2. Perempuan Bertudung Hitam
Di salah satu sudut sekolah, seorang lelaki termangu sambil memandangi lapangan basket sekolah yang sepi di depannya. Sinar matahari cukup terik siang ini, membuat lapangan basket yang biasanya ramai dengan siswa yang bermain basket itu kosong melompong.
Namun, seolah tidak takut kepanasan, lelaki berkulit sawo matang itu justru betah duduk di pinggiran lapangan. Wajah suntuknya makin mendung kala membaca balasan pesannya dari sang ibu. Pesan dua hari lalu yang baru dibalas siang ini.
Kemal :
Bun, aku bakal ikut seleksi kejurnas dua bulan lagi.
Bunda sama Baba bisa datang kan?
Bunda :
Bunda enggak janji ya Kemal
Bulan depan Bunda harus temenin Baba kamu buat tanda tangan MoU sama perusahaan di Makassar.
Tapi Bunda sama Baba pasti doain kamu.
Kemal menarik napasnya dalam-dalam. Pandangannya berpindah ke seragam hitam pencak silat di atas bangku beton di sampingnya. Sudah hampir delapan tahun dia jatuh cinta dengan pencak silat. Kakeknya lah yang mengenalkan dia dengan dunia pencak silat. Dunia yang sekarang membuat Kemal tahu tujuan hidupnya.
Sementara orang tuanya, semenjak Kemal kecil mereka justru sibuk selalu sibuk ke sana dan ke mari mengurus bisnis mereka. Belakangan, Kemal bahkan lupa rasanya memiliki orang tua.
Suara panggilan telepon dari Norman, teman satu tongkrongannya menyadarkan Kemal. Segera, dia angkat panggilan itu.
"Kenapa?" tanya lelaki beralis lebat itu. "Iya gue udah di luar kelas kok. Oke gue ke sana."
Kemal menutup telepon miliknya dan menarik napas dalam-dalam, enggan menikmati emosinya berlarut-larut. Apalagi Norman dan yang lain pasti sudah menunggunya di kantin sekolah untuk makan siang.
Setiba di kantin, bola mata Kemal langsung mengamati satu per satu meja di sana untuk mencari gerombolan teman-temannya. Suara riuh rendah yang memanggil namanya dari salah satu meja menyedot perhatian Kemal. Segera, Kemal memberitahukan mereka bila dia ingin memesan siomay terlebih dahulu.
Kantin berukuran luas dan memanjang itu memang terdiri dari beberapa stand makanan. Dari mulai ketoprak yang level pedasnya bisa request sesuka hati, mie ayam, bakso urat, warung makanan ringan sampai siomay ada di sini.
Namun, dari semua makanan, siomay lah yang menjadi favorit Kemal. Sebab bagi Kemal hanya siomay Mpok Nia yang ikan tenggirinya tidak kaleng-kaleng dan Mpok Nia yang tingkat keramahan dan konyolnya bak pemain srimulat.
"Mpok Nia!" teriak Kemal sambil melongokan kepalanya, sengaja membuat wanita berumur itu kaget karena ulahnya.
"Ayam-ayam-ayam," seru Mpok Nia latah.
Kemal terkekeh.
"Lu ngagetin orang aja. Mau pesan apa?"
"Ceilah, Mpok. Gitu aja ngambek. Cepet tua loh entar," goda Kemal.
Mpok Nia mencibir. "Gombalan lu kagak mempan sama gue. Udah anyep. Pesan apa? Yang kayak biasa?"
Kemal mengangguk. Logat Betawi Mpok Nia yang kental membuat Kemal teringat lingkungan di rumah kakeknya. "Satu porsi aja. Banyakin kol dan siomaynya tiga. Sama minta sambal pedasnya dua sendok ya Mpok."
"Tumben pesan satu porsi? Biasanya dua," goda Mpok Nia melirik Kemal iseng. "Yang kemarin ke mana?"
"Ditikung orang Mpok," jawab Kemal asal.
"Kelamaan sih. Kudunya ya kalau emang udah klop itu kudu sat set sat set, jangan diem aja. Kalem-kalem aja mah cewek juga kabur kali," ledek Mpok Nia yang gayanya bak emak-emak arisan.
Kemal berdecak. "Ya elah Mpok, gue kan ke sini buat beli siomay kenapa jadi dikomentarin sih. Tenang aja Mpok, udah ada yang baru kok sekarang. Tinggal tunggu jadinya aja."
"Orang ganteng mah bebas ya," cibir Mpok Nia mengambil piring. "Oh iya, gue lupa. Tadi lu pesen apa? Yang biasa ya? Siomay sama kol aja, kan?"
"Iya. Gue mau ke toilet dulu sebentar. Makasi Mpok," kata Kemal pamit dari sana.
"Iya-iya sana dah, nanti juga kelar kalau lu udah balik ke sini," jawab Mpok Nia mulai meracik pesanan Kemal.
Selang sepuluh menit, Kemal yang baru selesai dengan urusannya dari toilet kembali ke warung Mpok Nia. Seorang perempuan bertudung jaket hitam sudah berdiri di sana. Kemal pun tidak ambil pusing dan berdiri di sisi perempuan itu.
Akan tetapi, suasana tenang itu mendadak luntur ketika sepiring siomay mendarat di depan mereka. Pasalnya kedua tangan mereka tanpa sengaja berada di satu piring yang sama.
"Sorry, ini kayaknya pesenan gue deh," kata Kemal melihat ada kol yang beranak pinak di piring siomaynya.
"Gue yang datang pertama kali," sahut perempuan itu.
Kemal menarik napas panjang. "Denger ya. Waktu dateng dan pesan ke sini, gue ingat enggak ada siapa-siapa selain gue. Jadi, gue kali yang duluan pesen di sini."
"Oh ya?" jawab perempuan dengan jaket hitam itu tidak mau kalah. Bola mata coklat nya melirik tajam Kemal.
Kemal termangu. Selain ibunya, baru kali ini dia melihat sosok perempuan galak dengan tatapan galak di hadapannya. Namun, melihat ekspresi perempuan yang terlihat cuek ini kepadanya, Kemal yakin ini kali pertama dia bertemu perempuan ini. Sebab satu sekolah pasti tahu siapa Kemal. Si atlet pencak silat sekolah dan mantan calon ketua OSIS.
"Lah... kok malah pada berantem di sini sih. Itu punya si Kemal, nah ini pesenan lu. Lu pesen komplit kan? Kalau itu mah siomay sama kol doang," terang Mpok Nia menengahi mereka.
Dua orang siswa yang masih saling pandang jengkel itu, langsung melirik ke arah Mpok Nia yang sudah berkacak pinggang dari balik meja.
"See," decak Kemal sembari merampas piring siomay dari tangan si perempuan bertudung jaket hitam dan meninggalkannya dengan mimik pongah.
"Kenapa lo?" tanya Norman salah satu teman satu geng Kemal begitu Kemal sudah tiba di meja tempat temannya nongkrong.
"Itu siapa sih? Gue kayaknya baru lihat," gerutu Kemal melirik perempuan berhoodie hitam tadi.
Norman dan tiga orang temannya yang lain menoleh ke arah pandang Kemal sambil mencomot siomay dari piring Kemal. "Dia anak baru di kelas gue. Anaknya enggak asyik dan enggak bisa diajak bercanda. Kalau jawab juga singkat banget. Kaku banget lah pokoknya."
"Jelasinnya enggak pakai nyomot bisa kali," gerutu Kemal membawa piringnya jauh-jauh dari jangkauan Norman.
"Oh iya lo udah tahu belum?" tanya Norman dengan mulut penuh sambil melirik sesosok siswa yang baru masuk ke dalam kantin. "Rival lo habis kena hukum Bu Atika."
"Rival gue? Siapa?" tanya Kemal dengan wajah bingung.
"Itu loh, Mal. Cowok sok eksis yang ngalahin lo di pemilihan ketua OSIS kemarin," sahut Jessica dengan suara lantang, seakan-akan sengaja ingin didengar oleh orang yang baru saja masuk ke dalam kantin itu.
Naka.
Kemal mengernyit. "Naka?"
"Yes!" jawab Norman melirik Naka yang juga menatapnya tajam dan berlalu menuju salah satu bangku di ujung kantin yang juga berisi beberapa siswa lainnya.
"Masih aja mikirin pemilihan kemarin. Udah aja lah, toh kemarin juga kalian kan yang maksa gue ikutan. Gue malah bersyukur enggak menang, kalau enggak udah keteteran gue ngurus seleksi juga," gerutu Kemal yang tatapannya tampak masih penasaran kepada perempuan bertudung hitam yang kini tengah menyantap makanannya seorang diri. Sampai seorang siswi yang Kemal ingat sebagai teman sekelas Norman ikut duduk di sana menemani.
"Tetep aja, Mal. Gue tuh paling enggak suka lihat gayanya yang sok anak kesayangan guru. Apalagi pendukungnya yang suka jelek-jelekin tim kita dan elo. Padahal kelakuan junjungannya enggak beda jauh kan kayak kita. Enggak ngerjain tugas juga," lanjut Jessica melirik sinis gerombolan Naka dan menenggak habis es jeruknya. "Sok pinter."
Namun, Kemal tetap bergeming. Ghibahan dan julitan dari gerombolannya tentang si Ketua OSIS empat bulan itu tidak dia gubris. Sebab dia masih penasaran dengan perempuan tanpa ekspresi yang duduk di salah satu sudut kantin itu.
"Terus Mal, seleksi kejurnas kapan?" tanya Jessica membuyarkan lamunan Kemal.
"Masih dua bulan lagi," jawab Kemal cepat. "Kenapa?"
"Gue lihat lo tanding, boleh kan?" tanya Jessica dengan mimik dibuat semanis mungkin sambil memainkan rambut ikalnya yang panjang.
Norman dan Edo terkekeh menggoda Kemal. "Ciyeee ada yang mau support calon pacar nih."
"Ih, kalian apaan sih. Emang enggak boleh gue support Kemal?" cebik Jessica malu-malu. Sementara Kemal hanya menatap satu per satu temannya itu tidak kalah salah tingkah sambil berpura-pura menghabiskan sisa siomaynya.
"Tahu nih. Lagian emang lo pada enggak mau dukung gue apa pas hari H? Gue sendirian loh," cebik Kemal.
"Erica?" goda Edo sambil terkekeh geli.
"Jangan pernah sebut nama cewek itu lagi di depan gue," tekan Jessica yang matanya serasa akan mengeluarkan laser.
"Waduh ada yang jealous nih. Elo sih, Do, cari perkara," kekeh Norman menoyor punggung Edo yang terbahak puas.
"Bercanda kali, Jes," kata Edo. "Posesif banget."
"Enggak ada kata bercanda buat cewek yang lebih percaya orang lain ketimbang temennya sendiri. Katanya temen deket, malah lebih percaya omongan orang," ketus Jessica bersidekap dengan mimik jengkel. "Pokoknya kalau sampai ada yang buat Kemal sakit hati, gue enggak bakal maafin kalian."
"Hei... kok malah jadi serius gini sih. Udahlah Jes, omongan Edo jangan lo dengerin," ujar Kemal menengahi ketika suasana menjadi canggung.
"Terus keluarga lo gimana? Enggak datang?" tanya Edo yang langsung disikut oleh Norman.
Kemal menggeleng dengan cuek.
"Alasan aja lo tanya keluarga, bilang aja lo mau nanya Adek lo enggak datang, Mal? Gue kangen nih sama dia," potong Norman tergelak. Edo buru-buru menutup mulut Norman dengan panik.
"Sampai lebaran kuda juga gue enggak bakal setuju, kalau lo deketin adik gue," decak Kemal menghabiskan sisa siomay di piringnya.
"Namanya juga usaha, Mal," gumam Edo sambil menggaruk pipinya.
"Soal seleksi Kejurnas, tenang aja. Gue pasti temenin lo kok, Mal," kata Jessica tersenyum manis kepada Kemal.
Kemal yang melihat itu ikut tersenyum lega membalas Jessica. "Thanks."
***
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top