#10 | Pernikahan

بسم الله الرحمن الرحيم

¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --

Jangan katakan pada Allah 'aku punya masalah besar', tetapi katakanlah pada masalah bahwa 'aku punya Allah yang maha besar' - Ali bin Abi Thalib


✍✍

Kabut tebal masih menyelimuti langit Indonesia. Sisa tangisan langit semalam masih terasa. Harum basah bumi juga masih tercium sempurna. Pagi ini masih seperti hari sebelumnya untuk keluarga Andafi.

Sudah seminggu lewat, masa kampaye untuk pemilihan kepala daerah dimana Andafi Harun Elhaqq terdaftar sebagai kubu petahana. Suasana riuh rendah antara pro dan kontra dari masyarakat mendominasi kampanye damai yang dia lakukan.

Terlepas dari pencalonan dirinya kembali menjadi calon walikota, sebenarnya ada beberapa hal yang mengusik hati nuraninya sebagai atasan. Bukan tanpa sengaja, ketika beberapa minggu yang lalu dia memeriksa berkas laporan keuangan atas beberapa yang dianggarkan untuk suatu kegiatan yang melibatkan tanggungjawabnya. Seseorang telah memberikan informasi kepadanya bahwa ada penyelewengan penggunaan anggaran untuk kepentingan pribadi.

Tentu saja membuat Dafi bergidik ngeri. Apa yang membuat jajarannya masih merasa kurang puas dengan yang diperoleh mereka setiap bulannya. Akan sangat memalukan jika pegawai atau dirinya yang terkena usut operasi tangkap tangan oleh lembaga yang kini menjadi momok pemerintah, siapa lagi kalau bukan KPK.

Menjadi lulusan terbaik sarjana akuntansi dan mendapatkan sertifikat akuntan publik membuatnya harus turun tangan bersama rekanan untuk mengadakan internal audit secara tertutup.

Belum lagi masalah dengan Ghulam.

Ghulam masih teguh dengan prinsip hidupnya. Sebagai seorang laki-laki sekaligus seorang Ayah. Tentu Dafi sangat bangga terhadap putranya. Islam itu mutlak, wajib, sunnah, dan larangannya telah jelas tertulis dalam khalam Allah di AlQur'an.

Sebenarnya dari Ghulam pulalah, Dafi belajar banyak tentang Islam. Dia tidak malu bertanya kepada sang putra jika memang ada yang mengganjal di hati tentang beberapa tuntunan yang belum jelas dalil dan contohnya.

Tentu saja Ghulam akan bertanya kepada paman Farzannya, jika apa yang tidak dia ketahui. Karena sesungguhnya Ghulam mengetahui jika pamannya itu meskipun bukan seorang pejabat atau pegawai namun untuk masalah keislaman dia lebih jago daripada orang yang ngakunya ulama tapi memperjual belikan ilmunya.

"Ayah mengapa suntuk seperti itu? Kampanye tidak ada masalah kan?" tanya Ghulam ketika mereka sedang makan malam bersama di meja makan.

"Bukan masalah kampanye Mas, tapi masalah korupsi."

"Maksud ayah?"

"Ada seorang kepala dinas yang ayah curigai menggelapkan anggaran untuk kepentingan pribadinya. Terinfo dari orang kepercayaan ayah."

"Astaghfirulloh, terus?"

"Intern audit. Ini ayah lakukan bersama rekanan tapi sepertinya dia tidak terima."

"Hati-hati Ayah, salah salah nanti ayah yang kena sama KPK."

Ghulam dapat merasakan apa yang ada di benak ayahnya. Tentu saja semua semakin ruwet jika tidak segera diluruskan. Jika ingin membuat laporan pastinya harus memegang bukti yang kuat, bukan sekedar mendapat informasi dari orang kepercayaan saja. Langkah ayahnya memang tepat melakukan auditing intern.

Mengemban sebuah tanggung jawab lebih tepatnya seperti itu. Bukan perkara mudah, menjauhkan diri dari nikmat dunia sesaat. Berada di lingkungan birokrasi yang sudah melekat dari dulu dengan sistem tempelan.

Memang harus ada yang berani merubah. Setidaknya untuk dirinya sendiri sebelum menginfluence lingkungan kerjanya.

🍒🍒

"Ada lagi yang bisa Ghulam bantu Paman?" tanya Ghulam ketika selesai membantu Farzan untuk merapikan taman yang ada di depan rumahnya.

"Syukraan Mas sudah selesai semuanya, masuk dulu saja yuk. Cuci tangan trus sarapan. Bibimu pasti sudah menyiapkannya."

"Alhamdulillah." Kekeh Ghulam kemudian mengikuti Farzan untuk masuk rumah.

Seperti minggu minggu sebelumnya. Akhir pekan Ghulam selalu dihabiskan di rumah sang paman. Semenjak ditinggal oleh Omai kuliah ke Saudi, Ghulam selalu menemani paman dan bibinya setiap akhir pekan.

"Ayo sarapan dulu, ini bibi sudah siapkan orek tempe dan terancam." Ucap Rayya.

"Pasti enak ini Umma, makanan kesukaan Omai ini ya?" tanya Farzan kepada istrinya.

Seperti diingatkan sesuatu oleh pamannya. Nama yang baru saja disebut pamannya berhasil membuat hati Ghulam bergetar.

Rayya tersenyum menggangguk mendengar pertanyaan suaminya. "Abi sudah menelpon dia tadi? Biasanya jika minggu dia sering nggak bisa angkat telepon karena banyak praktikum."

Farzan hanya mengangguk sedangkan Ghulam masih dengan mode menikmati sarapannya. Menenggelamkan hati dan berharap percakapan tentang Omai segera berakhir. Karena sepenuhnya Ghulam tidak ingin Paman dan Bibinya membaca tingkah kakunya ketika mereka menceritakan kegiatan Omai disana.

Tanpa dia tanya secara detail pun Ghulam tahu keadaan bidadari hatinya. Farzan dan Rayya selalu bercerita setiap minggunya kepada Ghulam.

"Kamu pengen dengar suaranya Omai Mas, biar Paman yang telepon." Belum juga mendapat persetujuan dari Ghulam, Farzan telah menekan mode panggil untuk nomer Omai di telepon miliknya.

Dering nada sambung masih sama. Belum ada jawaban dari ujung gawai pamannya yang sengaja di loudspeaker.

"Bener kan Bi, pasti susah kalau ditelepon jam segini. Dia sibuk praktikum." Kata Rayya.

"Iya Ma, maaf ya Mas Ghulam kamu belum beruntung. Omainya mungkin masih di kampus."

"Iya Paman nggak apa-apa, lain kali saja." Jawab Ghulam dengan lega. Pasalnya dia bingung harus berbicara apa dengan Omai, meskipun banyak yang ingin dia tanyakan dan ceritakan. Namun sepertinya Ghulam memilih untuk diam menelan semua pertanyaan dan ceritanya sendirian.

"Oh iya, bagaimana perjodohanmu kemarin dengan anak sahabat bundamu, Mas?"

"Ghulam tidak mau jika dia belum merubah dirinya Paman." Jawab Ghulam sedikit kikuk.

"Yah, kadang kita memang harus keukeuh dengan pendirian kita. Apalagi tentang prinsip hidup. Islam itu mutlak, yang tertulis dalam AlQur'an itu saklek tidak ada penawaran. Jangan karena budaya kita yang berbeda dengan itu kemudian jadi diperlonggar hukumnya." Kata Farzan kepada Ghulam lekat kedalam matanya. Farzan benar-benar tidak ingin keponakannya itu salah dalam melangkah dan menjatuhkan pilihan

"Jilbab dan muslimah itu ya sepaket, jilbab itu pakaiannya muslimah, bukan hanya pembalut aurat tetapi fungsinya menutup aurat. Jika keluar rumah saja jilbabnya dipakai tapi kalau dirumah dilepas, padahal dirumah juga ada orang yang tidak termasuk mahramnya. Itu salah. Wanita itu mulia, makanya Allah memerintahkan untuk menutup auratnya. Mengapa justru banyak wanita yang memilih menjauh dari kemuliannya? Mengartikan perintahNya dengan tafsiran yang salah kaprah?" lanjut Farzan sambil menggelengkan kepalanya.

Ghulam masih diam sempurna mendengarkan ucapan pamannya. Tanpa berkatapun Ghulam tahu jika Paman dan Bibinya itu kurang menyetujui rencana perjodohan dirinya dengan Diandra. Bukan karena mereka tidak mengenal Diandra secara dekat tetapi lebih pada penampilan perempuan itu jauh dari santunnya cara berpakaian seorang wanita.

"Omai sendiri disana bagaimana Paman?" entahlah mengapa tiba-tiba mulut Ghulam tak kuasa melontarkan pertanyaan itu.

"Maksudnya?"

Ghulam akhirnya bingung harus menjawab apa atas pertanyaan balik dari pamannya itu. Hingga akhirnya Farzan mengerti maksud keponakannya dan menjawab tanpa ada yang harus ditutupi.

"Omai masih sama, kuliah, memperdalam ilmu agamanya. Mengenai jodoh, paman serahkan semuanya kepada Allah." Jawab Farzan.

"Orang yang diceritakan oleh dik Hasan sudah menemui Abi?" tanya Rayya yang tiba-tiba muncul dari belakang.

"Belum Ma, mungkin masih repot. Toh dia juga belum mengkhitbah Omai kan?" tanya Farzan kembali pada istrinya.

Teh hangat yang sedang diminum oleh Ghulam seolah tercekat di kerongkongan. Otaknya sedang tidak sinkron dengan indra pengecap dan pencernaannya. Hingga akhirnya dia tersedak dan memuntahkan kembali air yang telah setengah membasahi kerongkongannya.

"Pelan pelan Mas Ghulam." Kata Rayya kemudian menepuk punggung keponakannya pelan.

"O-omai a-kan di-khit-bah Pa-man?" tanya Ghulam memperjelas dengan kalimat terbata.

"Inshaallah seperti itu. Kata adik paman yang di Madinah, Omai telah dikenalkan dengan anak temannya. Hanya saja ikhwan yang dimaksud ingin bertemu dengan paman dahulu sebelum mengkhitbah adikmu. Doakanlah." Kata Farzan.

"Inshaallah Paman. Tidak ada hal yang paling membahagiakan melihat orang yang kita cintai bahagia." Jawab Ghulam dengan tatapan kosong ke depan.

"Fawwaz itu keturunan asli arab Ghulam, umminya orang Indonesia. Menurut Hasan anaknya baik, ulet bekerja dan yang paling penting ibadahnya luar biasa." Kata Farzan memandang Ghulam sambil tersenyum.

"Jadi namanya Fawwaz Paman?" Ghulam jadi teringat seorang teman yang dulu pernah berjasa untuk mengajarkan bahasa arab kepadanya.

Rasanya Ghulam seperti terjerembab di lubang yang besar dan mengubur dirinya seorangan. Dari cerita paman dan bibinya tentang Omai, kabar pernikahan inilah yang membuatnya sulit untuk fokus. Rencananya hari ini dia ingin menghabiskan hari bersama paman dan bibinya namun sepertinya hatinya meminta untuk menarik diri dari mereka.

Dia tidak ingin mendengar cerita yang lebih meremukkan hatinya lebih daripada ini. Hatinya butuh waktu untuk sendiri.

Setelah berpamitan dengan Paman dan Bibinya Ghulam melangkah menjauhi rumah minimalis milik pamannya. Kakinya terayun pasti menuju suatu tempat yang akan membuat hatinya kembali tenang. Ghulam menuju tempat untuk melangitkan doanya. Mengadukan semua keremukan hatinya, menyempurnakan berdirinya dan mengakhirkan 2 rakaatnya dengan salam serta dhikir sebagai rangkaian pemujaanNya kepada sang khaliq

Hatinya kembali perih, seperti luka yang telah ditorehkan oleh Omai ketika dia memutuskan untuk mengambil gelar dokternya di negri seribu malaikat. Kini luka yang belum sembuh itu atau mungkin tidak akan bisa sembuh, tiba-tiba tersiram air cuka, hingga menganga sempurna.

Ghulam sebenarnya bukan lelaki pengecut yang hanya bisa lari dari masalah. Dia ingin memperjuangkannya, hanya saja dia terlalu bingung untuk memulainya dari mana.

Hingga selesai sholat asar, Ghulam masih terpekur dalam rintihan doanya.

"Nak Mas, ada apa? Sepertinya sedang kalut?" kata seseorang yang mengguncang tubuh Ghulam ketika dia menunduk dalam kekosongan pikiran. Orang itu adalah ustad yang menjadi imam sholat untuk jamaah asar yang baru saja usai.

"Tidak ustad, saya hanya sedang ingin sendiri." Jawab Ghulam setelah mengetahui siapa yang menyapanya.

"Saya lihat dari tadi Nak Mas berdhikir kemudian menatap kosong. Ada apa? Ceritakanlah, mungkin akan ada jalan keluar, bukankah dua kepala itu akan lebih baik?"

Ghulam terdiam sesaat, kemudian akhirnya bibirnya bersuara.

"Saya telah menambatkan hati saya terhadap seorang akhwat ustad. Bahkan sejak saya masih berstatus sebagai pelajar SMP. Namun saya tidak ingin mendahului iradhahNya. Saya ingin mencintai wanita yang halal untuk saya nantinya. Saya salah, karenanya saya hanya minta Allah untuk mengampunkan dosa-dosa saya." Jelas Ghulam.

"Mengapa tidak Nak Mas usahakan untuk memintanya langsung kepada orang tuanya?" tanya ustad.

"Sebenarnya saya ingin sekali, tetapi saya tahu jika dia sekarang sedang menyelesaikan studinya, saya tidak ingin menjadi penghalang untuk cita-citanya Ustad," jawab Ghulam kemudian.

"Niat yang baik itu hendaknya disegerakan. Menikah itu adalah sunah nabi, dan ketika kita sudah merasa mampu makan segerakanlah. Dengan menikah saya yakin Nak Mas tidak akan menjadi penghalang untuk cita-citanya. Percayalah Allah memberikan rezeki kepada umatNya itu tidak pernah tertukar sekalipun." Nasihat ustad sangat menyentuh hati Ghulam.

"Tapi Ust...."

"Ya?"

"Paman bilang bahwa akan ada seseorang yang akan meng-khit-bah-nya. Bukankah kita dilarang untuk mengkhitbah seseorang diatas khitbahan saudara kita?"

"Paman?" tanya ustad memperjelas.

"Akhwat yang saya ingini untuk menggenapkan separuh agama itu tidak lain dan tidak bukan adalah adik sepupu saya, ustad. Saya ingin selalu melindungi dia hanya karena kami sudah dewasa sehingga tetap ada hijab diantara kami yang tidak mungkin saya langgar, karena saya bukan mahram darinya." Cerita Ghulam akhirnya.

"Ouwhhh." Jawab ustad dengan tangan kanannya memegang dagu karena berpikir sesuatu.

"Tidak ada larangan untuk menikahi sepupu. Iya benar, dia bukan mahram. Diantara kalian ada hijab yang tidak memperbolehkan kalian untuk berduaan tanpa adanya pendamping atau mahram dari salah satunya." Kata ustad kemudian.

"Tapi bukankah kita dilarang untuk mengkhitbah akhwat diatas khitbahan saudara." Kata Ghulam.

"Itu juga benar, la yahktuburrojulu 'alaa khitbah akhiihi wa laayasuumu 'alaa saumi akhiih, Janganlah meminang wanita yang telah dipinang saudaranya, dan janganlah menawar barang yang telah ditawar saudaranya hadist shohih riwayat Muslim. Namun yang harus saya luruskan tadi nak mas berkata bahwa Paman bilang bahwa akan ada seseorang yang akan mengkhitbahnya. Ini masih akan to bukan sudah dilakukan?" tanya ustad lagi.

Ghulam mengangguk.

"Jika demikian adanya, akhwat dimaksud masih bisa untuk dikhitbah. Saran saya segerakanlah." Kata ustad itu tersenyum menatap Ghulam.

"Inshaallah ustad, syukraan katsiran nasihatnya. Jazakallah khair."

"Aamiin. Afwan Nak Mas, saya tinggal permisi dulu."

Sepeninggal ustad itu Ghulam seperti mendapat suntikan semangat baru. Dia ingin menyampaikannya kepada sang Ayah, bukankah bulan lalu dia berkata jika ada sesuatu yang ia butuhkan dia pasti akan cerita. Mungkin saat inilah saat yang tepat sebelum Omai dikhitbah oleh orang lain. Ghulam yang akan meminta Omai kepada pamannya untuk menjadikannya pelengkap hidup di dunia sampai akhiratnya.

Perut yang belum terisi sedari siang membuat Ghulam akhirnya membelokkan kemudinya di rumah makan. Dia butuh tenaga, dan saat ini yang dia perlukan adalah mengisi perutnya yang telah meronta.

Duduk sendirian di dekat tiang penyangga atap dan pintu masuk membuat Ghulam mudah untuk dikenali dan disapa oleh orang lain. Sebagai anak walikota, wajahnya cukup famous di kalangan masyarakat.

Sambil menunggu beberapa menu makanan yang dipesannya. Tangan kanannya lincah menari di atas gawai. Mencari sesuatu untuk keperluannya. Hingga akhirnya kedua matanya berbinar dan tak butuh waktu lama dia segera menghubungi nomor yang tertulis disana. Java Jewellery, sebuah toko perhiasan online yang sangat terpercaya. Biasanya sang Bunda memesan melalui online dan barangnya tidak pernah mengecewakan. Sebuah cincin bertahtakan berlian indah berhasil dia pesan. Dia sangat berharap memasangkan cincin indah itu di jari bidadari surganya.

"Assalamu'alaikum, Ghulam?" terdengar suara bariton menyebut namanya. Otak kecilnya sangat akrab dengan pemilik suara itu namun file yang lain menutupnya sehingga dia tidak berhasil untuk mengingatnya. Kepalanya sontak menoleh kepada suara dan pemiliknya tersebut.

Setelah kedua matanya menatap sosok tegap yang berdiri di sampingnya baru bibir Ghulam melengkung ke atas. "Subhanallah Fawwaz, wa'alaikumsalam. Ahlan wa sahlan, kaifa haluka?"

Ghulam seketika berdiri dan merangkul sahabatnya. Dua setengah tahun tidak bertemu setelah kelulusan Fawwaz membuat keduanya saling melepaskan rindu. Fawwaz memang lulus terlebih dahulu dibandingkan dengan Ghulam, karena Ghulam yang seharusnya serius mengerjakan skripsi justru memilih untuk kursus bahasa arab.

"Alhamdulillah ana bi khoir, wa anta?"

"Alhamdulillah"

Sambil melepas rindu keduanya saling bercerita apa yang mereka lalui 2 tahun yang lalu. Ghulam baru mengetahui jika setelah lulus Fawwaz memilih untuk melanjutkan bisnis orang tuanya. Dia hijrah ke Madinah dan menetap disana.

"Abi ane asli orang arab Lam disana dia juga punya bisnis yang sama dengan disini, jadi ane kesana kesini untuk melanjutkan bisnisnya." Kata Fawwaz.

"Bener bener raja minyak ya ente." Kata Ghulam disambut tawa oleh Fawwaz.

"Ngomong ngomong bagaimana kabarnya Ali?"

"Ali sudah menikah, istrinya sedang mengandung sekarang. Dia tinggal di kota ini juga. Mungkin sebentar lagi dia datang, tadi sudah janji sama ane untuk nemani ane makan. Eh ternyata ada ente juga, alhamdulillah." Jawab Ghulam kemudian.

Tak berselang lama setelah makanan yang dipesan Ghulam dan Fawwaz datang, bergemalah rumah makan itu dengan suara bass milik Ali.

Melihat sosok Fawwaz tentu saja Ali sangat kaget. Rasa keponya yang sedang tinggi memintanya untuk segera bertanya kepada sahabatnya.

"Ente ada acara apa Fa, maen ke kota ini? Jangan jangan ente mau bangun kerajaan minyak ente disini?" tanya Ali.

"Bukan. Ane mau ketemu seseorang, inshaallah calon mertua ane." Jawab Fawwaz.

"Alhamdulillah temen ane yang satu akhirnya mau sold out juga. Tinggal ente Lam, kapan ane dapat undangan dari ente ini. Masa iya ente mau jadi mantu ane. Nungguin si orok lahir?" kata Ali dijawab toyoran oleh Ghulam dan semuanya tertawa.

"Calon istri ente arab juga Fa?" tanya Ali.

Fawwaz akhirnya menceritakan awal perkenalannya dengan Omai dan perihal perjodohan mereka yang direncanakan oleh keluarganya. Hanya dengan melihat sekilas, Fawwaz bisa menilai bahwa akhwat yang akan dinikahinya itu adalah seorang yang baik akhlaknya, santun budinya, dan sangat menjaga pandangannya. Dia tidak mengetahui mukanya, karena mengenakan niqob tapi Fawwaz percaya bahwa Allah pasti akan memberikan jodoh yang terbaik untuknya.

"Jadi?"

"Ya ane harus bertemu dengan abinya dulu disini, karena disana hanya ada walinya. Sebenarnya hampir 3 bulan berlalu tapi ane benar benar sibuk dan baru sekarang ane siap untuk bersilaturahim dengan calon mertua ane, inshaallah. Doain ane ya." Jawab Fawwaz.

Percakapan ketiga sahabat itu sangatlah menarik hingga akhirnya mereka tersadar bahwa adzan maghrib berkumandang, itu artinya mereka harus segera menyudahi acara makannya dan segera memenuhi panggilan RabbNya.

Menggunakan musholla tempat mereka makan adalah alternatif yang diambil. Karena tidak ingin terlambat untuk sholat di awal waktu.

"Sepertinya ane musti duluan, nggak enak bertamu setelah isya." Pamit Fawwaz setelah menyelesaikan dhikirnya.

"Oke, hati hati di jalan Fa. Sukses selalu ya." Jawab Ghulam.

Mereka akhirnya berpisah. Fawwaz melangkah dulu meninggalkan musholla sedangkan Ghulam dan Ali masih duduk sambil bercakap sesuatu hal.

Dari awal memang Ali lebih dekat dengan Ghulam dibandingkan Fawwaz. Kedekatan mereka bertiga berawal dari Ghulam yang berkeinginan untuk kursus bahasa arab dan ternyata Fawwazlah yang mengenalkan dengan seorang guru yang bisa membimbing Ghulam dengan expert.

Tentu saja Ali menanyakan kabar kampanye ayahnya Ghulam. Dan ketika mereka mengakhiri perbincangannya ternyata adzan isya telah berkumandang. Tak ayal, keduanya akhirnya menyempurnakan berdiri kemudian menjalankan perintah 4 rakaat wajibnya.

Kaki Ali dan Ghulam akhirnya berjalan menuju parkiran untuk menuju mobil keduanya masing masing. Masih sambil bersenda gurau Ali selalu mengolok Ghulam untuk segera menikah.

"Ente itu sudah wajib Lam, nikahlah. Ane yakin ente tinggal tunjuk, wanita wanita itu pasti akan menyerahkan dirinya. Sayang ente terlalu pilih-pilih." Kata Ali.

"Bukannya kita memang harus memilih. Satu kali seumur hidup Al, ente pikir kaya beli baju. Kalau nggak pas bisa dituker di tokonya lagi. Sembarangan ente." Jawab Ghulam.

Ditengah percakapan mereka, kedua telinga Ghulam menangkap dengar tentang obrolan pegawai rumah makan itu.

'Iya, percobaan pembunuhan pada walikota kita. Mobilnya walikota ditembak orang yang tidak dikenal ketika baru saja keliar dari rumahnya di jalan Ciliwung situ. Nggak tahu yang di dalam mobil itu pak wali atau bukan yang jelas kena tembakan. Ngeri ya sekarang, nggak suka jadi brutal gitu. Padahal pak wali kan orangnya baik. Masih aja ada orang yang nggak suka dan bertindak nekat seperti itu'

Mata Ghulam terbelalak memandang Ali yang ada di sampingnya. Melalui pandangan tanpa bersuara Ghulam dan Ali mempercepat langkahnya bergegas menuju mobil dan menjalankannya ke rumah sakit daerah.

🍒🍒

Hari hari ini terasa sangat panjang dirasakan oleh Omai. Entah mengapa, udara dingin diluar seolah berpindah ke dalam kamarnya.

Hari masih sore ashar baru akan berkumandang, Omai menuju dapur untuk mengambil minuman. Sekedar untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Namun saat berada di ruang makan matanya menangkap sesosok manusia yang sedang duduk sambil memejamkan matanya.

"Paman Hasan?"

"Omai, mau kemana kamu?"

"Omai ingin mengambil minum paman. Paman sudah pulang?" tanya Omai kepada pamannya.

Hasan memandang keponakannya kemudian menyuruhnya duduk di sampingnya. Hari ini Hasan menunggu kabar dari Fawwaz yang berencana bertemu dengan Farzan abinya Omai. Hasan ingin mengetahui bagaimana hasil dari pertemuan keduanya. Apakah Fawwaz telah berhasil menemui kakaknya atau belum dia belum memberikan kabar.

"Malam ini Fawwaz menemui abimu O."

Dahi Omai mengernyit mendengar cerita pamannya. Kemudian Hasan menceritakan bahwa Fawwaz sebenarnya menyetujui perjodohannya dengan Omai, hanya saja dia ingin bertemu dengan Abi Omai terlebih dahulu.

"Itu sebabnya mengapa sampai sekarang dia belum juga datang kepada paman untuk mengkhitbahmu secara langsung. Kamu bersedia kan jika seandainya dia datang untuk memilihmu menjadi penyempurna agamanya?" tanya Hasan.

"Omai sudah beristikhoroh sesuai dengan saran paman dahulu, namun sepertinya Allah belum memberikan tanda tanda kekuasaanNya. Jika menurut Paman itu baik dan abi telah menerimanya. Inshaallah Omai ikhlas, bukankah kalian adalah surga Omai sebelum berpindah kepada suami?" jawab Omai.

Hasan menganggukkan kepalanya kemudian membelai kepala Omai dengan penuh sayang. Tanda bahwa dia sangat menghargai perasaan keponakannya.

"Paman pasti memilihkan yang terbaik untukmu Nak." Kata Hasan menatap Omaira.

"Sebaiknya paman istirahat dulu sebentar lagi adzan ashar, bukankah lebih baik menanyakannya besok? Atau jika paman ingin sekarang juga mengapa tidak menelpon Abi atau Umma?" tanya Omai.

"Paman hanya khawatir saja. Entahlah, perasaan paman dari tadi pagi tidak enak. Paman teringat abimu terus."

"Telponlah Paman, di sini jam 16.00 di sana masih jam 8 malam." Ucap Omai.

"Sudah, tetapi tidak diangkat."

"Umma?"

"Baiklah aku akan mencobanya, tunggu di sini. Paman tidak mungkin menelpon ummamu seorangan." Pinta Hasan.

Lima menit mencoba, dering telepon itu akhirnya tersambung. Diangkat oleh seorang pria yang tidak dikenal oleh Hasan.

"Maaf bisakah saya berbicara dengan kak Rayya atau bang Farzan?"

Sebelum dijawab oleh orang yang mengangkat telepon tadi terdengarlah bacaan qobul yang diucapkan dengan suara tegas tetapi terdengar bergetar.

'Qobiltu nikaahahaa wa tazwiijahaa bil mahril madz-kuur hallan'

Sah.....

Sah.........

Sah.............

Suara takbir dan syahadat terucap terpatah patah kemudian terdengar suara isak dan tangis setelahnya.

'Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun.'

"Maaf Pak, pak Farzan telah meninggal dunia. Sebelum meninggal beliau meminta untuk menikahkan putrinya. Dan Alhamdulillah ijab qobul telah sempurna dilaksanakan. Mungkin Bapak bisa telepon lagi nanti setelah kami mengurus jenazah pak Farzan dan sepertinya bu Rayya juga belum bisa menerima telepon saat ini."

Omai melihat pamannya mengusap muka dan mengucapkan kalimat istirjak sebelum akhirnya air mata nya menetes. Telepon seluler yang berada digenggamannya jatuh ke lantai.

"Astaghfirulloh Paman, ada apa? Bibi Farida, Haura, tolong...tolong paman Hasan." Kata Omai tidak kalah khawatir melihat kondisi pamannya.

Mendengar teriakan Omai, Farida dan Haura segera berhambur ke ruang makan.

Segelas air putih berhasil diminum oleh Hasan setelah isakannya mereda. Kemudian Farida bertanya kepadanya. "Abi ada apa? Mengapa Abi menangis seperti ini?

"Omai, Al-lah be-nar be-nar men-cin-ta-i a-bi-mu." Jawab Hasan masih terbata.

Omai meminumkan kembali air zam-zam yang ada di gelas untuk pamannya. "Paman tarik nafas dulu, hembuskan pelan-pelan. Ceritakanlah kepada kami. Apa yang membuat Paman seperti ini. Allah bukan hanya mencintai Abi, tapi mencintai kita semua juga."

"Bang Farzan, abimu menghadapNya terlebih dulu dibandingkan kita. Allah telah mencintainya lebih." Ucapan Hasan yang akhirnya membuat otot kaki Omai lemas. Tidak mampu menopang berat tubuhnya.

'Tuhan mengapa begitu cepat Engkau mengambil pelita kakiku. Mengapa Engkau begitu cepat memintanya untuk menghadapMu. Kami masih membutuhkannya. Dia adalah malaikat pelindungku, aku bahkan belum mampu untuk membahagiakannya. Mengapa ya Rabb, mengapa harus Abi yang kau pilih untuk menemuiMu terlebih dulu?' monolog hati Omai di antara isak dan tangisnya. Tubuhnya kini telah berada di pelukan Farida.

"Dan satu hal lagi yang harus kamu tahu Omai. Sebelum meninggal abimu telah menikahkanmu dengan seseorang. Paman mendengar jelas ucapan qobulnya, siapa pun ikhwan yang telah dipilihkan abimu untukmu, terimalah dia sebagai suamimu dengan ikhlas." Kata Hasan kemudian meminta istrinya untuk mengajak Omai masuk ke kamar.

🍒🍒

-- to be continued --

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama

Jazakhumullah khair

Noted:

Perlu diketahui ya....syarat sah nikah itu
1. Mempelai laki laki
2. Wali nikah
3. Ijab Qobul
4. Mahar
5. 2 orang saksi

So....buat para wanita yang belum menikah, jika ayah atau wali kalian menikahkan kalian dengan syarat sah diatas tanpa persetujuan kalian sesungguhnya pernikahan itu sah dimata Allah 😊😊 makanya jangan nakal nakal sama orang tua, dinikahin loh ntar...🙏🙏🙏🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top