#05 | Serpihan Luka

بسم الله الرحمن الرحيم

¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --

Janganlah engkau mengucapkan perkataan yang engkau sendiri tak suka mendengarnya jika orang lain mengucapkannya kepadamu - Ali bin Abi Thalib


✍✍

"Abi, buku cerita Fatimah Az Zahra milik Omai dimana ya?" tanyaku ketika sudah hampir satu jam aku mencarinya di setiap sudut kamar, meja belajar bahkan sampai lemari mushaf kumpulan hadist milik abi telah aku pelototi satu persatu namun hasilnya nihil.

"Novel itu?"

"Iya, cerita kisah cinta Syaidatina Fatimah Az Zahra dan Syaidinna Ali bin Abi Thalib."

Abi tersenyum kemudian berjalan mendekatiku. Memintaku untuk duduk dan berhadapan dengan beliau.

Melihat sorot matanya menatapku seperti itu sepertinya ada pesan tersirat yang sulit untuk kuterjemahkan. Namun abiku tetap diam dan tersenyum sangat lembut kepadaku.

"Abi?" tidak kuat berlama-lama menatap sorot tajam mata abi kepadaku, aku segera memanggilnya untuk membicarakan apa yang membuat beliau memintaku untuk duduk.

"Beberapa bulan yang lalu mas Ghulam menemui Abi."

Aku masih diam mendengar cerita Abi, meski hatiku berdebar ketika nama seseorang yang kini aku damba di sebut Abi dengan sangat halus.

"Sepertinya dia membutuhkan buku itu, makanya Abi suruh untuk membawanya. Coba kamu tanyakan sama dia sekalian umma memintamu untuk ke rumah budhe Tantri. Sepertinya di rumah budhemu ada hajatan hari ini. Ummamu sudah di sana." Perintah Abi.

Ujian nasional memang telah selesai. Seperti kuda lepas dari kandangnya, seluruh siswa menyambut dengan gembira. Meski ada perasaan was-was menanti hasil ujian yang telah dilalui bersama.

Hari ini memang hanya 1 mata pelajaran terakhir yang diujikan. Sehingga aku bisa pulang ke rumah lebih awal. Rencananya memang aku ingin sekali membaca ulang kisah cinta paling indah di dunia. Namun ketika Abi mengatakan bahwa buku bacaan itu ada di tangan mas Ghulam aku menjadi sangat takut. Bukan karena apa tetapi di buku itu aku sempat menyelipkan puisi yang, ah, aku bisa malu jika harus menceritakannya.

Beberapa bulan terakhir ini aku memang sangat menghindari untuk bertemu saudara sepupuku itu. Dengan dalih persiapan ujian nasional, aku selalu berhasil menolak ajakan mas Ghulam untuk sekedar bertemu atau bertukar pendapat. Aku tidak ingin hatiku ternodai kembali meski sebenarnya juga belum sepenuhnya aku bisa melupakan. Atau bahkan mungkin tidak bisa dilupakan, bagaimana bisa melupakan jika setiap acara keluarga justru kami akan selalu bertemu? Bukankah itu kesengajaan yang membuat hatiku menciut.

Ah puisiku, Ya Allahu Rabb, hari itu entahlah. Setelah membaca kisah cinta Fatimah Az Zahra dan Ali bin Abi Thalib, seolah tanganku menari diatas kertas dengan pena atas stimulan otak yang berbanding lurus dengan otot motorikku. Pesan otak itu benar-benar diterjemahkan tangan melalui bisikan hati.

Aku merasa sangat bodoh sekarang. Bagaimana mungkin setelah aku membaca kisah cinta Fatimah yang hanya dia dan Allah saja yang mengetahui justru aku malah menuliskan puisi tentang gurat hatiku disana. Mengapa harus mas Ghulam yang meminjam buku itu? Jangan sampai dia tau apa yang tersirat dari puisi yang ku buat itu. Ya Rabb, ampuni segala dosaku, sungguh hamba telah berusaha untuk menghilangkan rasa itu. Hamba ingin rasa itu datang setelah kami halal bukan saat ini.

"Alhamdulillah, kamu sudah selesai ujiannya Omai?" tanya budhe Tantri setelah beliau menjawab salam dariku.

"Alhamdulillah Budhe hari ini ujian terakhir. Semoga hasilnya sesuai dengan yang Omai harapkan."

"Aamiin. Sudah sekarang makan dulu sana. Ada mas Ghulam, mbak Vida juga lagi makan."

"Syukraan Budhe. Omai puasa hari ini. Sepertinya acaranya meriah ya Budhe, Omai bisa membantu apa? Umma?" tanyaku ketika aku melihat beberapa pegawai catering hilir mudik di rumah budhe Tantri untuk menyiapkan semuanya.

"Oh lagi puasa ya, ya sudah kalau kamu nggak capek bantuin mbak Vida bungkus cindera mata untuk anak-anak panti asuhan ya."

"Iya Budhe, inshaallah Omai bisa bantu."

Aku berjalan menuju ruangan yang telah disebutkan oleh budhe Tantri. Hari ini Pakde Dafi akan mengundang anak-anak panti asuhan untuk makan malam di rumahnya.

Dari dulu memang Pakde Dafi ini terkenal sebagai sosok yang dermawan. Bahkan sebelum menjabat sebagai kepala daerah pun, acara seperti ini sudah rutin diadakan oleh keluarga pakde Dafi minimal setahun sekali pada waktu bulan ramadhan.

Lagi-lagi langkahku menjadi berat ketika suara bass tenor yang sangat akrab di telingaku itu memanggil namaku.

"Dik Omai?" kepalaku tetap menunduk. Mengingat tentang puisi itu membuat nyaliku semakin menciut dihadapannya.

"Iya Mas?"

"Kebetulan kamu ke sini, sudah makan? Makan dulu sana sama dik Vida." Tawarnya membuatku sedikit mengangkat mukaku namun tetap tidak memandang wajahnya.

"Omai puasa Mas, inshaallah."

Hening seketika setelah aku menjawab pertanyaan mas Ghulam. Seperti hilang, kata-kata itu mengudara dengan begitu cepat. Secepat kilat yang datang ketika hujan ingin menyapa bumi.

Mas Ghulam hanya diam kemudian berlalu dari hadapanku. Seperti memang ada yang beda. Tidak biasanya dia bermuka sendu seperti sekarang, 'positif thinking Omai. Mas Ghulam sedang serius mengerjakan skripsi, mungkin dia memang sedang berpikir tentang itu bukan memikirkan puisimu yang unfaedah itu'.

Hati tidak bisa bohong bukan? Meski bibir bisa berkata lain. Mata mungkin menjadi pilihan penyampai pesan hati. Mas Ghulam dalam kondisi tidak baik, hatiku berkata seperti itu namun masalah apa yang membebatnya aku tidak ingin mengetahui lebih jauh. Karena semakin aku mendekatkan diri semakin sulit aku keluar dari rantai yang aku buat sendiri, kemungkinan terbesar bisa menjadi senjata yang akan makan tuannya sendiri.

Pilihanku adalah membantu mbak Vida membungkus beberapa souvenir yang nanti akan diberikan kepada anak-anak panti asuhan sampai selesai. Seratus souvenir telah rapi di dalam goodie bag. Isinya macam-macam, ada tas dan peralatan sekolah  di dalam tas juga ada amplop berisi sedikit uang.

Bermaksud untuk pamit kepada budhe Tantri setelah menyelesaikan semua pekerjaanku. Namun telingaku menangkap dengar sesuatu yang sebenarnya tidak ingin aku dengar dan aku ketahui, hatiku seperti teriris menyaksikan semuanya. Meski airmata masih dapat aku tahan, Allah memang belum sepenuhnya meletakkan hati di atas keikhlasan yang ingin selalu aku lakukan.

"Bunda, demi Allah dan Rasulullah. Ghulam tidak bisa menerima semua ini."

"Bunda tahu Nak, tapi ini adalah janji ayah dan bunda dengan kedua orang tua Diandra. Kami berniat untuk menjodohkan kalian. Kami ingin yang terbaik untuk kamu. Lagian apa salahnya dengan Diandra? Dia cantik, pintar, sebentar lagi lulus dari LA, model. Kurang apa lagi Ghulam?"

"Dia tidak menutup auratnya Bun. Bagaimana Ghulam bisa mencintai sedangkan dia sendiri tidak bisa mencintai dirinya sendiri dengan menjalankan apa yang sudah Allah perintahkan."

"Itu nanti bisa dengan perlahan. Dia pasti akan menuruti semua perintahmu. Tante Silvi bilang jika Diandra sangat mencintai kamu."

"Tidak ada cinta sebelum pernikahan Bunda. Itu adalah prinsip Ghulam, dan memakai jilbab itu wajib 'ain hukumnya untuk menjadi seorang istri Ghulam. Bukan karena Ghulam, tetapi diniatkan karena Allah."

"Sudahlah Ghulam, Bunda tidak ingin kamu jadi anak durhaka yang tidak mau menuruti perintah orang tua. Lagian banyak diluar sana orang berjilbab tetapi tidak bisa menjaga lisan dan perbuatannya."

"Subhanallah Bunda, jangan salahkan jilbabnya. Karena jilbab dan akhlak itu berbeda. Jilbab itu perintah yang harus dipatuhi, perkara mereka lebih memilih untuk berakhlak seperti itu berarti memang mereka hanya memakai jilbab itu sebagai trend mode pembalut aurat bukan sebagai penutup aurat sesuai dengan perintahNya."

"Ghulam Rafif Mufazzal. Ayah dan bunda menyekolahkanmu, mendewasakanmu bukan berniat untuk membuatmu pandai mendebat kami. Perihal itu nanti silakan bicarakan berdua setelah kalian menikah. Bunda tidak menerima penawaran."

"Tapi Bunda__?"

Bukan ingin tahu, tapi sekarang aku sudah terlanjur tahu. Mas Ghulam sedang dijodohkan dengan anak dari sahabat budhe Tantri dan pakde Dafi. Namun mengapa ada sekeping luka menggores serpihan hatiku yang kini sedang kuatur untuk menjauhinya.

Dari awal memang salah, masih ingat kisah Nabi Yusuf dan Siti Zulaikha. Ketika Zulaikha dengan dasyatnya mengejar cinta seorang Yusuf namun Allah justru mematahkan hatinya. Menjauhkan Yusuf dari jangkauannya, membuatnya menjadi seseorang yang akhirnya berusaha untuk senantiasa mendekatkan diri untuk memperbaiki kesalahannya. Allah tempat meminta petunjuk an pertolongan, Allah tempat penyembuh segala luka.

Dan disaat Siti Zulaikha dengan cintanya selalu mengagungkan Allahu Rabb, maka Allah mendatangkan Yusuf ke hadapannya. Menyatukan mereka dalam sebuah ikatan suci dan menghalalkan sesuatu yang haram atas keduanya.

Lagi lagi aku merutuk kebodohanku, mengapa aku tidak segera pergi dari tempatku berdiri sekarang hingga akhirnya sosok setinggi 180 cm itu menghampiriku dengan wajah sendunya.

"Maaf Mas__" ucapku tiba-tiba sebelum dia sempat berbicara.

"Kamu dengar semuanya?"

"Sekali lagi maaf, tadi Omai berniat untuk pamit pulang kepada Budhe. Tapi ternyata masih berbicara dengan mas Ghulam. Omai pamit pulang dulu Mas, inshaallah nanti selepas maghrib Omai ke sini lagi."

"Dek kamu__?"

"Percaya sama Omai Mas, inshallah ini hanya sampai di Omai. Bahkan abi dan umma tidak akan mengetahui semua ini dari Omai." Jawabku dengan nada berat masih dengan hati pilu.

"Tunggu sebentar." Mas Ghulam menahanku namun dia kemudian berjalan menjauhiku.

Jika ada yang menanyakan bagaimana rasanya hatiku. Ini seperti terhempas dari tebing kemudian tersangkut di tepian ngarai sampai akhirnya terjun ke jurang yang di bawah sana hanya ada bebatuan tandus tanpa tanaman.

"Ini bukumu bukan, paman Farzan yang meminjamkannya kepadaku. Syukraan."

"Afwan, Mas."

Aku menerima kembali buku bacaan milikku dengan tangan bergetar, buku bacaan yang memang aku cari di rumah sebelum akhirnya abi menyuruhku untuk ke rumah budhe Tantri.

Segera kuucapkan salam sesaat setelah buku itu berada di tanganku. Tanpa melihatnya aku segera melesat pergi menjauh. Menetralkan kembali gemuruh hati yang sedari tadi meletup sempurna tanpa aba-aba.

Jika air mata itu adalah kekuatan terakhir, aku memilihnya setelah mengadu dan memohon ampun atas semua dosaku kepadaNya. Aku tahu, menjatuhkan hati yang tidak pada tempatnya itu adalah kesakitan yang jelas akan merugikanku. Bukan hanya dunia tetapi juga akhiratku, aku tidak ingin menjadi penghalang abi dan umma masuk ke dalam surga karena perbuatanku.

Aku menangis di atas sajadah ini terlebih karena aku bertafakur diri. Aku hanya ingin mengharap ridhoNya, jika Allah telah menuliskan namanya untuk menjadi imam sempurnaku maka semuanya pasti bermuara ke sana.

'La Tahzan, innallaha ma'ana.' jangan bersedih Allah ada bersama kita.

Malam ini setelah acara bersama anak panti selesai. Pakde Dafi memanggil abi, umma dan tentu saja aku untuk ikut makan malam dengan keluarga di dalam.

"Omai sudah makan waktu buka puasa tadi umma."

"Nanti ambilah sedikit makanan di sana. Tidak baik menolak ajakan pakde, mungkin ada yang ingin dibicarakan dengan kita. Ikutlah Nak." Jawab abi ketika aku berusaha menghindar.

Di sinilah kami berada sekarang, di meja utama ruang makan rumah pakde Dafi. Aku duduk di samping mbak Vida dan umma sementara abi duduk di sebelah umma. Di hadapanku duduk wanita asing yang memakai pakaian, subhanallah, apakah dia tidak kedinginan dengan pakaian yang dikatakan kekurangan bahan seperti itu. Tanpa lengan, membentuk lekuk tubuhnya yang seksi. Cantik dan bahkan bisa dibilang sempurna, namun jika tidak sesuai syariat?

Di samping kiri wanita itu duduk mas Ghulam yang terus menunduk, aku melihat Abi juga tertunduk setelah mengucapkan salam kepada tamunya Pakde Dafi.

Apakah ini yang dimaksud dengan pembicaraan budhe Tantri dengan mas Ghulam sore tadi? Diandra? Wanita di depanku ini bernama Diandra? Anak sahabat budhe Tantri yang sebentar lagi akan menjadi istri mas Ghulam?

Mengapa justru aku masuk ke dalam kubangan pusara yang akan menenggelamkan hatiku?

"Dik Farzan, dik Rayya kenalkan ini sahabat mas dulu ketika masih kuliah. Abimanyu dan Silvi, di sampingnya itu Diandra anak mereka yang inshallah akan berjodoh dengan Ghulam anak Mas." Kata pakde Dafi mengawali pembicaraan setelah kami selesai menyantap hidangan yang tersedia.

Abi hanya menjawab beberapa pertanyaan yang memang harus dijawab olehnya. Selebihnya hanya menundukkan kepala. Sama halnya yang dilakukan oleh mas Ghulam dia hanya tertunduk tanpa suara.

"Bagaimana Ghulam, sebentar lagi kamu lulus, wisuda. Apotek juga sudah siap. Apalagi? Diandra juga hampir selesai kan ya Bim?"

"Sebenarnya tinggal wisuda saja. Bulan ini sudah beres semua Daf." Jawab Pak Abimanyu sambil memastikan kepada Diandra yang ada di depanku.

"Ghulam?" tanya Pakde Dafi.

Sepertinya memang pikiran mas Ghulam tidak ada di sini. Bahkan sampai pakde Dafi memanggilnya untuk kedua kali mas Ghulam masih diam menunduk.

"Ghulam?" akhirnya tangan budhe Tantri menyentuh lengan putranya yang duduk disebelahnya itu.

"I__iya, Bun?"

"Itu pertanyaan ayah dijawab dong? Bagaimana, setelah wisuda kalian siap menikah?"

"Kalian? Maksud Bunda aku dengan__"

"Ya kamu dengan Diandra, masa iya kamu dengan Omai atau Vida. Mereka kan adik-adikmu."

Hening sesaat kemudian mas Ghulam menarik nafas besar dan menghembuskan perlahan. "Ghulam sholat istikhoroh dulu Bun, yang jelas satu syarat mutlak menjadi istri Ghulam adalah__"

"Ghulam kita sudah bicarakan tadi kan?" potong budhe Tantri saat mas Ghulam hendak memberitahukan syaratnya.

"Nggak papa Tantri, katakanlah Ghulam biar Diandra juga bisa memenuhinya." Jawab bu Silvi, ibunda Diandra menengahi.

"Maaf tante, Ghulam ingin mempunyai seorang istri yang berjilbab dan menutup auratnya." Kata mas Ghulam yang langsung dijawab pelototan dari Diandra.

"Mama, what's the hell? Ghulam, itu pakaian unfashionable you know." Tolak Diandra.

Suasana menjadi tegang. Aku dan umma saling berpandangan. Terus terang sakit hatiku mendengar ucapan Diandra yang mengatakan pakaian yang kami pakai tidak fashionable. Lantas seperti apa pakaian yang menurut dia fashionable itu? Seperti yang dia pakai itukah? Dia boleh menghina kami tapi tolong jangan hina agama dan cara berpakaian kami.

"I'm a model. Please understand it. Tidak mungkin aku memakai pakaian teroris seperti itu. Come on Ghulam. I love you, is that still not enough for you?"

Allahu Rabb, dia bilang pakaian kami pakaian teroris. Islam adalah agama perdamaian, tidak pernah diajarkan didalamnya berjihat untuk mencelakakan orang tanpa sebab yang syar'i. Bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri telah melarang hal itu.

"Are you a mosleem, Diandra?" tanya mas Ghulam tanpa melihat kepada yang ditanya.

"Of course I am."

"Tapi mengapa kamu yang mengaku seorang muslim justru kamu sendiri yang menjelekkan agamamu?"

"Maksudmu?"

"Islam itu agama yang damai. Teroris itu bukan Islam, jadi tolong bedakan itu."

"Buktinya semua stasiun TV menyiarkan bahwa pelaku pengeboman itu berasal dari keluarga muslim yang menggunakan pakaian tertutup seperti itu."

Aku sudah sangat geram mendengar ucapan Diandra ini. Pantas jika mas Ghulam menolak, bukan karena aku menginginkan dia untuk memilihku. Namun dengan seorang Diandra yang berpikiran seperti itu rasanya? Ah, entahlah.

"Sudah, sudah, ini mau ngomongin masalah nikah mengapa justru malah debat masalah teroris di sini." Lerai pakde Dafi.

"Maaf Ayah, Ghulam berharap menikah sekali seumur hidup. Jadi berikan waktu untuk Ghulam berdiskusi dengan pemilik hidup dan mati Ghulam." Jawab mas Ghulam menekan semua emosinya.

"Ingat pesan bunda, Ghulam." Bisik budhe Tantri lirih.

"Surga istri ada di telapak kaki suami Bunda. Ghulam tidak ingin salah dalam memilih pasangan. Maaf," jawab mas Ghulam.

"Surga anak laki-laki tetap ada di kaki ibunya. Ingat itu!" tangkas budhe Tantri tidak ingin kalah dengan mas Ghulam.

Suasana hening kembali. Aku melihat sekilas raut muka papa dan mama Diandra memerah, mungkin mereka marah, mungkin juga malu. Pakde Dafi juga tertunduk. Sebenarnya apa fungsi keberadaan abi, umma dan aku di sini? Mungkin dalam benak kami sama sama tidak tahu. Seperti melihat drama tetapi membuat hati kami sakit.

Aku yakin kebungkaman Abi lebih karena menghargai pakde Dafi. Jika tidak melihat itu, mungkin abi sudah marah dengan Diandra. Siapa pun boleh menghina kami tapi menghina Islam, pasti kami ada di garda paling depan untuk membelanya.

Kulihat light gawai mas Ghulam yang ada di meja berkedip dan bergetar tanpa suara. Karena gawai itu berada di tengah jadi aku bisa membaca siapa yang menelponnya.

Isna is calling

'Isna? Sahabatku? Mengapa dia telpon mas Ghulam?' Belum sampai terjawab pertanyaan dalam hatiku Mas Ghulam meraih gawai itu dan memohon izin untuk menerimanya.

"Assalamu'alaikum, ada apa Isna?"

.....................

"Iya sama aku di sini."

......................

"Apa? Serius? Kirim alamat webnya via WA. Syukraan Isna."

Aku tidak tahu Isna siapa yang menelpon Mas Ghulam, namun setelah menutup telepon dari orang yang bernama Isna itu Mas Ghulam menatapku dengan tatapan yang sulit untuk aku artikan. Seperti ingin menerkamku, mengulitiku. Ah, tatapannya menjadi menyeramkan.

Dia tetap terdiam tanpa berbicara sepatah kata pun. Aku yakin benar, bahwa dia kini sedang meredam emosi. 'Biarlah mas Ghulam menyelesaikan masalahnya dengan Diandra dan keluarganya sendiri, tanpa abi, tanpa umma dan tanpa aku' kata hatiku menentramkan diri mengartikan sorot tajam mata mas Ghulam kepadaku.

Tapi seandainya benar dia marah kepada Diandra, harusnya tatapan itu untuk Diandra bukan untukku. Lantas jika seperti ini, apa artinya? Dia marah kepadaku kira kira untuk masalah apa. Sudahlah, let it be.

Sampai akhirnya Abi memilih untuk pamit. Mas Ghulam masih setia dengan diam dan sejuta tanya dalam sorot matanya.


🍒🍒

-- to be continued --

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama

Jazakhumullah khair


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top