18

Di KK dan KBM barusan up bab 62 ya. Ayo mampir buat yang penasaran.

Jangan ngoceh-ngoceh lama kali apdet di sini, sampe lupa ceritanya.
Lah, situ yang lupa, nyalahin eke. Dah dikasih tahu, makanya sering komen.

Yang ga komen, ya ga dapat apdetan. Gitu aja kok repot.  Mo cepat, ya, di sebelah.

Mak kami bokeq.

Mo bokek apa kaga, sudah eke suruh komen, masih malas juga. Yah, dadah babay.

***

19 Kasmaran Paling Depan

Rumah keluarga Dierja tampak lengang di hari Rabu pagi, padahal para penghuninya masih berada di dalam rumah. Saat itu pukul enam kurang sepuluh menit. Yang terlihat wara-wiri dari dapur menuju meja makan adalah Yati, asisten rumah tangga keluarga Dierja yang mengabdi hampir tiga puluh tahun. Lebih dari separuh hidupnya dia habiskan di tempat itu dan merasa kalau keluarga Dierjalah yang menyelamatkan hidupnya selama ini. 

Yati membantu juru masak menyiapkan sarapan pagi. Dua anak Dierja yang paling tua tinggal di Singapura dan Malaysia. Tinggal Baskara sendirian menemani orang tuanya di rumah besar itu. Namun, sesekali dia juga pulang ke apartemen miliknya di bilangan BSD. apartemen tersebut Baskara beli secara mencicil dengan gaji pertamanya selama tiga tahun. 

Pagi ini, Baskara menyempatkan diri untuk jogging di lingkungan sekitar rumah dan ketika kembali, sarapan telah siap di meja makan. Menunya beberapa macam dan dia bisa melihat secangkir kopi hitam pekat dalam cangkir keramik cantik berwarna putih tulang sudah menunggu untuk dia sesap. 

Tapi, tidak hanya dia yang berada di sana, ibu Kinara alias Bi Yati masih merapikan piring-piring berisi lauk menu sarapan majikannya di pagi itu. Meski begitu, dia tidak menyadari kehadiran Baskara di sana dan ketika pria muda itu mendekapnya seperti seorang anak berusia sepuluh tahun yang kangen dengan ibunya, barulah Bi Yati terlonjak.

“Mas Babas ngagetin Bibi aja.” omel Bi Yati seraya mengucap istighfar. Tapi, kemudian dia buru-buru melanjutkan, “Ih, Bibi bau, lho, Mas. Jangan peluk-peluk gini. Kalau dilihat Mama, gimana?” 

Baskara terkekeh karena Bi Yati seolah berontak, ingin dia dilepaskan dari dekapan pria kekar yang tidak sadar kalau dia sebenarnya memeluk asisten rumah tangga mereka daripada ibu kandungnya sendiri. Meski begitu, Baskara selalu melakukannya sejak dia masih sangat belia. Toh, yang mengasuhnya sejak kecil juga adalah Bi Yati.

“Bau asem ngangenin.” Baskara bicara santai meski sesungguhnya, Bi Yati tidaklah bau sama sekali. Wanita itu telah mandi saat semua orang masih tidur dan kemudian membantu ART lain membersihkan seluruh penjuru rumah. Dibanding yang lain, Bi Yati selalu menjadi yang paling sibuk.

“Sudah. Nggak usah peluk-peluk. Ayo makan. Sudah Bibi siapkan. Tadi Mbak Ria masak ayam goreng sama tumis kangkung.” suruh Bi Yati kepada Baskara supaya pria itu mengambil posisi di tempat duduk favoritnya. Tempat yang terdapat kopi, itulah posisi duduk Baskara.

“Nanti. Aku mandi dulu.” Baskara menolak halus, namun, Bi Yati menggeleng dan menarik tangan pria itu supaya mau duduk di bangkunya, “Mending makan dulu, baru mandi. Daripada kerja dua kali.”

Bi Yati sangat memperhatikan Baskara, bahkan melebihi ibu kandungnya sendiri. Jam segini, Nyonya Reva masih melingkar di atas kasur. Ada beberapa acara yang mesti wanita itu hadiri hingga lewat tengah malam baru kembali ke rumah dan Bi Yati tidak mau lancang mengganggu kecuali sebelumnya sudah dipesankan untuk membangunkan. 

“Yah, kalau Ibu maksa.”

Ibu. Bi Yati kadang terdiam setiap mendengar Baskara mengucapkan hal tersebut tanpa ragu, walau dia sendiri sudah berkali-kali mengingatkan Baskara agar tidak melakukannya. Pria itu hanya punya satu ibu dan wanita tersebut adalah Nyonya Reva. namun, sebenarnya, tidak hanya kepada Bi Yati, Baskara juga memanggil bapak kepada ayah Kinara dan Mayang. 

Pria itu sudah terbiasa melakukannya sejak kecil karena dia lebih dekat dengan dua orang itu dibandingkan dengan ibu kandungnya sendiri. Apalagi, Kinara selalu memanggil orang tuanya ketika mereka bersama. Sayang, setelah bertahun-tahun lewat, tinggal Baskara yang memanggil Bi Yati dengan sebutan ibu. Anak perempuan yang dulu selalu setia berada di sisinya telah menjauh dan menolak banyak bicara dengan Baskara sekali pun pria itu terus berusaha bersikap baik kepadanya.

Lo beneran nggak tahu? Nggak ada keinginan buat memeriksa kenapa, gitu?

Ucapan Mayang seolah seperti sebuah pemicu dan membuat Baskara jadi banyak merenung dan berpikir tentang kesalahannya. Apalagi, Mayang jelas-jelas menyindir pria itu seolah dia telah melakukan hal yang amat fatal dan bila tahu, bahkan Baskara tidak bakal sanggup melanjutkan hidup.

“Bisa meninggoy kalau lo tahu.” 

Senyum Mayang menandakan kalau dia amat senang melihat kesusahan di wajah Baskara. Tapi, dasar otaknya memang bebal, dia tidak bisa berpikir apa-apa meski telah menghabiskan sepanjang malam untuk mencari tahu jawabannya.

“Bu, Kenapa dulu Kinara minta keluar dari rumah ini?” 

Pertanyaan Baskara di hari sepagi itu membuat Bi Yati yang masih merapikan piring-piring di atas meja, menoleh ke arah anak majikannya sambil menelan ludah. Dia juga sempat melirik lorong penghubung ruang makan dengan ruang tengah rumah yang di sana juga berada kamar utama tempat Nyonya Reva beristirahat. Selama beberapa detik, Bi Yati harus berperang dengan akal sehat bila dia harus menjawab pertanyaan tersebut.

Bukankah, selama bertahun-tahun, Baskara yang bertanya tanpa paksaan orang-orang sekitarnya adalah hal yang amat bagus? Dia telah mencari cara agar bisa menyampaikan kejadian yang sebenarnya. Namun, ancaman Nyonya Reva telah membuat nyalinya ciut.

Bertahun-tahun lalu, wanita sosialita itu datang menemui Bi Yati, membawa satu tas penuh uang yang isinya sekitar seratus lima puluh juta dan melemparnya ke hadapan wanita itu, tepat di dalam kamar asisten rumah tangga tersebut, di dalamnya juga terdapat Kinara yang menangis membayangkan masa depannya yang telah hancur. Setelah diusir, dia sempat datang untuk meminta keadilan. Saat itu, Baskara tidak lagi berada di Indonesia.

Duit ini buat menggugurkan anak itu dan jangan pernah bikin masalah lagi buat keluarga kami.”

Pada akhirnya, Ayah Kinara menolak uang tersebut dan membawa putrinya pergi. Mayang sendiri merasa ibu mereka tidak cukup memperjuangkan putri pertamanya dan demi keluaga Dierja, wanita itu meninggalkan keluarganya. Gara-gara hal tersebut, Mayang jadi kurang hormat lagi kepada ibunya. Meski begitu, dia tidak bisa membiarkan Kinara begitu saja, terutama setelah dia menjadi sangat terguncang hingga berbulan-bulan lamanya. 

“Itu. Anu … “ Bi Yati tampak gelisah. Matanya beberapa kali berpindah dari Baskara ke arah lorong penghubung ruang tengah dan kemudian, dia berusaha tertawa demi meredakan rasa gugup di dalam dadanya.

“Anak itu sudah digugurkan?”

Suara Nyonya Reva yang bertanya kepada Bi Yati usai Kinara dibawa pergi oleh sang ayah, terngiang kembali. Wanita itu bingung karena asisten rumah tangganya menghadap dengan membawa uang pemberian wanita itu sebagai sebuah penolakan yang telah diajukan oleh suaminya sendiri. Ayah Kinara menolak uang keluarga Dierja, meski begitu, dia tidak bisa meninggalkan keluarga itu begitu saja, terutama karena di hari yang sama, sebuah insiden mengerikan membuatnya harus bertahan di sana dan semua anggota keluarganya yang lain, tidak ada yang mengetahui.

“Dia mau coba ngekos.” balas Bi Yati, berharap Baskara tidak melanjutkan pertanyaannya pagi itu. Dia lebih suka anak majikannya tersebut menikmati sarapannya dan Bi Yati bisa melarikan diri ke dapur. 

“Tapi, di sini jauh lebih baik daripada ngekos. Rumah ini luas, banyak kamar dan …” 

Ucapan Baskara segera saja dihentikan oleh Bi Yati karena dia mendengar suara orang berjalan dan karena Tuan Dierja sedang tidak berada di Jakarta, pelakunya sudah pasti sang tuan rumah. 

“Anak perempuan juga mau hidup mandiri, Mas.” Bi Yati berusaha mengakhiri pembicaraan dan sejurus kemudian, Nyonya Reva yang masih memakai gaun tidur, muncul dengan rambut dipasangi rol-rol berwarna merah muda.

“Udah masak, Bik?” tanya sang nyonya sambil menguap, “Aku mau ngopi.” 

Reva Dierja mengambil posisi duduk di ujung dan dia mengucapkan terima kasih sewaktu Bi Yati mendekat dan mengangsurkan secangkir kopi kepadanya. Tapi, gara-gara itu juga, dia bisa melihat kalau tubuh asisten rumah tangganya agak sedikit lain dari biasa. Segera setelah Bi Yati mundur, Reva Dierja mendapati kalau Bi Yati memegang perutnya. Tidak hanya itu, pakaian Bi Yati dibasahi oleh keringat dan dia membuat lelucon dengan berkata, “Tumben, Bi, keringatan. Habis jogging?”

“Nggak, Nya.” balas Bi Yati pelan. Tapi, kemudian dia dengan cepat menutup bagian depan perutnya dengan telapak tangan dan gerakan itu kemudian disadari oleh Baskara yang langsung berdiri, “Perutnya nggak apa-apa? Obatnya sudah dimakan?”

“Su …Sudah. Bibi permisi ke belakang dulu.” balas Bi Yati dengan gugup. Dia berbalik dan berusaha berjalan dengan santai menuju dapur, namun, mata siapa saja yang melihatnya tahu kalau diri wanita itu sedang tidak baik-baik saja. Baskara juga telah berhenti makan dan menyusulnya, sementara Nyonya Reva tidak melepaskan pandangan dari asisten rumah tangganya tersebut.

Jawabannya mereka semua dapatkan setelah dua puluh detik kemudian. Baskara yang berjalan mendekat ke arah Bi Yati segera menahan tubuh wanita berusia empat puluhan tersebut hingga kepalanya tidak jatuh dan menghantam lantai pualam. 

“Bu.” Baskara menyeka peluh di dahi Bi Yati. Bibirnya pucat dan dia tidak sadarkan diri, membuat Baskara kemudian segera mengangkat tubuh ringkih wanita itu dan berteriak kepada asisten rumah tangga mereka yang lain, supaya memberi tahu sopir untuk menyiapkan mobil.

“Ke rumah sakit sekarang.” Baskara tidak menoleh lagi dan membiarkan saja sang ibu yang berada di belakangnya berteriak, “Mama mandi dulu. Nanti nyusul. Kabarin aja, Bas.”

Mereka menangani peristiwa pagi itu seperti telah terbiasa. Tidak ada tangis-tangis atau panik ketakutan dan semua orang terlihat sudah siap menghadapi semuanya. Tapi, sesungguhnya, yang mengetahui kondisi wanita setia itu hanyalah keluarga Dierja saja. Suami dan kedua putri Bi Yati tidak ada yang mengetahui dan alasan itu juga yang membuat wanita itu memilih tetap berada di rumah keluarga majikannya, bahkan hingga bertahun-tahun setelah cucu pertamanya lahir ke dunia.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top