1. Namanya Ladin, Bukan Dinda


Matahari seakan-akan menjadi puluhan kali lebih terik pagi itu. Naka dan belasan siswa yang berbaris di depan tiang bendera sudah kebanjiran peluh. Namun, tidak berani berkata apa-apa sebab Bu Atika guru Fisika yang terkenal killer seantero SMA Chandra Pertiwi, masih bersidekap di lorong sekolah tepat di hadapan mereka. Kaca mata tebal yang nangkring di hidung Bu Atika juga ikut naik-turun seirama dengkusan napas kesalnya kepada para siswa itu.

Jelas saja Bu Atika jengkel. Pasalnya pekerjaan rumah yang seharusnya dikerjakan tepat waktu, malah terlupakan dengan alasan-alasan konyol dari siswa-siswanya itu.

"Dan ini lagi ketua OSIS. Pantesan aja, murid-murid yang lain pada ikutan enggak bikin PR. Ketua OSIS nya aja nyontohin yang enggak bener," bentak Bu Atika memecah senyap. Kasak-kusuk anak-anak yang lain pun terdengar.

Naka si Ketua-OSIS-empat-bulan itu membungkam mulutnya rapat-rapat. Peluh menetes dari satu sisi kacamatanya dan mengalir turun melewati lesung pipitnya, sementara rambut pendek Naka sudah lepek oleh keringat. Malu sekaligus sesal memenuhi tempurung kepalanya.

Terlalu banyak kegiatan OSIS di luar sekolah membuat dia lupa akan tugas Fisika hari ini. Bahkan kemarin dia baru sampai di rumah hampir pukul tujuh malam usai rapat bersama anggota OSIS yang lain untuk acara pentas seni sekaligus merayakan kelulusan kakak kelas mereka enam bulan lagi.

"Harusnya sebagai ketua OSIS kamu contohin yang baik ke teman-teman kamu. Malah enggak ngerjain PR. Kamu bagaimana sih?"

"Maaf, Bu," ucap Naka tanpa berani menatap Bu Atika.

"Haduh, ibu pusing. Masa dari empat puluhan anak bisa hampir setengahnya gini enggak ngerjain PR? Kalian mau jadi apa kalau enggak bisa disiplin?"

Dan ceramah Bu Atika pagi itu pun dimulai. Sebagai seorang guru senior, Bu Atika sebenarnya cukup sabar bila sedang mengajar. Namun, bila sudah melanggar peraturan, jangan harap bakal mendapat keringanan. Tegas, lugas, dan ringkas mungkin itu moto hidup Bu Atika.

"Permisi Bu Atika." Suara berat seorang pria menghentikan ceramah panjang Bu Atika pagi itu. Lirikan tajam Bu Atika langsung tertuju kepada pria berperut bulat di sampingnya.

"Pak Kepala Sekolah. Ada apa, Pak?" tanya Bu Atika seperti kurang suka karena waktu ceramahnya diganggu.

"Saya membawa murid baru yang saya ceritakan kemarin. Ini namanya Ladinda. Dia akan masuk ke kelas XIA2 mulai hari ini."

Bola mata Naka yang semula mengamati sepatu hitamnya, berpindah ke depan. Seorang perempuan berdiri di depan Bu Atika. Postur tubuh Naka yang tinggi membuat dia dengan mudah mengamati perempuan itu. Perempuan berambut pendek dengan jaket bertudung hitam menutupi tubuhnya. Ekspresianya yang datar saat memandangi Bu Atika diam-diam mencuri perhatian Naka.

"Oke, udah cukup sepuluh menit saja kalian saya hukum di lapangan. Sekarang kalian masuk ke kelas dan sebagai hukuman lanjutan, saya mau kalian buat tulisan tentang hukum gravitasi universal Newton dalam sebuah studi kasus di dunia nyata sebanyak tiga halaman HVS ditulis tangan. Saya mau kalian taruh di meja saya paling lambat 10 menit setelah jam pulang sekolah."

Desahan dan gerutuan sebal samar-samar terdengar di telinga Naka. Namun, tidak sekalipun membuat konsentrasinya teralihkan dari Ladinda. Sampai bola matanya kemudian tanpa sengaja saling tatap dengan bola mata berwarna cokelat pekat milik perempuan itu.

Panik, Naka membuang tatapannya ke arah ruang kelas. Meskipun sesekali Naka masih mencuri pandang ke arah Ladinda. Perempuan yang dari lirikannya saja sudah membuat Naka merasa bila dunianya yang baik-baik saja akan beriak cukup keras kali ini.

***

Siangnya, Naka berjalan mondar-mandir di perpustakaan untuk mencari buku referensi untuk tugas dari Bu Atika. Kepalanya masih dipenuhi sesal akibat kelalaiannya melupakan PR Fisika hari ini. Anak-anak sekelasnya pasti tengah menggunjingkan dia sekarang.

Si Ketua OSIS empat bulan yang sok idealis dan ambisius terhadap pelajaran, malah lupa mengerjakan PR sekolah. Naka mendesah lelah, namanya pasti jelek sekarang. Apalagi di depan kubu mantan rivalnya saat pemilihan OSIS kemarin.

Naka membawa langkahnya ke ujung lorong ketika buku yang dia cari tidak juga ditemukan. Sampai pandangannya tertumbuk kepada sosok di sudut perpustakaan yang sedang membuka-buka halaman buku seorang diri. Dari gerak-geriknya yang tanpa minat, perempuan bertudung jaket hitam itu sepertinya tidak sedang berniat mencari informasi dari ratusan buku di perpustakaan sekolah. Apalagi beberapa kali Naka melihat perempuan itu menguap lebar.

Dia Ladinda. Ralat Ladin. Begitu perkataan yang diucapkan Ladin di depan kelas siang tadi. Dari balik rak Naka termenung sambil terus mengamati Ladin diam-diam. Perlahan kejadian di depan kelas tadi muncul di kepalanya, soal Ladinda dan nama Ladin si Perempuan bertudung hitam.





"Baik anak-anak, sebelum kita melanjutkan pelajaran hari ini. Ibu akan memperkenalkan murid baru yang akan menjadi teman kalian mulai hari ini."

Kasak-kusuk pun terdengar. Pasalnya, sangat jarang siswa baru masuk di semester akhir kelas sebelas. Sebab biasanya alih-alih pindah sekolah, para siswa pasti sudah mulai fokus mencari universitas di waktu-waktu seperti sekarang.

"Silakan Ladinda," kata Bu Atika. Sambil menggenggam erat tali ranselnya, perempuan bertudung hitam itu maju satu langkah. Bola matanya bergerak memandangi kikuk satu per satu siswa di kelas itu.

"Nama saya Ladinda. Panggil aja Ladin," terang perempuan itu jelas, tegas, dan singkat. Beberapa murid lelaki langsung berbisik, entah mengomentari apa. Bimo teman sebangku Naka bahkan sudah mencolak-colek lengan Naka.

"Lumayan tuh, bro," bisik Bimo sambil masih memandangi Ladin. Suasana senyap pun merangkak naik kala Ladin hanya terdiam di depan kelas dengan wajah tanpa ekspresi.

"Itu aja? Jelasin juga dong ke teman-temannya asal sekolah kamu mungkin. Alasan kamu pindah atau alamat rumah kamu?" lanjut Bu Atika coba mencairkan suasana.

"Asal saya SMA Harapan Bangsa, Malang. Alasan pindah karena ayah saya dipindah tugaskan di Jakarta," jawab Ladin kemudian kembali membungkam mulutnya.

Bu Atika terlihat kebingungan di belakang Ladin. Agaknya dia bingung harus memberikan pertanyaan apa lagi agar Ladin mau berbicara lebih banyak dan membuat perkenalan ini tidak terlalu canggung.

"Atau mungkin anak-anak ada yang ingin ditanyakan ke Ladin?" tanya Bu Atika kepada para murid yang langsung direspons meriah, apalagi oleh para siswa.

"Dinda, rumah kamu di mana? Tadi kayaknya belum dijelasin deh."

"Boleh minta nomor teleponnya Dinda?"

"Hobi kamu apa?"

Celotehan yang saling bersahut-sahutan itu perlahan membuat air muka Ladin berubah kontras. Naka yang masih mengamatinya seolah tahu bila Ladin agaknya tidak suka dengan pertanyaan-pertanyaan bernada menggoda dari para murid lelaki.

"Heh, kok nanyanya malah ngelantur ke mana-mana," hardik Bu Atika.

"Kan cuma penasaran, Bu. Lagian siapa tahu kita satu kelompok, biar diskusi tugasnya gampang. Ya, kan Dinda?" celetuk Norman si playboy kelas kampung yang terkenal di seantero SMA Chandra Pertiwi. Koor mengejek dari para siswa di kelas pun terdengar, apalagi kala Norman menyebut kata Dinda dengan nada dibuat-buat.

Sekilas, Naka dapat melihat tatapan Ladin berubah tajam. Tangan perempuan itu pun mengepal seperti menahan marah. Sementara kulit wajahnya yang pucat perlahan memerah.

"Nama saya Ladin. Dan saya enggak suka dipanggil Dinda."

Kekehan dan gumaman di dalam kelas langsung menghilang. Lirikan tajam Ladin ke semua orang yang ada di kelas sepertinya membuat aura yang semula hangat menjadi dingin. Geng anak perempuan pada barisan bangku paling kanan pun terlihat tidak suka kepada Ladin. Bu Atika sampai-sampai serba salah ketika berdiri di samping Ladin.

"Ladin. Ibu minta maaf ya kalau ucapan siswa yang lain buat kamu kesal. Kalau gitu kita langsung lanjutin pelajarannya aja. Kamu boleh duduk di kursi kosong sebelah Meta. Buat yang lain jangan usil ke teman kalian ya, hargai teman kalian. Apalagi Ladin masih baru di sini."

"Iya, Bu," jawab anak-anak di kelas bersamaan.

Masih tanpa kata, Ladin berjalan menuju kursi yang ditunjuk Bu Atika. Kursi kosong tepat di depan Naka.







"Ka! Udah ketemu?"

Naka terkesiap ketika suara Bimo mengagetkan dirinya yang sedang melamun di depan rak buku perpustakaan. Bahkan saking kagetnya dia sampai-sampai menubruk rak buku dan membuat beberapa bukunya jatuh berantakan.

Bak memiliki radar, Penjaga perpustakaan pada meja jaga di ujung lorong sudah memelotot ke arahnya, sementara tatapan-tatapan tidak suka dari siswa-siswa lain di perpustakaan mengarah kepadanya. Termasuk tatapan milik Ladin.

"Kalau mau buat rusuh jangan di sini! Berisik," tegur seorang siswa perempuan yang melongokan kepalanya dari balik rak.

"Sudah-sudah jangan ribut. Buat kalian yang di sana, rapikan lagi," hardik Pak Guntur penjaga perpustakaan.

"Maaf Pak. Iya, saya bereskan lagi," ucap Naka berjongkok dan memunguti buku-buku yang berjatuhan di lantai. Mimiknya tampak jengkel ketika Bimo malah cekikikan mengamatinya. "Lo ngapain cekikikan? Bantuin gue."

Cekikikan Bimo terhenti. Dia pun ikut berjongkok di sebelah Naka dan menata ulang buku-buku yang bertebaran di lantai ke dalam rak.

"Lo ngeliatin siapa sih serius banget," ledek Bimo menyenggol bahu Naka. Naka menggeleng.

"Ladin?" tanya Bimo dengan suara keras sembari mengintip sosok Ladin di samping mereka.

Buru-buru Naka menyumpal mulut Bimo dengan tangannya. Sebab dia takut Ladin mendengar ubrolan mereka.

"Tapi Ladin kalau dilihat-lihat manis juga sih. Coba kalau mukanya enggak terlalu sangar dan rambutnya panjangan dikit," gumam Bimo kepada Naka. "Natasha Wilona sih lewat."

"Inget Inge," hardik Naka menyebut kekasih Bimo.

Bimo terkekeh pelan. Namun, obrolan mereka terhenti ketika sepatu hitam milik seorang perempuan tampak di samping mereka. Keduanya buru-buru bangkit dengan wajah panik ketika Ladin sudah berdiri di samping mereka.

Ladin mendengkus dengan mimik wajah risi. Kemudian usai meletakan sebuah buku ke dalam rak di dekat mereka, dia berjalan meninggalkan dua bujang yang mematung sambil mengamati sosok Ladin dari belakang.

"Bibit-bibit singa galak sih ini," gumam Bimo bergidik ngeri.

"Makanya jangan suka ngomongin orang. Udah ah, gue mau lanjut ngerjain tugas Bu Atika, kalau lo di sini cuma mau ngerusuhin, mending cabut sana," gerutu Naka mengambil dua buah buku dari dalam rak dan berjalan ke salah satu meja di sebelah jendela, sementara Bimo berdecak dan keluar dari perpustakaan.

Naka yang mulai mengerjakan tugas Bu Atika mengedarkan pandangannya ke luar jendela. Dari kejauhan dia menemukan Ladin berjalan seorang diri di koridor sekolah dengan tudung jaket menutupi kepalanya. Naka termangu, diam-diam kemisteriusan perempuan itu membuatnya penasaran.

***

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top