29

Ramein ya.

Bentar lagi open PO (kalau ada yang mau)🤣

***

35 Kasmaran Paling Depan

Baskara yang bersikeras ingin turut membantu dalam pengasuhan Kafka tidak bisa dengan mudah mendapatkan persetujuan Kinara karena hal itu berarti dia harus merelakan putranya tinggal dengan Baskara juga selama beberapa waktu. Dia tahu, selama ini dirinya mulai terbiasa hidup tanpa anak lelakinya itu. Tapi, membayangkan kalau Kafka suatu saat  memilih hidup bersama Baskara yang jauh lebih kaya, apalagi bersama ibu barunya, membuat Kinara mau tidak mau meringis. 

Hanya saja, dia kemudian sadar kalau sejak awal mereka menginginkan pengakuan tersebut. Yang aneh malah perasaan Kinara yang jadi gamang setelah Baskara menunjukkan keseriusannya. 

“Bapak bisa melakukan itu, dengan syarat saya diperbolehkan berhenti bekerja.” ucap Kinara ketika akhirnya hanya ada mereka berdua usai acara takziah malam kedua. Sebenarnya, banyak orang yang masih mengobrol dan mereka juga tidak benar-benar berdua saja. Ada Kafka yang beberapa kali bolak-balik pamer kegembiraan kepada Om Baru yang entah kenapa begitu baik kepadanya. Kesempatan itu kemudian digunakan oleh Kinara untuk bicara sebelum akhirnya Baskara kembali ke Jakarta. 

Bukankah hal tersebut seperti mengambil sebuah kesempatan yang sebelumnya mustahil dikabulkan oleh Baskara? 

“Kenapa mendadak begini? Bukannya kamu masih menunggu sampai kontrak habis? Kamu juga punya kesempatan untuk jadi pegawai tetap.” Baskara menatap Kinara dengan tampang bingung. Tadi, dia meminta waktu kepada pria tersebut agar bisa berpikir. Namun, setelahnya, Baskara amat kaget dengan kenyataan yang dia dengar.

“Tadinya. Waktu itu saya berpikir nggak apa-apa disabar-sabarin dikit. Sekalian menunggu Ibuk. Kenyataannya, sekarang sudah nggak ada lagi yang bisa saya lihat di Jakarta dan di kantor, Bapak tahu sendiri …”

“Mas Babas.” Baskara mengoreksi, “Berkali-kali aku bilang.” 

“Bapak masih mau maksa saya atau masih mau sama-sama Kafka?” Kinara dengan nada tenang menatap Baskara yang sepertinya tidak kenal lelah meminta Kinara untuk kembali memanggilnya Mas Babas seperti sedia kala. Tapi, seperti biasa, wanita itu enggan menurut dan kali ini menggunakan Kafka sebagai ancaman bila Baskara masih ngotot.

“Bukan begitu. Aku cuma mau kita akrab …”

“Saya nggak berniat akrab dengan anak Nyonya Reva apalagi anda akan menjadi suami orang. Urusan kita saat ini cuma Kafka dan saya mengajukan syarat untuk mundur dari pekerjaan jika Bapak mau melanjutkan kerja sama ini.” tekan Kinara. Memangnya dia siapa, bisa bermanja-manja memanggil Mas Babas? Kalau Sintya mendengar, sudah pasti dia bakal mengamuk. Di kantor saja, tidak satu atau dua kali dia menyaksikan perselisihan mereka berdua.

“Suami?” Baskara menaikkan alis kanan saat mendengar Kinara bicara seperti itu.  

“Bukannya Bapak mau menikah dengan Ibu Sintya?” Kinara membalik pertanyaan Baskara yang terlihat kebingungan sendiri. Tapi, mustahil pria itu melupakan kekasihnya dan jika jadi dia, kalau bisa Kinara akan selalu berada di samping Sintya yang cantik dan menggemaskan daripada terjebak di kota asing bersama keluarga yang sebenarnya lebih senang tidak melihat kehadirannya di sini.

“Soal itu …” Baskara mengusap anak-anak rambut yang mulai tumbuh di atas bibirnya dengan tangan kanan. Wajahnya tampak bimbang, seolah kata-kata Kinara barusan menyadarkannya akan sesuatu.

“Tidak apa-apa.” Kinara berusaha mengerti melihat kebingungan di wajah Baskara. Tapi, sebenarnya bukan itu topik utama obrolan mereka malam ini. Yang jadi sumber pembicaraan sedang bermain dengan riang gembira, lupa fakta kalau kemarin dia baru saja kehilangan eyang putrinya.

“Saya mengerti kalau saat ini Bapak masih berduka, seperti kami. Tapi, saya cuma ingin Bapak paham, saya nggak bisa lagi meninggalkan Kafka. Bapak kami semestinya beristirahat di masa tuanya bukan mengurus cucu. Saya mohon, kalau bisa izinkan saya berhenti.” Kinara membalas lagi. Dia tahu Baskara akan menahannya walau pria itu sadar, kehadiran Kinara di kantor mirip seperti keberadaan kerikil jelek dekil di selokan. Tidak banyak guna dan paling banter menjadi sasaran omelan Umar seperti yang selalu terjadi setiap hari.

“Kenapa kamu memilih berhenti? Nggak semua orang bisa dapat pekerjaan dengan mudah dan masa depan kalian terjamin apabila kamu mau diproses jadi pegawai tetap.” bujuk Baskara penuh keyakinan, sementara balasan Kinara hanyalah gelengan. Dua tahun sudah cukup buatnya berkelana ke ibu kota. Tujuannya sudah tercapai, Baskara sudah tahu tentang Kafka. Tidak ada guna dia bertahan lebih lama di Jakarta. 

“Sebab Bapak sudah tahu tentang Kafka. Artinya, tugas saya selesai sampai di sini.” jawab Kinara mantap. Dia tersenyum perlahan dan dari kejauhan terdengar Kafka memanggil namanya.

“Nggak usah lari-lari.” Kinara memperingatkan. Anak itu biasanya dengan mudah akan menurut dan Kinara senang ketika Kafka langsung melakukan apa yang diminta oleh ibunya. Hal tersebut juga menjadi perhatian Baskara dan pria tersebut tidak lepas memperhatikan Kafka seolah-olah, dia belum pernah menyaksikan Kafka tumbuh dan berkembang dengan mata kepalanya sendiri, yang mana, memang benar terjadi. 

“Sini.” Kinara melambaikan tangan sebagai kode kalau dia hendak memanggil putranya dan Kafka segera menurut. Dia tidak ragu mendekat dan ikut duduk di antara kedua orang tuanya yang berhadapan. Kinara merasa dirinya sudah mulai kuat duduk berlama-lama dekat Baskara. Tapi, dia tidak ingin hal tersebut sering terjadi. Mereka cuma akan berurusan dan bekerja sama soal Kafka. Dia tidak berharap akan ada interaksi lain atau malah lebih dari itu.

“Kenapa, Buk?” tanya Kafka sopan. Logat Jawa terdengar lebih medok dari bibirnya dibandingkan Kinara yang lebih suka memakai bahasa Indonesia. Wanita itu mengerti ucapan semua orang di sekitarnya. Namun, bila harus bicara, dia merasa lidahnya kaku. 

“Ibu mau bicara.” Kinara memulai. Dia menoleh ke arah samping, tempat mata-mata kesayangannya sedang mengamati. Mayang Ganarsih walau terpisah jarak beberapa meter dari tempat dirinya saat ini, seperti memberi semangat dari jarak jauh kepada Kinara yang gugup. Di sebelah Mayang ada Sutomo yang sama sigapnya memperhatikan. Mereka berdua bisa saja ikut campur dan bicara langsung kepada Kafka. Tapi, Sutomo memberi kesempatan kepada Kinara untuk mengungkapkan semuanya kepada bocah berusia tujuh setengah tahun itu. 

“Kayak keluarga, ya kan, Pak?” Mayang bicara kepada sang ayah sambil bersedekap, sementara Sutomo memandangi Baskara dari kejauhan dengan mata terpicing, “Kafka pasti bakal girang banget. Tapi, ntar-ntar, bukan nggak mungkin dia minta bapak emaknya kawin.” 

Sutomo mendengus sewaktu mendengar Mayang bicara seperti itu dan dia menoleh kepada di bungsu dengan tatap mata jengkel, seolah dia bakal menggebah wanita itu dengan sapu kalau bisa. Baskara menikah dengan Kinara? Walau semua orang sekampung mereka akan bilang hal tersebut lebih baik daripada membiarkan Kinara menjadi gadis rasa janda, dia tidak akan membiarkan hal tersebut jadi nyata.

“Pak. Eh, si Bapak malah kabur. Orang diajak anak perempuannya ngobrol. Jangan-jangan, Bapak nih yang mau kawin lagi.” 

Kinara sempat mendengar suara Mayang yang melengking-lengking memanggil bapak dan dia jadi kesal karena Sutomo malah memilih kabur ke dapur. Bicara dengan Mayang kadang membuat kepalanya pusing. Padahal, beberapa jam lalu, dia masih memergoki putri keduanya itu menangis sambil mengangkat jemuran.

“Ibuk mau ngomong apa?” Kafka mengalihkan perhatian Kinara dengan ucapannya yang sopan dan gerakan tangan yang lembut ketika dia menyentuh lutut ibunya. Kinara tersenyum dan dia melirik Baskara yang saat ini tidak putus memperhatikan Kafka. Bocah itu masih sama ramahnya dengan tadi. Tapi, Baskara tidak bisa membohongi diri kalau perasaannya sedang tidak keruan. Bagaimana bila Kafka menolaknya.

“Oke, jadi begini.” Kinara memulai. Dia tidak lupa merapal doa di dalam hati sebelum bicara. Kafka yang marah dan menolak adalah hal terakhir yang dia inginkan.

“Kamu tahu siapa yang duduk di sebelahmu saat ini?” tanya Kinara kepada putranya. Dia gugup sebenarnya. Tapi, sebisa mungkin Kinara menutupi dengan cara menggenggam tangan Kafka sedikit erat supaya meredakan rasa cemas di hatinya saat ini. Orang boleh saja mengatakan dia masih bocah, namun, Kinara paham anaknya lebih dari siapa pun. 

“Om Babas.” Kafka menjawab dengan suara renyah. Obrolan mereka terhenti karena ada dua anak laki-laki mendekat hendak mengajak bermain.

“Sik, tho. Aku lagi ngomong sama Ibuk.” tolak Kafka kepada temannya. Dia tidak menyadari bahwa di saat yang sama, Baskara tidak melepas pandangan sama sekali.

“Menurutmu, Om Babas seperti apa?” tanya Kinara lagi. Dia tidak bisa seperti orang-orang dalam sinetron atau novel yang tanpa basa-basi memberitahu kepada anak mereka kalau si A, B, atau C adalah ayah si bocah yang telah lama hilang. Bisa-bisa, Kafka histeris dan malah tantrum karena walau selama ini dia mendamba punya ayah seperti yang dimiliki oleh teman-temannya, dia sadar, sejak awal tidak punya hal itu dan menganggap ayahnya telah bersama Yang Maha Kuasa.

“Om Babas baik.” Kafka tersenyum lebar. Dia menoleh ke arah Baskara dengan cepat dan kembali lagi memandang ibunya, “Lebih senang sama Om Babas daripada Pak Lik Seman. Tapi, masak Adi dan Doni bilang, Om Babas mirip aku, Buk.” 

Wajah Kafka jelas sekali terlihat bingung. Beberapa kali dia menoleh ke arah Baskara dan ibunya, lalu menggaruk puncak kepalanya yang tidak gatal dan bicara, “Aku, kan, sering ngaca. Jadi hapal wajahku. Memang kalau lihat Om Babas, rasanya mirip. Kenapa, ya, Buk? Apa Om Babas anak Yangti juga? Soalnya lebih disayang Yangti daripada Ibuk dan Tante.”

Pertanyaan Kafka agak menohok dan membuat Baskara merasa tidak enak hati. Bukan hanya Kafka, Mayang juga menuduhnya seperti itu sejak mereka bertemu di Jakarta dan Baskara mengaku dia egois, ingin menguasai Bi Yati untuk dirinya sendiri. Tapi, jawaban Kinara yang berupa gelengan, membuat Kafka masih kebingungan.

“Om Babas bukan anak Yangti.” Kinara mengoreksi, “Tapi, memang kamu mirip.”

“Nah, kan. Aku benar.” Kafka menggoyang-goyangkan tubuhnya tanda senang karena dugaannya tidak salah. Tapi, hal tersebut kemudian membuat Kinara dan Baskara sempat saling pandang selama beberapa saat. 

Aneh rasanya melakukan hal tersebut. Kinara berpikir kalau dia tidak bakal bisa akur dengan Baskara. Namun, kemudian mereka duduk bersama dan membahas soal nasib Kafka.

“Kalau Om Babas sebenarnya adalah ayahmu, kamu marah, nggak?” Kinara bicara dengan nada cepat dan berharap momen ini cepat usai hingga setelah mengucapkan semua itu, dia mesti memejamkan mata. Rasanya amat tidak nyaman.

“Apa, Buk?” Kafka minta Kinara mengulang ucapannya. Bocah baik budi itu sampai menghentikan gerakannya untuk memastikan pendengarannya.

“Ayah Kafka masih hidup dan yang duduk di sebelahmu, itu bukan Oom. Tapi ayah.” jelas Kinara dengan tersendat. Entah mengapa, mengucapkan hal tersebut membuatnya ingin menangis. Tenggorokannya terasa ngilu dan ketika Baskara mengerjap beberapa kali, dia juga tidak tahan. Mendadak hidungnya jadi mampet, terutama, ketika Kafka juga berkali-kali mengerjap dan menatap langit supaya air matanya tidak jatuh. 

Dia tidak bicara, melainkan komat-kamit menatap bintang dan bulan yang kebetulan purnama malam itu. Air matanya meleleh dan Kafka menangis tanpa suara.

“Bohong, Buk.” Kafka mengusap air mata dengan bagian bawah baju koko miliknya yang dibelikan Baskara siang tadi dan tidak butuh waktu lama, dia sesenggukan, terutama saat Baskara mendekapnya dengan erat.

“Ibuk nggak bohong.” Kinara menggeleng. Matanya mencari-cari ke teras rumah, berharap Mayang masih ada di sana dan dia ingin dibawakan tisu. Tapi, kakinya terpaku karena melihat pemandangan di sebelah, Kafka yang masih terisak, membiarkan Baskara memeluknya. Dua pria itu menangis setelah terpisah selama bertahun-tahun.

Dia tahu, setelah ini, hidup mereka bertiga tidak akan sama lagi dan memikirkannya, Kinara merasa seperti dia lega telah menyelesaikan sebuah tugas sekaligus sedih karena mungkin, cinta Kafka kepadanya akan berkurang dan terbagi kepada Baskara.
Pria itu sudah pasti akan melimpahi putranya kasih sayang tak terhingga sampai Kinara yakin, dia tidak bakal bisa melampauinya.

***

Nggak nangis, kan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top