47. Antusias
Usai memastikan ruang ini sepenuhnya ia kuasai tanpa harus membalas ucapan selamat atau dikelilingi oleh suara tangis beserta tatapan iri pesaing lainnya—sebab tak terima mendapati kekalahan, Karin membenamkan seluruh wajahnya pada tumpukan bantal lalu berteriak sekencang mungkin untuk menumpahkan binar kebahagiaannya yang melimpah berlipat ganda. Kedua kakinya yang membentang lurus, ia hentakkan bergantian ke atas dan bawah menyeleraskan perasaan bungahnya.
"Karin ... kamu senang banget, ya?" Di sebelah perempuan itu, Luna yang mengulas senyum lantaran terpapar besarnya aura positif milik Karin, lantas ikut duduk di tepi ranjang memangku jemarinya dengan sopan.
"She's not just happy, Luna, she's overreacting." Lain lagi di seberang sana, Alfa yang pastinya tak mungkin melewati batas kamar tersebut malah menggeleng pelan sembari menyenderkan punggungnya santai di bingkai pintu. Laki-laki itu mengembuskan napasnya panjang hendak menyembunyikan kegembiraan. Bukan maksudnya enggan meramaikan, melainkan dengan minim sisa tenaganya, Alfa tak sanggup menyamai energi Karin yang senantiasa menguar kuat di sekitar.
"Sumpah! Gue berhak, dong, bersikap berlebihan? Kita nggak sekadar lolos doang! Tapi, akumulasi poin kita ada di urutan pertama!" Membalikkan badannya yang tengkurap sambil memeluk sebuah bantal, Karin sempat merapikan rambutnya sebentar kemudian lanjut berbicara, "Usaha kita buat latihan berebut soal nggak ada yang sia-sia. Kecepatan menjawab kita juga meningkat pesat dibandingkan babak penyisihan kemarin. We did it so well, guys! Gue nggak bisa berhenti amaze mengingat performa kita barusan."
Beralih menghadap depan, Luna mengamati lanskap perkotaan yang tembus pandang melalui haluan jendela. Ia berkata, "Aku setuju sama kamu, Rin. Sampai sekarang, bahkan aku masih merinding. Buat aku yang pemula, pengalaman tadi luar biasa banget! Berkat dorongan kalian, aku jadi bisa bantu memperoleh sekian skor melebihi pertimbangan yang aku kira."
"Gue bilang apa, 'kan? Lo, tuh, hebat, Lun." Seraya merengkuh tubuh Luna dari samping, bibir Karin melekuk manis menempatkan dagunya di atas pundak perempuan itu. Wewangian yang dipakai Luna, terbaur sejuk dan menyegarkan. Tangan kanan Luna lalu menepuk permukaan kulit Karin secara lembut berbalasan. Gestur Luna halus sekali. Akhirnya, Karin tidak salah lagi perihal mendekap sosok tegap yang bertolak belakang terhadap struktur anatomi Luna.
"All right, take your time girls. Kalau butuh apa-apa, gua ada di kamar." Pada sisi berlawanan, Alfa yang sudah lelah hendak merebahkan diri barang sejenak pun melangkah pergi meninggalkan momen persahabatan Karin dan Luna yang menghangat. Meski kini, Karin tak menghadiahinya dengan sentuhan fisik berupa pelukan erat selayaknya dahulu, Alfa tetap senang melihat perempuan itu leluasa mengukir senyum cerah di wajahnya.
Entah sejak kapan, antusiasme Karin telah menjelma hal penting bagi Alfa yang tak umum memeriahkan kemenangan. Alfa jadi teringat momen 4 tahun lalu di mana ia pertama kali terpukau kepada Karin. Hebohnya reaksi perempuan itu, sanggup menjembatani rasa penasaran Alfa lewat bayangan yang terlintas di kepala.
Kala itu, Alfa tengah putus asa berat lantaran sederhana pendambaannya, kembali mustahil terwujud terlepas berapa upaya yang susah payah ia kerahkan. Namun, reaksi Karin yang benar-benar hidup menunjukkan trofi kebanggaan, berhasil mencerminkan sikap Alfa andai orang tuanya mau datang walau sekali saja. Hiburan Alfa di panggung menyedihkan tersebut, hanyalah memindai gerak-gerik Karin yang—tak disengaja—tulus mewakili harapannya. Di luar itu, kepribadian Karin yang tampak bersemangat dan periang mampu menarik perhatian Alfa secara diam-diam.
"Karina, lo nggak berubah sedikit pun, ya?"
Heningnya suasana tribune perlombaan yang sedang menunggu pengunguman sang juara, sukses menyisipkan ketegangan pada hampir setiap insan yang mengerumuni kawasan itu. Satu dari sekian banyaknya, sebuah pengecualian disematkan teruntuk seorang anak laki-laki yang sudah kehilangan tujuannya berjuang. Mamah dan papahnya tidak menghadiri lagi, padahal skala kompetisinya terlampau besar sedangkan ia telah berusaha mati-matian.
Sungguh, ia ingin mengikis seluruh kepeduliannya terkait apa pun yang berkaitan dengan agenda hari ini. Sebab, tak ada pula sanak keluarga yang mendoakannya agar menyandang gelar kampiun—kecuali guru yang cuma mengindahkan pengharuman almamater sekolah.
Jujur, bahkan sejak dahulu, tanpa dibekali kepintaran yang memadai pun, ia bisa memahami kondisinya sangat berbeda dengan pesaing lain yang ditemani dukungan orang tua. Meski begitu—hingga kini, ia tetap memaksakan diri dan berujung mengalami pahitnya luka yang serupa. Semua melelahkan. Semangatnya yang tak pernah redam menitip asa, mulai pupus berganti kekecewaan.
"Dan pemenangnya adalah ... Karina Garda Kusuma!"
Ia pikir, sekian kalinya menelan kesedihan, untuk yang satu ini biarlah kalah pun tidak jadi masalah. Ketika satu per satu urutan peringkat mulai dibacakan oleh pembawa acara, namanya tak menempati barisan teratas, namun terletak di posisi kedua.
Tepat di detik ini, ia menggores sejarah baru, yaitu pertama kalinya gagal memegang gelar jawara utama. Tetapi, bukannya terpukul, ia malah memasang wajahnya datar seolah segalanya terasa hambar. Kalah atau sebaliknya, ternyata sama saja. Tidak ada yang spesial, senyap, dan ia terus diselimuti kesepian.
"Aaaaa! Ya, ampun! Ini nggak bohong, 'kan?!"
Tiba-tiba, teriakan nyaring yang berjarak beberapa meter di sebelah, menarik perhatian anak laki-laki itu spontan menyembulkan kepalanya ke depan. Dahinya mengerut dalam agak penasaran terkait siapa yang tadi mengeluarkan reaksi berlebihan.
"Selanjutnya, kepada tiga finalis terbaik, silakan maju ke depan."
Sayangnya, belum sempat ia menemukan, perintah itu terlanjur menyuruhnya bergerak dekat menghampiri podium kemenangan. Sembari menaiki tangga untuk berdiri di undakan tertinggi nomor dua, ia membuka permukaan tangannya lebar untuk menghalau pancaran cahaya dari seperangkat kamera yang menyala. Mukanya tertekuk masam. Ia tidak menyukai sesi dokumentasi yang memaksanya tampak bahagia.
"Halo, kamu kenapa cemberut begitu? Senyum dikit, dong, 'kan, kita mau difoto. Biar bagus nanti dilihatnya, oke?"
Namun, mengenali nada bicara yang familier di telinganya, atensi anak lelaki tersebut mendadak teralih menolehkan pandangan ke arah samping. Ia yakin warna suara si pengusung percakapan persis menyerupai lengkingan saat waktu pengumuman sebelumnya. Ternyata, repons heboh itu adalah hasil keterkejutan sang juara pertama.
"Ih, kok, masih merengut, sih? Ikutin aku. Bibir kamu, tuh, harusnya ditarik begini."
"Hm? Kayak ... begini?" Seraya menjengitkan alis, anak laki-laki itu kemudian memperagakan ekspresi cerianya walau tidak sempurna.
Di sisi lain, perempuan yang rambutnya dikuncir dua tersebut membulatkan matanya antuasias sambil mengangguk seakan berkata itu sudah cukup bagus untuk ditunjukkan. "Nah, ganteng, 'kan, jadinya? Suka, deh. Pertahanin, ya, jangan murung kayak tadi."
Anak laki-laki itu menggumam pelan menanggapinya. Ingin mengucap balasan, lamun lantaran terlalu lambat, lawan interaksinya terburu memutus kontak sibuk mengangkat kedua tangan hendak memamerkan trofi. Lantas, mengikuti garis pandangan—tak jauh dari sana, ia menemukan sanak keluarga perempuan tersebut tengah berimpitan saling memeluk mengucapkan berbagai kalimat dukungan dan selamat.
Jika ditanya ia iri atau tidak, sudah pasti jawabannya, iya, jelas. Tetapi, suatu esensi janggal layaknya binar kebanggaan dan besar antusiasme yang mengelilingi presensi perempuan itu, malah membakar semangat lain yang mendorongnya ingin kembali mewujudkan harapan bermakna tunggal.
Di tengah keramaian yang mengitari, ia pikir tidak ada salahnya berjuang sedikit lagi asal pada akhirnya, ia mampu mengalami momen menggemberikan selayaknya perempuan itu nanti.
"Oke, semua siap di posisi, ya."
Begitu kamerawan memberikan aba-aba bahwa pemotretan segera dimulai, melalui pertemuan singkat ini, setidaknya ia mau menyampaikan bentuk kekagumannya yang tertunda terhadap perempuan tersebut.
Sebagaimana pas sekali, alat pengambil gambar itu mengeluarkan bunyi yang cukup memekakkan secara beruntun, anak laki-laki itu berbisik halus sembari mengamati wajah pesaing yang berhasil mengalahkannya, "Makasih. Kamu juga cantik kalau senyum."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top