27
Banyakin vote dan komen ya
***
33 Kasmaran Paling Depan
Kinara yang mengira kalau Baskara akan langsung pulang setelah selesai takziah di hari pertama, kemudian menemukan kalau pria itu datang lagi pagi berikutnya. Hal itu tentu membuat semua orang yang berada di rumah keluarga Sutomo memandang heran karena mobil yang malam sebelumnya sempat parkir di pekarangan rumah, datang kembali sekitar pukul sepuluh pagi.
“Babas datang.” Mayang yang memberi tahu Kinara yang saat itu baru selesai menjemur pakaian. Ibu satu anak tersebut memakai kaos berwarna merah muda dan rok motif bunga-bunga selutut. Rambutnya dikepang ke arah samping kiri dan Kinara menoleh ke arah depan rumah, tepat saat Baskara keluar dari mobil.
Pria itu sudah berganti pakaian dan sepertinya sudah beristirahat. Malam sebelumnya, dia pamit sekitar pukul sebelas malam, tidak lama usai acara takziah dan sebelum pulang, Baskara sempat membantu membereskan kursi, meja, juga sampah-sampah yang tidak sempat dibersihkan sebelumnya walaupun Kinara dan Sutomo beberapa kali melarangnya untuk tidak melakukan hal tersebut. Sayangnya, Baskara yang kelewat senang karena Kafka pada akhirnya mau bicara dan diajak bercanda dengannya, tidak memedulikan semua itu. Meski pada akhirnya harus berpisah dengan putranya dan dia memilih hotel terdekat untuk menginap, semua hal yang dia lakukan hari sebelumnya amat berarti buat bungsu tiga bersaudara itu.
“Kafka sekolah.” Kinara memberi tahu sewaktu Baskara menginjakkan kaki ke pekarangan dan mengucap salam. Ada dua orang bibinya di dekat situ, membantu membuat kue-kue untuk acara malam nanti dan Baskara tanpa ragu mendekat lalu mencium tangan mereka satu-persatu.
Kinara juga sempat mendengar salah satu bibinya memuji ketampanan Baskara dan yang dia lakukan adalah mengucap istighfar di dalam hati. Bagaimana pun juga, sejatinya wanita senang dengan keindahan.
“Duduk dulu.” Kinara menyuruh Baskara duduk di salah satu bangku teras. Dia sendiri kemudian masuk rumah karena malu dengan keadaannya sendiri yang berantakan. Biarpun dia selalu menghindar jika dekat Baskara, pria itu masih atasannya dan dia merasa penampilannya amat menyedihkan sehingga kemudian yang dia lakukan adalah memanggil sang bapak dan Mayang agar mau menemani tamu dari jauh yang sudah bertandang di hari sepagi itu.
“Itu, kan, bapak anak lo.” Mayang menolak saat Kinara mendorong tubuhnya agar Mayang mau ke teras. Bapak mereka sedang mencuci tangan di dapur dan Kinara menunjuk sebagian bajunya yang basah.
“Gue basah kuyup, Ay.” Kinara bicara jujur.
“Kalau nggak naksir, seharusnya lo cuek aja mau penampilan kayak gimana.” Mayang menjulurkan lidah yang membuat Kinara langsung menjepit ujung hidungnya hingga Mayang mengeluh kesakitan.
“Temenin aja. Lo bawel banget jadi adik.” Kinara mencoba melotot, walau akhirnya gagal. Dia tidak bisa marah dan jadi nenek lampir di depan adik perempuannya itu.
“Gue ogah jadi adik lo kalau cuma buat ngelarin urusan lo … mmppf.” Mayang mendadak tidak bisa bicara karena di saat yang sama, Kinara menyumpal mulut adiknya itu dengan tangan dan kembali pasang wajah amat garang. Jika didiamkan, Mayang yang nyinyir bakal makin menjadi dan dia harus ambil langkah sigap supaya wanita itu berhenti mengoceh, “Dia bapak keponakan lo. Baek-baek sama dia. Ajak ngobrol.” ancam Kinara yang kemudian membuat Mayang tidak punya pilihan selain melangkahkan kakinya yang gontai ke arah depan rumah.
“Hai.” Baskara mengurai senyum sewaktu melihat wajah kusut Mayang yang menggantikan kehadiran Kinara. Hari biasa saja suasana hati Mayang selalu tak senang setiap melihat Baskara, apalagi di hari seperti ini ketika dia baru kehilangan ibunya.
“Nggak usah hai hai segala.” Mayang dengan ketus mengambil posisi duduk di tembok depan rumah yang setinggi paha. Dia memakai celana selutut berwarna hitam dan baju kaus berwarna senada, seolah menunjukkan kalau perasaannya saat ini sesuram warna baju yang dipakainya.
Untungnya, Baskara bersikap bijak dengan tidak membalas kata-kata Mayang. Karena, bagaimana pun juga dia bisa melihat kalau kedua kelopak mata gadis itu masih bengkak karena terlalu banyak menangis.
“Bapak.” Baskara kemudian bangkit karena tidak lama, Sutomo keluar rumah. Pria gaek itu mengangguk dan tidak menolak saat Baskara meraih punggung tangannya. Sepertinya, setelah puas menghajar Baskara dan melihat kesungguhannya ketika mengurus Bi Yati hingga akhirnya wanita itu dikebumikan, bahkan, hingga tadi malam Baskara tidak menunjukkan keluhan sama sekali saat membantu keluarga mereka, membuat amarah Sutomo agak mereda. Tapi, dia tidak banyak bicara karena saat ini suasana hati semua anggota keluarganya sedang tidak baik.
Baskara pun sadar, jika dia bertindak kelewatan pagi ini, tidak ada yang bakal memaafkannya. Namun, kapan lagi mereka bisa bicara dengan tenang jika bukan pagi ini? Kemarin dan tadi malam, mereka semua sibuk dan masih sangat berduka. Hari ini, dia tahu, walau masih sedih, baik Kinara, Mayang, atau Sutomo, sudah bisa berlapang dada dibandingkan malam sebelumnya.
Mereka menunggu sekitar lima menit sampai Kinara muncul kembali dan sudah mengganti pakaiannya yang basah. Dia juga membawa beberapa cangkir kosong dan seteko teh panas untuk mereka semua.
“Nggak usah repot-repot.” Baskara merasa tidak enak sewaktu Kinara menuangkan teh manis panas ke cangkirnya dan respon Kinara hanyalah gelengan. Dia juga sempat membawa beberapa buah gorengan panas yang baru selesai dibuat oleh bibinya dan Mayanglah yang tanpa ragu langsung mengambil satu, walau sesaat kemudian dia mengeluh gorengan itu terlalu panas.
Walau merasa senang melihat Mayang mengaduh-ngaduh sambil pamer mulutnya gosong, Baskara menahan diri untuk tidak menertawakan bungsu dua bersaudara itu. Lagipula, ada hal penting yang mesti dibahas dan dia yakin, jika tertawa, maka seperti kemarin, Sutomo akan menendang bokongnya kembali ke Jakarta tanpa banyak cingcong.
“Ayang, ih. Nggak sopan di depan tamu.” Kinara memperingatkan adiknya sampai Baskara mesti berdeham dan berkata kalau dia oke-oke saja walau Mayang ingin kayang di teras saat itu saja. Tapi, dia agak kurang senang disebut sebagai tamu. Bagaimana pun juga, mereka saling mengenal sejak kecil
“Jadi, pagi ini saya ke sini karena ada banyak hal yang mesti dibicarakan. Saya sangat berterima kasih karena Bapak masih sudi menerima kehadiran saya.” Baskara membuka omongan. Di dalam kalimat tersebut, dia amat berharap supaya Sutomo tidak terpancing emosi mendengar kata-katanya. Baskara sedang berusaha agar hubungan mereka terus baik demi masa depan Kafka.
“Selama bertahun-tahun saya sangat egois dan seolah nggak mau tahu dengan keadaan Kinara, sungguh saya minta maaf, kepada Bapak, Ibuk, Kinara dan kamu, May.” Baskara menatap Mayang yang kelihatannya tidak peduli, namun Baskara yakin kalau telinga wanita itu mendengar setiap kata-katanya.
“Saya yakin, minta maaf, bersujud di kaki Bapak tidak bakal bisa menghapus semua dosa dan kelalaian yang saya buat di masa lalu.” ucap Baskara dengan raut wajah amat serius. Dipandanginya wajah Sutomo, Kinara, dan Mayang secara bergantian tanda dia tidak main-main dengan ucapannya.
“Tapi, dari hati yang paling dalam, saya amat ingin bertanggung jawab, Pak.”
Baskara melayangkan pandangan kembali ke arah Sutomo. Bagaimana pun juga, dia butuh izin dari pria itu sebelum memulai langkah selanjutnya dan kepercayaan Sutomo adalah hal yang paling utama. Tapi, dia yakin, tidak semudah itu Sutomo akan percaya. Setelah bertahun-tahun berjuang, tahu-tahu Baskara datang dan mengaku ingin bertanggung jawab adalah sebuah hal yang mustahil bisa dipercaya untuk jadi masuk akal.
Bukankah, hampir semua kasus perkosaan menimbulkan trauma? Kenapa sekarang dia malah bilang seperti itu? Bahkan, Kinara langsung menggeleng tanda tidak setuju.
“Nggak perlu.” jawab Kinara tanpa basa-basi, “Semua yang Bapak lakukan di masa lalu sudah terjadi. Saya tidak butuh tanggung jawab apa pun.”
Baskara menoleh kepada Kinara dan dia berusaha tersenyum setelah mendengar kalimat yang terucap dari bibir bawahannya itu. Apakah wajar jika Kinara menolak? Tentu saja wajar. Amat aneh bila kemudian Baskara datang dan bersikap seperti pahlawan kesiangan.
“Yang berlalu biarlah berlalu.” Kinara bicara lagi. Dia tahu akan dibawa ke mana obrolan mereka pagi ini. Jika Baskara sudah bicara tentang tanggung jawab, sudah pasti hal tersebut akan berhubungan dengan dirinya juga.
Pernikahan.
Belum-belum, dia merasa perutnya dijungkirbalikkan dalam sekejap dan masih untung Kinara tidak pingsan di tempat. Bagaimana ceritanya dia harus menikah dengan pria yang telah merenggut masa depannya itu? Jangan sampai itu terjadi.
“Bukan begitu, Kin.” Baskara menyela, “Ini semua demi kebaikan …”
“Kebaikan apa?” Kinara bangkit dan membalas dengan nada sedikit tinggi, “Enak sekali Bapak bicara seperti itu. Saya yang kena getahnya selama bertahun-tahun dan sekarang, demi tanggung jawab, saya dipaksa hidup dengan Bapak? Demi Tuhan saya nggak mau. Jangan karena Ibuk dekat dengan keluarga kalian, lalu saya ditumbalkan lagi. Ibuk sudah mati. Nggak ada lagi yang mesti saya turuti. Ini hidup saya, kalian nggak berhak ngatur-ngatur!”
Kinara mengabaikan panggilan Mayang dan Sutomo karena dia buru-buru masuk rumah dengan wajah merah padam. Tinggal Mayang yang menggeleng sewaktu dia menatap Baskara dengan wajah amat jijik, “Lo tahu yang paling dibenci oleh korban perkosaan? Kawin sama orang yang memperkosanya dan seumur hidup dia bakal dihancurkan mentalnya oleh orang yang sama.”
Hampir saja Mayang mengacungkan jari tengahnya kepada Baskara, tapi, demi kedamaian alam semesta dan menghindari omelan sang ayah, dia memilih masuk dan menenangkan hati kakak perempuannya. Percuma juga mengobrol dengan manusia yang merasa menikahi korban perkosaan adalah solusi dan biar saja, Sutomo yang menghajar Baskara. Dia tidak perlu mengeluarkan tenaga.
Entah kenapa, kali ini dia amat setuju dengan Kinara yang sebelumnya, selalu membuat Mayang mengira dia naksir Baskara.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top