Prolog

Prolog

Ketika dia masih kelas tiga SD, Kinara Kemuning sering sekali mendengar desas-desus dari orang sekitar, baik itu teman sekelasnya, guru SD, mamah-mamah pengantar bocah, atau juga, ibu kantin yang kadang kala jadi informan. Tapi, Kinara yang waktu itu berumur delapan tahun lewat sekian bulan, merasa masa bodoh dengan kasak-kusuk tersebut. Alasannya? Dia sama sekali bukan seperti yang mereka semua maksud, walau, tentu saja, yang dilihat orang-orang dengan mata kepala mereka semua adalah bukti. 

Bukti. Dan jika harus mengingatnya, Kinara akan tertawa. 

“KinKin anak orkay.” 

“Iyalah, pulang pergi naik Alphard.”

“Tapi, dia nggak mirip sama si Baskara. Masa, iya, si Kinara itu adiknya?”

Padahal, setelah dewasa, Kinara mempertanyakan kepintaran orang-orang itu, terutama para guru yang kadang kepo. Bukankah, di rapor Kinara, semuanya telah terungkap dengan sangat jelas? Tentu saja, dia juga tidak punya hubungan darah dengan pria itu, bahkan sejak lahir. Kirana sendiri berani jamin. Baskara Dierja adalah anak dari pengusaha sukses, Adyatama Dierja dan dia bisa beruntung duduk di mobil yang sama dengan bocah itu karena semata-mata, ayah Kinara adalah supir pribadi keluarga Dierja. 

Tidak ada yang salah dengar dan dia juga tidak malu dengan hal itu. Apakah salah, menumpang mobil yang dikendarai sang ayah, bersama anak majikan mereka? 

Majikan? Tentu saja benar. Hal itu juga tidak salah sama sekali. Keluarga Dierja adalah majikan mereka semua. Ayah Kinara bekerja sebagai sopir dan ibunya, sebagai asisten rumah tangga, alias ART. Ibunya juga yang telah mengasuh Mas Baskara, putra tunggal keluarga Dierja yang berusia tiga tahun lebih tua dari Kinara. 

Dia ingat sekali, saat usianya telah pantas masuk SD, Kinara dibawa ayahnya dari kampung ke tempat bekerja orang tuanya. Sejak bayi, dia dititipkan kepada nenek, ibu dari ayahnya yang memang meminta Kinara untuk diasuh. Sebelum masuk SD, nenek Kinara meninggal dan dia yang biasanya dijenguk satu bulan sekali, kemudian mendapatkan lagi cinta orang tuanya secara penuh. 

Meski begitu, ketika ibu mesti mengurus Mas Baskara, Kinara tidak protes. Dia malah senang karena merasa punya seorang abang, walau sebenarnya, Kinara juga tidak benar-benar sendiri. Ayah dan ibunya juga punya seorang anak lagi yang lahir tepat satu tahun di bawahnya, tidak lama setelah Kinara diminta sang nenek. Dia juga amat sayang kepada si bungsu, meski sikap dan kelakuan adiknya selalu membuatnya mengelus dada. 

Siapa bilang anak perempuan tidak bisa nakal? Mayang adiknya adalah bukti. Si tengil satu itu juga mengajari dan mempengaruhi Kinara untuk hidup bahagia, tanpa berpikir kalau jadi anak sopir atau ART adalah sebuah kesedihan dan hingga mereka dewasa, Kinara merasa, dia tidak pernah bisa jauh dari adiknya itu.

“Gue atau dia?” 

Kadang, Kinara yang berusia dua puluh empat tahun merasa kalau Mayang bisa membaca isi kepalanya. Akan tetapi, ketika dia memaki-maki adiknya di dalam hati, si bungsu tampak cuek dan tidak peduli. Meski begitu, Mayang selalu mengaku kalau dia adalah anak indigo dan hampir selalu bertemu dengan makhluk tak kasat mata yang membuat Kinara benci dengan kemampuannya itu.

“Oi, Kinkin.” 

Mayang melempari kakak perempuannya itu dengan handuk basah bekas dia mandi dan segera saja, Kinara gelagapan. Selain itu, handuk Mayang juga mengenai ponsel yang kini dipegang Kinara, hingga hampir jatuh, membuat si sulung mendelik sebal kepada di bungsu.

“Lo apa-apaan, sih? Hancur HP gue kalau jatuh.”

Marah Kinara tidak pernah berarti. Lagipula, HP yang dia pegang adalah bekas dari nyonya Dierja, alias ibu dari Baskara yang bernama Reva. Wanita itu memberi ponselnya kepada ibu mereka dan sang ibu yang tahu kalau Kinara butuh ponsel untuk tugas sekolah,  memberikan benda itu kepada si sulung. Tapi, tidak hanya ponsel yang dilungsurkan kepada Kinara dan keluarganya. Kadang kala, Nyonya Reva memberi pakaian, sepatu, tas, yang kemudian disimpan dengan baik oleh Kinara di lemari pakaiannya.

Benda-benda itu akan dia pakai pada hari khusus seperti kondangan dan wisuda. Selain itu, dia hanya berpakaian normal saja, seperti orang-orang lain.

“Abisnya, gue nanya.” Mayang berdiri dan menangkap handuk yang dilemparkan Kinara kepadanya. Secepat kilat, sang kakak lantas menonaktifkan layar ponsel supaya Mayang tidak mencuri lihat apa yang tadi dia kerjakan. Sayangnya, semua sudah terlambat. Toh, tadi, Mayang telah menanyakan hal berkaitan dengan apa yang dilihat oleh Kinara secara sembunyi-sembunyi.

“Masih ngeliatin dia? Udahlah, jangan dipikirkan lagi. Gimana pun juga, Baskara Dierja bukan buat orang kayak kita.” Mayang mencoba membuka mata kakak perempuannya itu. Tapi, sejak kapan, sih, orang yang sedang jatuh cinta jadi mau mendengar nasihat orang lain? Setahu Mayang, kebanyakan orang yang terkena panah asmara itu amat mirip dengan manusia yang habis menenggang segalon bir.

“Nggak. Ada notif masuk ke IG gue.” Kinara membalas dengan suara gugup dan raut wajah amat aneh yang membuat Mayang ogah percaya. Matanya tidak buta dan sikap kakak perempuannya itu jelas-jelas seperti ketahuan habis maling celana dalam di rumah Pak RT.

“Hooh, Baskara Dierja baru saja memposting foto atau Baskara Dierja sedang siaran langsung.” tebak Mayang tanpa ragu dan segera saja, Kinara mencak-mencak. Dasar adik sinting. Bukan seperti itu respon yang dia mau ketika dia laporan kepada Mayang.

“Lo ngintip gue?” Kinara gemas. Dia hampir meraih bantal dan hendak memukul punggung adiknya itu. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, dia bodoh kalau melakukannya. Lagipula, di kamar yang sempit tempat mereka berada saat ini, suasana amat tidak memungkinkan. 

Kamar itu seharusnya tidak sempit jika ditinggali oleh satu orang saja. Tapi, sejak sebulanan ini, Kinara tanpa rasa malu menumpang di tempat adiknya yang merangkap sebagai warung atau kedai buket bunga. 

Hanya seorang saja di antara mereka yang bisa melanjutkan kuliah dan Mayang dengan ikhlas menyuruh kakaknya saja. Dia yang dari awal tidak bisa menaruh hati kepada sekolah dan pelajaran yang ada di dalamnya memilih menyerah. Selepas SMK, Mayang ikut jadi asisten penata rias dan kemudian pada akhirnya dia membuka sendiri usaha dengan tangannya, sebagai pembuat buket bunga dan hadiah-hadiah. Dia bakal sangat kebanjiran job menjelang wisuda, tamat sekolah, hari Ibu, hari Guru, Valentine, dan sejenisnya. Gara-gara itu juga, Kinara kemudian jadi lebih sering menemaninya di toko daripada menemani ibu.  

Lagipula, ibu mereka hidup nyaman di sana, di rumah keluarga Dierja. Beliau sudah dianggap keluarga dan sang ibu juga tidak kesulitan karena meski usianya telah lewat lima puluh, dirinya tidak lagi melakukan pekerjaan berat seperti ART pada umumnya. Malah, Kinara berpikir, ibu mereka yang bernama Yati kini lebih banyak santai dan mendampingi nyonya daripada sibuk bersih-bersih rumah dan sebagainya. Ibu Yati hanya melakukan tugas seperti memasak dan mengurus hewan kesayangan keluarga Dierja yaitu seekor kucing berjenis Maine Coon dan juga seekor kucing lain berjenis British Short Hair. 

“Gue nggak ngintip. HP lo aja yang murahan, jadi isinya bisa kelihatan sampai sini. Dah, ah. Gue ngantuk. Besok subuh mau ke pasar. Lo juga, buruan tidur. Nanti kita berdua kesiangan, bunga yang bagus bisa habis.”

Mayang melompat ke arah tempat tidur busa yang hanya dia tiduri saat malam saja. Menjadi wirausaha ternyata tidak sesantai kelihatannya dan kadang, dia mesti terjaga lewat tengah malam demi menyelesaikan pesanan. Sedangkan, Kinara membalas dengan gumam kalau dia masih harus mengeringkan rambut sebelum akhirnya ikut bergabung dengan saudarinya ke tempat tidur. Saat itu juga, Mayang berpesan supaya Kinara tidak lupa mematikan lampu dan dia sendiri lebih dulu terbang ke alam mimpi. 

Tidak butuh waktu lama, setelah si bungsu lelap, Kinara kembali mengambil posisi duduk di sebuah bangku kecil depan meja rias amat sederhana milik Mayang dan mengaktifkan kembali layar ponselnya. Seperti tebakan sang adik, hal pertama yang muncul adalah wajah seorang pria yang dibidik dari jarak lima meter, sedang berada di pinggir jembatan, dengan langit malam yang amat indah. Mulanya, Kinara berpikir kalau pria tersebut sedang berada di Singapura atau malah Malaysia. Tapi, kenyataannya, Baskara Dierja ternyata menghabiskan waktu di daerah PIK 2.

Padahal, dia tahu betul kalau dua pagi yang lalu, rekan kerja pria itu sedang memposting foto mereka yang berada di bandara, hendak menuju negeri singa Merlion demi urusan bisnis. Tapi, jarak Jakarta-Singapura hanya satu jam perjalanan dan bodoh sekali Kinara mengkhawatirkan soal itu.

Dia kemudian memilih menggunakan ibu jari dan telunjuk demi memperbesar wajah pria yang di masa lalu tidak pernah absen menemani ke mana-mana dan merasa amat senang karena semakin hari, Baskara semakin tampan dan mampu membuat hatinya berdebar walau mereka tidak bertemu sapa sama sekali.

“Aduh, sial.” Kinara menepuk pahanya sendiri karena tidak sadar atas kebodohannya barusan. Ingin memaki, tapi, yang berbuat kesalahan adalah dirinya sendiri. 

Dan dua menit kemudian, sebuah pesan masuk ke DM Instagram, dengan nama Baskara Dierja tertulis dan pesan menyeramkan langsung saja terbaca olehnya tanpa sadar.

Tidur. Besok kesiangan lagi.

“Ish.” Kinara menggerutu. Tuh, kan. Si Vampir mengerikan itu memarahinya lagi padahal, setelah jam kerja, dunia adalah bebas miliknya, bukan milik orang itu dan tanpa pikir panjang, Kinara kemudian menekan tombol blokir lalu cepat-cepat melompat ke atas tempat tidur, menarik selimut yang menutupi tubuh Mayang hingga adiknya membuka mata karena merasa terganggu.

“Lampunya matiin. Dasar, lo. Kaga apal-apa!” Mayang bicara dengan suara ketus, mengabaikan rengekan Kinara yang tampak mencicit seperti tikus.

“Gue nggak mau alasan. Lo matiin lampu.”

Dasar adik laknat, keluh Kinara. Harusnya dia yang memaki perempuan sinting itu. Tapi, bodohnya, dia malah menurut dan beringsut menuju saklar dan mematikan lampu sebelum akhirnya kembali ke berbaring di samping adiknya.

“Peluk.” Kinara mencicit dan gumam jengkel keluar dari bibir Mayang sebelum akhirnya mereka benar-benar terbang ke alam mimpi dan lupa kalau seharian tadi tubuh mereka benar-benar penat dipaksa untuk mencari nafkah demi bisa bertahan hidup esok hari.

 “Peluk mulu. Ntar kalau gue kawin duluan, nggak ada yang bisa lo peluk. Si jomlo kere …”

Kinara tertawa, tapi, dia tidak marah. Malah, dia malah mengeratkan pelukan mereka dan kemudian memilih terbang ke alam mimpi. Lupakan saja Baskara Dierja dan pesan mengerikan yang dia kirimkan tadi. Toh, mereka bukan siapa-siapa dan gambaran paling benar untuk menjelaskan hubungan mereka saat ini tentu saja, seperti dalam kisah Cinderella. Baskara sebagai Prince Charming alias Pangeran Ganteng nan Aduhai dan dia … bukan. Dia bukanlah Cinderella, si gadis Upik Abu. Kinara Kemuning adalah tikus yang menjadi teman Cinderella dan dia cuma punya nyali mengintip sang pangeran dari gua gelap di rubanah.

Cinderella cantik, tentu saja sudah menunggu sambil memegang sepatu kaca kesayangannya dan tidak lupa, dia punya ibu peri amat baik sedangkan Kinara, dia cuma punya Mayang. Meski begitu, dia amat bahagia punya adik semata wayang dan ibu yang amat dia cintai.

Bapak? 

Jangan bahas tentang bapak mereka. Dia tahu, semua ujian pada akhirnya akan membawa mereka semua naik kelas dan hidup bahagia.

Maybe. 

Maybe Yes atau Maybe No.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top