#08 | Rencana Perjodohan
بسم الله الرحمن الرحيم
¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --
Aku akan bersabar sampai kesabaranpun mencoba kesabaranku - Ali bin Abi Thalib
✍✍
Menjadi seorang mukimin di Saudi Arabia itu sangatlah menguntungkan. Kalian tahu mengapa? Setiap jumat kita bisa melaksanakan umroh tanpa harus mengeluarkan banyak biaya seperti jika kita berangkat dari Indonesia. Tapi berapapun biaya yang telah kita keluarkan untuk ibadah kepada Allah, Dia pasti akan menggantinya dengan yang lebih.
Karena setiap jumat seluruh instansi di Saudi Arabia libur. Itu alasan paling utama mengapa warga Saudi akan menyerbu masjid untuk sepenuhnya memakmurkan.
Jumat pagi ini, setelah aku memenuhi panggilan Allah untuk sholat subuh di Masjidil Nabawi, dengan memakai pakaian ihram kami, aku bersama keluarga Paman Hasan berangkat menuju masjidil dzul hulaifah untuk mengambil miqot guna melaksanakan umroh ke Makkah. Ya, kami mengambil miqot di Dzul Hulaifah karena bermukim di Madinah.
GMC Acadia SLT-2 AWD warna putih milik paman Hasan melaju di jalanan dengan kecepatan rata-rata 100km/jam. Butuh waktu 4.5 jam untuk kami sampai di parkir mobil terdekat dengan Masjidil Haram.
Kali ini kami para perempuan membuka niqob, karena memang ada larangan menutup muka dan telapak tangan untuk wanita ketika melaksanakan umroh dan kami tidak mau membayar dam.
Pukul 09.50 kami telah berjalan di pelataran Masjidil Haram. Alhamdulillah, kami masih memiliki waktu untuk berhenti sebentar di Bin Dawood untuk membeli beberapa roti yang akan kami gunakan untuk makan siang sebelum pintu Masjidil Haram di tutup untuk jamaah. Ya, jika hari Jumat pintu Masjidil Haram biasanya ditutup pukul 10.00 karena membludaknya jamaah. Sehingga jika kita terlambat dan tidak bisa masuk ke dalam masjid maka yang kita lakukan adalah sholat dipelataran masjid.
Meskipun kebaikan yang kita lakukan di tanah haram dilipatgandakan oleh Allah Azza wa Jalla, namun untuk 100.000 kelipatan pahala sholat sebaik-baiknya adalah dilakukan di dalam Masjidil Haram, bukan di pelatarannya. Oleh karenanya, paman Hasan selalu meminta kami untuk bisa melaksanakan sholat di dalam masjid.
Kami masuk ke dalam masjidil haram melalui pintu 70. Dari dulu aku selalu kagum dengan bangunan megah maha sempurna milik Allah ini. Jantungnya umat Islam di seluruh dunia. Hampir setiap Jumat aku berkunjung kemari untuk melaksanakan ibadah umroh sekaligus melaksanakan sholat Jumat.
Berbeda dengan Masjidil Nabawi, pintu di Masjidil Haram ini bisa dimasuki oleh jamaah laki-laki maupun perempuan. Tapi jangan salah meski seperti itu, tetap ada hijab diantaranya.
Aku berjalan mengikuti bibi Farida, bersama Hifza dan Haura, kedua anak perempuan paman Hasan yang secara otomatis juga menjadi sepupuku. Sementara kami berpisah dengan paman Hasan, karena beliau berjalan ke shaf laki-laki yang ada di depan kami.
Menjalankan ibadah sholat Jumat adalah wajib bagi setiap kaum muslim. Ini juga salah satu yang sangat kentara perbedaannya dengan di Indonesia, di Indonesia rata-rata yang pergi ke masjid untuk sholat Jumat hanya lelaki, karena memang wajib. Jarang sekali perempuan yang ikut sholat Jumat, padahal di dalam sholat Jumat itu ada rukhshah untuk perempuan.
Meskipun wanita tidak di wajibkan namun diperbolehkan untuk berjamaah sholat Jumat sama seperti laki-laki, mendengarkan khutbah Jumat dan sholat 2 rokaat tanpa sholat dhuhur setelahnya tentu.
Selesai melaksanakan sholat jumat, kami akhirnya turun ke lantai dasar dimana bangunan ka'bah berdiri begitu kokohnya. Tak lupa kedua tanganku menengadah ketika bangunan persegi itu terlihat di pelupuk mataku. "Allahumma zid haadzal baita tasyriifan wata'dziiman watakriiman wamahaabatan wazid man syarroffahu wa karramahu mimman hajjahu awi'tamarahu tasyriifan wata'dzhiiman watakriiman wabirran."
Mutlak dengan doa itu Allah menjanjikan 20 rohmatnya kepada hamba hambanya. Ya, memandang ka'bah dengan membaca doanya. Jalur hijau hajar aswat adalah tujuan pertama kami setelah memberikan isyarat dengan tangan kanan ke atas dan bertakbir kami mulai berjalan mengelilingi ka'bah sebanyak 7 kali putaran. Kemudian lanjut dengan sholat sunnah 2 rokaat dibelakang Maqom Ibrahim.
"Paman Hasan, afwan. Omai ingin ke multazam sebentar sebelum kita sa'i. Boleh?" pintaku kepada paman ketika kami baru menyelesaikan sholat sunnah di belakang Maqom Ibrahim.
"Baiklah. Hati-hati, thawaf full bak lautan manusia."
"Ada Allah bersama Omai Paman. Bismillah."
Multazam itu adalah sisi ka'bah diantara hajar aswat dan pintu ka'bah. Salah satu tempat paling mustajabah kita untuk bermunajah kepadaNya.
Dengan sekuat tenaga akhirnya aku berhasil mencapai multazam. Kini kedua tanganku aku angkat diatas samping kanan dan kiri kepalaku. Pipi kiriku aku tempelkan di dinding multazam. Disinilah akhirnya aku bermunajah, meminta Allah untuk memberikan kesehatan dan qodar terbaik untukku dan kedua orang tuaku, meminta ampun atas semua dosa yang telah kami lakukan, dan tentu saja satu doa aku selipkan untuk orang yang masih ada di lubuk hatiku yang terdalam.
Isyarat aku lakukan kembali di jalur hijau hajar aswat sebelum akhirnya kedua kakiku melangkah menuju bukit Sofa untuk melaksanakan sa'i.
Paman Hasan memimpin kami untuk mengawali sa'i. Berdoa di bukit sofa kemudian berjalan ke bukit marwah sebanyak 7 kali.
Berakhir di bukit marwah setelah ke 3 kalinya. Ucapan takbir, tahmid dan hamdalah mengakhiri seluruh rangkaian doa kami. Bibi Farida mengeluarkan sebuah gunting kecil untuk kami pergunakan sebagai alat menggunting rambut yang menandakan bahwa rangkaian umroh kami telah selesai dengan proses tahalul.
"Alhamdulillah." Seru kami sekalian.
"Rasanya Omai masih tetap belum percaya bahwa sudah 2 tahun ini alhamdulillah Omai bisa melaksanakan ibadah umroh setiap minggunya jika tidak berhalangan." Kataku kepada kedua sepupuku.
"Iya Omai, tapi apakah kamu tahu jika kami juga sangat menginginkan melihat bagaimana negeri yang disebut Indonesia itu. Kata Abi di sana juga tidak kalah indah dibandingkan di sini." Ucap Hifza yang diamini oleh Haura, kedua sepupuku ini memang belum pernah menginjakkan kakinya di Indonesia.
"Di sana tidak ditemukan winter dan autumn, hanya ada kemarau dan penghujan saja. Jika panas panaslah sangat." Jawabku yang telah 12 tahun menghabiskan waktu di sana.
"Kau akan kembali ke sana Omai?" tanya Haura.
"Inshaallah, abi dan ummaku hanya berdua di sana. Setelah pendidikan dokterku selesai, atas izin Allah tentunya." Jawabku.
Paman Hasan mengajak kami untuk segera meninggalkan Masjidil Haram karena perjalanan kami kembali ke Madinah masih membutuhkan waktu 4.5 jam lagi.
Tidak ingin kemalaman sampai di mahtab kami Madinah, kami berempat setia mengekor paman Hasan.
"Assalamu'alaikum, Hasan Shakeil." Sapa seseorang kepada paman Hasan.
"Waalaikumsalam. Mashaallah, Oomar Adzhani. Ahlan 'alaika." Jawab Paman Hasan menjabat tangan orang yang menyapa tersebut.
Tunggu, di sebelah teman paman ada seseorang lagi yang sepertinya aku mengenalnya.
"Omai__?" katanya setelah dia berhasil mengenaliku. Ah, padahal selesai bertahalul kami memakai niqob kami kembali namun dia masih mengenaliku.
"Fawwaz__?"
Paman Hasan dan temannya memandang kami. Terkejut, mengetahui jika kami telah saling mengenal. Bibi Farida akhirnya menjadi perantara menceritakan kejadian yang menimpaku 6 bulan yang lalu.
"Subhanallah, ternyata Fawwaz yang mengirimkan pesan dahulu adalah kamu?"
"Na'am."
"Allah memang memiliki milyaran cara untuk mempertemukan makhluknya dengan sangat indah. Kamu tahu Fawwaz, aku dan abimu memang merencanakan untuk mengenalkan kalian." Kata Paman Hasan.
"Maksud Paman?"
"Hifza sebentar lagi akan menikah, Omai lebih tua setahun darinya. Fawwaz, tugas abimu yang akan menjelaskan lebih lanjutnya." Kata Paman Hasan dengan sangat lembut sambil memegang pundak Fawwaz.
Mungkin sekaranglah waktunya.
Sepenuhnya aku bisa memahami maksud dari Paman. Pekerjaannya setiap hari ditambah kami 4 perempuan yang harus diantarkan kemana tujuan kami. Dan itu sangat melelahkan, aku tahu itu.
Hifza memilih untuk menikah, bahkan dengan lelaki yang belum dikenalnya. Yang dia tahu bahwa dia akan menikah dengan anak kolega bisnis abinya.
Hanya Allah yang tahu bagaimana kehidupan kami kelak. Hifza memilih untuk bertanya kepada sang Arsy, menyerahkan sepenuhnya jawaban dari Allah atas lelaki yang telah mengkhitbahnya. Hingga akhirnya 2 minggu yang lalu dia memutuskan untuk menerima khitbahan itu dan bulan depan akan dilangsungkan pernikahannya. Ya, dia akan menikah dengan keturunan Khazraj.
'Kacamata kita belum tentu sama dengan ketentuan Allah. Apa yang menurut kita baik belum tentu baik menurut Allah dan begitu pula sebaliknya. Karena Allah lebih tahu apa-apa yang terbaik untuk umatnya.'
Kami telah menukar pakaian ihram dengan pakaian biasa di pemberhentian pengisian bahan bakar di daerah Al Buhayrat, 25 km dari Al Haram setelah masjid miqot Ayesha di daerah Tan'im.
Dalam perjalanan pulang ke Madinah, tidak sekalipun paman Hasan membahas masalah dengan Fawwaz. Beliau fokus mengemudi. Di samping kanannya ada bibi Farida yang setia memberikan navigasi.
Menjelang sholat isya, kami telah sampai kembali di Masjidil Nabawi.
"Subhanallah, walhamdulillah waala illa ha illallahu allahu akbar." Payung payung raksasa yang menaungi pelataran Masjidil Nabawi telah mengatup sempurna berganti dengan lampu-lampu di setiap tiangnya menambah begitu mempesonanya masjid yang menjadi rumah terakhir Nabi Muhammad saw.
"Omai, hal turid 'an tadhhab 'iilaa raudhah hadhih allayla?" Hifza bertanya kepadaku sebelum kami berpisah dengan paman Hasan karena pintu masuk kedalam masjid dibedakan antara laki-laki dan perempuan. -- apakah kamu bermaksud ke Raudhah malam ini? --
"Paman?"
"Kita langsung pulang selepas isya, ada yang ingin paman sampaikan kepadamu Omai." Kata paman Hasan
"Na'am Paman, inshaallah." Kami akhirnya berpisah di pintu 25.
Ya, selepas isya kami benar benar kembali ke mahtab. Sekitar 10 menit dari Masjidil Nabawi kami telah sampai di mahtab. Umroh itu melelahkan, sangat. Namun Allah menjanjikan pahalanya untuk perempuan adalah sama halnya jihad untuk seorang lelaki. Jika bukan mengingat pahala yang akan Allah berikan, semua orang pasti tidak akan mau bersusah payah melakukan ini. Surga, surga dan surga. Surga itu berat, surga itu mahal dan harus dengan perjuangan serta banyak pengorbanan untuk mendapatkannya.
"Omai." Panggil Paman Hasan ketika aku baru saja selesai membersihkan diri.
"Ya Paman."
"Duduklah, paman ingin berbicara denganmu." Kata Paman Hasan lagi.
Bukan, sebenarnya bukan ini yang aku mau. Sungguh bukan seorang Fawwaz yang aku inginkan untuk datang dan memintaku pada ayah ataupun waliku. Paman Hasan juga berhak atasku bukan?
'Ya Allahu Rabb, apalagi yang bisa aku minta kecuali memasrahkannya kepadamu?'
"Fawwaz Adzhani, putra kedua dari Oomar Adzhani dan Fatima Zulaikhah. Oomar ini adalah kolega dagang paman, Omai. Ibunya Fawwaz orang Indonesia. Mereka tinggal di Malang sebelum Fawwaz hijrah ke Madinah." Cerita paman Hasan awalnya.
"Inshaallah, dia laki-laki yang baik untuk menjadi imammu. Paman yang akan membicarakan ini kepada abimu secepatnya nanti. Istikhorohlah Nak, Allah akan membantumu membuat keputusan." Kata Paman Hasan kemudian meninggalkanku yang masih duduk sendiri di ruang keluarga.
Ini terlalu cepat Tuhan. Bukan, bukan karena aku belum mengenal Fawwaz. Namun karena hatiku belum bisa sepenuhnya berpaling.
Butiran bening meluncur dari kedua mataku. Benar, aku sakit sekarang. Masih bisakah aku mengguncang langit dengan doa-doaku, masih bisakah aku merubah takdir muallaq atas jodohku. Masih bisakah aku berharap lebih sementara kepastian mungkin sudah ada di depan mataku. Allah, Allah, Allah, bukankah begitu jelas dalam janjiMu bahwa semua doa yang menjadi pengharapan kami akan Engkau kabulkan. Aku berusaha, berikhtiar memenuhi perintahMu dan menjauhi laranganMu, namun mengapa Rabb doaku untuk bisa bersama dengan mas Ghulam belum juga ada jelasnya. Aku tidak bisa berikhtiar lebih untuk itu selain mengguncang lauhul mahfudzmu dengan semua rintihan sepertiga malam terakhirku. Merintihkan kepada bumi supaya melangitkannya dan berada digenggamanMu.
Mengabulkan langsung, menundanya sampai waktu yang tepat, atau menggantinya dengan yang lebih baik. Manakah diantara ketiganya yang akan Engkau berikan kepadaku ya Rabb?
Aku berada dalam fase dimana otakku tidak bisa menerima, limbic system otakku tidak berfungsi dengan baik sepertinya. Hipotalamusku unconected. Padahal jelas tertulis dalam kitab yang setiap hari aku baca dan aku kaji. Ketetapan Allah itu mutlak. Jangankan manusia biasa sepertiku, bahkan seorang nabi pun tidak bisa merubah ketetapanNya.
Bersabar, menerima dan ikhlas.
Belajar untuk ketiga kata itu sungguh membuatku harus berurusan dengan hati. Tidak semudah membalikkan tanganku.
"Waalaikumsalam Abi." Jawabku ketika aku berhasil menggeser panel hijau di atas gawaiku yang bergetar.
Kami selalu berkabar setiap harinya, entah aku yang menelpon kedua orang tuaku atau mereka yang menghubungiku.
"Bagaimana kuliahnya Nak? Kajiannya masih rutin juga? Sholat? shaum?" tanya abi.
"Alhamdulillah berkat doa abi dan umma, Omai sehat di sini. Kuliah lancar, kajian inshaallah bertambah lebih baik. Sholat? Shaum? Alhamdulillah Abi, tidak ada yang lebih indah selain hidup untuk akhirat di sini. Abi kapan menyusul kemari?" tanyaku kepada abi.
"Kamu sudah memiliki jawabannya?" tanya abi kemudian.
"Jawaban?"
"Paman Hasan telah menceritakan semuanya kepada abi. Jika gadis abi ini sudah memiliki jawabannya dan jawabannya adalah menerima. Inshaallah Abi dan Umma akan segera kesana. Menjabat tangan calon imammu dan menyerahkanmu kepadanya bersama tanggung jawab abi atasmu." Jawab Abi penuh dengan semangat. Terdengar dari suaranya, sepertinya abi sangat bahagia.
"Omai masih minta petunjukNya, Bi. Semoga Allah melancarkan semuanya," kataku.
"Aamiin." Abi menutup telponnya karena 5 menit lagi kuliahku akan mulai dan aku harus masuk ke kelasku.
Ruqqayah duduk manis di sampingku. Bertanya sub bab mata kuliah yang akan kami pelajari yang membuatku semakin bingung karena pagi ini aku benar-benar tidak fokus.
"Ma khatbuk ya Omaira?" tanya Ruqqayah -- ada apa denganmu, Omaira? --
"La, ana bi khair." Jawabku -- tidak, aku baik baik --
"Sahih?" tanya Ruq kemudian.
"Na'am."
"Wajhik la yaqul jayidaan, -- wajahmu tidak berkata seperti itu --
Aku memandang Ruqqayah kemudian menunduk dalam dan tak kuasa menahan air mataku. Ruq, merengkuhku ke dalam pelukannya. Mengusap punggungku dengan lembut.
"Tell to Allah, Omai. He always listen what's our request and He wouldn't give a trial beyond the capacity of his people. Trust it." Kata Ruqayah lirih tepat di telinga kananku.
"My uncle will paired up me with a child from one of his friends." Jawabku.
"You have Allah for ask the answer of that problem, haven't you?"
Aku menghapus air mataku ketika salah seorang dosen masuk kelas dan akan pengajaran akan dimulai segera.
"Assalamualaikum, close your book and prepare of a paper. We will try for quiz today." Tegas dan mengena. Saat hatiku masih terombang ambing, hipotalamusku unconected, dosenku meminta quiz hari ini. It's so complicated.
🍒🍒
-- to be continued --
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top