57. Syarat

Bertepatan sekian hari setelah perlombaan EKSEMPELAR benar-benar rampung diselenggarakan, petaka sebuah berita akan munculnya agenda ujian akhir semester, sontak menghebohkan siswa-siswi SMA Bina Bangsa yang mempunyai sejarah tak mengenakkan atas hadirnya sistem peringkat yang mematikan.

Euforia yang sempat beberapa waktu mengerubungi presensi tiga remaja kebanggaan, yaitu Alfa, Karin, dan Luna selaku pemenang juara kedua, mendadak redam begitu saja lantaran semua sibuk memperjuangkan nasibnya masing-masing.

Jalannya tes, untungnya berlangsung sangat khidmat tanpa ada kabar mengenai praktik perilaku menyontek yang dilarang. Walau memang tingkat ketegangan di SMA tersebut bernilai tinggi soal mempertaruhkan kecerdasan, seluruh peserta didiknya senantiasa bersaing secara sehat mengimplementasikan sikap kejujuran berlandaskan asas sportivitas.

Terhitung seminggu, gempur berperang menuangkan serba-serbi pengetahuan yang diserap sepanjang setengah tahun berlalu, semua sukses direkap melalui monitor keramat Bina Bangsa yang menjelma mimpi buruk bagi mereka. Naik turun susunan posisi mengobrak-abrik suasana hati kaum pelajar tentang evaluasi hasil belajarnya yang memuaskan atau tidak.

Namun—tak berbeda dari kejadian sebelumnya, hal tersebut jelas tidak berpengaruh pada seorang remaja laki-laki yang setia mengamankan gelar bertahannya. Lagi-lagi, Alfa menduduki peringkat satu sedangkan Karin refleks membentuk raut cemberut masih setingkat ada di bawahnya. Menilik akumulasi poin yang ternyata hanya tipis bersaing di angka satuan, Karin gemas sendiri ingin segera masa ujian berikutnya datang menghampiri.

Mendengarnya, Namira dan Rania tentu dibuat tercengang lantas tercengir seadanya menanggapi pola pikir Karin yang tak sanggup mereka pahami. Panas di kepala mereka, jujur saja urung mereda sedikit pun habis disuruh kerja mati-matian mengusai ragam materi. Di luar itu, semburat kesal yang umumnya hinggap mengelilingi Karin kala mengetahui dirinya—secara berulang—dikalahkan oleh sosok congkak nan menyebalkan, sudah tak relevan ia yakini kembali malah sebaliknya, Karin semakin termotivasi niat menyaingi kepintaran laki-laki yang dikagumi.

Menyadari bahwa perempuan yang ia sukai menargetkannya selaku tonggak pencapaian, Alfa pun turut senang enggan sekadar melemparkan tatapan rendah sembari meninggalkan seperti biasa, tetapi justru berjalan mendekat demi mengelus puncak kepala Karin tanpa keraguan. Berdampingan lewat gestur lembutnya, Alfa menyemangati Karin untuk belajar lebih giat agar ke depannya objektif tersebut mampu terwujudkan.

Ketika transparansi nilai dikirimkan ke orang tua, Karin pula tidak lagi dikenai beragam protes menyakitkan lantaran mamahnya benar telah berhenti memaksakan ekspektasi yang dahulu acap digarap tak berhati-hati. Sebagai gantinya, kalimat afirmasi layaknya 'Karin pasti bisa', kini rajin diberikan untuk menumbuhkan mental yang senantiasa berprogres dan berkembang. Hujan dukungan positif mencerahkan ambisi dunia Karin serempak melepaskannya dari macam-macam tuntutan kecuali berdasarkan penetapan targetnya sendiri.

Libur semester dan meriahnya momen tahun baru kemudian sempurna menutup rangkaian kegiatan akademik beralih menuju serunya jadwal kebebasan yang menanti. Sepanjang itu, Karin rajin berkontak menghubungi Alfa, namun sayangnya, mereka hanya bisa berkomunikasi melalui media virtual saja karena laki-laki itu banyak menghabiskan waktu di luar negeri merekatkan hubungan bersama orang tuanya.

Sedikit kecewa, padahal ia berharap dapat pergi berduaan dengan Alfa, Karin mengesampingkan ego sejenak lantas turut berbahagia laki-laki itu sanggup menikmati apa yang dahulu tidak ia miliki tentang dekatnya sebuah keluarga. Melalui panggilan video atau melampirkan kumpulan gambar, Alfa sering mengabarkan keadaannya di sana yang semua terkesan menyenangkan sebab tak jarang laki-laki itu menampilkan senyum manis di beberapa titik. Sekian destinasi wisata, Alfa kunjungi ditemani papah dan mamahnya, namun yang menjadi favorit laki-laki itu adalah ketika ia menonton klub sepak bola kegemarannya di stadion besar ternama.

Menanggapinya, Karin juga melakukan hal serupa ikut membagikan fotonya saat bermain dengan Namira dan Rania, berkunjung ke sanggar melukis Luna, agenda piknik keluarga, maupun lanskap tatanan kembang api di malam hari yang menghiasi langit kota. Belakangan ini, papahnya sedang sibuk mengurus projek bisnis sehingga Karin tidak berlibur ke tempat yang jauh melainkan sedia menetap di rumah saja.

Melebihi itu, Karin kewalahan terus direcoki oleh Namira dan Rania yang tak henti memuaskan sebersit rasa penasaran atas status hubungannya terhadap Alfa. Maksud Karin, memang normal mendekati seorang laki-laki itu butuh bagaimana, sih? Karin tidak mengerti apa yang patut dijadikan perkara kecuali kerinduannya yang membendung ingin segera bertemu dengan si tampan nan menggemaskan Keith Farez Alfansa.

Setengah bulan berlalu, akhirnya periode semester genap kembali memulai padatnya aktivitas bersekolah, doa Karin lantas terkabulkan bungah bisa berjumpa sosok laki-laki yang ia sukai. Mengenai ucapan Alfa dahulu yang tak lagi akan pernah menghindari Karin, lelaki tersebut kini benar-benar berubah kian bersikap aktif perihal mendekati dan mengusung pembicaraan. Di mana pun ketika mendeteksi presensi Karin di hadapan, Alfa sigap bergerak menyambangi tak mau melewatkan momen bersama perempuan yang ia sayangi.

Melihat binar keceriaan Alfa yang kadarnya meningkat drastis sepulang liburan kemarin, tentu Karin turut menyalurkan kegembiraannya mendapati kesejahteraan laki-laki itu telah berada di posisi terbaik. Senyum Alfa yang sekarang tak jarang pula menghiasi wajah, kontan membuat Karin semakin candu atas pesonanya yang bertebaran.

Tak hanya Namira dan Rania saja, warga SMA Bina Bangsa pun kini juga ikut heboh mengamati manisnya interaksi terbuka antara dua remaja paling pintar seangkatan kelas XI. Ramai gosip yang mempertanyakan terkait status hubungan mereka, terkadang mengganggu ketenangan Alfa sehingga di sebagian titik lelaki tersebut tak segan melempar tatapan intimidasinya untuk mengusir hawa yang tidak mengenakkan.

Menyinyalir ide demi meredamkan suasana, Karin mengusulkan pendapat, mungkin baiknya ia dan Alfa tidak usah bertemu dahulu untuk beberapa saat. Namun, mendengarnya sekali saja, laki-laki itu langsung menolak tegas tak setuju cara tersebut perlu dilakukan.

Sempat kebingungan mencari alternatif lain lalu serius berdiskusi dengan sobatnya untuk menutup kebisingan, gerak-gerik Alfa kemudian mendadak kikuk tampak gugup apabila berada di sekitar Karin. Selang 3 hari anomali tersebut terus berlanjut menyebabkan Karin bertanya-tanya, suatu ketika Alfa mengirim sebuah surat yang berisikan janji bersua di perpustakaan sepulang sekolah.

Tidak tahu apa yang sebenarnya Zaki, Farhan, Revo, dan Vero katakan demikian mengakibatkan Alfa bertingkah aneh, Karin pun terpaksa menurutinya—usai dipaksa pula oleh Namira dan Rania—berharap semua aksi konyol ini bisa selesai sekarang juga.

Tak seperti biasanya, sedenah ruangan utuh kosong tak berpenghuni, di ujung sana Karin hanya mendapati presensi Alfa tengah menyenderkan tubuhnya di rak buku. Kedua tangannya tersimpan ke dalam saku sembari menekuk sebelah kakinya yang panjang ke belakang. Bunyi gesekan kaki Karin yang tertangkap di pendengaran membuat laki-laki itu segera mengalihkan pandangan mengunci pergerakan sang target di hadapan.

"Finally, you're here, Karina. I've been waiting for you." Semburat malu yang kemarin mengelilingi aura laki-laki itu, telah hilang sepenuhnya berganti kelugasan yang mengesankan. Kilat merapikan penampilan, Alfa tak luput memperhatikan Karin sontak saling bertatap muka.

"Alfansa, ini ada apa, sih, sebetulnya?"

Menunduk singkat, Alfa mulai mengutarakan maksudnya mengundang Karin datang ke sini. "Karina, apa lo ingat? Dulu lo pernah menyetujui sebuah kesepakatan supaya gua mau masuk ke dalam tim EKSEMPELAR?"

Bergumam pelan, Karin memutar arah bola matanya menyisir kilas memori yang dirujuk. "Oh, kalau nggak salah, gue berhutang menuruti satu permintaan lo, ya?"

Alfa mengangguk. "Awal gua bikin kesepakatan itu, sebenarnya adalah untuk memaksakan kelapangan hati lo buat memaafkan gua andai sewaktu-waktu gua melepas tanggung jawab perlombaan di tengah jalan. Seperti yang kita tau di babak final kemarin, prediksi gua pun terjadi, tapi tanpa gua minta lo malah sukarela mengerti keadaan gua dan bahkan sedia membantu gua mengatasi permasalahan.

Sebulan ini, gua nggak bisa berhenti merenungkan betapa pentingnya hadir lo di hidup gua. Karina, you need to know I've never had this kind of affection to someone else as I have for you. Berhubung syarat gua belum terpakai karena kesalahan lo sendiri yang terlalu baik buat menerima kekurangan gua, boleh? Gua jadi egois sedikit lagi untuk mengganti satu permintaan itu sekarang?"

Termenung sejenak, Karin sedang mengatur gejolak di dadanya yang entah mengapa mutlak terpompa deras mendengar apa yang Alfa ungkapkan barusan. Perempuan itu menyempurnakan gestur seimbangnya seolah tidak berdampak sama sekali. "Fair enough, lo mau apa?"

Tetapi, lupa bahwasanya sosok yang berada di depan saat ini merupakan seorang Keith Farez Alfansa, Karin lantas menelan ludahnya begitu laki-laki itu merangkap langkah lebar berusaha mengikis jarak yang memisahkan posisi mereka. Buru-buru memundurkan kakinya, momen ini terasa familiar lantaran ketika Karin tersudutkan di permukaan tembok, Alfa sontak menjulurkan tangannya tepat mengunci pergerakan Karin tak berkutik.

Satu poin yang menggarisbawahi perbedaan menimbang letaknya yang membelakangi adalah, Karin tak menyadari pada sebuah meja di sebelahnya, serumpun buket bunga mawar cantik tersusun segar yang lalu salah satunya Alfa genggam untuk dihadiahkan kepada Karin.

"Yang gua mau cuma satu."

Sekiranya, apa yang berlangsung di detik ini, Karin pikir memang sudah direncanakan dengan matang sebab setiap pergerakannya sanggup menggetarkan detak jantung Karin terlalu dalam. Sedekat ini melawan tajamnya tatapan mata Alfa saja, sudah membuat Karin kesulitan bernapas ditambah ucapan lelaki tersebut yang kemudian seringan itu dilontarkan, nyawa Karin serempak dibuat terbang mengudara.

"Karina, mulai sekarang, lo, jadi milik gua, ya?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top