32
Ramein ya
Mampir ke work baruku Rumah Naa dan Ben, dong.
***
37 Kasmaran Paling Depan
Kejutan tentang Kinara tidak hanya berhenti soal berjualan ikan di pasar saja. Setelah hampir sebulan lewat dan memaklumi bahwa Mayang selalu menemani Kafka saat Baskara menjemput di hari Sabtu pagi, pria dua puluh delapan tahun itu menemukan kalau setelah berjualan di pasar pada pagi harinya, Kinara juga berjualan sebelah toko bunga milik Mayang saat sore. Jika adiknya sudah mantap menjadi penjual bunga, maka Kinara memilih ayam dan pecel lele goreng untuk pekerjaan tambahan yang bisa dia lakoni sambil sesekali menemani adiknya yang terus mengoceh kalau dia merasa amat aneh dibuntuti oleh Kinara padahal mereka sudah sama-sama di Semarang.
Tapi, hal itu hanya dianggap tawa saja oleh Kinara yang merasa beruntung ada Mayang di dekatnya. Mayang juga kadang membantu Kinara mengantarkan pesanan pembeli bila kakaknya sedang sibuk memasak. Namun, kemudian Baskara yang mengetahui soal itu hanya bisa kembali terdiam dan tidak bisa protes sama sekali melihat putri dari ART kesayangan yang sudah dia anggap ibu sendiri, bekerja dengan amat keras untuk mencari nafkah.
"Ayam goreng Ibuk enak banget, Yah. Makan di sana aja, ya? Jangan di restoran. Nggak mau." pinta Kafka usai seharian mereka bersama. Kafka mengaku lapar dan ingin makan, namun dia menolak saat Baskara menawari makan di restoran terdekat.
Dia juga hampir mengira kalau maksud Kafka adalah makan di rumah. Kenyataannya malah dia diajak mampir ke depan toko bunga milik Mayang dan terkejut saat melihat sebuah kios berukuran jauh lebih kecil dibandingkan sebelahnya dan lebih kaget lagi karena tahu ada Kinara di sana sebagai penjualnya.
"Aku lapar, Bu." Kafka berjalan dengan lincah sewaktu kakinya masuk ke kios. Ada beberapa pembeli sedang makan dan mereka tidak memperhatikan pria kecil itu. Kinara sedang menggoreng ayam di wajan dalam jumlah cukup banyak dan Baskara memberikan seulas senyum sewaktu dia masuk.
"Duduk dulu." Kinara menawari Baskara. Dia tidak lagi menambah embel-embel Pak di akhir kalimat seperti yang biasa dia lakukan. Namun, dengan tatap mata, Baskara tahu kalau Kinara sedang bicara kepadanya.
Kios itu berukuran sekitar lima kali tiga meter. Tidak besar. Tapi, lebih baik daripada memasang gerobak di pinggir jalan. Ada sekitar tiga meja di sana dan di bagian depan ada lemari bahan alumunium tempat Kinara meletakkan beberapa baki berisi ayam ungkep, ikan, dan lalapan, serta ulekan raksasa tempat Kinara membuat sambal.
Di dekat dinding ada kompor gas bermata seribu dan selang gas panjang yang apinya menyala. Di dekatnya ada meja berisi baskom besi dan saringan besar agar Kinara bisa meniriskan ayam yang baru digoreng. Baskara meneliti ke arah sekeliling, Kinara bekerja sendirian. Tidak ada asisten yang berarti, dia melakukan semua hal termasuk cuci piring. Meski begitu, kiosnya tampak rapi dan di beberapa sudut ada vas bunga palsu yang sepertinya diambil dari toko milik Mayang supaya keadaan kios itu tidak suram.
Setelah melayani sepasang suami istri, barulah Kinara datang membawa dua porsi nasi ayam goreng kepada Kafka dan Baskara. Mulanya, Baskara mengira kalau setelahnya Kinara akan duduk bergabung dan mengobrol bersama mereka. Namun, wanita itu kembali di tempatnya dan mulai memotong-motong timun untuk lalap dan membiarkan Baskara menemani Kafka makan.
"Ibu biasa pulang jam berapa?" tanya Baskara kepada Kafka yang sudah mencomot potongan ayam goreng panas. Kinara selalu menghindarinya saat dia hendak mengajak wanita itu bicara. Dari beberapa kali kesempatan, mereka tidak pernah bertatap muka dan Baskara merasakan kalau sejak mengundurkan diri dari kantor, sejak putusnya hubungan antara atasan dan bawahan, Kinara benar-benar menjauhkan diri.
Dia cuma bisa mendapatkan secuil demi secuil informasi dari Kafka yang tidak ragu membalas setiap pertanyaan yang keluar dari bibirnya. Meski begitu, ketika Kafka menjawab, Baskara mulai menghitung-hitung berapa waktu yang masih tersisa buat wanita itu untuk beristirahat setiap malamnya.
"Pulang jam sepuluh kalau belum habis. Kalau sudah habis semua, biasanya jam sembilan atau delapan. Pokoknya bareng Tante."
Pukul sepuluh, sampai rumah belum tentu langsung tidur. Nanti, jam tiga sudah ke pasar. Bangunnya juga belum tentu jam tiga. Apalagi, dia mesti masak buat Kafka.
"Tapi, tadi toko Tante tutup. Udah pulang duluan kayaknya." Kafka membalas lagi. Dia tidak terlihat khawatir sama sekali walau baru mengatakan ibunya pulang amat larut malam. Makan Kafka malah makin lahap. Berbeda dengan Baskara yang sepertinya kehilangan selera. Dia memilih untuk memandangi punggung Kinara yang saat ini sedang melayani beberapa orang pembeli yang minta pesanan mereka dibungkus. Meski baru berjualan, dia tidak terlihat kaku dan gugup saat membungkus pesanan ayam goreng. Baskara penasaran dari mana Kinara mempelajari itu semua.
"Diajarin Yangti." Kafka menjawab ketika Baskara merasa kalau masakan Kinara tidak jauh dengan ayam goreng yang terasa amat familiar dan saat mendengar kalau Kinara belajar langsung dari ibunya, Baskara merasa sesuatu yang menyakitkan tiba-tiba hadir di kerongkongannya. Dia memandangi potongan ayam goreng dengan menahan sesuatu yang panas di matanya dan secepat kilat mengalihkan pandangan ke arah lain, tepat saat Kinara tidak sengaja juga menoleh ke arahnya usai menerima pembayaran dari pembeli.
Tapi, hanya itu saja. Kinara kemudian melanjutkan lagi berjualan karena di saat yang sama ada beberapa pembeli lain datang bersamaan dan mulai memesan.
Wanita itu sudah memutuskan tidak mau menerima uang pemberian Baskara yang menyebutkan untuk keperluan Kafka. Pria itu boleh membiayai Kafka saat dia bersama putranya saja. Kinara tidak mau disebut sebagai pengeruk, selain dia sadar, anak bukan hasil pernikahan tidak berhak menuntut ini itu. Lagipula, dia masih sanggup membiayai Kafka walau kemudian harus melakukan dua pekerjaan sendirian. Setidaknya, masih ada yang mau membeli dagangannya dan Kinara tidak keberatan cuma tidur beberapa jam saja.
"Tapi, Ibu sehat terus, kan?" tanya Baskara lagi. Matanya tidak lepas membuntuti gerak-gerik Kinara yang masih terlihat lincah sekalipun saat itu sudah pukul delapan malam.
"Ibu, mau nambah." Kafka mengangkat piring dan berjalan ke arah Kinara yang telah selesai mengantarkan pesanan. Dia tersenyum kepada putranya dan bertanya kepada Kafka apabila Baskara juga hendak tambah porsi.
"Ini aja belum habis." Baskara menunjuk ke arah piring makannya. Bagaimana dia bisa makan selahap Kafka bila saat ini matanya tidak lepas memperhatikan Kinara. Dia tahu, bobot tubuh wanita itu berkurang banyak. Kinara terlihat lebih kurus dibandingkan saat terakhir mereka bertemu.
"Kafka anak baik, kan? Nggak nyusahin ayah? Kalau habis makan bereskan bekasnya. Kalau bikin kotor di tempat Ayah, kamu bantu sapu, ya."
Baskara mendengar Kinara memberi pesan dan dia tidak tahan untuk tersenyum. Kinara hampir selalu sibuk hingga Baskara berpikir mungkin mereka tidak sempat bertemu, karena itu, meski harus berangkat dini hari, dia selalu menyempatkan diri untuk menyiapkan sarapan Kafka. Mungkin, setelah berjauhan di Jakarta dan merasakan hal yang sama ketika dia ditinggal oleh Bi Yati, membuat Kinara sebisa mungkin tidak mau jauh dengan putranya sendiri.
Tapi, Baskara tidak bisa memaksa Kinara untuk diam saja di rumah. Mereka bukan siapa-siapa dan dia tidak berhak menahan wanita itu.
Baskara menghela napas. Di saat yang sama, ponselnya berbunyi. Seperti biasa, jika dia ke Semarang, akan ada banyak yang mencari walau sebenarnya saat itu adalah akhir pekan.
Mama
Bas, serius kamu nggak mau datang ke acara ultah mama besok?
Ilham
Kapan free, Bro? Kita golf bareng.
Dina
Mas, ini dina krm file yg mesti dittd yach.
Beberapa pesan masuk berderet. Hampir semua tidak dia baca. Namun, pesan paling terakhir datang membuatnya memandangi layar ponsel lebih lama dari biasanya.
Apa kamu bahagia dengan ini semua?
Baskara menelan air ludah. Dia mengetuk-ngetuk permukaan layar sebelum akhirnya mengalihkan perhatian kembali ke arah Kinara yang menyerahkan piring kepada Kafka berikut isinya. Anak tampan itu mengucapkan terima kasih dan berjalan menuju arah ayahnya berada dengan senyum mengembang. Dia merasa amat bahagia dan Baskara tidak ragu membalas putranya dengan sebuah senyum lebar.
"Ibuk kasih aku kol goreng. Sambal Ibuk enak banget. Nggak pedas." Kafka pamer nasi dan lauk ronde kedua yang kemudian dia letakkan di atas meja, di sebelah piring Baskara. Pria itu juga melirik sambal yang diberikan Kinara kepada Kafka yang tampal berbeda dengan sambal yang ada di piringnya sendiri. Tampaknya, Kinara juga menyiapkan sambal tidak pedas untuk anak-anak supaya mereka bisa menikmati makan seperti orang dewasa yang lain.
"Kemarin Ibuk sakit. Tapi, Ibuk nggak cerita. Aku tahu soalnya kebangun malam-malam, Ibu bilang ke Tante minta kerok. Badannya nggak enak dan udah muntah beberapa kali. Sampai nangis, Yah, waktu dikerok Tante. Aku dengar tapi pura-pura tidur." Kafka menjawab pertanyaan Baskara yang dipikirnya tidak bakal dijawab oleh sang anak. Hanya saja, Kafka membalas dengan suara pelan seolah takut terdengar oleh Kinara yang berjarak lima meter dari tempat mereka saat ini.
"Jangan kasih tahu Ibuk, ya. Aku nggak mau kena marah." Kafka berbisik di telinga Baskara sehingga membuat ayahnya tersenyum dan mengangguk bersamaan. Meski dia tahu Kinara tidak mudah marah kepada anaknya, dia juga paham, harga diri wanita itu amat besar sehingga dia tidak mau Kafka tahu kalau dirinya sebenarnya menderita.
Bukankah selama di Jakarta, Kinara menahan semua itu sendirian? Tahan berpisah dari Kafka, tahan dirundung oleh Umar, bahkan bertahan setengah mati saat dia harus berada satu ruangan bersama Baskara.
Pada akhirnya, Baskara memutuskan untuk menunggu hingga Kinara selesai berjualan meski wanita itu berkata kalau dia tidak apa-apa pulang sendirian. Baskara sendiri menggunakan Kafka sebagai tameng yang akhirnya membuat Kinara menyerah. Untung saja malam minggu ramai pembeli. Sekitar pukul delapan lewat tiga puluh, Kinara menyelesaikan pesanan terakhir dan dia tinggal membereskan semua peralatan dagangannya, termasuk mencuci piring dan semacamnya, baru kemudian menutup rolling door kios dan menguncinya.
"Mau makan?" Baskara menawari Kinara dengan sopan dan dibalas wanita itu dengan gelengan, padahal Baskara tahu, sejak mereka datang, Kinara tidak makan.
"Nggak perlu." jawab Kinara pendek. Dia merasa tidak enak hati. Tadi, Baskara ngotot hendak membayar dan Kinara bisa melihat beberapa lembar uang seratus ribu dalam pegangan pria itu yang segera ditolaknya. Meski begitu, Baskara kemudian menyuruh Kafka memasukkan uangnya ke laci kasir yang berada tidak jauh dari Kinara saat wanita itu sibuk melayani pembeli dan tatapan mata jengkel dari Kinara segera saja membuat Baskara pura-pura melihat ke arah lain.
Kini, dia malah diantar pulang meski sebenarnya Kafka akan menginap di tempat Baskara selama satu malam. Kinara merasa amat tidak percaya diri.
"Nggak apa-apa. Kamu belum makan, kan?" Baskara tanpa ragu kembali menawari, termasuk membujuk Kafka yang sudah dua kali menambah supaya mau mengajak ibunya makan juga.
"Di rumah sudah masak." tolak Kinara, "Mubazir kalau nggak dimakan dan harus dibuang."
Sampai di situ, Baskara menyerah. Mereka kemudian saling diam. Hanya Kafka yang terus bercerita dan bertanya tentang semua hal yang dijawab Baskara dengan sabar, sementara Kinara memperhatikan mereka dari bangku belakang.
Dia tersenyum melihat interaksi kecil itu dan bersyukur karena pada akhirnya Kafka bisa mendapat kebahagiaan seperti teman-teman yang lain, walau keadaan mereka tidak sempurna. Ayah dan ibunya tidak menikah.
Menikah. Kinara menghela napas ketika terpikir soal itu dan dia cepat-cepat mengalihkan pandang ke arah jendela di sebelahnya. Ada banyak orang yang menikmati malam akhir pekan yang nyaman dan berangin, tanpa hujan. Dia bisa melihat para pasangan mesra di atas motor atau juga keluarga kecil yang sedang merayakan kebahagiaan mereka tanpa ragu walau cuma menggunakan roda dua.
Jika Baskara menikah dengan Sintya nanti, Kafka akan sangat beruntung. Dia bakal punya adik yang akan menemaninya berjalan-jalan di akhir pekan seperti saat ini. Anaknya pasti akan merasa sangat bahagia.
Lalu dia sendiri? Kinara kemudian memandangi tangannya yang terlihat samar dari pantulan lampu jalan yang mereka lewati. Diusapnya punggung tangannya yang terasa mulai kasar. Beberapa bagian jarinya mulai kapalan sejak dia menggunakan kapak untuk menyiangi ikan dan ayam. Sesama teman penjual ikan menyarankan agar Kinara menggunakan sarung tangan dari bahan kain seperti yang dipakai para tukang dan dia merasa efeknya tidak begitu parah lagi seperti sebelumnya. Akan tetapi, dia berpikir, pria mana yang mau menerima wanita yang tidak sempurna seperti dia.
Aku nggak mau mimpi apa-apa, kecuali mengharapkan Kafka bahagia. Nanti, dia juga akan punya adik kalau Mayang nikah dan melahirkan. Itu saja sudah cukup.
Memang. Sejak Kafka mendapatkan ayahnya kembali, Kinara merasa dia tidak butuh apa-apa lagi. Dia sudah cukup nyaman dengan keadaannya dan hanya perlu bertahan hidup seperti ini, sampai akhirnya, dia tidak mampu lagi bernapas di dunia.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top