biasa, mobil melesat dengan kecepatan diatas rata-rata. Mengejar sholat Jumat di Masjidil Haram adalah tujuan utama mereka. Tentu saja tidak kalah penting dari itu juga karena kemudian mereka akan segera melaksanakan rangkaian umroh.

Ghulam begitu takjub ketika pertama kali melihat ka'bah. Tak lupa dia pun merapalkan doa dan mulai beriringan dengan keluarganya menuju jalur hijau hajar aswat, bertakbir serta memberikan isyarat dan berputar 7 kali berlawanan jarum jam dan akhirnya menutup rangkaian thawaf dengan shalat sunnah 2 rakaat di belakang Maqom Ibrahim.

Setelah selesai melakukan isyarat kepada hajar aswat, semuanya berjalan menuju bukit sofa.

"Sofa dan marwah itu juga bisa dilakukan di lantai dasar dan lantai pertama?"

"Iya Mas, hanya saja kalau dilantai dasar kita tidak melihat batuan bukitnya. Kita sa'i di lantai pertama saja supaya mas bisa melihat atas bukitnya."

Setelah berdoa menghadap ke ka'bah. Omai mengajak Ghulam segera melakukan sa'i. Ketika sampai di lampu hijau Omai meminta Ghulam untuk berlarian kecil. "Mas segera berlari lari kecil dan baca doanya, kita sudah berada di lampu hijau."

"Kamu tetap jalan ya, karena wanita semuanya adalah aurat."

Anggukan kepala Omai membuat Ghulam segera melakukan gerakan sesuai perintah Omai. Berlari kecil di sepanjang jalan yang ditandai oleh lampu hijau.

Hingga akhirnya mereka telah sampai di bukit marwah untuk putaran terakhir. Farida segera memotong sebagian rambut Omai dan menyerahkan gunting kepada Omai untuk memotongkan rambut Ghulam.

"Hei ini umroh pertamaku. Aku nanti saja, mau pangkas gundul di depan. Kamu nggak keberatan kan jika suamimu gundul untuk beberapa minggu?" tanya Ghulam kepada Omai setelah dia selesai memakaikan kembali niqob untuk istrinya.

Kepala Omai menggeleng kemudian tertawa lirih. "Nggak ngebayangin kepala Mas seperti penthol korek."

"Apa?" tanya Ghulam pura-pura geram mendapati istrinya sedang menertawakan bayangan impulsifnya.

Hari ini memang hari untuk Ghulam. Semua keluarga Omai sengaja mengantarkan Ghulam untuk mengenal lebih dekat wajah kota yang menjadi jantungnya umat islam diseluruh dunia. Dan, lagi-lagi karena alasan Ghulam lapar ingin makan nasi jadi di sinilah mereka resto al Baik.

Ayam krispi, kentang goreng dan nasi menjadi menu wajib dari al Baik. Makanan paling ngetop di Makkah dan Madinah.

"Di Makkah sebenarnya banyak tempat wisata yang bisa dikunjungi Mas, tetapi kami sangat jarang melakukannya. Karena memang harus kembali ke Madinah segera."

"Lantas bagaimana dengan padang Arafat itu?"

"Besok setelah sholat subuh kita langsung menuju ke sana."

"Nanti malam?"

"Habis ini kita ke hotel, istirahat sebentar. Nanti malam kita thawaf lagi ya. Mumpung di Makkah."

"Ternyata benar, di sini hawanya hanya untuk memuji keagungan Allah. Tidak ada yang lain lagi, jadi sebenarnya orang tidak mau melakukan traveling religi karena memang ingin fokus beribadah di Masjidil Haram ini."

"Iya itu benar sekali."

Malam berganti hingga akhirnya subuh kembali datang. Omai telah berada di lantai dasar, karena ba'da subuh Ghulam mengajaknya untuk melaksanakan thawaf satu side, artinya 7 kali putaran ka'bah dan 1 sholat sunnah di belakang Maqom Ibrahim.

Dan tepat pukul 06.25 waktu Makkah, Ghulam dan Omai telah keluar meninggalkan Masjidil Haram untuk menuju ke hotel tempat mereka menginap. Meski bukan bulan haji, kota Makkah tidak pernah sepi oleh jamaah. Kota 24 jam, semua orang menyebutnya seperti itu.

Perjalan pertama setelah mereka melakukan check out adalah menuju ke Arafat. Mobil yang mereka tumpangi bergerak menjauhi alharam ke arah selatan.

"Dek, kalau pasar seng itu deket banget sama Masjidil Haram ya?"

"Iya, 200 meteran Mas. Ceritanya dulu itu tempat lahir Nabi Muhammad SaW. Minggu depan kita umroh lagi, kita sempatkan jalan-jalan ke sana."

"Bukannya kita harus cepat kembali ke Madinah katamu?"

"Hanya sebentar, paman pasti mengizinkan."

Mobil yang mereka tumpangi akhirnya sampai juga di jalan yang bertuliskan 'Arafat start here'.

"Inilah yang disebut sebagai Arafat, Mas Ghulam mau kapling tanah buat besok pas bulan haji?" tanya Omai kepada suaminya.

"Hahahaha, kaya apa saja kapling tanah. Masih lama aku daftar saja kemarin berangkatnya yah, belum jelas bisa 20 atau 30 tahun lagi. Luar biasa Indonesia ya?" ucap Ghulam.

"Mukimin seperti kami boleh berhaji setiap tahunnya Mas. Mas tidak berminat merubah visa mas Ghulam bukan hanya sebagai pelancong, tetapi berubah menjadi bermukim di sini?"

"Pengenlah, apa pun itu di dekat kamu aku selalu ingin Dek. Enam bulan dulu, aku harus balik ke Indonesia. Kamu lupa kalau kamu masih memiliki umma di sana. Beliau menjadi tanggung jawab kita sekarang." Ucap Ghulam.

Mendengar Ghulam menyebut kata umma hati Omai langsung mencelos. Ingin rasanya pulang kembali bersama Ghulam namun pasti Ghulam tidak akan mengizinkan. Kemarin bahkan dia telah bersumpah untuk menemani ummanya ketika dia berada di Indonesia.

"Kok jadi sedih. Teringat abi? Inshaallah, Allah akan menjaga Abi di sana. Kita sebagai anak-anak mereka wajib mendoakannya. Bukankah amalan yang tidak akan terputus salah satunya adalah doa anak anak sholeh sholeha?" ucap Ghulam masih dengan lirih.

Nampak dimata mereka pemandangan bukit yang terbungkus oleh bebatuan terjal yang diatasnya terdapat tugu putih.

"Kita sudah sampai di Jabal Rohmah Mas. Ini adalah tempat bertemunya Nabi Adam dan Ibu Hawa setelah sekian tahun lamanya dipisahkan dan diturunkan ke bumi oleh Allah. Karena memakan buah larangannya, yaitu buah Quldi." Jelas Omai.

Amr menghentikan mobilnya tepat disamping jabal rohmah. Di samping terdapat beberapa kran dan tiang yang berfungsi untuk mengeluarkan air.

"Tiang ini fungsinya? Mengapa ada air yang keluar dari atas sana. Aku pikir tiang lampu."

"Jika musim haji, di sini pasti sangatlah sesak. Semua jamaah haji melakukan wukuf pada tanggal 9 dzulhijah. Air dari tiang tiang inilah mungkin sedikit akan mengurangi rasa panas dan gerah karena banyaknya jamaah haji."

Ghulam mengerutkan keningnya. Menyerap beberapa informasi dari Omaira. "Kita boleh naik ke bukit? Aku ingin melihat langsung tugu itu. Posisi saat Nabi Adam dan Ibu Hawa bertemu." Tangan kanan Ghulam telah menarik lembut tangan Omai untuk mengikutinya.

Dari puncak Jabal Rohmah, Omai dan Ghulam bisa menikmati pemandangan yang ada di Arafat. Dari sana juga terlihat menara masjid Namira.

"Kita akan ke masjid itu?"

"Kita lewat saja, nanti langsung ke Muzdalifah kemudian kita lanjut ke Minna. Dan mungkin kita hanya berada di dalam mobil, Mas."

"Mengapa tidak turun?"

"Memangnya mas mau ngapain turun? Mabit? Ngambil batu buat lempar jumrah aqobah?" tanya Omai dengan kekehan lirih.

Dalam hati Ghulam, 'Ini pertama kali Omai untukku. Wajar jika aku bertanya seperti itu. Ah, kamu justru meledekku seperti ini. Awas nanti malam, habis kamu nggak bersisa.'

Mobil mereka hanya melewati saja, berjalan pelan sambil mengamati Masjid Namira yang sangat luas namun sangat sepi jika tidak masuk bulan haji, tetapi ketika bulan haji datang. Masjid ini seperti sarang tawon yang didatangi oleh tawon tawon putih yang tak lain adalah para jamaah haji yang sedang melaksanakan wukuf di padang Arafat.

Melewati Muzdalifah, tidak ada satu pun bangunan di sana hanya jalan lurus yang sangat lebar.

Bergerah kearah timur mereka akan memasuki daerah Minna, banyak tenda-tenda yang dilipat dindingnya ke atas dan berdebu.

"Ini adalah tenda untuk bermalam di Minna?"

"Iyalah, Mas mau pesan satu buat besok. Hahahahaha." Omai masih asyik menggoda suaminya.

"Seandainya bisa pesan dari sekarang." Jawab Ghulam asal.

Perjalanan terakhir mereka di Minna adalah melihat terowongan Minna yang dulu sebagian besar jamaah haji Indonesia meninggal disana karena saling injak. Terowongan yang harusnya hanya satu arah itu dilewati 2 arah, kapasitas tampung 1000 orang dimasuki oleh 5000 orang dengan suhu 44°C. Kejadian tahun 1990 yang memilukan, hampir 1.426 syuhada haji dinyatakan meninggal oleh pemerintah Saudi Arabia. Dan kejadian serupa terulang di musim haji tahun 2015, dimana anak raja Arab Saudi lewat dan jalan tertutup seketika. Hingga akhirnya banyak korban yang berjatuhan dan meninggal dunia di terowongan Minna.

"Di bangunan itulah nantinya pelemparan jumrah akan dilakukan. Tiga kali yaitu jumrah aqabah, jumrah ula' dan jumrah wutsha. Ketika hari eid kita akan melempar jumrah aqabah saja, dan ketika hari tasyriq kita akan melempar 21 batu masing masing setiap harinya, 7 untuk jumrah ula, 7 untuk jumrah wutsha, dan 7 untuh jumrah aqabah." Jelas Omai.

"Bangunanya di dalam gedung."

"Bukan, ada 3 buah tugu runcing yang harus dilempari batu. Masing-masing tugu diputari dengan beton lingkaran, yaitu batas kita paling dekat untuk melempar tugu tersebut."

Setelah banyak pertanyaan dari Ghulam yang telah terjawab oleh Omai, kini mereka akhirnya membawa Ghulam menuju jabal Tsur, ada yang masih ingat bagaimana ceritanya?

Ya, Goa Tsur adalah tempat diatas bukit yang bernama Jabal Tsur tempat bersembunyi Nabi ketika akan melakukan hijrah ke Madinah karena mendapatkan ancaman dari kaum kafir Quraisy.

Nabi ditolong oleh sebuah laba-laba yang membuat sarang sangat besar dimulut goa sehingga kaum Quraisy tidak bisa menemukan nabi. Sedangkan ketika rumahnya nabi dikepung, mereka hanya mendapati Ali bin Abi Thalib yang tertidur berpura pura menjadi nabi.

Ketika Ghulam hendak bertanya. Omai langsung menjawab, "Jangan mengajakku untuk naik ke Goa Tsur. Itu sangat berat, lebih berat dari rindunya Dilan."

Ghulam terkekeh geli mendengar ungkapan dari istrinya. Perjalanan religi pertamanya di Makkah membawa cerita tersendiri untuknya. Ya, perjalanan religi, ibadah sekaligus pacaran dengan kekasih halalnya.

Tak berselang lama suara Hasan memanggil mereka untuk melanjutkan perjalanan kembali menuju Madinah al Munawaroh.

🍒🍒

-- to be continued --

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama

Jazakhumullah khair

Hmmmmmm, finally selesai juga part ini

Kemarin yang minta untuk menggambarkan kota Madinah dan Makkah sudah dipenuhi ya, masih kurang terpuaskan ????

Pastinya, karena Makkah Madinah itu tidak indah hanya menurut cerita, wajib dibuktikan dengan mata kepala sendiri. 😊😊😊

Semoga readers semua diberikan kesempatan oleh Allah untuk mendatangi 2 kota tersuci umat Islam itu ya, kota yang tidak akan pernah didatangi Dajjal ketika kiamat tiba.

Author juga, mohon doanya untuk bisa berkunjung setiap tahunnya kesana 🤲🤲🤲


See...ada yang asing ya istilahnya...oke author rodo' lupa

Thoub : pakaian panjang yang biasa dipakai seorang pria..di Indonesia sering disebut sebagai gamis

Sirwal : celana panjang diatas mata kaki...laki laki haram hukumnya memakai celana berjuntai ya 😍😍 kalau di Indonesi seperti la isbal

Ghutra : kain yang dipakai di kepala berwarna merah putih atau putih saja. Di Indonesia sering disebut sorban

Igal : ikat kepala berwarna hitam untuk dipakai seperti mahkota setelah mengenakan ghutra

Kalau ada yang belum jelas...boleh boleh search untuk visualisasinya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top