3
Arya menatap wajah Kasih yang berusaha tidur, meski terpejam ia tahu wanita cantik yang sedang berbaring di brankar tak bisa tidur.
"Tenangkan pikiranmu, aku tak tahu hubunganmu dengan laki-laki tadi, yang aku tahu dia adalah calon tunangan adikmu, karena aku sempat dikenalkan oleh ibumu jika ke rumahmu untuk memantau kesehatan bapak juga ibumu, tapi dari mata laki-laki itu aku tahu dia sangat khawatir padamu."
Akhirnya Kasih membuka mata, meski ia sebenarnya enggan.
"Kali ini boleh aku meminta?"
"Ya?"
"Tinggalkan aku sendiri."
.
.
.
"Kaaak ... Kak Agraaaa!"
Agra kaget saat Nada ternyata telah sampai di ruangannya. Pikiran kalutnya, sejak kemarin ia melihat bagaimana rapuh dan menyesalnya wajah Kasih karena kematian papanya mau tak mau membuat Agra juga ikut merasa bersalah.
Menghilangnya Kasih karena dirinya yang ceroboh karena terlalu menanggapi Karen dan berakhir di apartemen tanpa ia sadari. Menyesal? Pasti. Agra bercita-cita menikah dengan Kasih. Wanita pekerja keras yang tetap menjaga cinta dan kesuciannya hanya untuk dirinya dan balasannya adalah pengkhianatan yang sebenarnya tidak ia sengaja.
Karen adalah partner kerjanya yang sejak awal ia tahu jika tak akan ada apa-apa antara dirinya dan wanita itu. Hanya Agra tak mengira jika Karen memang berniat menghancurkan hubungannya dengan Kasih. Tak ada ampun bagi Karen, sejak itu ia tak ingin melihat wanita yang telah menjebaknya. Dan sejak itu pula ia kehilangan jejak Kasih.
"Tuh kaaaan ngelamun lagiiii."
"Eh maaf, aku terlalu lelah, ada apa Nada?"
"Yah Kak Agra yaaaa, kita mau bicarain rencana pertunangan kita, terpaksa mundur, nggak enak juga kan keluargaku masih berkabung, nunggu setelah 40 hari papa."
"Iya nggak papa, nanti kita atur lagi."
"Tapi hari ini ya tetap rencananya kita ke WO yang urus pertunangan kita."
"Udah semua kan? Apa lagi? Tinggal mundurin hari udah selesai."
"Kakak kok kayak jadi nggak semangat gini sih mau tunangan sama aku."
"Sayang, maaf, aku sibuk hari ini, sebentar lagi akan rapat dengan pimpinan divisi."
"Cafe?"
"Hehe bukan, cafe itu hanya sampingan, ini kan perusahaan properti, perusahaan ini milik papaku, jadi aku harus kerja keras dan nunjukin ke papa kalo aku mampu, maaf aku bukan mengusir, kita rencanakan lagi ya, kapan enaknya kita ke luar bareng."
Nada menatap mata laki-laki yang baru kali ini rasanya tak ingin menatapnya. Dan ia betul-betul tak tahu apa jawabannya. Nada meninggalkan ruang kerja Agra dengan wajah sedih, marah yang ia tahan sempat membuatnya sedikit sesak napas tapi ia tenangkan di dalam mobil. Hingga sopir yang membawanya harus memanggilnya pelan saat waktu telah lewat setengah jam dan dia hanya duduk menenangkan diri sambil menormalkan napasnya.
.
.
.
"Aku antar kau pulang."
"Tidak, aku bisa naik taksi online."
Arya menatap wanita dingin yang tak banyak bicara di depannya.
"Aku tak punya maksud apapun, aku melihat luka di matamu itu sudah cukup bagiku untuk tidak akan pernah mendekatimu, tapi asal kau tahu bukan hanya kamu yang trauma akan sebuah hubungan, aku pun sama, sembilan tahun aku menjalani sebuah hubungan dan kandas hanya karena dia merasa menunggu aku terlalu lama, dia menikah dengan laki-laki lain yang sudah mapan hidupnya, lalu apa aku putus asa? Tidak, hidup harus terus berjalan meski aku masih tak ingin memulainya lagi, apa penjelasanku yang panjang lebar ini masih saja membuatmu tak mau aku antar pulang?"
"Kau terlalu banyak bicara."
"Apa jadinya kalau seorang dokter hanya diam saja dan pasien dibiarkan menebak-nebak sendiri?"
Kasih menghela napas, bangkit perlahan dan berdiri sambil memegang ke pinggiran brankar.
"Masih pusing?"
"Nggak, aku bisa jalan sendiri."
"Ayolah, meski aku memegangimu tak akan aku jadikan kamu pacarku, ingat itu!"
Dan ingin rasanya Kasih mengeluarkan sumpah serapah pada laki-laki berwajah putih bersih dan bulu-bulu yang rasanya sangat menganggu mata Kasih karena terlalu banyak tumbuh di sepanjang pipi hingga ke dagu.
"Tidak usah menatapku seperti itu, semua tahu jika aku tampan."
"Sesukamu lah."
.
.
.
Sepanjangan perjalanan Kasih hanya menutup mata, kepalanya ia sandarkan.
"Masih pusing?"
"Lelah aja dan aku ingin cepat-cepat sampai rumah."
"Yah, ini nggak bisa ngebut, lagi rame, oh iya, maaf aku baru ingat, laki-laki itu datang lagi saat kau tidur kemarin, ia bertanya banyak tentang kamu, ya aku bilang kamu hanya lelah dan shock karena kejadian meninggalnya papa kamu."
"Lalu?"
"Dia nitip kamu."
"Lalu?"
"Dia pulang dengan wajah khawatir, dan aku yakin pasti ada apa-apa diantara kalian di masa lalu."
"Kamu wartawan gosip ya?"
Dan Arya tertawa mendengar ucapan Kasih.
"Kamu lucu juga ternyata."
.
.
.
Sepanjang rapat Agra sempat beberapa kali kehilangan konsentrasinya hingga sekretarisnya merasa ini bukan Agra, saat rapat selesai, Teni mendekat dan duduk tak jauh dari Agra.
"Bapak baik-baik saja kan?"
Agra hanya memegang kepalanya, ia menggeleng perlahan.
"Aku sedang kalut, Ten."
"Saya ambilkan obat yang biasa Bapak minum?"
"Nggak usah."
"Bapak pulang saja istirahat, hanya ada satu agenda lagi hari ini tapi bisa saya undur, dari pada Bapak memaksakan diri dan tidak maksimal."
Agra mengusap kasar wajahnya lalu menatap lurus ke depan.
"Akhirnya dia pulang Ten, dia datang."
"Ah wanita yang Bapak tunggu selama ini?"
"Yah, dan ..."
"Pertunangan Bapak? Jangan main-main loh Pak, calon tunangan Bapak itu saya lihat wanita rapuh."
"Aku tahu, dan aku ... aku mendekati dia juga karena wajah dia mirip wanita itu."
"Wah!"
"Mereka bersaudara."
"Waduh! Saya baru tahu, Pak."
"Yah aku terlewat menceritakan ini padamu, aku juga baru tahu saat setelah hubungan kami mulai dekat, aku ke rumahnya dan melihat foto keluarga mereka, aku tak bisa mundur, maaf kalau aku menjadikanmu tempat curhat."
"Tidak apa-apa Pak, saya simpan sendiri semua cerita Bapak."
"Terima kasih."
.
.
.
Arya meraih tangan Kasih yang sempat ragu.
"Anggap saja tangan mamamu, nggak usah ragu, aku bilang kan aku nggak ada niat menjadikanmu pacarku, kau terlalu serius, bisa stres aku punya pacar yang ngomongnya Senin dan Kamis, kayak puasa Sunnah aja."
"Bisa diam nggak kamu?"
"Bisa kalo kamu nggak aneh-aneh."
Kasih menghela napas dan ia bangkit perlahan dengan tangan kirinya yang digenggam Arya. Mereka terus berjalan memasuki rumah besar itu dan Dahlia menyambut mereka. Ia peluk Kasih yang masih bermata sembab.
"Aku mau masuk ke kamar Ma."
"Iya ayo Mama antar."
"Tante saya langsung pulang."
"Oh iya iya, maaf sudah merepotkan."
"Ah tidak, mari, permisi, assalamualaikum."
"Wa Alaikum salam."
Dahlia menatap tubuh jangkung itu menjauh dan menghilang di balik pintu.
"Laki-laki baik."
"Hanya terlalu cerewet."
💔💔💔
4 Maret 2022 (02.04)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top