46. Semifinal
Menghitung waktu, begitu kesempatan menyiasati babak akhir usai dimanfaatkan semaksimal mungkin, tak terasa panggung semifinal dapat terlihat jelas membentang luas di depan mata. Saat ini, sejumlah lima tim yang berstatus sebagai musuh telah berkumpul dengan anggotanya masing-masing siap bertempur mempertaruhkan kecerdasan.
Tidak seperti mereka yang sudah menginap di lokasi persinggahan sejak kemarin, Alfa, Karin, dan Luna malah baru tiba hari ini untuk meletakkan barang lantaran tempat tinggalnya berjarak dekat. Santainya pergerakan tersebut, tentu tidak mengartikan bahwa keseriusan perwakilan Bina Bangsa tengah memudar barang sedikit pun. Sebaliknya, akumulasi jam yang terbuang itu mereka gunakan demi menenangkan diri supaya tidak terbawa suasana cemas di sekitar subjek perlombaan.
Di samping hal yang berkaitan atas performa selaku penentu utama soal mendominasi pertandingan, Karin turut menimbang kondisi mental rekannya juga yang pasti berkontribusi terhadap kejernihan dalam berpikir. Berlaku tenang tanpa terpicu banyak emosi yang tak penting merupakan kunci agar seseorang dapat mengeluarkan potensi maksimalnya secara besar-besaran. Sehingga melalui itu, metode tersebut sengaja Karin terapkan dengan harapan bisa membantu Alfa dan—khususnya—Luna berlaku damai membentuk pandangan optimis menang.
Dibandingkan mereka bertiga, presensi Alfa adalah yang paling stabil sebagaimana laki-laki itu tidak tampak tegang atau goyah sama sekali. Mengecualikan tingkatnya yang terbilang veteran, Karin kira memang ada variabel istimewa yang merubah cara laki-laki itu memijakkan kaki di ranah kompetisi daripada sebelumnya. Sampai saat ini, hubungan Alfa dan perlombaan masih abu-abu di benak Karin. Namun, jika kini semuanya telah berada di titik yang sesuai dan tak lagi memicu kemarahan lelaki tersebut, sungguh, Karin ikut senang.
"Hey, Karin!"
Mendengar panggilan tersebut menabuhi gendang telinganya, Karin menoleh ke sumber suara lantas mendapati Jo sedang tersenyum melambaikan sebelah tangannya. Sontak, lantaran sudah lama tidak berinteraksi dengan si cerdik berotak pintar tersebut, Karin membalasnya sama antusias sambil menyerukan namanya pula.
"Long time no see, Jo. Apa kabar?"
Walau Jo sangatlah menyebalkan ketika menjelma pesaing di tahap penyisihan kala itu, jujur saja Karin menyukai kepribadiannya yang realistis selaku teman. Namun, baru selang 5 detik kontak mata itu terjadi, tiba-tiba Jo menepuk jidatnya pelan lalu kembali menghadap depan. Karin diabaikan.
"Hah?"
Memicingkan netranya curiga mengamati gerak-gerik aneh Jo yang mendadak bertingkah seolah mereka tak pernah kenal, Karin teringat suatu komentar perihal seramnya eksistensi Alfa yang tak segan mengusir keberadaan lelaki tersebut. Berulang kali, Jo menegaskan bahwa Alfa sejatinya tidak suka apabila ia terlalu berani mendekati Karin. Itulah sebabnya, Karin mau menjalankan sandiwara kecil untuk memunculkan lima respons unik soal kecemburuan Alfa sebagai bukti.
Dan benar saja, mendongakkan kepalanya ke arah samping, Karin melihat Alfa tengah menyorot tatapan intimidasinya yang sudah jelas merangkap alasan mengapa Jo menghindarinya sekejap hitungan. Astaga, Alfa tidak boleh bersikap segalak itu kepada sosok yang membantu Karin menyadari perasaannya, bukan? Jo itu seorang penyelamat! Karin perlu meluruskan.
"Alfansa? Ekspresi lo dijaga sedikit, deh. Bikin, Jo, takut aja. Gue, 'kan, pengin ajak dia ngomong."
Menurunkan ekor matanya menangkap presensi Karin, Alfa menautkan alisnya dalam berkesan tak suka. Laki-laki itu berucap tandas, "Nggak usah, Karina. Bicaranya sama gua aja."
Di luar nalar, padahal maksudnya ingin mengajukan protes, Karin malah dibuat tersipu mendengar penuturan Alfa yang melemahkan. Namun, setelah ia menetralkan suasana hati dan pada akhirnya dapat mengambil keputusan rasional, Karin pikir perilaku Alfa yang seperti ini tidaklah baik untuk dibiarkan. "Jo, itu teman gue, Alfansa. Dia baik, kok. Walau di babak penyisihan kemarin pertandingan gue sama dia lumayan sengit, lo nggak usah khawatir."
Mendengus kecil, Alfa menelengkan kepalanya singkat seraya menempatkan tangan kirinya di sebelah pinggang. Matanya cukup skeptis memindai air wajah Karin hendak mengonfirmasi perempuan itu tak membohongi. "Benar cuma teman, 'kan?"
"Ya, apalagi kalau bukan teman?" balas Karin berupaya mengurangi tingkat kewaspadaan Alfa. Oh, permasalahan ini masih berputar di area kecemburuan ternyata? Karin berniat menjahili, "Kecuali, sebetulnya dia itu—"
"Hm? Kecuali?" potong Alfa cepat mengernyitkan dahinya. "Kecuali apa, Karina?" Sungguh, ia tidak tenang menimbang status Jo terhadap Karin.
Sebaliknya, melihat laki-laki itu terlampau serius menanggapi permainan kalimat, Karin mengulum senyum benar-benar tak tahan dengan reaksi panas Alfa yang menggemaskan. Ya, ampun, Karin harus berhenti memperdaya kadar sensitivitas lelaki tersebut. Ia menjelaskan, "Ih, sabar, dong! Maksud gue, kecuali teman, dia bisa jadi musuh yang berbahaya juga, sih. Kepintarannya nggak boleh diremehkan. Pokoknya, kita jangan sampai lengah, oke?"
Puas mendengar jawaban Karin yang menyiratkan bahwa Jo bukanlah ancaman yang butuh ia perhatikan, Alfa mengembuskan napasnya lega sembari memejamkan netra. "If that's so, you don't have to worry. Lo punya gua, Karina. I'm smarter than him."
Termenung di tempat sambil menelan ludahnya tak berkutik lagi, jantung Karin total berdetak tak karuan mencerna penegasan Alfa yang diam-diam menyelipkan makna ganda terkait kepemilikan. Sumpah, bagi Karin, salah tingkah di depan Alfa merupakan hal yang paling menyebalkan! Sejatinya, antara ia dan laki-laki itu, siapa, sih, yang lebih pandai tentang memengaruhi gejolak perasaan?
"Well, you also have me by your side. Gue udah pernah bilang, 'kan? Kita bakal bersama-sama menghadapinya?"
"Iya, Karina. We're in this together," kata Alfa tak meragui sedikit pun. Selintas senyum manis Karin yang tertangkap sopan di lensa matanya, membuat Alfa semakin tercelus tak ayal sanggup memaknai baiknya ucapan tersebut. Laki-laki itu berdeham pelan menyeimbangkan kondisi diri lalu menggenggam tangan Karin lembut hendak menghampiri keberadaan Luna yang mengintip mewahnya tribune perlombaan lewat celah tirai yang terbuka. "Ayo, kita ke sana."
Sontak, sebagaimana pemandu acara dan para juri telah menduduki posisinya masing-masing, tanda permulaan babak semifinal siap diselenggarakan pun mengundang perhatian para peserta untuk segera memasuki area pertarungan.
Berbeda dari sebelumnya, kali ini penyelenggara menyediakan beberapa kursi penonton untuk diisi oleh guru pembina beserta orang tua yang hadir mendampingi. Sekilas, Alfa, Karin, dan Luna dapat menemukan presensi Bu Zahra sekaligus pengajar lainnya tengah membisikkan semangat di barisan utama.
Meski orang tua mereka sekarang tidaklah hadir lantaran janji yang ditetapkan bersama sampai nanti tibanya memegang status finalis, cukuplah bagi ketiga remaja tersebut, dukungan perjuangannya dihantarkan melalui pendidik besar SMA Bina Bangsa.
"Baik, untuk semuanya, silakan berdiri di podium masing-masing."
Demikian, meregangkan pergerakan tubuh sembari menganggukkan kepala terhadap satu sama lain usai menerima imbauan tersebut, Alfa, Karin, dan Luna lantas berubah ke mode serius yang sudah mereka latih sepanjang seminggu berlalu.
Monitor digital pun mulai menyala selaku alat bantu pembicara membacakan petunjuk soal. Adapun, suasana yang mengelilingi turut hening seketika—tak lagi bersambar sapa canda tawa—menuntut kelayakan maju ke tahap berikutnya.
Rangkaian wacana materi kesetimbangan kimia kemudian muncul memenuhi layar pandangan. Setiap mata yang terfokus memindai pemecahan jawaban, langsung bergerak cekatan menulis penguraian di kertas kosong bersangkutan.
Selisih hitungan per detiknya sangat menentukan kelompok mana yang mampu memperebutkan akumulasi skor. Sehingga berpacu pada waktu yang terkuras begitu singkatnya, alur kompetisi EKSEMPELAR mampu menciptakan suatu atmosfer yang bernilai terlampau menegangkan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top