#09 | Kebimbangan
بسم الله الرحمن الرحيم
¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --
Kejujuran akan menyelamatkanmu meski kamu merasa takut akan hal itu - Ali bin Abi Thalib
✍✍
Cuaca Madinah pagi ini mencapai rekor terendahnya, -7°C. Seperti membeku di dalam freezer terbesar milik illahi Rabb. Angin dingin yang berhembuspun menusuk sampai ke tulang.
Tak satupun dari jamaah sholat subuh di Masjidil Nabawi ini yang tidak mengenakan mantel hangatnya. Demi pahala 1000 kali lipat yang Allah janjikan, semua jamaah menghalau rasa dingin itu untuk tetap melangkahkan kaki menghadap keridhoanNya. Melaksanakan sholat jamaah di Masjidil Nabawi.
Aku telah berada di dalam masjid ini sejak adzan pertama. Itu artinya jam 02.30 aku telah menyiapkan diriku untuk merintih kepadaNya, menyampaikan kegundahan hatiku dengan istikhoroh dan hajatku. Doa doa dan semua harapan pagi ini kembali aku langitkan untuk bisa digenggam Allahu Rabb. Sampai akhirnya adzan kedua berkumandang, menandakan waktu subuh telah tiba.
Kusempurnakan berdiriku, 2 rakaat qobliyah subuh, berdzikir dan bersholawat untuk nabi Muhammad. Hingga muadzin mengumandangkan iqomah san seluruh jamaah berdiri, menyempurnakan panggilan wajib 2 rakaat dan membawakannya serta pada catatan malaikat untuk melangitkan laporan atas hamba-hamba Allah, itulah sebabnya mengapa kita tidak boleh terlambat sholat subuh dan asar, karena malaikat akan melangitkan laporan tentang hambanya saat itu.
Ba'da subuh ini aku mengikuti kajian tahfidz. Murojaah itu wajib untukku, karena alhamdulillah aku sudah tahfidz sejak SMP dulu. Bersama umma dan abilah hafalanku sempurna.
'Al Ummu madrasatul ula', dari usia 3 tahun aku mulai menghafal AlQur'an. Umma sangat berperan aktif bahkan ketika sampai di Indonesia, umma semakin rajin untuk tetap meminta setoran hafalanku.
Seperti layaknya anak-anak seusiaku, di Indonesia sangatlah berat godaan untuk hafalan, atau Allah terlalu sayang sehingga harus diulang beberapa kali baru bisa hafal. Siaran televisi yang beraneka macam, telepon seluler, akses wifi yang semakin menjamur membuat semakin sulit untuk menghapal karena kalah dengan syaiton-syaiton elektronika itu.
Sebelum berangkat tholabul ilmu, aku wajib setor hafalan dulu kepada Umma. Hingga akhirnya mas Ghulam yang setiap hari melihat itu meminta juga untuk menyetorkan hafalannya kepada umma. Sejak itulah kami berdua aktif untuk bermurajaah bersama dengan umma dan abi tentunya.
Romantis bukan? Ah, kata Abi, ucapan laki-laki paling romantis seumur hidup itu adalah ketika dia menjabat tangan ayah atau wali kita dan berucap 'Qobiltu nikahaha'. Membayangkan saja aku sudah bahagia, apalagi jika terwujud nyata.
'Astaghfirullohaladziim' mengapa tiba-tiba hatiku kembali mengingat mas Ghulam. Dua tahun ini aku telah berusaha sepenuh hati untuk menutup lembaran itu, bahkan tidak untuk mengingat kebaikannya yang justru membuatku semakin sakit.
Maju kena mundur pun kena, atau orang jawa bilang 'maju tatu mundur ajur'. Seperti itulah ibaratnya kondisiku sekarang. Makan buah simalakama, dimakan ayah mati tak dimakan ibu mati.
Dulu Paman Hasan hanya bilang seperti itu kepadaku. Sampai dengan pernikahan Hifza berlangsung pun aku belum sama sekali bertemu dengan Fawwaz. Paman Hasan pun tidak menyinggungnya lebih jauh.
"Omaira, Juz Amma tafadhol wa tajjuwit." Adawiyah binti Achmed memintaku untuk segera melafazkan murrotalku sesuai dengan mahraj dan tajwitnya.
Aku mulai dari surrah ke 89 hingga surrah ke 114, 314 ayat dari surrah al Fajr sampai dengan surrah an Naas.
Diantara 26 surrah tersebut, ada satu surrah yang menjadi favoritku. Seringkali aku baca berulang ulang bahkan aku sempat bermimpi bahwa nanti suatu saat calon imamku membacakan qobul nikah dihadapan Abi dan Allah atas namaku, aku ingin sekali dia membacakan itu sebagai mahar nikah kami.
Surrah al Ikhlas, surrah makkiyah yang terdiri 4 ayat itu sempurna membius kekagumanku kepada Allah. Disana dijelaskan tentang keesaanNya. Tidak ada yang menyinggung perihal ikhlas satu ayat pun, namun Allah memberinya nama Al Ikhlas. Mungkin memang seperti itulah halnya ikhlas, tidak perlu di bahas dengan orang lain apa yang telah kita lakukan atau yang telah kita berikan. Lupakan dan hanya Allah yang tahu dan mencatat semuanya dalam buku amalan kita.
"Mumtaz Omaira." Adawiyah berkata setelah aku selesai membaca surrah an Naas.
"Alhamdulillah, syukraan Ukhti."
"Afwan."
Sepulang kajian aku bersama Hifza dan suaminya. Mereka sengaja menjemputku untuk mengantarkanku ke kampus karena paman Hasan sedang berhalangan.
"Ahlan Omai." Sapa Amr ibn Haritsah suami Hifza setelah aku menjawab salam dari mereka.
"Ahlan alaika, Amr. Syukraan lak ealaa aintiqadiin waasif 'iidha aizeajatak." Kataku kepada suami sepupuku itu -- Terima kasih telah menjemputku dan maaf jika aku merepotkanmu --
"La," jawabnya singkat kemudian fokus kepada setir bundar yang ada di depannya.
Aku berbincang dengan Hifza seputar perkuliahanku. Kedokteran di Saudi Arabia itu bukan merupakan jurusan yang di favoritkan. Rata-rata mahasiswa yang belajar di jurusan itu berasal dari luar Saudi. Kalian tahu mengapa? Karena orang Arab tidak suka berobat kepada seorang dokter.
Ya, jika sakit mereka akan melakukan pengobatan dengan cara yang syar'i. Ikhtiar pertama jika mereka sakit yaitu dengan sholat sunnah 2 rakaat, meminta kesembuhan dari Allah atas izin dan kasih sayangNya, jika belum sembuh maka akan dilanjutkan dengan membaca surrah AlFatihah dan surrah lainnya kemudian meniupkannya kedalam air zam-zam dan meminum air tersebut. Inilah yang disebut sebagai ruqyah terhadap dirinya sendiri. Jika belum sembuh juga maka mereka akan bersedekah untuk mendapatkan pahala dan jalan untuk kesembuhannya. Beristighfar adalah ihktiar berikutnya ketika penyakit itu belum sembuh, karena sakit adalah penggugur dosa maka mereka selalu beristighfar.
Minum madu dan habbatussauda' adalah hal yang dilakukan selanjutnya. Jika masih belum sembuh juga, maka dengan mengkonsumsi makanan herbal, seperti bawang putih, buah tin, zaitun, kurma, dan lain-lain, seperti disebut dalam AlQur'an. Baru setelahnya apabila belum sembuh, datanglah mereka ke dokter muslim yang sholih. Itu sebabnya mengapa klinik di Saudi selalu sepi dengan pasien.
"Jika kamu membuka praktek disini, aku tidak yakin pemerintah akan mengeluarkan izinnya." kata Hifza.
"Iya aku memahaminya, bukankah di Saudi semua pekerjaan yang ada di luar rumah harus dilakukan oleh seorang ikhwan? Akhwat seperti aku bisa apa jika peraturannya seperti itu." jawabku.
"Menjadi ibu, Omai. Itu lebih mulia dari pekerjaan apapun di dunia ini. Membesarkan dan mendidik anak-anak kita dengan ilmu agama sebagai penyempurna akhirat mereka kelak." kata Hifza yang diaminkan oleh Amr.
Aku tersenyum miris, bagaimana aku bisa menjadi seorang ibu jika Allah belum memberitahukan kepadaku tentang wajah calon imamku. Aku bukan Siti Maryam, wanita suci yang ditunjuk Allah untuk melahirkan nabi Isa alaihissalam meski dia tidak memiliki suami.
Apa kabar sholat istikhorohku?
Mungkin Allah belum memberikan jawaban. Atau memang Fawwaz tidak menginginkanku, mengingat setelah percakapan malam itu dengan Paman Hasan hingga kini telah 2 bulan berselang beliau tidak membicarakannya lagi.
Wallahualam,
"Amr, faqat akhfadni huna." Ucapku ketika mobil kami telah sampai di depan fakultas -- Amr, turunkan saya di sini saja --
"Na'am."
"Syukraan Hifza wa Amr. Jazakhumullah khair." Syukurku kepada mereka.
"Aamiin."
🍒🍒
Berbeda dengan Saudi yang memasuki musim dingin. Di Indonesia sekarang sedang romantis disiram hujan setiap harinya.
Seseorang masih sangat fokus dengan beberapa resep dokter di meja ramuannya. Meramu dengan sangat telaten, kemudian meminta kepada asistennya untuk membungkus menjadi beberapa bagian kecil.
Ya, dia adalah Ghulam Rafif Mufazzal. Apoteker muda yang baru setengah tahun ini bekerja aktif di apotek yang telah didirikannya.
Ayah is calling
"Assalamualaikum, Yah."
"Waalaikumsalam, masih repot Mas? Bisa menemui ayah sekarang?"
"Setengah jam lagi ya Yah, masih ada beberapa resep yang harus Ghulam selesaikan."
Telepon pun akhirnya terputus setelah Dafi menentukan dimana mereka akan bertemu.
Tidak banyak yang berubah dari seorang Ghulam. Low profile, humble, dan tentu saja Ghulam tidak pernah membedakan siapa pun meski semua orang mengetahui bahwa dia adalah anak seorang kepala daerah.
Sesuai yang telah dijanjikan, Ghulam akhirnya menemui ayahnya di sebuah cafe terkenal di kota dimana ayahnya memegang kendali pemerintahan. Tidak sendirian, duduk disampingnya seorang wanita yang begitu dihormati oleh Ghulam. Tantri Wirya Atmaja, seorang wanita yang telah membuatnya ada di dunia ini.
"Ayah sama Bunda?" sapa Ghulam sedikit terkejut
"Maafin bunda, Mas, kalau bukan Ayah yang meminta untuk datang pasti kamu akan menolak permintaan Bunda." Kata Tantri dengan menggenggam tangan kanan Ghulam dengan kedua tangannya.
Ghulam tentu saja mengetahui kemana arah pembicaraan yang nantinya akan mereka bahas. Rasanya dia ingin balik kanan langkah tegap meninggalkan Ayah dan Bundanya jika tidak mengingat dia harus menghormati mereka. Apalagi kalau bukan perjodohannya dengan Diandra yang akan dibahas jika Bundanya sudah mengawali dengan kata seperti itu.
"Kamu mau makan apa, Mas?" Dafi menawari putra sulungnya
"Tadinya Ghulam lapar Yah, tapi mendengar kata pembuka Bunda rasanya perut Ghulam menjadi kenyang." jawab Ghulam jujur.
Tantri melihat anaknya, mengharap dengan penuh iba. Bukan Ghulam tidak ingin menikah. Jauh dilubuk hatinya dia menginginkan sesegera mungkin bisa menggenapkan separuh agamanya. Tentu saja dengan wanita shaliha sesuai syariat islam.
Mengenai Diandra, dia sudah berusaha untuk menerima namun selalu saja hati kecilnya menolak. Alasannya cukup simpel, dua tahun membiarkan permintaan Bundanya untuk menikah dengan Diandra karena sampai sekarang Diandra masih juga belum menutup auratnya. Masih berlenggak lenggok diatas catwalk yang menurut Ghulam itu sangat jauh dari tuntunan Nabi Muhammad saw tentang mulianya seorang wanita. Mengenakan pakaian minimalis dan seluruh mata lelaki menatapnya dengan tatapan lapar. Tidak, Ghulam tidak akan pernah sanggup menerima balasan Allah dengan panasnya api neraka jika dia tidak bisa memimpin istri dan anak anaknya kelak untuk menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
"Bunda mohon sekali lagi Mas Ghulam, terima Diandra. Bunda sudah berjanji dengan orang tuanya, Diandra sudah menerimamu dengan semua kekuranganmu. Terimalah dia dengan semua kekurangannya." Pinta Tantri kepada Ghulam.
"Masalahnya kekurangan itu, dia tidak ingin menutupnya Bunda padahal dia bisa, tapi dia tidak mau. Maafkan Ghulam jika Ayah dan Bunda menganggap ini adalah sebuah keegoisan Ghulam." Jawab Ghulam.
"Apa kamu justru mau jika nanti Bunda ditagih malaikat di akhirat karena tidak bisa menepati janji?" tanya Tantri lagi.
"Mengenai masalah ini Bunda tidak perlu khawatir. Janji Bunda sudah terpenuhi, Bunda sudah meminta Ghulam untuk menikah dengan Diandra. Ghulam juga bersedia jika saja Diandra mau mengubah penampilannya menjadi tertutup. Namun apa kenyataannya, dia yang menolaknya." Jawab Ghulam lagi.
Semuanya terdiam. Hanya dentingan sendok yang bermanja dengan piring di bawahnya. Perjodohan Ghulam dan Diandra ini memang sudah menjadi janji antar Tantri dengan Silvi sahabatnya. Namun sepertinya niat Tantri dan Silvi akan semakin sulit karena berseberangan faham dengan Ghulam.
Dafi yang sedari tadi diam akhirnya mulai angkat bicara. "Bunda, Ghulam tidak sepenuhnya salah. Justru malah ayah bisa bilang jika dia benar. Wanita yang sudah menikah itu akan menjadi tanggung jawab suaminya. Sama seperti Ghulam, ayah juga pasti tidak akan rela jika Bunda tetap memilih menjadi model ketika sudah menjadi istri ayah. Bukan begitu Mas?" tanya Dafi meminta persetujuan Ghulam.
"Tapi yah, kan itu bis....." kata Tantri yang langsung dipotong oleh Dafi.
"Apakah bunda melupakan nasihat Kiai Haji Machfud Sulaim kemarin, ketika pemerintah kota mengadakan pengajian untuk seluruh pamong praja di bawah jajaran ayah?" tanya Dafi kepada Tantri.
Kiai Haji Machfud Sulaim mengatakan bahwa hidup itu hanya sekali. Jangan hanya berfikir dengan kebutuhan duniawi saja. Ibarat kita memiliki rumah, manakah yang akan kita perbaiki dengan sebagus bagusnya. Rumah kontrakan yang sekarang kita tinggali dan akan kita tinggalkan selamanya atau rumah kita sendiri nanti yang akan kita pakai selamanya? Ibarat dunia ini adalah rumah kontrakan kita dan akhirat adalah rumah kita yang akan kita tinggali selamanya. Tentu jika orang bisa berfikir dengan jernih pasti akan memilih memperbaiki rumah sendiri yang akan ditinggali selamanya.
Tantri hanya terdiam mendengar ucapan suaminya. Dia tidak kuasa membantah ucapan suaminya, karena secara logika dan nalar pun apa yang dikatakan oleh Andafi suaminya adalah benar.
"Dua tahun ini, Bunda selalu meminta kepada Ghulam untuk bisa mengerti maunya Bunda tanpa Bunda tahu apa yang sebenarnya menjadi keinginan Ghulam. Pernahkan Bunda mempunyai keinginan untuk bertanya kepada Ghulam......" kata kata Dafi menggantung, menoleh kepada Ghulam yang ada di hadapannya. Kemudian matanya kembali kepada wanita yang ada disampingnya, menatapnya dengan serius seolah menanti kelanjutan dari kata kata yang sengaja dipotongnya tadi.
"Bertanya kepada Ghulam, apakah dia telah memiliki pilihan yang pantas untuk dia jadikan pendamping hidupnya kelak." Dafi menyelesaikan kalimatnya dengan sempurna.
Telak, kata-kata ayahnya membuat Ghulam menjadi gelagapan. Sejauh ini dia selalu menyimpan rapat apa yang tersembunyi di dalam hatinya. Menjaganya untuk tidak diketahui oleh siapapun. Namun ayahnya seolah bisa membaca hati dan pikirannya.
"Maksud Ayah?" tanya Tantri.
"Ya. Mungkin Ghulam sudah memiliki wanita pilihannya sendiri." Jawab Dafi.
Tantri berpaling memandang Ghulam dengan penuh tanya. Memang tidak pernah terlintas sedikitpun dalam pikirannya pertanyaan itu. Karena menurutnya Ghulam adalah laki-laki yang memiliki tipe hangat dengan siapapun namun selalu memberikan jarak untuk makhluk yang bernama perempuan. Bahkan hanya sekedar untuk bersentuhan tangan saja dia selalu menolak, pandangannya selalu tertunduk jika berbicara dengan perempuan. Kecuali dengannya, Vida dan juga adiknya Rayya yang menjadi bibi untuk Ghulam.
"Ghulam? Benar apa yang dikatakan Ayah. Apakah kamu telah memiliki pilihan wanita lain?" tanya Tantri dengan hati-hati.
Mendapat pertanyaan yang tiba-tiba seperti itu dan Ghulam belum menyiapkan jawabannya membuatnya menenggelamkan muka dengan tertunduk dalam.
"Ghulam dengerin Bunda. Apa benar yang dikatakan Ayah?" tanya Tantri sekali lagi karena hampir 3 menit Ghulam terdiam dengan menunduk.
"Ghulam, katakanlah. Ini masa depanmu. Kamu tidak akan ikhlaskan jika kamu nanti akan salah memilih?" tanya Dafi kemudian.
Mendengar suara ayahnya hati Ghulam menjadi bersuara. Mungkin ini saatnya dia harus jujur. Dia tidak pernah ingin main-main dengan perasaannya. Kapan lagi dia memiliki kesempatan untuk membuka obrolan dan mengatakan semuanya. Bulan depan ayahnya sudah mulai kampanye untuk pemilihan kepala daerah kembali. Rasanya sudah tidak mungkin mengganggunya dengan pembicaraan seserius ini.
"Maafkan Ghulam Ayah, Bunda." Jeda sesaat kemudian Ghulam melanjutkan ucapannya kembali. "Jika ayah dan bunda bertanya seperti itu. Apakah sebenarnya Ghulam telah memiliki pilihan lain jawabannya adalah iya, Ghulam sebenarnya telah memilih seseorang. Namun Ghulam masih memendamnya. Sekali lagi karena Ghulam ingin sepenuhnya mencintai dia dalam ikatan suci yang telah halal. Bukan pacaran atau ta'aruf yang berkedok pacaran, tidak, Ghulam tidak ingin seperti itu. Dan Ghulam yakin wanita itu juga punya prinsip seperti Ghulam. Dia pasti tidak mau pacaran atau ta'aruf yang berkedok pacaran. Yang jelas dia adalah wanita yang telah memenuhi syarat pertama Ghulam, yaitu menutup aurat dan menjaga pandangannya. Inshaallah."
Tantri terdiam menutup mulutnya dengan tangan kanan kemudian tak lama dari itu dia mulai terisak. Entahlah, isakan itu tangis bahagia atau sebaliknya. Ghulam tidak bisa mengartikan dengan pasti. Hanya Dafi yang selanjutnya mengintrogasi siapa perempuan beruntung yang telah berhasil mengambil hati dari pangerannya itu.
"Boleh Ayah tahu siapa dia, Mas?"
"Maafkan Ghulam Ayah, mungkin untuk saat ini Ghulam belum berani menyebutkan siapa namanya. Sekali lagi dia adalah wanita yang sangat santun, menjaga pandangannya dan memakai pakaian syar'i sesuai tuntunan seorang muslimah." Jawab Ghulam.
"Kalau kamu tidak mengatakannya, bagaimana ayah dan bunda bisa menilainya?" tanya Dafi pelan dan hati-hati.
"Ini bukan berarti Ghulam ingin mengulur waktu untuk tidak menerima Diandra, Ayah. Demi Allah, Ghulam sudah istikhoroh minta petunjuk dariNya. Namun memang nama Diandra itu sepertinya tidak pernah hadir di mimpi Ghulam bahkan untuk mantap menerimanya saja hati Ghulam berkata tidak. Namun Ghulam tetap pada keputusan Ghulam jika Diandra bersedia merubah penampilan dan juga mengenai pekerjaannya. Inshaallah Ghulam akan berusaha untuk mencintainya." Kata Ghulam jujur.
"Mengenai wanita pilihan Ghulam itu, dia masih menyelesaikan studinya Ayah. Biarkanlah Allah yang menunjukkan jalan bagaimana selanjutnya. Suatu saat Ghulam membutuhkan Ayah dan Bunda, inshaallah Ghulam akan menceritakan semuanya. Namun tidak untuk sekarang." Tidak ingin menjadi salah persepsi sepenuhnya kepada kedua orang tuanya.
"Jika mendengar dari ceritamu dan orang-orang disekitarmu setahu ayah. Yang mendekati dengan ciri-ciri yang kamu sebutkan tadi hanya ada satu wanita. Dia adalah adikmu, Radhwah Omaira Medina." Kata Dafi mantap sambil memandang jauh ke manik mata Ghulam.
Masih mungkinkah Ghulam mengelak ketika tatapan mata tulus dari seorang ayah telah menghipnotis hatinya untuk berbicara jujur apa adanya.
🍒🍒
-- to be continued --
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top