55. Pembenahan

Sebilah perasaan berkecamuk tengah menyusupi rongga dada Alfa yang bahkan ingin sekadar membuka pintu rumahnya saja, ia ragu hendak menjulurkan tangan atau sebaiknya tetap disimpan ke dalam saku. Laki-laki itu sempat terdiam beberapa saat benar tak berbuat apa-apa selain merenungkan banyak hal di kepala.

Sejatinya, Alfa tengah dilanda kebingungan mutlak bagaimana ia bisa mengupayakan janji yang tadi pagi Karin usung bersamanya. Sejauh 17 tahun ia tinggal di bangunan tersebut, Alfa tidak pernah menyampaikan perasaannya kepada orang tua karena ia pikir, mereka terlampau sibuk untuk mendengar sebersit poin keluh kesahnya. Terlalu sering didiamkan dan pula jarang sekali dipedulikan, menyebabkan Alfa agak sulit mengutarakan apa yang sebenarnya ia mau sehingga ia terlanjur berfokus mengandalkan aksi dibandingkan sederhana berbicara.

Di luar itu, kekecewaan yang sedari kecil menumpuk di dasar ulu hatinya dan terus membesar sampai sekarang, masih setia Alfa simpan jadi wajar apabila ia merasa tak adil apabila perlu memulai segalanya. Balik ke tempat ini sambil perlahan menangkal emosi negatifnya saja, jujur sudah sesulit itu untuk Alfa lakukan apalagi ia harus menuruti perintah Karin yang terkesan mustahil tersebut.

Bukan maksudnya enggan, melainkan Alfa tidak memiliki kemampuan perihal mengalah dan mencetus agenda perbaikan sebab dahulu pun, ia terbiasa menyimpan semuanya serba sendirian. Menimbang keputusannya kini, tentang menyetujui permintaan Karin untuk pulang, sebetulnya telah menjelma bukti bahwa Alfa ingin hubungannya terhadap orang tua menemukan titik pencerahan, namun ia tidak tahu butuh memposisikan diri seperti apa.

Ketika masuk nanti, usulan aksi yang muncul di benak Alfa hanyalah, ia akan segera mengunci presensinya di kamar tanpa membuka baiknya sebuah percakapan. Menanggapi kelemahan tersebut, Alfa harap di antara mamah atau papahnya ada yang bersuka rela niat mengawali pergerakan menginisiasi peluang pembenahan.

"Come on, you got this."

Demikian, mengayunkan daun pintu sembari berancang menapakkan kakinya masuk ke dalam rumah, Alfa menarik napas panjang berdoa semoga temperamamennya yang kini mendadak kembali bergejolak, sanggup ia kendalikan agar tidak menambah runyam suasana.

Laki-laki itu menyampirkan ranselnya ke sebelah bahu hendak meregangkan tubuhnya yang menegang. Sayangnya—tidak sesuai ekspektasi, kejernihan yang ia peroleh ketika berada di dekat Karin, sontak menguap begitu lekas kala ia sadar semua kontrol terkait buruk emosinya wajib ia pegang secara mandiri per detik ini.

"Ya, ampun, Kakak? Akhirnya, kamu pulang juga."

Menampakkan wujudnya tepat di area ruang keluarga, Alfa kontan terdiam mendengar suara lembut itu menyambut pelan kedatangannya. Sekilas ekspresi kekhawatiran dan kecemasan besar, dapat Alfa kenali terpasang di wajah mamah maupun papahnya.

"Mamah sama Papah sampai panik cari kamu ke mana-mana. Beruntung, Zaki cepat kasih kabar tentang keadaan kamu. Selama itu, Mamah sama Papah coba mengerti keinginan kamu yang nggak pengin diganggu dulu. Kamu baik-baik aja, 'kan?"

Namun, meski sudah berulang kali Alfa menenangkan batinnya yang terluka agar ia sanggup menjalankan strategi konstruktif, berbagai kalimat kebohongan yang dititip mamahnya waktu lalu, dominan menguasai benak Alfa sehingga laki-laki itu justru mengulang respons tak menyenangkan, yaitu enggan mengindahkan percakapan.

"Kakak hebat banget bisa mengalahkan semuanya."

"Mamah bangga sama Kakak. Jadwal finalnya kapan? Mamah bisa hadir langsung ke sana, 'kan?"

"Kakak semangat banget, ya, mempersiapkan lombanya? Mamah senang, deh, melihatnya. Doa Mamah yang terbaik selalu menyertai usaha Kakak."

"Pokoknya, Mamah janji bakal hadir di sana bersama Papah."

Melangkahkan kakinya menuju undakan tangga, Alfa gagal mengimplementasikan pesan Karin tentang mencoba memahami alasan dari kedua belah pihak untuk menjembatani prasangka tersembunyi. Kembali menimbang-nimbang, Alfa pikir situasi ini jauh berbeda dengan apa yang dahulu ia miliki terhadap Karin sebab sejak kecil, orang tuanya memang tega berperilaku mengabaikan.

Begitu pula atas peristiwa yang terjadi pada babak final kemarin, Alfa rasa tidak ada kesalahpahaman yang patut dijelaskan lantaran segalanya terlihat kentara bahwa mereka paling enggan merubah sikap. Tidak penting mengenai siapa yang berani memulai dahulu, Alfa menarik intensinya balik perihal mengusung konyolnya agenda perbaikan.

"Kak, Mamah lagi bicara sama kamu! Bisa nggak? Kamu perhatikan dulu?"

Sigap mengetatkan rahang, Alfa mengepalkan tangannya erat di sisi pinggang tampak kesal dengan titah yang keluar dari mulut papahnya.

"Kamu, tuh, habis kabur dari rumah, Kak! Setiap hari, Mamah nggak bisa tidur karena terus mengkhawatirkan kamu."

"Memang, apa ruginya kalau Kakak nggak ada di rumah? Papah sama Mamah malah senang, 'kan? Nggak perlu repot urus kehidupan Kakak?"

Mendengarnya, Andre—papah Alfa—meninggikan alis keberatan. Pria itu merendahkan intonasi suaranya berusaha menggenggam eskalasi konflik yang memanas. "Kak? Bilang kamu nggak serius dengan apa yang kamu ucapkan barusan."

Merespons balasan tersebut, Alfa mendengus tawa kecil sembari mengusap wajahnya kasar. Omong kosong ini benar-benar payah sampai-sampai ia terlalu malas menanggapinya. "Kenapa sekarang harus pura-pura peduli? Bukannya sejak dulu, Papah sama Mamah udah biasa tinggalin Kakak sendiri?"

Sekilas memproses tajamnya kalimat tersebut, Andre dibuat termenung benar kesulitan membalikkan pernyataan. Pria itu mengapit pangkal hidungnya terlihat pusing menundukkan kepala.

"Bagaimana? Nggak ada pembelaan?" Menilai situasi tak bergegas menyudutkan fakta yang ia utarakan, lantas Alfa mengangkat dagunya tinggi semakin terpancing menyuar kemarahan. "Seberapa tersiksanya Kakak sebelum atau sesudah kematian Nenek, Papah sama Mamah nggak pernah hadir di sisi Kakak! Pekerjaan selalu jadi nomor satu di mata kalian! Seburuk apa pun kondisi yang sedang Kakak lewati, semua kayaknya memang nggak layak untuk diperhatikan," kata Alfa berkesan tegas seolah mudah menerangkan perkara. Kenyataannya, rongga dada laki-laki itu sedang digerogoti biang kesepian yang amat menyesakkan. "Bodoh banget tiba-tiba kemarin Kakak mau percaya kalau Papah sama Mamah bakal datang ke perlombaan Kakak! Semua itu nggak akan terjadi, 'kan?"

Menganggap segalanya telah berlangsung kelewatan, Andre melangkahkan kakinya maju hendak menluruskan segala hal yang bernilai negatif berdasarkan sudut pandang putranya. "Kak, setelah Nenek pergi, Papah sama Mamah nggak pernah bermaksud ingin mengabaikan kamu. Faktanya, ketika ada di rumah, Papah sama Mamah, bahkan selalu berusaha ajak kamu bicara, tapi kamunya malah bersikap dingin dan sulit untuk didekati. Kakak juga harus mengerti bahwa mustahil bagi Papah sama Mamah bisa meninggalkan pekerjaan begitu aja karena semua yang kami lakukan itu, ujungnya buat membiayai seluruh kebutuhan kamu. Setiap hari kamu sanggup makan enak, punya akses ke berbagai macam fasilitas."

"And guess what?" ujar Alfa kesal menempatkan tangannya berkacak pinggang. "It turns out that's not all what I need! Uang itu nggak sebanding dengan satu hal yang nggak Kakak miliki dari Papah sama Mamah! Love is everything that's actually matters! Ke mana Papah sama Mamah selama ini saat jauh Kakak masih kecil dulu, Kakak berharap punya sedikit aja waktu kalian untuk menemani keseharian Kakak? Apa Papah pikir, sekali dua kali Papah ajak bicara Kakak selepas kematian Nenek itu cukup buat menebus semuanya? I was lonely and vulnerable for a very long time! I'm mourned by the death of granny who had always given me such a pure affection which I never got from you. All those conditions have isolated me with a bad temper. Don't you think you should've tried harder than that? After all, you're my parents! I expect more from you!"

Mendapatinya, Andre terperanjat. Pada dasarnya, pria itu sama kacaunya tidak tahu bagaimana cara menenangkan situasi yang semakin lantang bersahutan. Refleks ingin kembali membuka mulutnya, niat Andre urung kala Stella menjulurkan telapak tangannya terbuka hendak menginterupsi biar putranya puas dahulu mengeluarkan segala.

"Bahkan, ketika Kakak udah berusaha keras buat melupakan kesalahan itu, Papah sama Mamah malah membohongi Kakak lewat janji palsu yang berkata bakal datang mendukung Kakak di perlombaan." Volume rongga dada Alfa kini mengembang semakin besar meluapkan amarah. "Cuma Kakak peserta yang berdiri sendirian di sana! Semuanya ditemani orang tua masing-masing sibuk menebar kehangatan sedangkan Kakak harus bersusah payah tenangin diri karena kesepian itu bikin Kakak terus berpikir bahwa Kakak nggak disayang sama Papah dan Mamah! It hurts to remember this pain all over again. Why did you guys do that?"

Hening pun membekap sesudahnya. Ruang lengang tersebut kontan diselipi suara deru napas Alfa yang memburu dikejar emosinya yang berkeliaran.

Menyeka air matanya yang jatuh dari pelupuk, perlahan Stella berjalan mendekat menuju posisi anaknya yang menguatkan gestur pertahanan. "Kak, maaf, Mamah sama Papah nggak pernah ada buat kamu," ujar Stella mengawali kalimat. Namun, kelengkapannya nyaris tak terdengar sempurna lantaran tangisnya berderai pecah yang kemudian, ia mengondisikan suasana hati dahulu sebelum menyambung kalimatnya. "Mamah mengakui, dulu selaku orang tua, kami berdua telah memperlakukan kamu buruk sekali. Mamah sama Papah gila kerja. Asal sanggup memenuhi kebutuhan kamu lewat kiriman finansial, Mamah kira semuanya udah cukup. Jadi, untuk urusan yang lain, Mamah banyak mengandalkan kamu ke Nenek."

Mendapatinya, Alfa mendengkus kasar. Remaja laki-laki itu mengalihkan pandangan ingin memberontak, tetapi sebersit kata maaf yang terucap di awal tadi berhasil mengurangi tingkat kegusarannya.

"Kala itu, Mamah sama Papah lagi sibuk banget kejar jabatan sampai-sampai pikiran kami udah nggak jernih saat tibanya pulang ke rumah. Tentu, Mamah sama Papah nggak bangga akan hal tersebut. Kenyataannya, hingga detik ini, kami justru sangat menyesali perbuatan itu karena setelah meninggalnya Nenek dan kamu mulai beranjak jadi remaja, Mamah sama Papah merasa kehilangan segalanya, bahkan untuk menyentuh putra sendiri aja kami nggak mampu.

Sejauh apa kegagalan kami selaku orang tua, Mamah sama Papah terus merenungkan hal tersebut.  Berharap masih bisa memperbaiki situasi ini, benar kata Papah kamu tadi, sedikit demi sedikit, kami berusaha mendekati kamu, tapi pastinya semua nggak cukup sebab kesalahan kami terlalu besar. Maafin Mamah sama Papah, ya, Kak? Kalau ada yang sanggup kami kasih untuk bikin kamu bahagia, kami siap memberikan itu seka—"

"No! You lied to me," kata Alfa mengerutkan alisnya layu. "Last time I needed your presence in my competition, but you didn't come!"

Menanggapinya, Stella menarik napas sejenak. Ia sangat menyesali atas ketidakhadirannya di panggung akhir EKSEMPELAR kemarin. Namun, bukannya disengaja, sebuah kondisi mutlak menghambatnya untuk datang. "Kak, mendekati jadwal keberangkatan, pesawat Papah sama Mamah delay karena masalah teknis," ujar Stella pelan-pelan menjelaskan. "Mamah nggak bohong sewaktu bilang bakal datang bareng Papah buat dukung kamu langsung. Tapi, keadaannya di luar kendali. Terpaksa, Mamah sama Papah harus menunggu tiket penerbangan selanjutnya."

Alfa termenung. Remaja laki-laki itu menurunkan kadar emosinya berupaya menyatukan kesalahpahaman yang menyangkut di dalam benak. "It's not all because of work?"

"Nggak, Kak." Stella menggelengkan kepala. "Mamah coba memberi tahu kamu lewat pesan, tapi kamunya nggak baca. Sampai di sini, Papah sama Mamah sudah menyiapkan banyak hadiah untuk merayakan kemenangan kamu, namun seluruhnya nggak berarti saat kami tahu kamu nggak ada di rumah. Berulang kali, Papah sama Mamah juga berusaha telepon kamu sayangnya nggak ada satupun yang kamu respons. Kami bingung harus bagaimana, Kak."

Seketika, Alfa mengaburkan pandangan. Buruk suasana hati terlalu mendominasi caranya menilai situasi sehingga ujung-ujungnya, ia selalu dikuasi ego sendiri. "It was all my fault then, was it?"

"Bukan kamu, Kak," balas Stella beranjak mendekat seraya menangkup pipi putra semata wayangnya. "Ini salah kami yang telat menyadari semuanya. Kamu tentu berhak marah sebesar apa pun ke Papah sama Mamah. Tapi, setelah itu, Mamah harap kamu mau membuka kesempatan untuk kami memperbaiki segalanya dari awal. Papah sama Mamah nggak bohong ingin memperhatikan kamu semaksimal yang kami mampu. Oleh karenanya, kalau kamu mengizinkan, tolong buka hati kamu supaya Papah sama Mamah bisa masuk. Banyak hal kami lewati sejak kamu masih kecil sampai sekarang udah besar. Apa yang kamu suka dan nggak sukai, ajari Mamah sama Papah caranya mencintai kamu, ya?"

Luluh dalam dekapan mamahnya sendiri, Alfa menelan ludah getir tak kuasa menahan pergeseran seuntai akar berduri yang terlepas dari lubuk jantungnya. Tak lama kemudian, papahnya pula membuat gerakan serupa sempurna merangkul Alfa dari arah samping.

"Mamah sama Papah sayang sama kamu, Kak. Please believe in it."

Masing-masing kepala orang tuanya menempel tepat di pelipis kanan dan kiri Alfa menyandar begitu lembutnya. Tak sadar, mendapati kehangatan berupa ajaibnya sentuhan fisik tersebut, Alfa meneteskan air matanya kembali sejak 4 tahun terakhir ia menampakkan sisi terlemahnya sebagai simbol membebaskan beban kesedihan.

Remaja laki-laki itu lantas merentangkan tangannya kaku melingkupi tubuh Papah dan Mamahnya. Bersambaran dengan suaranya yang bergetar serak, Alfa berucap, "So do I. Jangan sering tinggalin Kakak sendiri lagi, ya? Kakak suka dipeluk Papah sama Mamah."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top