Kasih Ibu
"Kasih ibu kepada Beta, tak terhingga sepanjang masa...."
Suaraku serak dan gemetaran dengan Soul memberontak di dalam gendongan. Bayi laki-laki itu telah menangis nyaris sepanjang malam.
Saat itu pukul 3 pagi. Mas Rio sedang bertugas keluar kota. Jadi, secara teknis aku hanya sendirian dengan Soul, bayi berusia 14 hari, di dalam kamar. Namun, di kamar lain, ada ibu yang mungkin sedang mendengkur dini hari begini.
"Sstt ... Soul jangan menangis, ya. Ada mama di sini," bisikku serak, sementara aku sendiri sedang berlinang air mata. Aku mengayun tubuh mungil Soul dengan sedikit lebih keras, berusaha membuatnya diam. Namun, alih-alih tenang, Soul malah meraung semakin kencang.
Aku mulai frustrasi. Soul harus segera ditenangkan. Tangisnya harus berhenti, karena kalau tidak ....
Tiba-tiba pintu kamar dibuka dengan kasar disusul bunyi langkah yang menapak lantai ubin tergesa. Yang aku takutkan akhirnya terjadi. Belum sempat aku menoleh ke arah datangnya suara, tubuh Soul telah direnggut dari gendonganku dengan paksa.
"Sudah 14 hari dan kamu belum bisa menenangkan Soul, Ruhi?" tegur suara itu.
Aku menoleh sekilas pada ibu yang menyorotku dengan penghakiman. Ia mengayun-ayunkan Soul pelan sembari bersenandung asal, sementara aku menunduk merasa bersalah. Ajaibnya suara tangisan Soul yang tadinya melengking perlahan mulai mereda.
"Lihat 'kan? Semudah ini, Ruhi. Bayi itu tahu hati orang yang ikhlas sama enggak," cibirnya. Setelah beberapa menit menggendong Soul, ibu lantas membaringkannya dalam keranjang bayi perlahan sebelum meninggalkanku bergeming seorang diri.
Aku mendekati ranjang tidur Soul sembari menahan napas, lalu melongok ke dalamnya. Bunyi pintu yang sedikit dibanting terdengar ketika ibu meninggalkan kamar. Tak sampai satu menit, Soul kembali meraung karena terkejut. Dan, di saat bersamaan tangisku pecah tak terbendung.
Apakah aku bukan ibu yang baik?
Kamu memang bukan ibu yang baik.
Seseorang berbicara padaku. Aku menoleh ke sekeliling kamar yang tentu saja tidak ada siapa pun di sana.
Kamu tidak pantas jadi ibu.
Suara-suara itu terus menudingku dari sudut yang tak terlihat, tetapi terasa nyata.
Bayimu akan lebih bahagia tanpa kamu!
***
Soul rewel sekali malam ini. Suhu tubuhnya tinggi sejak sore tadi. Aku bingung, selain mengompres air hangat dan menyusuinya sesering mungkin, aku ragu untuk memberinya obat penurun panas. Terlebih, usia Soul bahkan belum genap 40 hari.
Beberapa kali aku mengintip melalui tirai jendela sembari menggendong Soul yang menangis, berharap ibu segera kembali. Jika panas Soul tak juga turun dan terus menerus menangis, aku harus membawanya ke dokter. Sementara, suamiku masih bertugas keluar kota dan besok malam baru kembali.
Tangis Soul semakin kencang dan aku menjadi panik. Dengan satu tangan aku menggeledah meja rias, lalu tempat tidur guna mencari telepon genggam. Namun, benda itu tak juga kutemukan. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar, tetap mendekap Soul di dada hingga akhirnya aku menemukan ponsel itu tersembunyi di balik selimut pada ranjang bayi.
Dengan gemetar aku mengaktifkan benda itu lalu mencari nomor kontak suamiku. Beberapa kali benda itu nyaris meluncur dari genggaman selagi sebelah tanganku menggendong Soul yang mulai berontak.
Nada sambung telepon berbunyi dua kali, sebelum suara suamiku menyahut.
"Halo, Sayang?" Suamiku setengah berteriak. Aku nyaris tak mendengar suaranya karena keriuhan di belakangnya.
"Ha-halo, Mas." Suaraku bergetar.
"Ada apa, Sayang?"
Aku meneguk ludah, tidak tahu dari mana harus memulai. Tiba-tiba Soul di gendonganku kembali meronta dan menangis setelah beberapa menit terlelap.
"Soul kenapa?" Suara dari seberang sana terputus-putus.
"Soul demam, Mas. Panas tinggi. Mas bisa pulang sekarang?"
"Demam? Kok bisa?" Nada khawatir terdengar kentara. "Ibu mana?"
"Ibu belum pulang." Aku mulai terisak.
"Setelah ini aku coba menghubungi ibu. Kamu jangan khawatir. Terus gendong dan susui Soul, ya. Semoga aku bisa pulang secepatnya."
Dan, seperti biasa, dia tidak bisa pulang. Dia tak ada di sisiku, bahkan di saat genting begini.
Soul terus menangis kali ini tanpa jeda. Tubuh mungilnya meronta-ronta dalam bedongan. Ia bahkan menolak disusui.
Aku lelah dan pikiranku kusut. Sementara, ibu tak kunjung kembali. Barangkali, ia menginap di rumahnya malam ini tanpa tahu jika Soul sedang panas tinggi.
Aku sendirian. Dan, setiap kali seorang diri, suara-suara itu berdengung di dalam kepalaku.
Kamu memang bukan ibu yang baik, Ruhi!
Aku menggeleng, berusaha mengenyahkan suara-suara itu dari kepala.
Kamu tidak pantas jadi ibu!
Soul menangis. Aku menangis. Lalu, kupeluk tubuh mungil itu erat-erat di dada. Panas tubuhku membuat Soul berkeringat hingga demamnya perlahan-lahan mereda. Begitu pula tangisnya.
Namun, suara-suara itu tetap bergaung di kepalaku. Tak mau berhenti, membuatku terjaga sepanjang malam.
Kamu bukan ibu yang baik, Ruhi! Soul akan bahagia tanpamu!
***
Soul sudah berusia tiga bulan. Dia semakin jarang menangis dan lebih sering tersenyum. Dia tidur lebih pulas, lebih lama, seharusnya memberiku waktu lebih banyak untuk beristirahat.
Akan tetapi, nyatanya, aku masih kesulitan tidur dan lebih sering menangis. Aku lebih banyak menghabiskan waktu menatap ke luar jendela kamar sembari membayangkan hari-hari di mana aku masih sendiri. Aku merindukan dunia luar. Aku merindukan sosialisasi. Aku merasa terperangkap dalam dinding-dinding kamar yang putih dan kosong. Aku kesepian.
Hingga pada suatu Minggu, selama tiga malam berturut-turut, Soul menangis tiap dini hari, seperti dulu. Mereka bilang penyebabnya adalah kolik, tetapi menurut ibu, Soul menangis karena aku tidak menjaga pola makan. Asiku membuat Soul sakit perut.
Aku berusaha menenangkan Soul seorang diri seperti malam-malam sebelumnya. Lagi-lagi, sialnya, Mas Rio sedang dinas ke luar kota dan ibu terlelap. Aku sendirian.
Soul terus menangis, menjerit, dan meronta di dalam gendonganku tanpa sedikit pun bisa ditenangkan. Aku sudah melakukan berbagai cara; memijat perutnya, memandikan air hangat, menggendongnya, tetapi tangis Soul tak kunjung reda.
Aku kelelahan. Aku sendirian. Lalu, suara-suara itu datang lagi.
Kamu bukan ibu yang baik, Ruhi. Lihat, air susumu membuat Soul kesakitan!
Aku menggeleng. Tidak. Tentu saja bukan salahku. Kolik pada bayi benar-benar tidak terduga, tidak dapat diprediksi.
Kamu selalu membuat Soul menangis! Kamu bukan ibu yang baik!
Aku kembali menggeleng, lebih keras. Napasku terasa sesak dan kepalaku seperti dipalu. Aku lantas meletakkan Soul di atas tempat tidur hingga tangisnya semakin melengking tinggi.
Soul akan lebih bahagia tanpa kamu.
Aku lantas meraih bantal terdekat. Kemudian menatap Soul beberapa detik, sebelum membuat tangisnya reda untuk selamanya.
TAMAT
Jumlah kata: 997 kata
Pontianak, 28 September 2021 pukul 16:42 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top