#06 | Berdamai dengan Hati

بسم الله الرحمن الرحيم

¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --

Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia - Ali bin Abi Thalib

✍✍

¤ Ghulam Rafif Mufazzal ¤

Lazuardi begitu setia dengan arak-arak mega menghitam. Petir dan guntur bersorak sorai menyempurnakan kesuraman megantara. Masih pekat bahkan belum seharusnya fajar menyingsing.

Sepertiga malam ini aku berdiri, mengharap sesuatu dari sang pemilik hati. Merintih bersama air mata dalam hati. Laki-laki itu harus berprinsip, hidup tidak selalu berpacu dengan hasrat. Hidup tidak selalu harus berbangga diri. Kadang hidup itu juga harus mengemis, mengemis pada sang Khaliq untuk memperoleh apa yang kita inginkan.

'Ya muqollibal quluub tsabbit qolbi 'alaa diinik, wahai Dzat yang Maha membolakbalikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu'

Selepas sholat malam dan sholat istikhoroh atas permintaan ayah dan bunda semalam. Aku memutuskan untuk kembali ke kota dimana aku menempuh pendidikan farmasiku.

Hatiku retak entah bagaimana cara merekatkan kembali. Saat aku ingin sekali menolak permintaan kedua orang tuaku mengenai kesepakatan perjodohan dengan anak sahabat bunda, di saat yang sama pula aku memperoleh kabar dari sahabat wanita yang selama ini aku ingini.

Isna yang juga terkejut seakan meminta informasi kepadaku. Omaira diterima sebagai salah satu kandidat siswa berprestasi yang yang menerima beasiswa belajar di Medina. Tidak tanggung-tanggung, dia di terima dengan 100% beasiswa full. Fakultas Kedokteran sesuai cita-citanya telah menanti mimpinya untuk menjadikannya seorang Ibnu Sina, seorang dokter, ilmuan, filusuf terkemuka dari Persia.

Semalam tiba-tiba aku mendapat telpon dari Isna sahabat Omaira. Di saat makan malam dengan keluarga Diandra dan Omaira. Benar-benar saat yang tepat untukku segera mengalihkan perhatian karena sungguh aku tidak tertarik sedikit pun dengan acara yang dibuat oleh ayah dan bundaku.

"Assalamu'alaikum, ada apa Isna?" tanyaku saat gawaiku berkedip dan kursor hijau telah tergeser hingga akhirnya benda itu melekat di telinga kananku.

"Apakah Omai bersama dengan Mas Ghulam? dari tadi HPnya aku telpon tidak diangkat." Jawab Isna dari sebrang telpon.

"Iya sama aku di sini."

"Omai diterima di Fakultas Kedokteran Medina Mas Ghulam. Sahabat mac..." Jawaban Isna langsung aku potong.

"Apa? Serius? Kirim alamat webnya via WA. Syukron Isna." Kataku langsung menatap Omai dengan dada bergemuruh.

Sambungan telepon Isna telah aku putus sepihak. Rasanya sungguh seperti palu godham yang jatuh di kepalaku. Tidak sabar aku segera mendapatkan website yang menerangkan bahwa nama Omai tertulis sebagai calon mahasiswa kedokteran di universitas tanah kelahirannya.

Mataku tetap menatap Omai dengan rasa yang tidak bisa aku ungkapkan. Dia pasti mengetahui kemarahanku tapi muka datarnya lagi-lagi membuatku berpikir panjang. Tidak mungkin disaat makan malam dengan keluarga Diandra aku langsung menyeret Omai menjauh dari mereka semua untuk minta penjelasan. Jangankan menyeret, menyentuhnya saja aku belum pernah.

Berkali-kali aku mengucapkan istighfar dalam hati. Menyentuh relung hatiku terdalam, apakah mungkin dia sama sekali tidak mengerti tentang semua yang aku lakukan untuknya. Apakah mungkin dia sama sekali tidak merasa bahwa perhatian yang aku berikan bukan hanya perhatian seorang kakak untuk adiknya. Aku berharap lebih dari itu ya Allah, dan malam ini Kau tunjukkan kuasaMu bahwa pengharapanku keliru.

Hingga akhirnya paman Farzan pamit dan mengajak serta keluarganya untuk pulang, bibirku tetap terkatup. Bungkam dan tanpa suara.

Mataku benar-benar tidak bisa terpejam. Membayangkan berjauhan dengan Omai saja membuatku takut dan aku merasa tidak akan pernah mampu. Kini justru kenyataan membawaku pada cerita bahwa kami akan dipisahkan puluhan ribu miles.

Setelah pamit kepada ayah, aku segera mengambil remote mobil dan mengemudikannya menuju kampusku bahkan sebelum adzan subuh berkumandang.

"Pagi sekali Ghulam?" tanya Ayah ketika aku hendak mencium tangan kanannya.

"Ada janji dengan dosen pagi sebelum beliau masuk kelas Yah." Jawabku berbohong.

"Tapi matamu berbicara lain. Kamu tidak sedang menghindari sesuatu kan? Diandra?" tanya Ayah menarik daguku untuk menatap mata beningnya.

Aku memang menghindari sesuatu ayah, bukan, bukan Diandra tetapi Omaira', kataku dalam hati. "Bukan Ayah, bukan karena Diandra."

"Matamu tidak pernah berbohong pada ayah. Apa kamu telah melabuhkan hatimu untuk perempuan lain?" tanya Ayah semakin detail melihat jauh ke dalam mataku.

Semakin aku di hadapan ayah seperti ini semakin aku tidak bisa berbohong. Aku tidak akan mengatakan apapun kepada siapapun tentang hatiku. Sekali lagi tidak ada kata cinta terucap sebelum aku menghalalkannya menjadi wanitaku seutuhnya.

"Ghulam berangkat dulu Ayah, takut nanti dosennya keburu masuk kelas. Perjalanan normal dari rumah ke kampus 2 jam, belum nanti kalau macet."

"Ini masih sangat pagi Ghulam bahkan adzan subuh belum berkumandang, macet darimananya?"

Tidak kuhiraukan ucapan terakhir ayah. Meskipun aku tahu sebenarnya beliau mengkhawatirkan kondisiku. Tidak dalam keadaan fit dan sempurna untuk mengemudikan mobil namun aku memaksa.

Di bawah gerimis dan kilatan petir, aku mengejar matahari. Maafkan aku Omai, aku harus menjauhimu sekarang. Bukan karena aku tidak ingin mengkonfirmasi kebenaran berita yang aku dapatkan dapatkan dari website yang telah dikirim oleh Isna. Aku tidak ingin egoku mengalahkan logikaku. Aku tidak ingin marah didepanmu, karena kamu tidak pernah membicarakan semua ini denganku. Bagaimana mungkin, aku ini kakakmu. Kakak terdekatmu yang bisa kamu mintai pertimbangan. Atau memang karena kamu tetap menganggapku seorang kakak tidak lebih dari itu?

Mataku terpejam sebentar di dalam mobil yang kuparkir di halaman masjid setelah aku menunaikan kewajibanku bertemu denganNya dalam 2 rokaat wajibku.

Berlama-lama merintih denganNya membuat hatiku kembali tenang. Bisa kuadukan semua kegundahan hatiku. MenjadikanNya sebagai satu satunya tempat untukku meminta pertolongan. Aku memilikiNya, dzat pemilik hidup dan matiku.

"Ya Allah ya Rabb, akhirnya followers ane nambah ente Lam. Ada apa ente nyariin ane? Kangen sama ane? Emang ane selalu ngangenin." Suara renyah Ali-sahabat dekat Ghulam yang keturunan arab itu menjawab telepon darinya.

"Dasar onta arab sarap. Ane ada perlu sama ente. Bisa ketemu di kampus pagi ini. Ane sudah meluncur. Jam 7 ane tunggu ente di taman fakultas." Jawabku kemudian memutus sambungan telepon. Aku tidak bisa menerima penolakan kali ini makanya sebelum aku dengar jawaban dari Ali telponnya aku tutup supaya dia tidak menolak permintaanku.

Fakultas Kedokteran Jurusan Farmasi masih sepi mahasiswa, bukan mahasiswanya yang malas namun karena aku yang datang terlalu pagi. Kubuka kembali gawaiku, berselancar bersamanya untuk mencari situs yang aku butuhkan saat ini.

Setengah jam aku duduk di bangku taman ini. Hingga akhirnya aku menemukan makhluk semacam onta arab datang mendekatiku.

"Gila ya ente, pagi begini minta ane datang ke kampus. Kaya mahasiswa baru aja ente. Ente kan bisa maen ke rumah ane kenapa harus ke kampus sih Lam." Cerocosnya sedari datang sampai Ali mendaratkan pantatnya di bangku kosong sebelahku.

"Ane butuh bantuan ente sekarang Al." Jawabku.

Ali masih bengong melihat muka seriusku. Lazimnya memang Ali yang biasa meminta bantuanku. Hari ini, kali pertama setelah hampir 4 tahun persahabatanku dengannya aku memohon untuk dia bisa membantu keinginanku.

"Ente sehat Lam, ane nggak salah pendengaran kan?" tanya Ali masih dalam mode tidak percaya.

"Allahu akbar, Onta. Ane serius, hari ini ane butuh bantuan ente. Ente mau kan?"

"Yaelah Lam, kita ini sohib sejak maba masa iya ane nggak mau nolong sohib ane ini. Katakan, apa yang bisa ane bantu buat ente?"

"Ane mau belajar bahasa Arab, Al. Abi ente kan bisa, ane mondok di rumah ente sebulan saja biar ane selalu menggunakan bahasa itu setiap hari." Kataku setelah kami berdebat unfaedah.

"Ya Allah, ya Rabb, Muhammad Rasululloh. Sohib ane kemasukan jin apa ya, ini yang lain pada sibuk kursus bahasa Inggris buat ngejar toefl untuk maju sidang skripsi. Ini malah pengen kursus belajar bahasa Arab. Yakin ente Lam? Mau jadi TKI ente Lam?" Ali masih meyakinkan permintaanku untuk kesekian kalinya.

"Wallahi."

Ali masih terdiam hendak mengucapkan sesuatu namun dia urungkan dan memilih untuk membuka HP kemudian tangannya menari di atasnya untuk mengetik sesuatu.

"Ane coba minta tolong pada Abi ya Lam, tapi ane juga ngga janji abi bisa sepenuhnya ngajarin. Ente tau sendirilah Abi kan siangnya di toko sembako."

"Terus ane harus belajar sama siapa dong. Katanya ente sohib ane paling afdhol. Mana? Giliran ane butuh bantuan ente, ente malah nggak mau bantuin."

"Habis permintaan ente aneh menurut ane, Lam. Ane bukan nggak mau bantuin. Atau__" kata Ali terputus berpikir sesuatu.

Ali menyebutkan satu nama teman satu angkatan kami. Sebetulnya aku tidak begitu dekat dengan seorang Fawwaz Adzhani namun kali ini aku benar-benar membutuhkan bantuannya. Sama seperti Ali, Fawwaz adalah keturunan arab langsung, ayahnya memiliki darah arab utuh sedangkan ibunya yang berasal dari Indonesia. Bedanya lagi dengan Ali, Fawwaz ini terkenal sangat pendiam. Dia lebih senang bersosialisasi dengan buku dibandingkan dengan teman-temannya.

"Assalamu'alaikum Fawwaz." Ucapku dengan Ali menyapa Fawwaz bersamaan.

"Waalaikumsalam, Ahlan Ali, Ghulam"

Kami duduk di hadapan Fawwaz yang sedang membaca sebuah buku tebal di pangkuannya. Bermaksud hendak membicarakan permohonanku untuk bisa belajar bahasa arab dengannya. Ali memulai dengan sapaan khas orang timur tengah.

"Jadi Ghulam yang mau belajar?" tanya Fawwaz kepadaku.

"Iya."

"Antum yakin tidak akan mengganggu kegiatan kuliah antum, karena kalau mau belajar untuk seorang pemula memang harus mondok, setidaknya 2 minggu."

"Insyaallah ana yakin, Fawwaz."

"Baiklah, selepas dhuhur kita ke rumah ana. Nanti ana kenalkan dengan almaelim yang bisa mengajari antum."

"Syukraan, Fa."

"Afwan."

Kalau kalian bertanya mengapa aku sangat ingin belajar bahasa arab, itu semua karena Omai. Dengan kata lain, ya, aku ingin menyusulnya kesana. Bukankah memang harus diperjuangkan, bukan untuk kebathilan namun untuk kebaikan. Menghalalkannya? Itu kemungkinan terbesar dalam hatiku.

Dua minggu ini aku benar-benar mematikan telpon dan semua aktifitas dunia luarku. Bahkan aku telah meminta izin kepada dosen pembimbing skripsiku untuk cuti bimbingan selama 2 minggu full.

Berdamai dengan hati untuk saat ini memang hal yang terbaik untuk kita kedepannya Omai.

'Tuhan, sungguh jika dengan menjauhiku sekarang suatu saat nanti kami akan Engkau pertemukan di dalam majlis yang penuh keberkahan. Aku akan berusaha ikhlas. Namun tolong jangan tolak semua inginku untuk bersamanya di akhirat kelak.'


🧤🧤🧤

-- PoV Radhwah Omaira Medina --

Semburat kecewa tentu masih menggantung di raut muka sahabat sesyurgaku ini. Isna, sahabat tercintaku sejak dari kami menginjakkan kaki di bangku sekolah lanjutan pertama.

Dia memang sangat shock ketika aku berusaha untuk menyampaikan maksudku aku memang tidak ingin ada intervensi dari pihak mana pun juga. Itu alasannya mengapa aku memilih diam ketika aku mencoba untuk mendaftarkan diri menjadi kandidat calon penerima beasiswa belajar ke Madinah. Kampus yang sama tempat abiku bertolabul ilmu.

Bagiku, persyaratannya sangatlah mudah. Atau lebih tepatnya memang dimudahkan jalannya oleh Allah untukku. Tahfidz AlQur'an, fasih berbahasa arab dan tentu harus fluent berbahasa inggris. Ketiga hal itulah yang dimudahkan oleh Allah, aku termasuk didalamnya. Alhamdulillah.

Prestasi akademik tentu menjadi prioritas selanjutnya. Dan ketika aku selalu menjadi salah satu peraih 5 besar rangking paralel di sekolahku, sekali lagi Allah memudahkan jalanku menuju tanah kelahiranku. Madinatur Rasul, bumi Rosul yang selalu aku rindukan.

"Jadi bener ini sahabatku Omai akan kembali ke Madinah untuk menuntut ilmu di sana?" tanya Isna masih dengan nada tidak percaya.

"Inshaallah shohibati."

"Omai, mengapa kamu tidak pernah sekalipun bercerita kepadaku. Sedangkan kamu selalu menyebut bahwa aku adalah sahabatmu." Protes Isna kepadaku.

"Maafkan aku jika aku salah kepadamu. Namun ada hal yang lebih daripada itu namun aku tidak bisa menceritakan kepada siapa pun kecuali pada dzat pemilik ruh dan ragaku."

Aku ingin menjauh dari saudara sepupuku itu alasan paling utama. Selain aku ingin memperdalam ilmu agama dan belajar ilmu kedokteran disana.

Apalagi setelah semalam budhe dan pkde telah menentukan dengan siapa nantinya mas Ghulam akan menggenapkan separuh agamanya. Tidak akan pernah sanggup hatiku berada di dekatnya. Aku ingin mencintai imamku karenaMu ya Rabb. Bukan atas rasa yang salah tumbuh subur di hatiku dan menjalar ke seluruh ruang dalam setiap diafragma nafasku.

Allahu Rabb, Engkau yang lebih tahu di dermaga mana nantinya baktiku akan berlabuh. Jika kekuatan doaku bisa mengguncang lauhul mahfudzMu izinkanlah aku tetap menyebut namanya sebelum benar-benar mihrab itu akan menjadi penutup doaku atas namanya.

"Maafkan aku juga Omai."

"Kamu tidak salah Isna."

"Saking terkejutnya, semalam aku menghubungi mas Ghulam untuk mengabarkan ini. Karena aku menelponmu dan tidak satupun dari panggilanku yang kamu terima."

"Jadi__mas Ghulam__sudah tahu?" tanyaku kepada Isna dengan rasa tidak percaya. Jadi benar tatapan Mas Ghulam semalam memang untukku. Apakah dia marah kepadaku, tapi mengapa dia tidak mengucapkan satu kata pun kepadaku. Tidak mengirimiku pesan seperti biasanya. Ya Allah, mungkin dia memang benar-benar marah padaku

"Dia bahkan jauh lebih shock daripada aku, kamu tahu. Setelah aku mengirimi website itu. Dia menelponku dan menanyakan banyak hal tentangmu padaku."

"Maksudmu?"

"Dia sangat mengkhawatirkanmu. Tidak akan pernah bisa seorang wanita tinggal seorangan di sana tanpa seorang mahram. Dia sampai berpikir ke sana." Jawab Isna.

"Paman Hasan adalah mahramku di sana. Beliau adalah adik kandung Abi."

"Rasanya aku berpikir dia bukan hanya sebagai kakak untukmu Omai."

"Dia kakak sepupuku Isna, bagaimana mungkin kamu bisa berkata seperti itu. Dari awal kita bersahabat kamu telah mengetahuinya." Jawabku yang tidak memahami maksud pernyataan sahabat terbaikku.

"Sudahlah, itu hanya pikiranku saja mungkin aku memang salah, lupakan."

Isna menatapku dengan banyak pertanyaan dimatanya. Rasanya memang sangat berat meninggalkan sahabat terbaik. Namun kami memiliki jalan hidup kami sendiri-sendiri.

"Jadi?"

"Hmmm?"

"Kapan kamu mulai mengurus semuanya?"

"Besok aku akan minta bantuan pakde Dafi untuk pengurusan visa dan meminta informasi lebih detail kepada dikti terkait beasiswaku. Sekaligus izin juga kepada beliau bahwa aku akan kembali ke Madinah untuk jangka waktu yang lumayan lama."

"Jadi kamu akan ke Jakarta?"

"Dalam waktu dekat. Doakan semuanya lancar ya." Pintaku pada Isna.

"Aamiin"


🍒🍒

-- to be continued --

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama

Jazakhumullah khair


Ada yang bertanya apa artinya Radhwah Omaira Medina?

Radhwah itu adalah salah satu bukit yang ada di Madinah, Omaira itu artinya bintang, dan Medina sendiri artinya adalah Madinah al Munawaroh

Radhwah Omaira Medina = Bintang yang terlihat diatas bukit dari kota Madinah al Munawaroh

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top