#04 | Mihrab Hati

بسم الله الرحمن الرحيم

¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --


Angin tidak berhembus untuk menggoyangkan pepohonan, melainkan menguji kekuatan akarnya - Ali bin Abi Thalib


✍✍

○Ghulam Rafif Mufazzal○

Karena peduli tidak harus saling menyapa
Dan mengamati tidak harus saling bertatap mata
Hening dalam kata, namun riuh dalam doa-doa
Berkata pada bumi namun tersampai di atas langit

Sejauh mataku memandang, dunia yang hanya sementara kutinggali ini. Mengalihkan sejenak gelora hati yang sedari dulu telah aku sadari. Aroma angin malam kini menusuk hidungku. Sapaannya membuatku untuk tidak ragu lagi mengatupkan baju hangat yang hanya aku pakai tanpa aku kaitkan resletingnya.

Gusar, ibarat hatiku kini telah luruh atas keberadaan seseorang. Rasa yang bersarang di sana membuatku semakin kalut. Bukan perbedaan yang kami miliki namun justru karena kedekatan dan pertalian darah yang membuatku semakin terdiam dengan kisah hatiku yang rumit.

Sepuluh tahun yang lalu aku mulai menyadari bahwa hatiku mengingini sesuatu yang belum halal menjadi milikku. Aku berusaha memendam sampai saatnya waktu mampu untuk menguraikan isi hatiku. Namun bukan hanya hati kini juga logikaku yang mulai meradang.

"Kenapa raut mukamu seperti itu Mas Ghulam?" tanya paman Farzan kepadaku.

Paman Farzan selalu memanggil dengan sapaan mas di depan namaku. Mungkin karena awalnya untuk membiasakan Omai memanggilku dengan sapaan itu, lama-kelamaan menjadi suatu kebiasaan paman memanggilku dengan sapaan seperti itu.

Seperti yang telah di bacanya. Hari ini aku benar-benar ruwet. Padahal sebentar lagi aku akan menjalani sidang akhir untuk mempertanggungjawabkan karya ilmiah yang telah aku tulis 3 bulan terakhir ini.

"Anu Paman."

"Anu apa? Lagi gundah, nervous ya mau maju sidang skripsi?"

"Salah satunya Paman."

"Berarti ada yang lain ya? Boleh paman tahu?"

"Itulah, saya juga ingin bertanya sesuatu dengan paman terkait ini."

Paman Farzan tersenyum kemudian menepuk pundakku. Hangat, satu kata itu yang selalu aku rasakan ketika bersamanya. Bukan, dia bahkan tidak pernah menganggapku keponakan tetapi seperti layaknya anak kandungnya sendiri.

Dia memang pamanku, suami dari saudara kandung bundaku. Namun salahkan aku jika aku ingin menjadikannya ayahku. Ayah yang sesungguhnya untukku.

"Cinta yang suci itu adalah cinta yang terlahir setelah halal." Ujar paman Farzan ketika aku selesai bercerita tentang hatiku.

"Saya tahu Paman, tapi hati? Saya juga tidak menginginkan ini. Seandainya bisa saya ingin menghilangkannya namun saya tidak bisa." Jelasku.

"Menikahlah dengannya." Ujar paman Farzan.

"Tapi Paman__"

"Seorang muslim itu harus berani di jalan yang benar dan takut di jalan yang salah. Jika kamu merasa rasa apa yang kamu rasa itu keliru, luruskanlah dengan menikahinya." Nasihatnya kepadaku sungguh membuat kekuatanku lumpuh.

Hatiku menjerit namun mulutku tetap bungkam. Aku ingin meluruskan namun bagaimana caranya, aku belum menemukan jalan keluar.

"Janji romantis seorang muslim itu adalah yang diucapkan ketika menjabat tangan kanan laki-laki yang dititipi Allah untuk merawat tulang rusuk kita. Kata romantis seorang muslim itu adalah ketika ia berjanji kepada Allah dengan mengucap Qobiltu nikahaha, bukan I love you atau aku mencintaimu." Lanjut paman Farzan menikam ulu hatiku.

Sumpah wallahi aku ingin, sangat ingin melakukan itu. Menjabat tangan kanan paman Farzan dan berjanji kepada Allah dengan mengucap 'qobiltu nikaahahaa wa tazwiijahaa bil mahril madz-kuur.'

"Apa perlu paman yang berbicara kepada ayah bundamu?" tawar paman Farzan kepadaku tetap dengan muka yang sangat teduh dan menentramkan.

Aku menggeleng menjawab pertanyaan paman Farzan. Hatiku semakin kalut. Bagaimana caranya aku meminta tolong paman Farzan untuk berbicara kepada Ayah bahwa aku ingin melamar putrinya menjadi istriku.

"Berpuasalah, inshaallah itu akan menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak di ridhoi Allah." Pesan paman Farzan kepadaku sambil menyerahkan sebuah buku kepadaku.

"Apa ini Paman?"

"Itu buku milik Omai, bacalah mungkin kamu butuh referensi bacaan yang sedikit berbeda dibandingkan dengan rumus-rumus kimia yang membuatmu sedikit tegang mas Ghulam." Kata paman Farzan setelah buku itu sempurna di kedua tanganku.

'Fatimah Az Zahra', sekilas aku membaca tulisan besar yang ada di cover buku yang ada di tanganku.

Sempurnanya mencintai dalam diam. Melibatkan Allah didalamnya, bertarung dengan doa. Terucap pada bumi dimana selalu di dengar oleh langit. Karena saat itulah, jarak terdekat manusia dengan Rabbnya.

Fatimah yang begitu sempurnanya mencintai Ali dalam hati. Tidak ada yang mengetahui selain dia dan Rabb Azza wa Jalla. Bahkan sampai syaiton pun tidak pernah mendengar bisikan hati Fatimah tentang sebuah nama yang selalu dia sebut dalam rangkaian doa-doa terindahnya.

Ali juga selalu sabar dalam diam untuk menantikan waktunya tiba. Melakukan sama seperti yang dilakukan Fatimah. Mereka saling mendoakan untuk bisa bersama. Bagaimana mungkin dia bisa melawan Abu Bakar As Shiddiq RA dan Umar bin Khattab RA yang jelas-jelas lebih dari segala galanya dari Ali bin Abi Talib. Namun Fatimah menolak lamaran mereka berdua.

Siapa yang tidak mengenal seorang Abu Bakar As Shiddiq RA. Sahabat sekaligus khalifah pertama setelah nabi wafat yang terkenal dengan sifat kejujurannya. Sahabat yang selalu berada di garda paling depan untuk membela nabi SAW untuk menyerukan agama Allah. Begitu juga Umar bin Khattab RA, panglima perang Nabi SAW yang sangat kuat bahkan syaiton saja sampai takut atas keberadaannya. Meski dia berhijrah setelah Abu Bakar dan Ali, namun tidak kalah ketaatannya kepada Allah berikut RasulNya dengan dua orang yang telah mendahuluinya berhijrah.

Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti 'Utsman sang miliarder yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulullah? Yang seperti Abul 'Ash ibn Rabi'kah, saudagar Quraisy, suami Zainab binti Rasulallah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuat Ali hilang kepercayaan diri.

Di antara Muhajirin hanya 'Abdurrahman ibnu 'Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa'd ibnu Mu'adz, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa'd ibnu 'Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

Abu Bakar datang kepada Ali ketika dia baru ditolak atas pinangannya untuk Fatimah, dia lantas mendorong Ali untuk mengajukan pinangan kepada Fatimah. Awalnya Ali ragu dengan usulan Abu Bakar. Namun akhirnya dia memberanikan diri.

"Mengapa tidak engkau yang mencobanya Ali, kami memiliki firasat engkau adalah orang yang ditunggu Rasullullah untuk Fatimah."

"Aku hanya pemuda miskin wahai Abu Bakar. Apa yang bisa kuberikan untuk Fatimah?"

"Kami ada di belakangmu, semoga Allah menolongmu."

Pemuda yang siap bertanggung jawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Rasullullah sendiri bertanya kepada Fatimah dan diapun menyerahkan semuanya kepada sang ayah. Pinangannya berjawab, "Ahlan wa sahlan!" kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.

Kisah cinta 2 orang calon penghuni surga. Kisah cinta terindah sepanjang zaman. 'Allahu Rabb, akankah seperti ini kisah cintaku? Atau hanya akan menjadi kisah cinta yang bertepuk sebelah tangan.'

Wahai Ali suamiku, bolehkan aku berkata jujur kepadamu setelah kini engkau telah menjadi suamiku?

Tentu saja boleh Fatimah, jujurlah apa yang ingin engkau katakan.

Maafkanlah aku sebenarnya sebelum aku menikah denganmu aku telah mencintai seorang pemuda dan aku merasa pemuda itu pun juga sama sepertiku. Mencintaiku dalam diamnya. Namun sekarang, ayahku telah menikahkanku denganmu dan kini aku telah sah menjadi istrimu. Kau adalah imamku kini, maka dari itu aku berjanji untuk selalu ikhlas melayanimu, mematuhi dan menaatimu Bimbinglah aku selalu menuju rahmatNya dan marilah kita bersama sama membangun mahligai rumah tangga yang penuh dengan ridhoNya.

Ya Fatimah az Zahra, engkau tahu bahwa aku sangatlah mencintaimu. Dan engkau tahu dengan pasti bagaimana aku berjuang untuk menyembunyikan rasa itu sampai kini aku dapat menghalalkanmu. Kau tahu, betapa saat ini aku aku merasa menjadi orang yang paling beruntung di dunia karena mendapatkanmu. Kaupun tahu sepenuhnya betapa bahagianya hatiku saat ini menyandang gelar baru sebagai suamimu. Namun Fatimah, aku sangat bersedih manakala tahu orang yang aku cintai ternyata sedang terluka hatinya. Mendapati dia menerima untuk menikahiku namun belum sepenuhnya menerima kehadiranku. Aku tidak ingin membuat sakit hati untuknya, sungguh sakit yang aku alami akan lebih sakit jika mendapati wanita yang aku cintai sakit karena perbuatanku. Aku jelas akan merasa sangat bersalah jika engkau menikahiku bukan karena kesungguhanmu, meskipun nantinya kamu pasti akan mencintaimu. Dengarkan aku Fatimah, hari ini aku belum menyentuhmu meski aku telah menikahimu, kaupun masih suci. Aku ikhlas melepasmu untuk menikah dengan orang yang engkau cintai, namun bolehkan aku mengetahui siapa gerangan pemuda beruntung itu nantinya. Pemuda yang berhasil telah merebut hati dari wanita yang sangat aku cintai.

Wahai Ali, apakah kamu tahu jika pemuda itu juga telah menikah. Sebenarnya aku hanya ingin menggodamu dengan mengatakan bahwa aku mencintai pemuda sebelum menikah denganmu. Wallahi zawji, uhibbuka fillah. Sudah lama aku ingin bermesraan denganmu namun hari ini kau malah membuatku menangis bahagia dengan ungkapan hatimu yang begitu menyentuh kalbuku.

Fatimah istriku, apa maksud perkataanmu. Mengapa engkau justru tertawa sekarang mendapatiku bersedih karena memikirkan kesedihan hatimu tidak bisa menikah dengan pemuda yang engkau cintai. Tadi kau berkata bahwa kau sangat bersedih, namun sekarang justru tertawa dan berkata bahwa kau sangat mencintaiku. Apakah engkau hendak mempermainkan hatiku? Mengapa engkau masih mengharapkannya meskipun engkau tahu bahwa pemuda itu telah menikah? Katakanlah kepadaku segera siapa pemuda itu, supaya aku bisa segera menyelesaikan urusan kita.

Cintaku, tidak ada yang salah dengan ucapanmu. Kau benar seutuhnya, aku memang mencintai pemuda itu bahkan bisa dibilang sangat mencintainya. Sama sepertimu yang telah memendam rasa cinta yang lama untukku, aku pun juga telah memendam rasa cintaku kepadanya dalam rentang waktu yang sangat lama. Aku ingin mengungkapkannya sedari dulu namun aku takut. Aku tidak ingin menodai fitrah rasa yang Allah berikan untukku. Sama halnya sepertimu, aku pun tahu bagaimana rasanya memendam cinta apalagi saat sering bertemu dengannya hatiku selalu bergetar. Bahkan hanya mendengar seseorang menyebut namanya saja hatiku sudah meradang dan membuncah gembira. Kau tidak salah suamiku, bahwa dia sekarang juga telah menikah. Dan pada malam pernikahannya dia telah membuat wanitanya menangis karena rasa bahagia meski wanitanya itu telah membuatnya kesal dan menangis.

Ayolah Fatimah, janganlah engkau membuatku semakin bersalah karena keputusanku untuk memilihmu menjadi istriku. Wallahi dzat maha sempurna, aku ikhlas melepasmu bersamanya. Katakanlah siapakah pemuda itu?

Kau tahu siapa dia Ali, dia adalah pemuda yang kini berada di sampingku. Aku sedang memeluknya sekarang, namun mengapa dia hanya diam saja? Entahlah. Padahal aku telah memeluknya mesra dan ingin selalu bermanja dengannya. Tentu aku sangat mencintainya, dan aku bahagia Allah telah mendatangkan rasa itu ke dalam hatiku. Dan kebahagiaanku berlebih karena kini aku tahu bahwa dugaanku atasnya adalah benar adanya. Dia juga sangat mencintaiku.

Apakah itu berarti? Maksudmu?

Wahai kekasihku, dunia akhiratku, kau benar seutuhnya. Pemuda yang sangat aku cintai karena Allah itu adalah Ali bin Abi Thalib, sang pujaan hatiku.

Mashaallah, kau hampir saja mematahkan hatiku dengan perkataanmu. Uhibbuki fillah, zawjahti.

Senyum bersama satu tetes air mata kini telah membersamaiku. Kisah cinta inspiratif. Baru kali ini aku membaca novel, ah iya membaca sebuah cerita yang bahkan sangat menyentuh relung hatiku. Menjadikanku semakin kuat untuk menutup mihrab hatiku. Menyimpan semua rasa dengan rapat di dalam hati sebelum ikatan suci melingkupi hubungan kami.

Cukup hatiku dan Allah yang tahu bahwa sebuah nama akan selalu aku pinjam untuk sebuah doa untuk mengharap ridhoNya. 'Radhwah Omaira Medina', gadis kecilku yang dikenal semua orang sebagai adik sepupuku.

Aku ingin menjadi Ali yang memiliki kisah cinta sebahagia milik Fatimah. Aku ingin seperti Ali yang mencintai Fatimah karena Allah. Aku ingin seperti Ali yang menyerahkan kepada Allah atas semua fitrah cinta yang bersemayam dalam hatinya.

Ya Illahi Rabb, jika Engkau menitipkan sebuah rusuk Ali kepada Rasullullah yang menjadikannya Fatimah untuk menggenapkan separuh agamanya. Izinkanlah rusukku itu tercipta dan Engkau titipkan kepada paman Farzan Shakeil menjadi Omaira untuk melengkapkan separuh agamaku.

Aku menutup buku yang telah 2 jam kubaca dan kupahami ceritanya. Bukan, bukan karena buku ini milik Omai. Gadis bermata teduh yang selalu menundukkan pandangannya dihadapanku. Gadis yang selalu tertawa riang bersama teman dan sahabat perempuannya namun selalu membangun hijab untuk kaum adam.

Aku berusaha selalu, dan akan berusaha untuk memantaskan diri bersamamu. Berjalan bersama disampingmu, menjadi pelindungmu, dan menjadi pemimpinmu kala kening bertemu dengan bumi menyerukan keagunganNya.

Kubuka lagi laptop yang selama ini telah menemani hari hariku. Puluhan halaman draft skripsi kembali keteliti. Tidak ingin salah satu huruf pun. Akan aku perjuangkan sebagai bentuk pertanggungjawabanku. Setelah dosen pembimbing mengACC bab 1,2, dan 3 kini aku tinggal mengerjakan pembahasan dan analisis masalah yang kini aku teliti.

Aku ingin segera lulus, setidaknya itu untuk membuktikan kepadaku dan kepada orang tuaku bahwa aku mampu. Sementara ini aku akan berpuasa dulu sebelum aku mampu untuk menghalalkanmu, Omai. Meminta dan bertarung dengan doa untuk menjadikanmu separuh agamaku.

Bahagia bersama cinta yang halal. Meneguk madu dalam lantunan khalam keindahanNya. Menyemai asa dalam muara janji cintaNya bersama orang-orang yang selalu memujiNya.

Nanti saat waktunya tiba, secepatnya aku akan berubah menjadi Ali untuk meminta sendiri Fatimahku menjadi bagian dari hidup dan matiku. Tunggu aku Omai, bersama seluruh hatiku saat Allah telah menyerukan kita untuk bersatu.

🍒🍒


-- to be continued --

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama

Jazakhumullah khair

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top