#01 | Kembali ke Indonesia
بسم الله الرحمن الرحيم
¤Marentin Niagara ¤
-- Selamat Membaca --
Berbahagialah,
Orang yang dapat menjadi tuan bagi dirinya, menjadi pemandu untuk nafsunya, dan menjadi kapten untuk bahtera hidupnya - Ali bin Abi Thalib
✍✍
Menjadi asing di negeri sendiri mungkin itu salah satu kalimat yang bisa aku ucapkan ketika aku berhasil menapakkan kedua kakiku di bumi pertiwi. Bumi yang kata abi dan ummaku menjadi negara kebangsaanku. Bahagia namun tentu saja aku merasa menjadi orang lain.
Setelah hampir sepuluh jam aku bersama kedua orangtuaku melakukan perjalan udara. Bertolak dari Bandara Internasional King Abdul Aziz Jeddah menuju Bandara Internasional Juanda Surabaya.
Pertama kalinya aku menginjakkan kaki di garbarata yang menghubungkan badan pesawat dengan bandara tanpa turun melalui tangga pintu pesawat untuk menghirup bagaimana sejuknya udara yang ada di Indonesia. Di Madinah aku mengenal 4 musim dalam setahun namun di Indonesia yang beriklim tropis ini menurut cerita Abi dan beberapa pengetahuan yang telah aku kenyam di bangku sekolah hanya memiliki 2 musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan.
"Abi, ma aldhy yatahadathun eanh ? 'ana la 'afham ealaa al'iitlaq." Tanyaku pada abi. -- apa yang mereka bicarakan Abi? aku tidak paham sama sekali --
"Anti aelayk'an tadrus." Jawab Abi sambil tersenyum manis kepadaku. -- kamu nantinya harus mempelajari itu --
Aku memang dilahirkan dan besar di Madinah. Belum pernah sekalipun aku berkunjung ke Indonesia. Hidup di Bumi Rasululloh membuatku menjadi fasih berbahasa arab dibandingkan dengan Bahasa Indonesia. Hanya jika aku ikut kakek pertemuan dengan teman-teman di KBRI baru aku mendengar bahasa yang menurutku asing itu.
Abiku sudah hidup lebih dari 10 tahun di Madinah. Sejak beliau kuliah di Islamic University of Madinah 12 tahun yang lalu, abi memutuskan untuk tinggal lebih lama di sana. Apalagi setelah mengetahui bahwa kakek mendapat tugas untuk menjadi staff Kedubes Indonesia untuk Saudi Arabia yang bermahtab di Madinah.
Lahir dari seorang pejabat tidak lantas membuat abi berpikir untuk bekerja seperti kakek. Abi kuliah mengambil jurusan Qur'an dan Sejarah Islam dengan predikat kelulusan summa cumlaude. Abi akhirnya memilih menjadi seorang pedagang mengapa? Beliau ingin mengikuti jejak Rasulullah, berdagang sambil bersyiar Islam.
Ummaku sebenarnya hanya lulusan SMA, beliau tidak mengenyam pendidikan di bangku perkuliahan. Namun ketika SMA beliau sempat mondok lulus sebagai siswa sekaligus seorang mubalighot terbaik yang fasih berbahasa arab. Hingga akhirnya ketika ada ujian mubalighot untuk penempatan di luar negeri umma mengikutinya dan atas izin Allah umma lulus. Awalnya memang umma tidak ingin merepotkan eyang yang memang pada waktu itu sedang membiayai kuliah budhe Tantri untuk menjadikannya seorang apoteker. Menjadi apoteker itu butuh biaya yang tidak sedikit. Sedangkan eyang hanya sebagai guru SD yang tidak seberapa gaji yang didapatkan setiap bulannya.
Umma akhirnya menjadi mubalighot di Saudi Arabia. Awalnya beliau hanya mengajari anak-anak dari orang-orang Indonesia yang bekerja di Madinah namun lama-kelamaan karena menurut pemerintah di sana ilmu umma memenuhi untuk mengajar siswa perempuan di Masjidil Nabawi. Dari sanalah cerita abi dan umma dimulai.
Kakek Ubay sedang mencarikan istri untuk putranya yang baru saja menyelesaikannya kuliahnya. Seorang tahfiz qur'an yang hapal inshaallah 30 juz, ketika tawaran itu disampaikan kepada umma. Wanita mana yang mau menolak seorang ikhwan yang telah hafal 30 juz dalam AlQur'an diluar kepala. Hanya berbekal sebuah foto dan tanpa bertemu dengan ikhwan tersebut umma menerima ajakan ta'aruf dengan syarat mendiskusikan lebih lanjut dengan Allahu Rabb dan eyang kakung yang berada di Indonesia tentunya.
Allah memudahkan segala urusannya. Tiga minggu kemudian abi mengkhitbah umma dan seminggu setelahnya KBRI menerima surat eyang menandatangani surat kuasa pengalihan wali nikah kepada hakim pernikahan abi dan umma dilaksanakan dengan cara yang syar'i.
Satu tahun kemudian lahirlah aku ke dunia. Aku tidak pernah merasa bahwa Madinah atau lebih tepatnya Saudi Arabia adalah negara asing, karena memang aku lahir dan masa kanak-kanakku di sana. Seperti layaknya anak-anak aku juga merasakan yang namanya bermain. Hanya saja permainan disana hanya sebatas di dalam rumah.
Wanita tidak boleh keluar rumah tanpa disertai mahram. Kalian tahu apa itu yang disebut dengan mahram? seseorang yang haram untuk kita menikahinya. Ya, meski anak-anak di sana aku telah berhijab sedari kecil bahkan aku juga berniqob. Jangan salah mengartikan sebuah niqob denganku. Jika di negaraku sendiri niqob identik dengan sebuah aksi yang sangat merugikan di Saudi tidaklah begitu, terutama untuk Madinah dan Mekah yang memang menjadi tujuan utama untuk jamaah yang akan melaksanakan ibadah umroh dan haji. Muka itu bukanlah aurat untuk wanita tetapi tidak ada larangan untuk kita menutupnya jika kita merasa tidak aman. Hanya ketika umroh atau haji seorang wanita berniqob itu dikenakan dam karena memang ada larangan tentang itu. Ketika hendak sholat kami juga melepas niqob namun karena ini Indonesia, Abi meminta kami untuk melepas niqob yang biasa aku dan umma pakai ketika hendak keluar dari rumah.
Ah, kembalilah ke masa sekarang. Namaku Radhwah Omaira Medina, panggil aku Omai, kini umurku menginjak 7 tahun. Abi dan umma mengajakku pulang ke Indonesia karena eyang meminta kami untuk kembali. Seumur hidupku aku belum pernah sekalipun bertemu dengan mereka.
Tangan kananku masih dipegang oleh abi, sedangkan tangan kiriku menggendong dengan erat si poni. Boneka kuda yang dibelikan oleh nenek dari Indonesia. Kedua kakiku berjalan mengikuti arah langkah abi dan umma. Baggage claim, ada banyak koper dan kardus yang berputar secara otomatis di eskalator barang bagasi.
Abi mengambil dua koper besar dan sebuah kardus kemudian diletakkan di atas troli barang. Aku dan umma berjalan mengekori dari belakangnya.
"Assalamu'alaikum." Sapa Abi akhirnya kepada seseorang yang telah menjemput dengan membawa kertas yang bertuliskan nama abi di sana 'Farzan Shakeil'
"Wa'alaikumsalam. Dik Farzan?"
"Na'am. Mas Dafi?" jawab Abi.
"Alhamdulillah." Jawab semuanya dengan serempak kemudian saling berpelukan.
"Ini si kecil Omai? Mashaallah, anakmu ayu tenan. Nggak beda jauh sama orang arab kulitnya." Pakde Dafi suami budhe Tantri menanyakan keberadaanku pada Abi.
"Iya Mas, taqbil yadah Omaira." Kata umma memintaku.
Aku memandang Abi mengangguk menyetujui kemudian aku segera meraih tangan kanan seorang yang mengajak bicara kedua orang tuaku "Assalamu'alaikum, Khooli."
"Waalaikumsalam cantik. Ini kakak sepupumu ayo kenalan, namanya Ghulam Rafif Mufazzal. Panggil dia Ghulam." Jawab Pakde Dafi menyuruhku untuk menyambut anak laki-lakinya.
Ketika tangan kanan Ghulam terulur dengan otomatis kedua tanganku langsung tertangkup di depan dada "Ahlan, Ibnu 'ammi Ghulam. Ismi Omaira". Mengetahui penolakanku tentu saja ikhwan bernama Ghulam tersebut terkejut.
"Afwan, la mahram Abi?" tanyaku memastikan.
"Na'am." Jawab abiku singkat kemudian kami berjalan menuju mobil pakde Dafi di tempat parkirnya. "Omai ini belum bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar Mas Ghulam, sehingga dia masih menggunakan bahasa arab untuk berbicara sehari hari. Maaf masalah jabat tangan tadi, Omai menolak bukan karena tidak menghormatimu. Karena sejak kecil paman selalu mendidik dia sesuai dengan yang diperintahkan Allah. Bahwa sesuatu yang tidak halal baginya tidak boleh disentuh."
Mas Ghulam sepertinya masih belum mengerti apa yang dimaksudkan oleh Abi. "Tapi kami bersaudara kan Paman?" Masih dengan senyum yang mengembang di bibirnya abi menjawab, "Ya, kalian memang saudara sepupu dari ibu. Namun tidak halal bagi kalian bersentuhan karena kalian bukan mahram. Maaf ya, untuk yang satu ini memang paman harus disiplin meskipun tidak lazim dipandang di Indonesia, mungkin."
Mas Ghulam mulai mengerti apa yang dimaksudkan abi. Dia mengangguk-anggukkan kepalanya tanda memahami sesuatu.
"Jadi tugasmu sekarang harus mengajari adikmu Omai ini untuk bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar Lam." Kata pakdhe Dafi yang sedari tadi hanya mendengarkan penuturan Abi.
"Inshaallah Yah"
Mobil terus melaju dengan kecepatan maksimum. Membelah keramaian kota menuju kampung halaman umma. Perbedaan sangat mencolok dimataku. Di Madinah jarang sekali aku menemui pepohonan yang rimbun seperti di Indonesia. Sepanjang mataku memandang di Madinah hanyalah ada bangunan tinggi, bukit berbatu dan sedikit sekali pepohonan. Yang paling banyak tumbuh di sana adalah pohon kurma. Di Indonesia, aku bahkan tidak mengerti jenis-jenis tumbuhan apa saja yang membuat bumi yang aku pijak sekarang ini menjadi terlihat hijau.
Empat jam berlalu dari pendaratan pesawat di bandara bahkan aku telah tertidur pulas di pelukan abi tiba-tiba mobil berhenti di halaman sebuah rumah. Rumah dengan halaman yang sangat asri. Banyak bunga yang tumbuh di sana membuat mataku takjub dan tidak bosan memandanginya.
Umma yang sedari tadi diam kini akhirnya berjalan cepat untuk bisa masuk ke dalam rumah. Terdengar suara kaki melangkah kemudian setelah umma mengucapkan salam dan dijawab seseorang dari dalam rumah. Umma langsung berhambur memeluk wanita tua, menciuminya dan menangis dalam pelukan wanita tua tersebut. Satu lagi, laki-laki yang juga mencium dan memeluk umma sangat lama.
"Omai, haluma!" Umma memanggilku yang membuat kedua kakiku mendekat dengannya sesuai dengan perintah umma.
"Hadzihi Jaddi wa Jaddati." Ucap Umma memperkenalkan mereka berdua kepadaku.
"Ahlan." Ucapku kemudian mencium tangan kanan mereka. Mereka bahkan menghujaniku juga dengan ciuman dan pelukan. Ayah dan ibu dari ummaku yang belum pernah aku lihat ini juga menyayangiku sama seperti kakek dan nenekku dari abi.
"Ayo masuk semua. Cucu eyang, ayo masuk." Ajakan eyang membuat kakiku melangkah masuk ke dalam rumah. Namun sebelum aku masuk ke rumah, aku ingat tangan kiriku menggenggam poni boneka kuda kesayanganku. Aku segera berhenti dan meletakkan boneka itu di kursi yang berada di teras rumah. Melihat apa yang kulakukan eyang putri bertanya kepadaku.
"Loh mengapa ditaruh, dibawa masuk saja." Ucapnya. Aku bingung dengan apa yang dimaksud beliau. Akhirnya Abi menterjemahkan kepadaku apa yang dikatakan oleh eyang putri.
"La Jaddati, haram."
Jika kita mengkaji kembali kumpulan hadist riwayat Muslim. Ada sebuah hadist shahih yang menjelaskan dari Rasullullah SAW bersabda pada Ali bin Abi Thalib menantunya bahwa janganlah kalian menyimpan patung atau boneka kecuali telah membuatnya menjadi tidak berbentuk, dan jangan pula membuat kuburan yang menjulang tinggi kecuali meratakannya.
Umma mengatakan kepada eyang untuk membiarkanku meletakkan boneka kudaku di teras. Mengapa, supaya malaikat rahmat selalu datang datang dan melindungi kami. Sesungguhnya malaikat rahmat enggan masuk ke dalam rumah yang didalamnya tersimpan barang-barang yang berbentuk menyerupai manusia atau hewan ciptaan Allahu Rabb.
Belum sampai kami duduk tiba tiba seseorang yang bernama budhe Tantri langsung masuk dan memelukku juga umma.
"Lusa Omai sudah bisa sekolah di sekolahannya Ghulam. Nanti biar mereka berangkat sama-sama." Kata budhe Tantri penuh antusias.
🍒🍒
-- to be continued --
Jadikanlah Alqur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair
Noted
Mahram di sini terbagi menjadi dua macam:
1. Mahram muabbad, yaitu tidak boleh dinikahi selamanya
2. Mahram muaqqot, artinya tidak boleh dinikahi pada kondisi tertentu saja dan jika kondisi ini hilang maka menjadi halal.
Seperti apa runtutannya, silakan untuk dibaca dibawah ini 👇👇👇
Mahram Muabbad masih dibagi menjadi 3 yaitu karena nasab, ikatan pernikahan dan persusuan
- ibu
- anak perempuan
- saudara perempuan
- bibi dari ayah
- bibi dari ibu
- anak perempuan dari saudara laki laki dan perempuan (keponakan)
- istri dari ayah (ibu tiri)
- ibu mertua
- anak perempuan dari istri
- menantu perempuan
- ibu susuan dan nenek susuan
- saudara perempuan susuan
- saudara perempuan ibu susuan
- keponakan dari saudara perempuan susuan
- saudara perempuan dari suami dari ibu susuan
- istri istri yang lain dari suami dari ibu susuan (madu ibu susuan)
Daftar diatas adalah mahram yang melekat selamanya artinya meskipun telah meninggal dunia ibu susuannya yang tercantum diatas tetap menjadi mahram kita. (Jika kita perempuan seperti apa? Untuk yang nasab dan pernikahan tinggal dibalik saja..ayah, anak laki laki, saudara laki laki dst)
Mahram Muaqqot yaitu bersifat sementara, jika yang dimaksudkan meninggal Mahram ini akan lepas dengan sendirinya
- ipar perempuan
- bibi suami
Oh iya, sahabat masih ada yang menyimpan boneka atau patung di dalam rumah?????
Ayo sekarang pilih mana, rumah jadi indah tapi malaikat rahmat enggan datang atau
Rumah biasa saja namun selalu dilindungi oleh malaikat ???????
😘😘😘
Salam Syi'ar
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top