5
Kasih baru saja sampai di rumah, tak ada kata berkabung baginya karena dia langsung masuk kerja. Ia merasa beruntung karena para petinggi perusahaan sangat mendukungnya, kebaikan papanya benar-benar membekas hingga ia merasa dimudahkan di hari-hari awal berada diantara orang-orang hebat itu. Ia juga mendapatkan sekretaris yang mumpuni, yang bisa ia ajak diskusi dengan baik, senior dan menghargai dirinya yang baru belajar beradaptasi.
Kasih menapakkan kakinya kembali di rumah saat malam telah larut. Menemukan rumah yang sudah sepi namun samar-samar diantara lampu ruang tamu yang sudah dibuat temaram ia melihat sosok adiknya.
"Nada? Kau belum tidur?"
"Iya, ini nunggu Kakak."
"Nggak usah nunggu aku, kayaknya aku bakalan pulang malam terus di awal-awal kerja, biasalah penyesuaian, udah ayo tidur."
Dan alangkah kagetnya Kasih saat menemukan mata sembab adiknya, karena ia ingat saat papanya mengembuskan napas adiknya justru terlihat tegar, ataukah ia baru merasakan kesedihan justru setelah empat puluh hari berlalu?
"Kamu menangis? Ingat papa?" Tanya Kasih khawatir.
"Kakak baik-baik saja kan?"
"Kamu nggak jawab pertanyaan Kakak, kamu nangis karena apa? Kalo aku baik-baik saja in shaa Allah, meski aku akui aku merasa bersalah setelah tujuh tahun jauh dari kalian, sekalinya pulang ternyata papa meninggal, jadi kenapa kamu nangis?"
Tiba-tiba saja Nada bangkit dan memeluk Kasih sambil menangis.
"Aku sayang Kakak."
Kasih memeluk Nada, tubuh ringkih itu tenggelam dalam pelukannya dan ia bersyukur Nada punya Agra yang pasti akan selalu memeluknya dengan hangat.
Aku tak cemburu adikku, rasa sayangku padamu melebihi segalanya, semoga ia tak akan menyakitimu seperti ia menyakitiku.
Kasih mengurai pelukannya ia raih wajah Nada lalu ia usap air mata adiknya.
"Nggak boleh nangis, harus bahagia, jantungmu akan terus berdenyut saat kau merasakan bahagia, kata mama enam bulan lagi kan kalian akan menikah? Harus sehat, nggak boleh sakit."
Dan Nada menggeleng pelan.
"Aku nggak tahu, kayaknya sejak tadi aku ragu."
"Heeiii nggak boleh gitu, siapa tahu pernikahanmu akan jadi kebahagiaan baru di rumah ini."
Kasih berusaha tersenyum, ia usap lagi wajah adiknya namun Nada menatapnya dengan mata khawatir.
"Kakak baik-baik saja kan?"
"Kalo aku nggak baik-baik saja aku nggak akan selarut ini pulang, aku ingin mengabdikan hidupku untuk perusahaan."
"Kakak nggak akan menikah?"
Dan wajah Kasih berubah sendu namun detik berikutnya ia berusaha tersenyum.
"Belum terpikir, nanti saja jika ada laki-laki yang mau sama kakak yang membosankan ini."
"Kakak cantik, cerdas, apalagi? Hanya laki-laki bodoh yang menyia-nyiakan Kakak."
Kasih tersenyum lalu menarik adiknya agar menuju ruang tidurnya.
"Ayo tidur, masuklah ke kamarmu, aku mau mandi dan segera tidur juga."
"Kakak nggak makan?"
"Sudah tadi."
"Di kantor?"
"Nggak, sama dokter Arya."
.
.
.
"Ten."
"Iya Pak?"
Teni lagi-lagi melihat wajah kalut bosnya.
"Kamu dulu waktu menikah sama suamimu yang dijodohkan gimana? Ada rasa nggak?"
Teni tertawa pelan.
"Kenapa Bapak tanya seperti itu?"
"Awalnya aku hanya mau berteman sama Nada, wajahnya yang mirip dengan kasih yang mendorong aku untuk ingin dekat dengannya, tak ada keinginan serius menikahinya, namun saat aku diajak ke rumahnya untuk dikenalkan dengan orang tuanya aku jadi kaget saat melihat foto Kasih di sana, dan membuat aku nekad menerima ajakan dia untuk serius meski cintaku tetap pada Kasih, tidak ada sedikitpun cinta untuk Nada."
Teni mengembuskan napas berat. Ia menggeleng pelan.
"Ini tidak benar Pak, Bapak menyiksa diri Bapak juga Nada kan? Tidak bisa dibandingkan dengan saya, saya dan suami saya belajar saling mencintai setelah menikah dan kami berhasil, karena tidak ada tendensi apapun selain murni tujuan untuk berumah tangga, kalau Bapak kan karena Kasih, sebelum semuanya menjadi semakin rumit akan lebih baik jika Bapak mundur, tak masalah tak enak di awal dari pada terlalu banyak korban."
Ganti Agra yang menggelengkan kepalanya.
"Tak ada jalan lain aku bisa bertemu Kasih, jika aku ada di dekat Nada maka aku masih bisa melihat wajahnya, tak masalah aku tak mencintai Nada."
"Maaf, Bapak egois."
"Nggak ada jalan lain, Ten, aku bisa menuntaskan rindu dan rasa bersalahku saat aku bisa melihat langsung wajah Kasih, aku ingin memeluknya lagi."
"Tak mungkin kan Pak?"
"Yah."
.
.
.
Kasih baru saja menyadarkan punggungnya ke kursi di ruang kerjanya saat ponselnya berbunyi dan ada nama Arya di sana, ia sedikit tersenyum, ingat bagaimana Arya ngotot minta nomor hpnya saat mereka pulang setelah makan bersama.
"Halo."
"Hai cinta."
Kasih menahan tawanya, baru kali ini ia ingin tertawa setelah segala keresahan dan kegalauannya tentang papanya yang meninggal, pertunangan Nada dengan Agra juga kegigihan Agra yang masih saja berusaha menghubunginya.
"Ini jam istirahat, kamu pasti juga capek, kok sempat nelpon aku?"
"Untuk yang tercinta apa sih yang gak sempat?"
"Kamu kok gombal sih?"
Dan terdengar tawa keras Arya di ujung sana.
"Aku stres banyak kerjaan, jadi ya ini hiburan, untung kamu gak baperan."
"Hmmmm, masa-masa itu sudah selesai, aku bukan wanita rapuh dan cengeng lagi yang karena kata cinta bisa jadi memeleh bahkan melepuh."
"Weh Weh weeeeh sebuah prestasi nih aku bisa bikin kamu ngomong banyak."
"Sama kamu, aku gak ada beban, Arya."
"Naaaah so let's we get married."
"Enak aja."
"Looooh kan enak kita jadi santai, aku loh ganteng, bikin kamu nyaman lagi, tiap bangun pagi kamu akan melihat pemandangan yang menyegarkan, suami tampan, tubuh gagah, bisa kamu peluk-peluk dengan nyaman, aku juga gitu, punya istri cantik, cerdas pagi-pagi sudah bisa lihat kamu di kasur pake lingerie seksi."
Dan wajah Kasih jadi memerah karena malu.
"Mesuuuum."
"Hahahah, mesum apanya kan biasanya gitu kalo pengantin baru katanya sih, ayolah, kita nikah Sayang."
"Heeeem, ayo bulan depan!"
"Awas yaaaa aku tagih beneran!"
Dan Kasih menutup sambungan ponselnya sambil tersenyum lebar.
Laki-laki aneh, tiba-tiba saja datang dalam hidupku dan semuanya jadi bisa melegakan saat aku sedang suntuk, menikah? Entahlah apa dengan jalan itu hidupku akan tenang dan nyaman? Meski belum ada cinta?
Pintu ruang kerja Kasih terbuka, sekretarisnya masuk dengan wajah tak biasa.
"Ya Bu Santi, ada apa?"
"Ah Ibu selalu memanggil saya Bu Santi, cukup Santi, Ibu."
"Ibu lebih senior dari segi usia dan pengalaman jadi saya pikir lebih pas saya panggil Ibu, ada apa Ibu?"
"Ada tamu untuk Ibu, tapi dia belum buat janji dan memaksa ingin bertemu karena penting katanya dan saya bilang jika ...."
"Aku, Kasih, Agra, sebentar saja, jangan usir aku."
💔💔💔
5 Maret 2022 (08.46)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top