Kasam 1 | Bahaya

| b a h a y a |

***

Pria itu mengamati pertarungan tak seimbang yang terjadi di depan sana. Satu lawan enam. Tangan kosong melawan senjata. Dia berani bertaruh. Laki-laki di depan sana tidak akan selamat melawan enam anak buah terbaiknya. Bahkan dia tidak akan dapat bertahan lebih dari dua menit.

Kau menjemput ajalmu sendiri. Tersenyum bengis, batinnya bersorak dalam diam.

Namun dia mengambil kesimpuan terlalu cepat. Karena di depan sana, sesosok laki-laki bergerak secepat bayangan menyasar pergelangan tangan lawan tepat ketika pelatuk ditarik. Mengubah arah tembakan. Menembuskan satu peluru ke jantung yang lain.

Laki-laki itu menjatuhkan tubuh. Menarik pisau kecil yang terselip di pergelangan kaki. Melempar benda tajam itu ke salah satu musuh. Hingga menancap sempurna di celah antara kedua alis. Sebuah akurasi bidikan yang mengagumkan. Membuat kelima manusia yang menyaksikan hal itu terperangah dalam detik-detik yang menegangkan.

Dia kembali bergerak cepat. Memanfaatkan sepersekian detik keterpanaan. Memelintir pergelangan tangan pria di dekatnya. Menyasarkan peluru hingga bersarang di kepala yang lain. Laki-laki itu langsung mengunci tubuh lawan dan menjadikannya sebagai perisai hidup. Menyelamatkan dirinya sendiri dari peluru yang kembali dilepaskan entah oleh siapa.

Laki-laki itu melepaskan tubuh tak bernyawa dari kuncian. Mengangkat pandangan dan menatap dua orang musuh yang tersisa di depannya dengan dingin. Tanpa aba-aba dia menerjang maju. Menyerang langsung ke titik fatal. Menjatuhkan keduanya dalam waktu singkat.

Setan! Tidak mungkin!

Pria yang sejak tadi hanya mengamati jalannya pertarungan kontan menyalakan alarm tanda bahaya dalam dirinya. Dia segera melarikan diri dari sana. Namun hal itu adalah usaha yang sia-sia. Tidak ada yang berhasil kabur dari sang monster.

“Arghhh!!"

Jerit kesakitan terdengar lantang saat pria itu merasakan tancapan benda tajam pada pahanya. Dia langsung jatuh mencium lantai berdebu tebal. Pria itu kembali menjerit saat bahunya ditendang dan ditahan dari belakang.

“Bajingan! Apa maumu, hah?!”

Laki-laki itu diam. Tidak menjawab.

Hingga terdengar suara ketukan sepatu milik seorang pria lain yang melangkah memasuki ruangan. Diikuti tiga orang lain di belakangnya. Tawa puas yang keluar dari bibir sang pria segera menggema di tempat luas itu.

“Erlangga bangsat!!! Aku akan menghancurkanmu bajingan!!!”

Bibir pria bernama Erlangga itu melengkung puas. Menambah ketampanannya berkali-kali lipat. Dia berjongkok di dekat sang pria agar wajahnya terlihat dengan jelas.

“Aku  yang akan menghancurkanmu lebih dulu,” balas Erlangga santai. Sama sekali tidak menganggap penting ancaman yang diterimanya. “Tapi sebelum itu,” senyum yang menghias wajahnya menghilang, “katakan padaku di mana kau menyembunyikan barang itu.”

Pria tersebut membuang ludah kasar. Membalas dengan geramam. “Sampai mati pun, aku tidak sudi memberitahukannya padamu."

Erlangga berdiri. Melayangkan tatapan remeh ke arah pria itu. “Kalau begitu, aku tidak membutuhkanmu lagi. Habisi dia,” perintah Erlangga.

Laki-laki yang sejak tadi menahan bahu pria itu dengan sigap mengambil revolver yang tersimpan di balik jas hitamnya. Memuntahkan tiga peluru beruntun ke tubuh di bawah sana hingga tidak lagi bergerak.

Erlangga tersenyum miring. “Periksa tubuhnya, siapa tau ada petunjuk. Setelah itu bereskan seperti biasa."

Pria itu melangkahkan kaki ke pintu keluar. Hendak beranjak pergi meninggalkan tempat kotor itu.

“Ah iya!”

Seperti baru teringat akan sesuatu, Erlangga memutar tubuh. Kembali menghadap ke arah tangan kanan nomor satunya itu. “Aku harus kembali besok pagi. Jadi aku tidak dapat menemanimu lagi. Kau harus mencarinya sendiri.”

Laki-laki itu tidak mengatakan apa pun untuk menanggapi. Namun sebelum pergi dari sana, Erlangga memberi tahu alasannya tanpa ditanya. Lengkap dengan sepotong senyum miring yang terbentuk di wajah tampannya.

“Ada undangan penting yang harus kuhadiri.”

Laki-laki itu menatap tanpa minat pada kepergian Erlangga dan pengawalnya sebelum kembali memandang ke arah kekacauan yang dia sebabkan.

***


Dari gerbang masuk yang berjarak ratusan meter, siapa pun bisa merasakan kemeriahan yang berasal dari bangunan utama. Sebuah mansion tiga lantai yang berdiri dengan segala kemegahan. Cahayanya terlalu terang untuk diabaikan begitu saja. Seakan semua penerangan di tempat itu dinyalakan khusus untuk sebuah perayaan besar. Dan memang itulah yang sedang terjadi.

Ratusan pria berpakaian serba hitam dan bersenjata dikerahkan untuk menjaga setiap sudut. Setiap tempat. Dan setiap beberapa meter jalan masuk. Melakukan pengawasan tanpa lengah untuk mencegah segala jenis ancaman tidak terduga. Mengingat sang pemilik pesta bukanlah orang sembarangan, hal ini jelas bukan tindakan berlebihan.

Belasan mobil dengan harga fantastis masih terus bergantian menurunkan penumpang yang dibawanya. Sebagian diikuti pengawal pribadi. Terlihat bahwa mereka bukan orang biasa. Beberapa bahkan memancarkan aura berbahaya.

Beberapa kendaraan mewah lainnya masih berbaris rapi di depan pagar tinggi yang merupakan gerbang masuk utama. Menunggu giliran menjalani pemeriksaan ketat sebelum diizinkan memasuki kawasan pribadi sang tuan rumah. Yang mana bukan sebuah rahasia lagi bahwa bangunan bergaya klasik itu telah dijadikan sebagai markas utama milik salah satu kelompok mafia besar.

Jauh di salah satu ruangan dalam kemewahan itu, perhatian seorang wanita muda masih tersita penuh kepada benda tipis di tangannya. Sama sekali belum terpengaruh dengan kesibukan di lantai bawah. Dahinya terus mengerut. Menatap dan memainkan tablet dengan pikiran kusut.

“Ya Tuhan, Lintang!”

Lintang melirik sekilas, mengabaikan seruan terperanjat dari seorang pria yang baru membuka pintu kamar, lalu kembali berfokus pada layar di tangan. Yang masih menampilkan algoritma acak yang tidak dia mengerti.

“Apa yang kamu pikirkan?” Pria itu, Dirgantara, melirik sinis tubuh Lintang yang masih mengenakan blus serta jeans, sebelum menjatuhkan tatapan kesal pada gaun yang terhampar di sebelah wanita itu. “Mengapa belum mengenakan gaun? Ini adalah acaramu. Dan aku harus membawamu turun sebentar lagi. Ingat, Papa tidak menoleransi keterlambatan,” peringatnya.

Wanita itu melempar tatapan ke arah gaun biru yang teronggok tak berdaya di atas tempat tidurnya. “Gaun itu rusak.”

“Lalu?”

Lintang berdiri dan menyimpan tab-nya dengan aman di dalam brankas. “Apa kamu mengerti cara mendeskripsi sandi pengaman?”

Dirgantara menatap bingung. “Tidak. Bukan bidangku” jawabnya. “Lalu bagaimana dengan gaunmu?”

“Sedang diambilkan yang baru dari paviliun belakang,” jelas Lintang sambil mengenakan sepatu tumit tinggi berwarna perak miliknya. “Akan kususul.”

“Perlu kutemani?” tanya pria itu begitu Lintang melenggang melewatinya. “Kalau-kalau kamu tersasar atau ada yang belum mengenalmu.”

Lintang membalikkan tubuh. “Aku tidak bodoh. Tunggu saja di sini.”

Wanita itu hanya perlu melewati beberapa koridor serta menuruni tangga belakang untuk sampai di paviliun. Lintang tidak sebodoh itu untuk melupakan lika-liku rumah yang dia tinggalkan empat belas tahun lalu. Apalagi tidak banyak yang berubah dari tempat ini.

Namun gerakan kaki jenjangnya perlahan melambat ketika berbelok di koridor terakhir sebelum menuruni tangga. Mata wanita itu memicing tajam melihat keadaan di depan sana. Penata busana yang tadi meminta izin untuk mengambil gaun, ternyata berada di sini. Terkurung dalam kungkungan seorang pria berpakaian rapi. Menahan isakan sambil terus berusaha memalingkan wajah. Menghindari bibir sang lelaki yang berusaha mencumbunya.

Lintang melangkah mendekat tanpa suara. Kembali mengamati keadaan perempuan itu. Tubuh kecilnya terdorong ke dinding, dengan penutup tubuh bagian atas yang sudah tidak berbentuk lagi akibat gerilyaan tangan nakal sang pria.

“Dia tidak menikmatinya.”

Suara datar wanita itu menghentikan semua aktivitas yang terjadi di depannya. Pria itu memalingkan wajah. Yang langsung bertabrakan dengan tatapan sedingin es milik Lintang. Dia tertawa meremehkan dan melepas perempuan dalam kungkungan.

“Pergilah,” ujar Lintang. Tanpa perlu diperintah dua kali, perempuan itu langsung berlari menjauh. “Lain kali pikirkan tentang kamera pengawas sebelum kau memaksa seorang gadis,” sinisnya sebelum kembali melenggang.

Pria itu menahan pergelangan tangan Lintang. Mendekatkan bibir ke telinga sang wanita dan membisikkan sebuah intimidasi. “Kau tidak tahu siapa aku, perempuan sialan,” desisnya menghina. “Aku bisa melakukan apa pun yang kumau di tempat ini. Termasuk menyentuh dan menikmati tubuh indahmu,” ujar sang pria sambil mengelus lengan wanita itu tanpa izin.

Lintang menahan diri. “Oh ya?” tantangnya.

Sang pria menggeram pelan mendengar nada menantang milik Lintang. “Jangan bermain denganku," ancamnya sambil mencengkeram kedua lengan wanita itu. "Aku adalah salah satu orang Ranggaspatih. Tangan kanan kepercayaan tuan rumah ini. Sebagian besar penjaga termasuk yang mengawasi CCTV adalah bawahanku. Aku dapat memberikan mereka perintah apa pun di tempat ini,” jelas sang pria, berniat semakin mengintimidasi perempuan di depannya.

Lintang masih menatap datar sebelum detik selanjutnya, dia menarik kedua sudut bibir. Memamerkan senyum semanis madu.

“Kalau begitu,” ucapnya sembari melepas cengkeraman dan mengangkat sebelah tangan untuk mengelus lembut pipi pria itu, “temui aku kembali selesai acara. Kau harus menikmati pestanya. Jangan khawatir, aku tidak akan kabur."

Setelah mengatakan kalimatnya, Lintang langsung melangkah pergi. Tidak ada penahanan. Senyumnya segera meluntur, berganti dengan ekspresi datar andalan wanita itu. Meninggalkan sang pria dengan raut penuh kemenangan yang tidak akan bertahan lama.

Lintang tidak lagi memikirkan pria itu lebih lanjut ketika dia mempersiapkan diri dengan cepat. Mengenakan gaun malam lain yang sudah disediakan sebagai cadangan. Lalu segera kembali pada Dirgantara yang ternyata sudah hampir akan menyusulnya.

“Kamu butuh pelajaran khusus untuk menghargai waktu,” sindir Dirgantara ketika tangan kanan sang adik melingkar di lengannya.

Lintang hanya diam tidak membalas. Hanya terus berjalan cepat dengan langkah teratur menuju tangga utama. Mengabaikan gerutuan Dirgantara dan lebih memilih menanyakan hal lain.

“Sudah mulai?”

Pria itu mendengkus. “Kamu beruntung. Papa memilih kata-kata pembuka yang panjang sebelum memanggilmu.”

Lintang melirik singkat sebelum tanpa basa-basi mengatakan keinginannya. “Aku ingin kamu membereskan seseorang.”

“Siapa?” tanya Dirgantara penasaran.

Namun sebelum Lintang sempat menjelaskan lebih lanjut, suara lantang sang Papa yang berasal dari tengah tangga di bawah sana telah lebih dulu merebut perhatian keduanya.

“... putri bungsuku, Lintang Ranggaspatih.”

Lintang mengedarkan pandangan. Memindai cepat kepada puluhan pasang mata di lantai bawah. Yang kini menatapnya dengan berbagai jenis pandangan. Sebelum melabuhkan fokus sepenuhnya kepada sang Papa yang melempar senyum mengundang.

Namun, Lintang tahu ada banyak makna tersirat dalam raut wajah pria tua itu.

***

20 Desember 2020,

dilatasi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top