2
Yang males komen, bisulan.
***
2 Kasmaran Paling Depan
Butuh hampir sepuluh menit buat Kinara Kemuning kembali duduk ke bangkunya usai rombongan Umar Hasibuan, Sintya, dan Baskara Dierja berlalu dari depan mesin absen. Dia juga bersyukur, pria itu tidak menoleh ke arahnya, yang mana adalah sebuah hal konyol menurut Viena. Bukankah dari tadi Kinara memilih bersembunyi di bawah meja sambil menyelesaikan menyalin laporan pembukuan. Setelah tiga orang itu hilang dari pandangan, barulah dia bisa menghela napas lega.
“Gimana rasanya satu kantor sama gebetan yang punya ayang?” goda Viena ketika Kinara sudah memusatkan pandang ke layar LCD berukuran 24 inci di hadapannya. Tatapan sulung dua bersaudara itu berpindah sebentar ke arah rekan kerjanya sebelum akhirnya, dia kemudian mengalihkan pandang ke arah layar.
“Jangan ngomong sembarangan, deh. Siapa yang bilang naksir? Gue cuma berusaha menghindari karena tahu sendiri, orang-orang sini selalu bilang gue masuk ke perusahaan Dierja lewat jalur KKN. Pak Bas selalu marah kalau dengar itu.”
Viena telah mendengar kalimat yang sama diucapkan ratusan kali oleh Kinara dan hingga detik ini dia masih tidak percaya kata-katanya. Adalah sebuah bualan dari kata-kata yang disebutkan oleh Kirana karena Viena tahu benar, berkali-kali wanita itu m engemukakan kalau dia sama sekali tidak punya perasaan kepada bos mereka.
“Jangan ngawur. Dulu kami sama-sama karena bokap gue jadi supir keluarga mereka. Lo tahu, kan yang namanya asas hemat dan praktis? Kami jalan bareng supaya bapak gue nggak perlu bolak-balik dan perkara dia ke luar negeri, itu urusan dia. Bukan gue.” Kinara menjawab jujur. Hal tersebut sudah terjadi bertahun-tahun lalu. Tapi, hingga detik ini dia selalu merasa gugup jika harus bertemu dengan Baskara.
“Tapi, asas praktis ga bakal berguna kalau leher lo dari tadi noleh sampai mau copot.” goda Viena lagi.
“Nggak gitu.” Kinara mengoreksi, “gue ngerasa nggak enak aja ketemu pas lagi kerja. Disangka nanti gue nyari kesempatan. Lo tahu, di sebelahnya ada Mbak Sintya.” Kinara menunjuk ke arah ruang pimpinan. Tampaknya, Umar Hasibuan telah keluar dari sana. Dia berjalan sambil mengulum senyum dan menggosok punggung tangannya dengan sangat antusias, membuat Kinara kembali menoleh ke arah Viena sambil bergidik.
Umar seperti orang yang sedang memanfaatkan suasana, pikir Kinara. Tapi, dia tidak mau berpikir lebih banyak tentang HRD sinting itu. Bila sedang kumat, baik Viena dan Mayang suka menjodoh-jodohkan dirinya dan Umar dan Kinara langsung mengucap amit-amit setelahnya.
“Dia ganteng.” ucap Viena yang membuat Kinara langsung tersedak air ludahnya sendiri, “Gue nggak suka dia pakai oli di rambutnya, ampe netes-netes, iiih.” Kinara bergidik, ogah peduli jawaban Viena, “Itu Pomade.”
“Bukan. Pake minyak sinyongnyong.” balas Kinara dengan keji. Padahal, dia tahu jelas kalau sinyongnyong bukanlah minyak rambut.
“Sinting lo.” Viena memajukan bibir sewaktu mendengarnya dan saat itulah Kinara memanfaatkan kesempatan untuk membalas, “Lo bela-bela dia. Jangan-jangan, lo yang naksir.”
Suasana kubikel itu mendadak gaduh. Dua orang wanita berusia sama saling memberi Umar untuk satu sama lain, sementara yang empunya nama sepertinya sadar kalau dirinya sedang dibicarakan dan puncak kepala mengkilat milik pria itu muncul dari balik pintu, langsung menatap ke arah Viena dan Kinara yang berjarak sepuluh meter dari dirinya sekarang. Setetes keringat bercampur minyak rambut merk Tancho meleleh di dekat telinganya. Baik Viena dan Kinara tidak mengetahui soal itu, namun mereka semua menyadari tetesan peluh milik si jomlo karatan tersebut.
“Ish. dia noleh ke sini.” Kinara memukul-mukul bahu sobatnya itu dengan perasaan salah tingkah. Tapi, tidak hanya dia yang begitu, Viena juga.
“Cepetan ngetik, kek. Balik kerja.” Kinara buru-buru menundukkan kepala supaya Umar tidak perlu melihat mereka lagi dan dia bersyukur, beberapa saat kemudian, pria itu kembali ke ruangannya dan hingga lewat tengah hari, baik Kinara atau Viena tidak lagi bertemu dengan HRD cerewet dan menyebalkan itu.
***
Mayang, si bungsu dari dua bersaudara yang mengaku dirinya adalah CEO toko bunga merangkap toko pernak-pernik, menemukan saudara perempuannya kembali dari kantor dengan menumpang ojek. Saat itu pukul lima lewat lima belas dan menurut Mayang, kakak perempuannya itu telat pulang sekitar lima menit dari biasa dan wajahnya tampak lesu.
“Salam dulu, kek.” Mayang memberitahu saat kakaknya menutup pintu kaca toko. Kepala Kinara terangkat dan dia nyengir sambil memperbaiki posisi tas yang miring sebelah, “Assalamualaikum, Bu RT.” ucapnya tanpa ragu dan hampir-hampir meminta tangan Mayang untuk dia kecup punggungnya. Namun, sejurus kemudian, Kinara sadar kalau usianya lebih tua dan hampir saja dia menggebuk bahu saudarinya itu. Mayang kadang-kadang tidak sadar diri.
“Gue yang mbak lo.” Kinara mengoceh, matanya setengah melotot. Akan tetapi, reaksi Mayang tampak biasa saja. Percuma juga dia ngotot lebih tua atau lebih muda. Toh, kenyataannya, Kinara Kemuning yang saat ini berdiri tidak jauh darinya masih saja minta kelon adik kandungnya sendiri setiap mau tidur.
“Udahlah, jangan banyak omong. Mandi sana. Badan lo bau.” perintah Mayang tak takut sama sekali kepada kakak perempuannya itu. Dia malah menyuruh Kinara mandi, sedang dia sendiri sudah pasti belum mandi, pikir sang kakak.
“Mulut lo lancang.” Kinara memajukan bibir. Dia sudah hampir berkacak pinggang, namun, Mayang yang saat itu sedang menggunting kertas buket bertanya kepadanya, “Kenapa pulang telat?”
“Gaya lo ngelebihin Ibu aja, pake interogasi kenapa gue ampe telat.” Kinara merendahkan suara. Mayang sendiri hanya mengikuti gerakan kakak satu-satunya tersebut dengan ekor mata, sedangkan kedua tangannya sibuk menyatukan potongan kertas yang telah disusun sedemikian rupa, bersama bunga mawar putih, baby’s breath, dan juga bunga matahari mini yang amat cantik. Entah siapa pemesan bunga tersebut, yang pasti, Kinara juga menyukai selera Mayang yang di matanya amat keren.
“Iya. kenapa bisa telat?” tanya Mayang lagi, tanpa berkedip. Susah berkelit dari sosok ibu wanna be seperti dirinya, pikir Kinara.
“Biasa, dicegat Umar.” Kinara mengaku jujur. Dia berjalan ke sekeliling toko sambil melihat-lihat barangkali ada susunan buket yang miring atau tidak rapi. Ada beberapa rak yang berisi keranjang yang dia tahu dibeli Mayang di pasar, dengan harga serba dua puluh ribu. Dia juga yang membantu membawakan keranjang-keranjang tersebut karena Mayang sibuk mengendarai motor. Warnanya jangan harap bisa cantik. Jika tidak biru, merah, ya hijau. Semua warnanya norak karena kelewat ngejreng atau malah kekurangan zat warna. Tapi, Mayang berpendapat, dua puluh ribu adalah harga yang pantas dan mereka tidak boleh protes. Lagipula, fungsi benda itu adalah untuk menampung buket-buket murah berisi bunga palsu dan juga jajanan seperti cokelat, ciki, dan juga jilbab yang dibentuk sedemikian rupa oleh Mayang. Keranjang itu juga biasanya dibawa saat ada acara seperti wisuda, kondangan, atau hari spesial dan luar biasanya, mereka awet.
“Gue yakin dia beneran naksir sama lo.” Mayang tanpa ragu menuduh, membuat Kinara dengan cepat melotot kepadanya, “Enak aja. Lo tahu, dia adalah cowok paling norak di tahun 2023.” Kinara tidak mau kalah, “seenggaknya, abang Gojek masih harum dan wangi dibanding dia. Dan satu lagi, tadi pagi, minyak rambutnya netes sampai mau masuk kuping.”
“Idih.” Mayang mengerutkan dahi. Bagaimana bisa, gambaran yang sebenarnya tidak lengkap tentang seorang Umar Hasibuan telah membuatnya merasa ikut melihat pria itu dengan jelas, “Seenggaknya dia mandi.” Mayang memberi kesimpulan yang membuat Kinara mengerenyit, “Lo kira dia kambing?”
Mayang menggeleng. Buket bunga di tangannya sudah hampir jadi. Dia tinggal memasang pita emas yang sudah digunting saat suara denting kerincingan tanda ada yang membuka pintu toko terdengar dan dia segera mengucap salam, “Selamat datang di toko bunga Kemuning.”
Yang paling duluan sadar tentang pengunjung sore itu adalah Kinara yang masih berada dekat pintu. Tangannya juga masih memegang sebuah toples akrilik berisi bunga-bunga kering ketika dia mendengar suara familier dan juga sosok yang mengiringi pengunjung tersebut dari belakang.
“Kinara? Mampir beli bunga juga? Buat Mama Reva?”
Mayang yang tadinya masih berada di meja kerja ternyata telah kelar mengerjakan buket dan ketika sosok pengunjung itu telah ternyata mengenal sang kakak, mau tidak mau dia jadi penasaran. Namun, ketika melihat sosok Baskara Dierja berdiri tepat di belakang Sintya, wanita yang dia kenal lewat akun media sosial, beserta betapa kaku dan gugupnya Kinara yang kini berusaha setengah mati untuk menyunggingkan senyum, dia tahu kalau sekarang dirinya berada di dalam sebuah pusaran cinta segitiga yang paling menyebalkan menurut kakak perempuan paling cengeng yang pernah dia tahu di dalam sejarah dunia.
Gue nggak naksir Mas Babas.
Terserah dia mau bilang apa. Tapi, Mayang Ganarsih tahu, walau bertahun-tahun lewat, tatapan mata penuh cinta yang diberikan sang kakak kepada seorang Baskara Dierja yang juga dia kenal, tidak akan pernah pada,.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top