3. Toko Buku Aksara

Sudah hampir hampir satu minggu Ladin pindah ke sekolah ini. Sekolah Chandra Pertiwi, sekolah swasta yang katanya paling favorit. Namun, baginya terasa sama dengan sekolahnya yang dahulu, tidak ada yang istimewa. Pekerjaan rumah yang menggunung, berisiknya para siswa setiap kali ada pelajaran kosong, dan juga disiplinnya beberapa guru saat mengajarkan mata pelajaran.

Namun, ada satu hal yang paling membuat Ladin sebal adalah siswi yang sekarang sedang tersenyum di depan kelas kepadanya. Sementara tas selempang milik Ladin ada di tangan kirinya. Meta.

Sedari dulu, Ladin memang tidak memiliki banyak teman, hanya dua tau tiga orang, itupun saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Setelah itu, hanya sebatas kenal saja. Lantas Meta yang sejak hari pertama selalu menempel kepadanya jelas membuat dia risi.

"Udah selesai ke toiletnya? Enggak nyasar, kan? Pulang bareng, yuk!" ajak Meta teman sebangkunya itu sambil mengangsurkan tas Ladin kepada pemiliknya.

"Terima kasih," ucap Ladin sambil mengambil tas di tangan Meta kemudian membawa kakinya melewati koridor sekolah.

"Lo pulang naik apa?" tanya Meta dengan ramah sambil menyejajari langkahnya bersama Ladin.

Suasana koridor sekolah masih ramai, maklum baru lima menit yang lalu bel pulang berbunyi. Sementara lapangan basket di sisi kiri mereka tampak berisik akibat beberapa siswa yang bermain basket usai pelajaran terakhir.

"Dijemput Bokap," jawab Ladin begitu keduanya sudah keluar dari gedung sekolah.

"Terus Bokap lo udah datang?" tanya Meta lagi.

"Kayaknya belum," sahut Ladin ketika pandangannya tidak menemukan mobil sang ayah di depan gerbang sekolah. "Mungkin baru sampai sini jam tiga."

"Gimana kalau sambil nunggu Bokap lo, kita ke toko buku di sana aja?" ajak Meta. Bola matanya terlihat berbinar seakan-akan tengah memohon kepada Ladin. "Di sini panas banget. Banyak asap lagi."

"Enggak deh kayaknya. Gue takut Bokap gue datang."

Bibir Meta mencebik. "Sekarang kan baru jam dua kurang. Lagian Bokap lo suruh jemput di sana aja. Ayo! Tempatnya enggak sampai 10 meter kok dari sekolah. Tuh di sana, dari sini juga kelihatan kan bangunannya."

Tatapan Ladin berpindah mengikuti jari telunjuk Meta. Benar saja, tak jauh dari gerbang sekolah, Ladin dapat melihat sebuah bangunan dengan aksen antik berwarna merah bata dengan plang besar bertuliskan "Toko Buku Aksara" di atas pintu lebarnya.

Dua buah rak majalah dan tabloid berbaris rapi di teras depan bangunan toko buku itu. Sementara dari balik jendela besarnya, Ladin dapat mengintip rak besar penuh buku di dalam ruangan bangunan itu.

"Oke," jawab Ladin.

"Nah, gitu dong. Oh iya, lo suka baca buku? Suka baca buku apa? Kalau gue suka novel. Apalagi romance, seru aja. Apalagi kalau tokoh utama cowoknya digambarin ganteng, gue jadi ngayal seandainya..."

Itulah mengapa Ladin tidak menyukai teman sebangkunya ini. Bawel. Bahkan di saat Ladin tidak menjawab atau merespons perkataan Meta, perempuan berambut ikal sebahu itu akan terus menyerocos tanpa kenal lelah.

***

Tatapan Ladin bergerak mengawasi tiap sudut toko buku begitu dia dan Meta tiba di sana. Ternyata di bagian dalam toko buku itu justru lebih terlihat tua ketimbang dilihat dari luar. Bahkan saking tuanya, lima buah rak setinggi dagunya yang berada di tengah ruangan sudah banyak yang keropos dan berdebu.

Ladin tebak, pemiliknya pasti seorang pria berumur dengan rambut memutih sempurna dan kacamata tebal bertengger di hidungnya.

"Lo lagi. Kan udah gue bilang novelnya masih di gudang yang di Yogyakarta baru ada minggu depan, lagian kenapa enggak beli online aja sih?"

Lamunan Ladin menghilang ketika suara seorang pria muda muncul dari balik ruangan di sudut kanan toko buku. Rambut yang gondrong, tindikan di telinga kiri, dan kaus kebesarannya terlihat berantakan seperti baru terbangun dari mimpi. Bahkan, sandal jepit yang menempel di kakinya semakin menguatkan kesan buruk di benak Ladin.

"Gue udah cari, Bang. Dari mulai di Kiospedia sampai yang jual barang bekas di Karepsell. Tapi tetap aja enggak ketemu, mungkin karena novel lama. Lagian kalau di abang kan gue bisa nyicil," jawab Meta kemudian menghadapkan tubuhnya ke meja kasir yang sudah ditempati oleh pria gondrong tadi. "Gue masih boleh nyicil kan, Bang. Please... Anak SMA kayak gue kan enggak punya duit banyak."

"Iya dah iya, tapi jangan kelamaan juga kali tenornya. Tekor dong gue," gerutu Pria gondrong itu sambil merapikan rambut gondrongnya yang justru semakin berantakan. "Terus ini siapa? Teman lo? Tumben lo ke sini berdua."

"Bang Dewo ngeselin banget sih. Enggak punya teman lo ledekin, sekarang gue ke sini bareng teman gue salah juga. Rempong deh," gerutu Meta sembari menarik tangan Ladin mendekat. "Ini teman sebangku gue, namanya Ladin. Ladin ini pemilik toko buku Aksara, namanya Bang Dewo."

"Ladin," kata Ladin sopan. Meskipun dalam kepalanya dia sedikit terkejut sebab pemilik toko buku ini berbeda jauh dengan bayangannya.

"Dewo. Mau cari buku apa? Buat pelanggan pertama, gue kasih lo diskon dua puluh persen deh," kata Dewo penuh semangat.

"Kok Ladin dikasih diskon, tapi gue enggak," protes Meta kepada Dewo.

"Kan elo mah udah jadi pelanggan tetap, lagian gue juga udah kasih lo program cicilan. Mana ada coba jaman sekarang toko buku boleh nyicil," sahut Dewo tidak mau kalah. Meta masih memberengut, bahkan rentetan kalimat bernada protes masih dia lancarkan.

"Ta, gue keliling bentar ya," pamit Ladin merasa risi mendengar dua orang berbeda generasi itu beradu mulut. Meta mengangguk cepat lalu lanjut menyampaikan opininya dengan berapi-api kepada Dewo.

Ladin baru dapat bernapas lega ketika dia sedikit menyingkir dari Meta. Cerewetnya perempuan itu benar-benar menulikan telinga Ladin.

Langkah kaki Ladin kemudian membawanya kepada rak-rak tua di tengah ruangan. Buku-buku di sana pun ternyata tidak kalah tua, walaupun masih terjaga aman dengan plastik pembungkusnya.

Sampai tidak berapa lama, tatapan Ladin terpaku pada rak berikuran lebih kecil di depan pintu ruangan Dewo. Rak yang dipenuhi kaset-kaset lama dan piringan hitam. Sebuah tape dan headset besar tertata apik di sebelah kanan rak. Mengingatkan Ladin akan toko musik zaman dahulu. Penuh rasa penasaran, Ladin mengambil headset itu dan meletakannya ke telinganya.

"Kalau yang itu enggak dijual ya. Koleksi pribadi. Tapi kalau lo mau dengerin, dengerin aja," teriak Dewo dari arah meja kasir.

Ladin sekilas menoleh kepada Dewo kemudian mengangguk pelan. Penuh antusias, dia membiarkan jari-jarinya menyapu kaset-kaset tua di dalam rak dan mencari sebuah kaset yang ingin dia dengar. Pilihannya pun jatuh kepada album UB40 berwarna kuning-jingga.

Ladin lalu mengambil kaset itu dan memasukannya ke dalam tape. Namun, tidak ada suara yang keluar dari headset ketika dia tekan tombol play. Mimiknya langsung kebingungan. Sambil menahan sebal, dia coba kembali mengeluarkan dan memasukan kaset itu beberapa kali, tetapi selalu nihil.

"Caranya bukan gitu. Kalau gitu lo malah bikin rusak alat orang."

Spontan, Ladin mundur selangkah. Matanya membola dan mulutnya membisu saat ada lelaki yang keluar dari dalam ruangan Dewo dan mencolokan kabel tape itu ke stop kontak. Lelaki yang berebut siomay dengannya di hari pertama sekolah.

"Nah, sekarang tombol tapenya ditekan dulu. Kalau tombol ini masih diposisi radio, sampai patung pancoran pindah posisi juga kaset ini enggak akan bisa lo putar," gerutu Kemal kepada Ladin. Tatapannya langsung terpaku menemukan Ladin berdiri di sampingnya. "Lah, lo lagi."

"Emang Kenapa?" sahut Ladin cuek kala Kemal baru menyadari bila perempuan yang berdiri di depannya adalah Ladin.

"Enggak," jawab Kemal dengan wajah malas sambil berjalan ke arah rak buku di sebelah pemutar musik. "Udah tuh. Tinggal di play aja."

"Thanks," ucap Ladin yang Kemal kira masih menyimpan dendam akibat siomay kemarin.

Kemal lalu berdiri di depan rak buku sambil membenahi isinya, meskipun diam-diam dia mencuri pandang kepada Ladin. Sebab wajah serius Ladin ketika tengah mendengarkan lagu menarik minat Kemal. Perempuan itu terlihat sangat menikmati alunan musik dari kaset.

Fokus Kemal sampai terarah kepada Ladin dengan sempurna ketika dendangan lagu Can't Help Falling In Love dari mulut perempuan itu terdengar samar-samar. Kata per kata dengan jelas sampai ke telinga Kemal. Perempuan ganas berambut bondol itu seakan lahir di tahun 70-an.

"Lo masih keki gara-gara masalah siomay?" tanya Ladin tiba-tiba membuka matanya lalu melirik Kemal.

Kemal buru-buru menghadapkan tubuhnya ke arah rak. "Enggak."

"Terus ngapain dari tadi lihatin gue melulu."

"Dih, Geer. Siapa yang lihatin lo," cibir Kemal sembari memindahkan beberapa buku ke barisan paling bawah rak. "Gue lagi bantu Bang Dewo rapihin buku."

Ladin berdecak. "Sori."

"Apanya?"

"Iya, kalau kejadian kemarin buat lo kesal. Gue minta maaf," terang Ladin tanpa basa-basi.

Kemal mengangguk sangsi, sementara Ladin kembali menyalakan pemutar musik di depannya dan mendengarkan lagu yang ada di sana.

"Lo suka lagu-lagu lama?" tanya Kemal coba menghilangkan canggung.

Ladin kembali mematikan musik di pemutar musik dan menoleh kepada Kemal. Headset di telinganya pun dia letakan kembali ke tempatnya. "Iya. Bokap gue juga salah satu kolektor lagu lama. Lagian lagu-lagu 70-80 an menurut gue lebih keren ketimbang lagu zaman sekarang."

"Old but gold."

Ladin mengangguk. "Kadang isi liriknya lebih punya makna ketimbang lagu-lagu sekarang. Nadanya juga enggak pasaran."

"Setuju," sahut Kemal. "Oh iya, gue Kemal. Gue perhatiin kayaknya lo anak baru, karena sebelumnya gue enggak pernah lihat elo di sekolah."

Perlahan, Ladin memandangi tangan dan wajah Kemal bergantian. Seakan-akan sungkan menjawab pertanyaan Kemal.

"Oke kalau enggak mau kenalan. It's okay," kata Kemal memasukan tangannya masuk ke dalam saku celana. Dia kemudian pamit, hendak menghampiri Dewo.

"Ladinda."

Kemal yang baru akan meninggalkan Ladin, berhenti di tempat.

"Nama gue," kanjut Ladin.

"Unik," komentar Kemal tersenyum tipis. Kemudian dia tersentak ketika sadar akan satu hal. "Oh iya, Kalau lo penasaran sama lagu Elvis yang lain, lo coba cari di pojok kiri. Di sana ada lebih banyak lagi. Buku biografinya juga Bang Dewo punya. Ada di rak sebelah jendela. Lo cek aja. Atau mau coba cari buku yang lain? Di rak depan buku pelajaran, rak kedua buku tentang seni, ketiga ekonomi, keempat dan kelima novel sama komik. Silakan dicek."

Penjelasan panjang-lebar Kemal membuat otak Ladin sedikit lemot. Dia bahkan termangu memandangi Kemal tanpa kata. Jelas saja, Kemal terbahak puas.

"Muka lo enggak cocok buat bengong," celoteh Kemal. "Gue emang sering nongkrong di sini. Bisa dibilang gue udah kayak asistennya Bang Dewo. Jadi, kalau lo nyasar di sini atau mau tanya-tanya soal koleksi buku di sini boleh tanya ke gue. Gue duluan ya. Bye Dinda."

Ladin terkesiap ketika sebuah nama keluar dari bibir Kemal. Sayangnya, Kemal terlanjur pergi dan berdiri di sisi Dewo. Dari jauh, Ladin dapat melihat keakraban Dewo dan Kemal.

Ladin kemudian merenung. Dinda. Ladin benci dengan nama itu.

***

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top