#07 | Pertemuan Pertama

بسم الله الرحمن الرحيم

¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --

Aku tidak sebaik yang kau ucapkan, tetapi aku juga tidak seburuk apa yang terlintas di hatimu - Ali bin Abi Thalib

✍✍

Jalan utama Prince Naif bin Abdulaziz begitu ramai. Hiruk pikuk orang yang hendak berpergian sekaligus bertalabul ilmu terangkum menjadi satu. Jalanan yang sangat lebar di tanah Yatsrib ini seolah tidak bisa menampung pemakai jalan di jam-jam sibuk.

Aku berjalan menekuri ruas jalan menuju gerbang kampus utamaku. Hari ini aku kembali ke kampus untuk belajar. Tiga mata kuliah yang rentang waktu kelasnya berjarak lumayan lama.

Selepas sholat subuh di Masjidil Nabawi aku langsung berangkat menuju kampusku karena mata kuliah ketrampilan klinik ada di jadwal pengajaran pertama. Setengah berlari aku menuju kelasku.

Di kampus ini, akhwat dan ikhwan dibedakan kelasnya. Pengajar pun demikian adanya. Bersyukurlah aku yang telah memiliki mahram di sini. Paman Hasan, adik kandung Abi yang masih tinggal di dataran Yatsrib. Sehingga tidak ada kendala ketika dulu aku harus mengurus surat mahram yang telah tinggal di Saudia minimal 1 tahun.

"Assalamualaikum Omai." Sapa Ruqayyah, temanku semenjak aku resmi menyandang gelar sebagai mahasiswi di Universitas Madinah.

"Waalaikumsalam, kaifa?"

"Alyawm hunak musabaqat, 'ant mustaeid?" -- hari ini ada kuis, apakah kamu sudah siap? --

"Astaghfirulloh, laqad nasit." Aku benar-benar lupa jika hari ini ada kuis.

"Subhanallah, Omaira." Ruqayyah menggelengkan kepalanya.

Akhirnya aku hanya membuka kisi-kisi sub bab yang akan dimasukkan di dalam kuis pagi ini. Memang tidak harus belajar dengan sistem kebut semalam, karena memang dari dulu aku tidak pernah menyukai sistem belajar seperti itu. Membuat overload otak yang akhirnya hanya akan menambah fungsi neocortex dan menjadi beban terberat untuk brainstem. Merambat ke sistem pernafasan dan lebih menakutkan lagi ketika sudah merambah ke jantung. Wah, seserem itukah sistem belajar kebut semalam? Wallahualam.

Sekilas memoriku mengingat tentang beberapa literatur yang pernah aku pelajari. Mendengarkan dosen ketika pengajaran dan mengulang kembali dengan membaca beberapa sumber adalah metode yang sampai saat ini masih cukup favorit menurutku.

Selama satu setengah jam aku bersama 20 teman seangkatanku begitu asyik menjawab 10 soal dari materi kuliah kami. Hingga akhirnya sang dosen meminta salah satu diantara kami untuk berdiri dan mengumpulkan jawaban dari kuis yang telah diselenggarakannya.

Tidak ada yang sulit jika kita mau berusaha. Meskipun tidak ada persiapan yang mendetail aku berharap mendapatkan nilai mumtaz untuk kuis ini.

Masih 2 jam lagi kelas keduaku akan mulai. Aku masih setia di bangku taman dengan beberapa mushaf yang harus kubaca dan kini ada di pangkuanku. Dalam hening aku membuka dan menelisik lebih dalam ratusan kalimat dari lembar demi lembarnya. Hingga telingaku menangkap dengar sesuatu yang membuat diriku seolah termakan oleh mesin waktu. Mendengar seorang ikhwan dan akhwat yang telah menyandang status halal sedang membicarakan masa depan bersama.

Satu setengah tahun lalu, ya, masih terekam jelas di ingatanku. Ketika semua orang berbahagia mendengar prestasi dan beasiswa yang aku peroleh. Namun betapa sakitnya hati manakala aku mengetahui bahkan sampai kakiku melangkah di pintu pemberangkatan ke Yatsrib ini, orang yang selalu ada dalam doa malamku tidak kutemui.

Persis terakhir aku bertemu dengannya adalah saat makan malam bersama yang akhirnya aku harus mendengar berita bahwa pakde dan budheku telah memilihkan wanita untuk penggenap separuh agamanya. Satu setengah tahun yang lalu, seperti hilang ditelan bumi. Namun bukankah itu yang aku inginkan, untuk menjauh darinya. Hanya saja mengapa hati kecilku tetap belum bisa sepenuhnya mengikhlaskannya?

Seperti pasangan halal yang duduk di belakangku, dulu aku pernah bermimpi untuk bersamanya. Namun aku tidak ingin mendahului iradahNya hingga rasa itu selalu tersimpan sangat rapi di dalam hatiku yang paling dalam. Menikmati setiap kesakitan yang diciptakan lingkungan karena tidak mengetahui apa yang sesungguhnya ada didalam hati kecilku.

Keberangkatanku ke Yatsrib hanya diantar oleh abi, umma dan budhe Tantri. Pakdhe Dafi tidak banyak berbicara, bahkan tidak membicarakan anak lelakinya sampai pada perbincangan terakhir kami. Banyak nasihat yang dipesankan ketiganya kepadaku. Alam yang berbeda, makanan yang berbeda, iklim yang berbeda dan culture yang berbeda. Culture yang berbeda? Inshaallah abi dan umma selalu mengajar dan mendidikku sesuai dengan tuntunan syariat, semua perilaku berdasar atas Qur'an dan Hadist bukan sesuai dengan adat dan kebiasaan lingkunganku.

Ya kami memang berbeda, hidup di lingkungan masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai adat istiadat meskipun itu sangat jauh dari syariat islam. Bukan bermaksud kami ingin sombong, namun sungguh karena kami ingin semua yang kami lakukan dan kami kerjakan itu sesuai dengan islam. Islam yang sesungguhnya seperti yang telah di contohkan oleh Nabi Muhammad saw tanpa ada tambahan dan pengurangan.

Contoh kecilnya, Nabi Muhammad saw tidak pernah mengadakan pengajian setelah kematian. Seluruh amalan orang yang meninggal itu akan terputus kecuali tiga hal, ilmu yang bermanfaat, amalan jariyah, dan doa anak-anaknya yang sholeh-sholeha.

Dalam hadist manapun tidak pernah dijelaskan adanya pengajian untuk mendoakan arwah orang yang telah meninggal. Sesuatu yang tidak pernah dicontohkan nabi itu adalah Bid'ah, dan semua bid'ah balasannya neraka. Jadi mengapa kita masih melakukan sesuatu yang sia-sia yang nantinya justru akan memasukan kita ke neraka? Astaghfirullah.

Kami dihujat, iya kami memang serasa terasing di lingkungan karena perbedaan prinsip itu. Namun sekali lagi Abi selalu memompakan semangat kepada hatiku, memberikan penawar untuk rasa sakit hati kami karena hujatan mereka. Surga itu indah, surga itu adalah dagangan Allah yang paling mahal. Belilah dagangan Allah itu dengan jiwa dan hartamu.

Dengan harta maksudnya adalah dengan bersodakoh, berinfak rezeki, dan tunaikan zakat ketika sudah masuk nisabnya. Dengan jiwa, adalah dengan ibadah kita, waktu kita, kesabaran dan keikhlasan hati kita menerima semua qadha dan qodar yang telah Allah tentukan untuk kita.

Surga itu mahal, harus kita beli dengan kesungguhan untuk taqorub kepada Allahu Rabb. Ketundukan dalam ketaatan dan keikhlasan dalam beramal sholih. Barang siapa yang bersungguh sungguh maka akan dimudahkan. Nabi Muhammad saw dan para sahabat Rodhiallahu anhum, mereka telah membeli akhirat dengan dunia mereka, mereka tundukkan kecintaan hawa nafsu demi perniagaan ini, perniagaan yang pasti menguntungkan dan tidak akan pernah merugi.

Kalimat itulah yang selalu membuatku menjadi semangat untuk mencari surgaNya.

Hingga saat aku hidup disini kembali, aku merasa tidak ada yang berbeda culturenya dengan kebiasaanku di Indonesia. Itu juga yang akhirnya membuat abi dan umma tetap tenang menitipkanku kepada paman Hasan di bumi Rasul ini.

Satu setengah tahun ini bahkan aku telah menutup jalur komunikasiku dengan semuanya, kecuali Isna, abi dan umma.

Dalam setiap kesempatan aku berkomunikasi dengan ketiganya, mereka bahkan tidak pernah menyinggung nama Ghulam dalam perbincangan kami. Entahlah bagaimana kabar ikhwan yang selalu aku sebut namanya dalam doa sepertiga malam terakhirku.

Mungkin kini dia telah menjadi seorang apoteker dan menikahi Diandra. Rasanya masih pilu jika membayangkan semuanya. Sudut hatiku masih belum sepenuhnya bisa menerima.

Allah telah mentakdirkan dia menjadi kakakku dan mungkin selamanya akan tetap seperti itu. Sepupu yang begitu perhatian padaku dulu, sebelum tiba-tiba dia menghilang tanpa kabar dan aku juga tidak berusaha untuk mencarinya bahkan sekedar mencari informasi tentangnya. Tidak, dia memang saudaraku namun bukan mahramku. Salah jika aku terlalu agresif untuk memberikan perhatian sementara hatiku berharap lebih dari itu.

Tak terasa, buliran bening menetes dari sudut mataku. Membasahi kain hitam pembungkus mukaku, ya di sini aku mengenakan niqobku kembali. Mengingat semua kenangan itu memang butuh penguatan hati yang sangat ekstra untuk tidak membuat butiran-butiran mutiara mataku berhamburan jatuh ke bumi.

Hanya istighfar yang bisa dan selalu aku dengungkan manakala hatiku kembali menekuri kenangan satu setengah tahun yang lalu itu.

Waktu ashar hampir menggelinding saat aku menyelesaikan kuliah terakhirku hari ini. Selepas maghrib aku harus segera berjihat untuk akhiratku. Hari ini adalah hari kamis, selepas sholat maghrib di Masjidil Nabawi selalu diselenggarakan kajian AlQur'an dan i'tikaf setelahnya. Mengingat pahalanya saja tentu saja aku tidak akan melewatkan kesempatan ini. Pahala sholat seribu kali lebih banyak dibandingkan dengan sholat di masjid lainnya, apakah ada sekiranya pilihan lain selain memakmurkannya?

Dengan cepat aku berjalan menuju tempat dimana Paman Hasan berjanji untuk menjemputku. Namun sudah hampir lima belas menit aku berdiri belum ada mobil pamanku itu datang menghampiriku.

Aku menekan beberapa nomor di HPku, namun tidak ada jawaban atasnya. Ah, mengapa disaat aku sedang membutuhkan kabar dari Paman Hasan teleponnya tidak bisa dihubungi.

Sebentar lagi maghrib akan menyapa dunia. Aku berjalan mondar mandir di pinggir jalan dengan rasa khawatir.

Puluhan mobil hilir mudik di depan mataku. Dalam pencarianku atas Paman Hasan yang juga belum terlihat, aku bergegas berjalan bermaksud untuk meninggalkan tempat itu untuk menuju pemberhentian bus.

Dari beberapa pasang mata yang sedari tadi mengamatiku kini mulai berjalan mendekatiku. Tanpa aku duga sebelumnya dua orang lelaki itu segera meraih sebuah tas yang ada di pundakku dan tentu saja aku berusaha untuk melawan serta berteriak meminta pertolongan.

"'Arju almusaeada." Teriakku ditengah deru mobil yang melaju di jalanan. Tiba-tiba salah satu diantaranya memukul punggung tepat dibawah leherku dengan sebuah benda yang kurasakan sangat sakit.

'Innalillahi, laa hawla wa laa quwwata illa billah.' Ucapku lirih sebelum kakiku ambruk ke tanah.

Ketika kurasa pipi kiriku telah mendarat sempurna di atas tanah dan lengan kiriku tertekuk dan tertindih tubuhku akibat tidak kuasa menahan sakit akibat pukulan di punggungku. Antara sadar dan komaku, samar kudengar seorang ikhwan menyapaku.

"Ahlan Ukhti, hal 'anti bikhair?" -- hai, apakah kamu baik baik saja? --

Aku masih mengatur pasokan oksigen kedalam kepalaku. Rasanya masih lemas, Ya Rabb hari ini aku juga sedang menjalankan ibadah puasaku untukMu. Puasa Daud yang inshaallah sudah aktif aku lakukan sejak dua setengah tahun yang lalu.

"Hajjah, musaeadat hadhih almar'a", pintanya kepada seorang wanita yang sepertinya berjalan di dekat kami -- ibu, tolonglah wanita ini --

Wanita itu membantuku untuk bangun dan merangkulku untuk berjalan dan duduk di sebuah bangku.

Setelah aku duduk sempurna dan mengucapkan terimakasihku padanya, dia pamit meninggalkanku dengan ihwan yang sama sekali belum aku kenal. Wajahnya sama, seperti orang arab pada umumnya.

"Shurb, wallah la yazal yahmiki. Madha hadath?" tanya ikhwan itu sambil meletakkan botol minuman kepadaku -- minumlah, Allah masih melindungimu, apa yang terjadi? --

Aku masih terdiam tidak mengambil botol di sampingku itu. Otakku masih merekam kejadian yang baru saja menimpaku, jangan-jangan ikhwan disampingku ini juga termasuk bagian dari dua orang yang mengikutiku tadi.

"Saya tidak mau." Sengaja memang aku menjawabnya dengan menggunakan bahasa Indonesia. Namun setelahnya justru aku yang terkejut oleh perkataannya.

"Hal 'anti andownisi? Jangan takut, saya juga orang Indonesia. Perkenalkan nama saya Fawwaz Adzhani. Anda bisa memanggil saya Fawwaz atau cukup dengan Fa."

"Anda? Syukraan katsiran akhi Fawwaz." Kataku tidak mempercayai bahwa orang yang berdiri agak jauh dariku itu juga berasal dari Indonesia.

"Afwan," jawabnya dengan helaan nafas yang bisa kudengar dengan jelas. "Anda berjalan tanpa mahram di sini? Maaf kalau saya boleh tahu Anda__?"

"Saya sedang menunggu paman menjemput, namun sepertinya beliau tidak bisa datang sedangkan HP beliau tidak bisa saya hubungi."

"Dimana mahtab Anda di sini?"

Masih dengan rasa takut untuk memberikan informasi lebih kepadanya. Karena meski sama sama berasal dari Indonesia, aku belum mengenalnya.

"Biar saya yang menghubungi nomor paman anda menggunakan HP saya, sehingga jika nanti HP beliau menyala atau telah mendapatkan signal, beliau bisa melaporkan nomor saya jika terjadi sesuatu terhadap diri Anda. Bawalah ini seluruh harta yang saya bawa dan tanda pengenal sekaligus pasport saya, supaya anda yakin bahwa saya benar-benar bermaksud menolong Anda." Katanya dengan melepas semua tas yang ada di pundaknya dan dompet yang ada di sakunya.

"Dan, oh iya ini tas Anda yang berhasil saya ambil dari dua laki-laki yang bermaksud menganiaya Anda tadi." Tasku benar-benar kembali. Sungguh Allah maha baik.

Akhirnya kami berada dalam sebuah taxi yang akan mengantarkan ke mahtab. Aku memutuskan untuk sholat di mahtab karena kondisiku masih belum memungkinkan untuk bisa beri'tikaf di Masjidil Nabawi.

Setelah aku mengucapkan alamat mahtab yang harus dituju, sang driver segera melesatkan mobilnya menuju ke tujuan. Ya, di Madinah mengendarai mobil itu selalu diatas rata-rata, selain memang jalannya lebar dan sejalur di sini tidak akan ditemui sepeda motor seperti di Indonesia.

Punggungku masih terasa nyeri dan kepalaku masih terasa berat, tangan kiriku sepertinya terkilir karena tertindih tubuhku saat aku jatuh tadi. Oleh karenanya, Fawwaz mengikutiku ke mahtab paman Hasan. Memastikan aku sampai di mahtab dengan baik.

"Assalamu'alaikum." Sapaku sebelum aku menarik handle pintu dan memutar knopnya. Kulihat bibiku dengan rasa khawatir berjalan berhambur memelukku.

"Omai? Alhamdulillah ya Rabb, maafkan pamanmu tadi ada tamu sehingga beliau sangat terlambat menjemputmu. Bibi baru saja mendapat telepon darinya, mengatakan bahwa kamu tidak ada di tempat yang dijanjikan."

"Aku sudah menelpon paman Hasan Bibi, namun sepertinya HPnya tadi sedang mati."

"HP pamanmu memang habis batrei itu ditinggal di rumah, tadi membawa HP bibi dan menelpon Bibi dengan telepon rumah."

Bibi memeluk tubuhku namun aku meringis dan mengaduh karena mungkin punggungku lebam sehingga sangat sakit jika terkena sentuhan.

"Omai? Ini?"

Seperti tersadar akan sesuatu, bibi Farida memandang sekilas ikhwan yang ada di belakangku. Berdiri di serambi mahtab. Bukankah perempuan dilarang memasukkan tamu laki-laki tanpa seizin suami? Fawwaz memahami itu, membuat dia hanya berdiri di serambi mahtab bibi Farida dan paman Hasan.

Aku menjelaskan semua peristiwa yang telah menimpaku sore ini. Tidak kurang dan tidak lebih, dan juga tentang Fawwaz yang menolongku untuk mengantarku pulang.

Setelah bibi mengucapkan rasa terima kasihnya karena Fawwaz telah menolongku, akhirnya Fawwaz mohon izin untuk meninggalkan mahtab kami.

"Allah sebaik-baiknya pembuat rencana Omai. Bersyukurlah."


🍒🍒

-- to be continued --

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama

Jazakhumullah khair

Alhamdulillah

Tidak perlu diingatkan kembali kan siapa Fawwaz Adzhani ???? Jika masih ada yang bertanya silakan untuk dibaca ulang
#06 | Berdamai dengan Hati

Noted ya guysss

• Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jumat, dia akan disinari cahaya di antara dua Jumat. HR. An Nasa'i dan Baihaqi.

• Dari Jarir bin Abdullah Al Bajaliy, ia berkata : "Kami (yakni para shahabat semuanya) memandang/menganggap bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap." Hadist ini ditulis oleh Ibnu Majah dan Sanad Hadits ini shahih dan rawi-rawinya semuanya tsiqat (dapat dipercaya) atas syarat Bukhari dan Muslim.

• Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan do'a anak yang sholeh sholeha (HR. Muslim)

Jadi apakah kita akan tetap mempersungguh amalan sesuai adat istiadat tetapi pasti tidak akan diterima oleh Allah karena tidak pernah dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW? Wallahualam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top