#11 | Kenangan Farzan Shakeil

بسم الله الرحمن الرحيم

¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --

Yakinlah ada sesuatu yang menantimu selepas banyak kesabaran (yang kau jalani), yang akan membuatmu terpana hingga kau lupa betapa pedihnya rasa sakit - Ali bin Abi Thalib


✍✍

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ

Kullu nafsin dzaiqotulmaut, Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. QS 3 : 185.

Kematian adalah takdir mubrom yang tidak bisa diminta dan juga tidak bisa ditolak. Apapun penyebabnya, semua makhluk yang bernyawa pasti akan tetap pantas menerima kematiannya.

Minggu yang sama dengan minggu minggu sebelumnya. Farzan menutup toko miliknya dan menikmati hari libur bersama istrinya. Semenjak putri semata wayangnya melanjutkan studi ke Saudi Arabia, dia hanya berdua melalui hari-hari bersama Rayya. Pasangan halal yang Allah tentukan untuknya.

"Mas Ghulam belum kemari Bi, biasanya setiap minggu selalu menyempatkan diri kemari." Kata Rayya sambil memberikan teh hangat kepada suaminya.

"Belum. Mungkin masih repot. Sudahlah Umma, biarlah. Ghulam kan anak muda masa iya setiap minggu harus ke sini. Dia juga harus memiliki waktu untuk memanjakan dirinya sendiri." Jawab Farzan.

Rayya hanya tersenyum mendengar penuturan suaminya. Menjadi kebiasaan sejak Omaira tidak di rumah. Ghulam selalu datang ke rumah paman dan bibinya setiap akhir pekan. Bahkan terkadang juga sampai menginap.

"Bukan begitu maksud umma, biar umma siapkan sarapan lebih jika dia sudah sampai di sini." Kata Rayya.

"Andaikata dia bukan keponakan kita......" terawang Farzan.

"Allah sebaik baiknya pembuat rencana. Yakin dengan skenario yang telah dibuat Allah Bi? Inshaallah bahagia dan berkah akan selalu melingkupi kita semua." Jawab Rayya sambil menepuk pundak suaminya yang duduk di kursi beranda depan rumahnya.

Selepas Rayya kembali masuk ke dalam rumahnya. Suara mobil berhenti tepat di depan pagar rumah Farzan. Senyum yang mengembang di bibir Farzan menandakan dia mengetahui siapa pemilik mobil HRV merah yang kini telah terparkir manis depan rumahnya.

"Assalamu'alaikum Paman"

"Waalaikumsalam"

Hening setelahnya, pria muda berusia 24 tahun itu mencium punggung telapak tangan pamannya dengan penuh hormat dan takzim.

"Bibi di dalam Paman?"

"Masuklah, bibimu mungkin sedang menyiapkan sarapan untuk kita. Paman membersihkan taman dulu." Ucap Farzan kepada Ghulam.

Farzan dan Rayya memang tidak pernah membedakan mendidik anak dan keponakannya, meskipun untuk Ghulam dan Omai selalu diingatkan tentang hijab yang kini membatasi mereka karena semua sudah akil baligh.

Itu karenanya, Ghulam dan Vida juga menganggap Paman dan Bibinya adalah orang tua mereka.

"Mbak Vida nggak ikut Mas?" tanya Rayya ketika Ghulam menyapanya sedangkan dia sedang asyik bermain dengan panci dan peralatan perangnya yang lain.

"Ikut Bunda safari ke kecamatan-kecamatan Bi. Ayah juga sedang ada di kantornya. Komite auditnya sudah menyatakan bahwa benar ada penyelewengan anggaran dan kini ayah sedang mengintrogasi beberapa staf yang terlibat. Dari semalam belum pulang." Jawab Ghulam.

"Subhanallah, sudah separah itu ya moral beberapa abdi negara di negri kita." Kata Rayya bergidik ngeri.

"Namanya juga nasfu, Bi. Hatinya sudah tertutupi. Ngomong-ngomong Ghulam bisa bantu apa ini Bi?" tawar Ghulam masih dengan tubuh yang berdiri disamping Bibinya yang sedang memasak.

Rayya tersenyum kepada Ghulam kemudian berkata, "Ponakan bibi yang paling ganteng, tidak usah dibantu bibi bisa sendiri. Harusnya anak bibi yang membantu bukan kamu, laki-laki ke sana sama pamanmu di luar saja. Dapur biar jadi urusan bibi."

"Kalau begitu Ghulam jadi anaknya Bibi dulu ya? Biar Ghulam bisa membantu Bibi." Ucap Ghulam yang membuat tubuh Rayya mematung memandang kepada ponakannya.

"Mak...mak-sud Ghulam ja__" kata katanya terpotong, maksud hati ingin mengajak bibinya bercanda namun muka serius yang ditampilkan bibinya membuatnya tidak enak hati untuk melanjutkan omongannya.

"Iya Bibi ngerti, tapi ini tugas wanita biarlah kami para wanita mencari surga. Kalau kamu membantu nanti Bibi semakin jauh dari surga." Jelas Rayya jelas untuk menutupi rasa terkejutnya atas ucapan Ghulam sebelumnya.

Ghulam menuruti perintah bibinya untuk bergabung dengan pamannya yang sedang membersihkan taman di depan rumah.

Hingga akhirnya duduk bersama menikmati sarapan dan Ghulam mengetahui bahwa bidadari hatinya kini telah menunggu pinangan dari seseorang.

Bukan hanya petir yang menyambar, tetapi juga sembilu yang menyayat hatinya. 'Jika rasaku sama dengannya, apakah sesakit ini yang dulu dia rasakan ketika kedua orangtuaku memintaku untuk menerima perjodohan dengan Diandra? Puisi itu? Iya, mungkinkah itu ditujukannya kepadaku? saudara, takdir, rindu, cinta yang tak terencana?' hati Ghulam masih dipenuhi tanda tanya besar yang belum terjawab sampai sekarang.

"Maaf paman, apakah adik paman Farzan di Madinah tidak memiliki putra?" tanya Ghulam sangat hati-hati takut pamannya tersinggung, karena memang pamannya ini jarang sekali bahkan hampir tidak pernah menceritakan orang lain selama yang Ghulam tahu apalagi keluarganya.

"Hasan maksud kamu?"

"Iya, yang menjadi wali Omai di Madinah." Jawab Ghulam.

"Iya, dia memiliki 2 anak perempuan, yang tertua satu tahun lebih muda daripada Omai, yang nomor 2 selisih 5 tahun dari kakaknya. Mengapa Mas?" tanya Farzan sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Hmmmm, kasihan kalau harus mengantar Omai kemana mana." jawab Ghulam dengan gelagapan. Padahal sejatinya Ghulam ingin memastikan bahwa saudara yang dimaksud Omai adalah dia, ya seorang ikhwan saudara sepupu Omai hanyalah dia seorangan.

"Karena itu Mas, sebenarnya Paman menunggu seseorang yang diceritakan paman Hasan untuk Omai adikmu." Ujar Farzan. Penekanan kata adikmu yang diucapkan oleh pamannya membuat hatinya kembali menjerit.

Pengakuan yang jujur dari mulut Farzan semakin membuat ciut nyali Ghulam untuk mengatakan apa yang sejujurnya dia simpan rapat rapat dalam hatinya. 'Mengapa paman justru menanti orang lain. Mengapa tidak memintaku? Apa karena dia telah menganggapku tak lebih dari sekedar keponakan yang tidak bisa melindungi putrinya. Atau jangan-jangan karena perjodohan yang telah diatur oleh Bunda dan sahabatnya. Aku menyayangi Omai, Paman. Sayang antar seorang laki-laki dan perempuan yang telah dewasa. Bukan sekedar sayang seorang kakak terhadap adiknya' ucap Ghulam lagi, dalam hati.

Merasa tersudut hatinya ketika cerita rencana perjodohan Omai dengan ikhwan pilihan pamannya, Ghulam memilih untuk pamit dari rumah pamannya. Dia ingin menenangkan diri sejenak untuk mengurai kegundahan hatinya. Menanamkan ribuan doa untuk bisa dilangitkan oleh bumi kedalam genggamanNya.

Sepeninggal Ghulam, Farzan merasakan sesuatu yang tidak enak dihatinya. Setelah sholat dhuhur dia menyempatkan diri untuk berdiri kembali melaksanakan sholat tasbih. Sekedar untuk menentramkan hatinya. Melafazkan khalam Allah, dengan membuka mushaf AlQur'annya.

Rayya yang menyadari kegelisahan suaminya seolah menyalurkan energi positifnya. Menggenggam tangannya kemudian melakukan murrotal bersama.

"Umma, perasaan abi kok gelisah ya. Mengenai Omai, semoga abi masih memiliki kesempatan untuk memilihkan pasangan yang terbaik untuknya. Menitipkan kepada imamnya untuk membimbingnya menuju surganya Allah." Kata Farzan setelah mereka selesai murrotal AlQur'an.

"Sabar Abi, istighfar."

Perbincangan Farzan dan Rayya sampai akhirnya pada getaran HP yang meminta pemiliknya unyuk membuka dan melihat sebuah pesan yang masuk ke sana.

From 08123459876
Assalamu'alaikum. Paman Farzan perkenalkan saya Fawwaz. Mungkin Paman Hasan telah menceritakan tentang saya. Apakah boleh saya telpon?

"Siapa Bi?"

"Fawwaz"

To 08123459876
Waalaikumsalam Fawwaz, silakan

Tak berapa lama dari balasan message itu. Terdengar bunyi HP Farzan yang meraung meminta untuk diterima. Panel hijau segera digeser dan,

"Ada yang bisa saya bantu Fawwaz?"

"Rencananya ba'da maghrib ini saya akan kerumah paman. Apakah paman Farzan ada waktu?"

"Inshaallah paman ada dirumah. Paman tunggu kedatangannya."

Percakapan pun terhenti setelah salam diucapkan keduanya. Farzan tersenyum tipis. Lelaki 45 tahun itu mengulas senyumnya kepada wanita halalnya yang berada di samping tubuhnya.

"Semoga abi tidak salah mengambil keputusan Umma. Apa pun yang akan terjadi nanti tolong Umma bisa menggantikan abi dalam kondisi apa pun." Kata Farzan.

"Abi bicara apa, umma tidak mengerti." Jawab Rayya masih dengan memandang lekat ikhwan di sampingnya.

"Rasanya abi belum puas bermesra dengan kalian."

"Ikhlas Abi, itu tanggung jawab abi yang terakhir untuk mengantarkan putri kita kepada lelaki halalnya yang akan melindunginya sampai kapan pun. Inshaallah." Kata Rayya.

Takdir kita Allah yang tentukan. Harapan, cita-cita kita Allah tentu yang akan kabulkan dengan semua upaya dan telah kita lakukan.

Sore itu tepat selepas maghrib, mobil mitsubishi outlander warna hitam berhenti di depan kediaman Farzan. Seorang pemuda dengan garis rahang yang tegas, dan wajah khas ras timur tengah keluar dari pintu kemudi.

Tak berselang lama, ketukan pintu dari luar rumah Farzan pun terdengar dari ruang mushola yang ada di dalam rumah. Suara salam menggema di ruang tamu saat Farzan hendak membukakan pintu rumahnya.

"Waalaikumsalam. Fawwaz? Mari silakan masuk." Ajak Farzan setelah pemuda itu menganggukkan kepalanya.

Selesai berbasa basi sebentar, Fawwaz pun akhirnya mengatakan maksud utama kedatangannya menemui Farzan. Berniat untuk meminang Omaira dan menjadikannya pasangan sehidup sesurganya.

"Fawwaz, terima kasih telah datang menemui paman untuk meminta izin dari kami terlebih dahulu. Pada intinya sebenarnya semua paman serahkan kepada Omai, jika Omai menyetujui dan menerima nak Fawwaz sebagai pendampingnya. Inshaallah paman dan bibi ridho lillahitaala." Ucap Farzan setelah Fawwaz menyelesaikan kalimatnya.

Rayya juga hanya bisa mengaimini perkataan suaminya. Semua mereka serahkan kepada Allahu Rabb, sang Arsy yang memiliki kuasa atas semua qodho dan qodar manusia.

Hingga akhirnya bunyi gawai Farzan menghentikan aktivitas perbincangan mereka.

"Assalamualaikum Mas Dafi"

........

"Inshaallah bisa, dimanakah tempatnya?"

.........

"Baik, segera akan saya ambil dan langsung saya serahkan kepada Mas, sopirnya suruh langsung ke rumah Mas saja ya."

Sedikit penjelasan dari Farzan yang akhirnya membuat Fawwaz dengan sukarela mengantarkan 'calon mertuanya' kerumah kakaknya untuk mengambil beberapa dokumen penting dan menyerahkannya langsung kepada sang kakak.

Semuanya berjalan sangat baik hingga akhirnya Farzan memilih untuk naik mobil dinas kakaknya. Mengingat Fawwaz segera kembali ke kota kelahirannya dan juga karena sang driver telah mendapat amanah penuh dari walikota untuk menjemput adiknya yang membawa beberapa dokumen yang dibutuhkan walikota saat ini.

Allah sang penentu takdir. Malang tidak dapat ditolak untung tidak bisa diraih. Sebuah sepeda motor yang dikendarai oleh dua orang berjaket hitam yang berlawanan arah dengan secepat kilat melesatkan peluru berkaliber 9 mm tepat ke jok penumpang mobil dinas walikota.

Tak ayal, seketika terhentak kemudian Farzan memegang bagian tubuhnya yang terkena terjangan timah panas tersebut. Bacaan istighfar dan istirjak terlontar otomatis dari bibirnya.

Fawwaz yang saat itu berada di belakang mobil yang dikendarai oleh Farzan sangat terkejut hingga dia menginjak rem secara mendadak dan membuat sepeda motor yang berada di belakangnya menabrak bemper belakang mobilnya. Untunglah Allah maha baik, pengemudi sepeda motor tidak mengalami cidera hanya spakbore depan sepeda motornya ringsek.

Tak mau berurusan panjang, Fawwaz segera mengambil 3 lembar uang 100 ribuan untuk mengganti dan segera melarikan Farzan ke Rumah Sakit terdekat. Sementara Fawwaz membawa Farzan ke rumah sakit, mobil dinas walikota tersebut masih tetap di tempat guna dilakukan olah TKP oleh petugas yang berwenang.

Kini semua telah berada di rumah sakit, menunggu hasil penanganan dokter yang langsung mengadakan operasi pengangkatan peluru di tubuh Farzan.

Dafi yang terlihat sangat frustasi. Dia berfikir bahwa pasti seharusnya dia yang terkena tembakan itu, karena tidak mungkin orang tahu jika yang berada di mobil dinas walikota itu adalah Farzan.

Ghulam yang datang belakangan bersama Ali sangatlah panik. Tidak terbayangkan jika ayahnya mengalami peristiwa yang sangat membuatnya shock. Namun ketika sampai di rumah sakit, dia dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa yang terluka bukan sang ayah melainkan sang paman yang amat dia sayang dan dia kagumi.

"Ayah, bagaimana ceritanya hingga akhir cerita kejadiannya bisa seperti ini?"

"Ayah juga tidak tahu, siapa dan atas dasar modus apa mereka melakukan penembakan ini. Polisi masih menyelidiki semuanya. Pamanmu sedang berjuang, doakanlah yang terbaik." Kata Dafi dengan raut muka yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata.

Suasana kembali hening. Hanya isakan dari Rayya yang terdengar sangat menyayat hati. Ghulam memeluk bibinya, memberikan kekuatan kepadanya atas semua musibah yang telah menimpa pamannya. Ya, hanya Ghulam yang bisa dan mampu meminjamkan bahunya untuk bersandar sejenak dari rasa khawatir yang meremukkan jiwa.

"Bibi, ikhlaskan semuanya. Allah memiliki rencana yang terbaik untuk paman. Kita doakan bersama." Ucap Ghulam masih dengan merangkul bibinya.

Tidak ada yang bisa menolak takdir Tuhan bukan?

"Keluarga bapak Farzan, silakan untuk masuk ke ruangan F2, beliau ingin mengatakan sesuatu." seorang perawat yang mengenakan pakaian hijau siap untuk operasi.

Seluruh keluarga termasuk Ali bergerak memasuki ruangan tempat dimana Farzan berbaring. Sebelum dilakukan tindakan operasi sepertinya Farzan hendak meminta sesuatu dari salah seorang yang berada disana.

Ketika mata Farzan menangkap bayangan seseorang maka dengan isyarat matanya dia memintanya untuk mendekati.

"Mendekatlah, paman ingin menitipkan sesuatu yang paling berharga untuk hidup paman sebelum operasi dilakukan. Bersediakah engkau menerimanya?" kata Farzan lirih dan terbata.

"Inshaallah Paman."

"Jadilah pelindung untuk Omai, dan menjadi imam yang baik untuknya." Kata Farzan masih dengan suara terbata.

Tidak ada yang tidak menitikkan air mata saat Farzan mengatakan semuanya dengan perjuangan. Bahkan Rayya adalah orang yang paling terisak diantara semuanya.

"Tapi saya tidak membawa mahar untuk saya berikan kepada Omai, Paman." Kata pemuda di depan Farzan setelah dia meminta dokter dan Ali untuk menjadi saksi.

"Omai sangat menyukai surrah al ikhlas, bacakan itu sebagai maharnya." Pinta Rayya di sela isak tangisnya.

Akhirnya Farzan menjabat tangan kanan pemuda yang ada di depannya dan menyebutkan namanya kemudian membacakan lafadz ijab,

"Ankahtuka wa zawwaj-tuka makhthubataka Radwah Omaira Medina binti Farzan Shakeil bi mahri suratin Al Ikhlas. Haalan"

'Qobiltu nikaahahaa wa tazwiijahaa bil mahril madz-kuur hallan'

Ali dan dokter bersamaan mengucapkan

Sah.....

Sah.........

Sah.............

Namun saat semuanya sedang mengucapkan hamdalah. Farzan mengucapkan takbir 2 kali dengan nafas tersengal, mengucapkan syahadat kemudian nafas panjang mengakhiri rangkuman doanya. Kini kedua mata Farzan menutup sempurna, tanpa nafas dan tanpa detak jantung yang mengiringinya.

"Abi....."

"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun." Tim dokter akhirnya melakukan tindakan dan perawatan terakhir atas jenazah Farzan.

Luruh bersimpuh tubuh Rayya kini melorot di lantai. Ghulam dengan seketika langsung meraih tubuh bibinya. Membawanya keluar dan mendudukan di sebuah kursi di lorong rumah sakit.

Dafi dan para ajudannya yang mengurus semua administrasi dan pemulangan jenazah.

"Bibi, Ghulam bisa memahami bagaimana perasaan Bibi saat ini. Ikhlaskan kepergian Paman. Allah mencintainya lebih dari cinta kita dan memintanya kembali lebih dulu supaya bisa memanggil kita kelak di surga." Kata Ghulam.

Suasana hati keluarga Dafi dan Farzan begitu mencekam malam ini.

Selepas benar benar selesai semuanya. Secara islami jenazah Farzan dikebumikan.

Rayya sendiri yang meminta untuk Omai tidak terburu kembali ke Indonesia. Lebih baik melaksanakan shalat gaib untuk abinya dari Madinah dan menunggu suaminya datang untuk menjemputnya.

🍒🍒

From : +628113250399

Assalamu'alaikum bidadariku
Dua minggu lagi aku akan menemuimu dan mencatatkan pernikahan kita di kedutaan RI yang ada di Riyadh. Tunggu aku menjemputmu.

Waktu yang selalu mendulang angan
Menyatui hasrat dalam setiap sujudku
Bumi, saat keningku bermesra dengannya
Melangitkan kata yang tak pernah terangkai lewat udara
Hingga kegenggamanNya

Hidup dalam pengharapan
Padamu malam, aku malu
pada angin yang berkibas bebas sedangkan aku sendiri terbelenggu rindu yang semakin menggebu

Tahukah kau?
Bahkan aku pernah cemburu kepada awan
Yang selalu kau lihat dalam setiap pengharapanmu

Jika bersaudara denganmu adalah ketetapan Tuhan
dan berteman denganmu adalah pilihan,
Maka jatuh cinta padamu bukanlah sesuatu yang aku rencanakan
Biarlah iradhahNya menyatukan setiap bait dalam sujud sepertiga malamku
Menguntai doa dalam romansa lembayung jingga yang menyatu membentuk senja

😍😘

Debaran hati maha dasyat yang aku miliki membawa mataku terbelalak sempurna.

Ketika aku masih berduka atas kepergian abi untuk selamanya. Hatiku kembali berdesir, bergelenyar entah seperti apa rasa yang membuncah disana. Pantaskah aku merasa bahagia ketika harusnya aku merasakan duka? Ataukah memang Allah telah mengirimkanmu untuk mengganti kedukaanku?

Aku segera menyimpan nomor telepon yang baru mengirimiku pesan.

To : Pasangan sesyurgaku
Waalaikumsalam zawji, inshaallah saya tunggu. Nitip jaga umma disana untukku

Allah, sungguh rencanaMu diatas kemampuan akal kami untuk mencernanya.

🍒🍒

-- to be continued --


Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama

Jazakhumullah khair

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top