45. Akhir
Sudah terhitung seminggu penuh, hari-hari Alfa, Karin, dan Luna dirayapi kegiatan padat mempersiapkan tahap akhir perlombaan EKSEMPELAR sampai-sampai tujuan mereka datang ke SMA Bina Bangsa, rasanya hanya selintas menimba ilmu tanpa merangkap ruang untuk beraktivitas sosial terhadap teman sebayanya. Meski semua agenda main total dihentikan, mereka bertiga—berkat komitmen yang dimiliki—tetap menjalaninya dengan segenap hati yang lapang.
Entah persisnya dimulai sejak kapan, kedekatan antara Alfa, Karin, dan Luna sontak terjalin jauh lebih hangat dibandingkan sebelumnya. Mereka benar-benar saling menyemangati dan membantu satu sama lain menghadapi kesulitan.
Barisan objektif terus ditempuh berbarengan tanpa mengalami perdebatan. Setiap ada yang berhasil menunjukkan progres tanda kemajuan, biasanya kalimat apresiasi akan terlontar keluar atau silih berpatungan mentraktir hadiah berupa makanan kesukaan sebagai upaya dukungan sederhana.
Menanggapi itu, andai Karin boleh menebak apa yang mendasari terjadinya segala perubahan tersebut, mungkin sejatinya berakar dari sikap Alfa yang kini terlihat sangat suportif dan tak lagi sukar diajak kerja sama. Personalisasi laki-laki itu bertumbuh pesat layaknya baru memperoleh semangat besar—entah apa—yang selama ini ia butuhkan.
Menilai potensi sanggup Alfa keluar secara maksimal, otomatis Karin ikut terdorong untuk mengimbangi kemampuan rival nomor satunya itu. Namun, jangan khawatir. Persaingan adu kecerdasan yang meliputi dua remaja pintar tersebut sudah tak diselipi kacaunya kebencian dan kesalahpahaman, seperti dahulu. Sebaliknya, Alfa dan Karin turut berbahagia mengamati perkembangan masing-masing.
Satu catatan penting yang perlu disoroti adalah, diam-diam ketika Luna tidak memperhatikan, Alfa gemar mengusap lembut puncak kepala Karin mengisyaratkan kesan bangga saat perempuan itu sukses mengalahkan ketangkasannya. Di satu sisi, Karin akan terbawa perasaan sendiri pura-pura keberatan, padahal jantungnya kelewat heboh berdebaran.
Di tengah kondisi yang berjalan sekarang, mustahil, bukan? Ia mampu membenci seorang Keith Farez Alfansa yang ternyata lihai sekali menyembunyikan sikap manisnya? Sebentar, maksud Karin, perilaku lelaki itu jelas berbahaya! Pokoknya—mulai detik ini, Karin wajib berhati-hati andai mau peredaran darahnya dapat terpompa dengan lancar.
"Nggak kerasa, ya, kita udah sampai ke tahap akhir."
Merespons kalimat Luna yang menguar di sela waktu istirahat, Karin menelan salad buahnya kemudian berucap, "Iya, dong, Lun. Bagaimanapun juga, kerja keras kita nggak main-main, 'kan?"
Kini, mereka bertiga sedang makan santai di ruang tenang. Hampir menghabiskan seluruh waktunya terus berlatih mengerjakan soal secepat mungkin, tentu membuat mereka butuh mengisi tenaga menyegarkan pikiran.
"Betul, Rin. Walau begitu, aku masih suka deg-degan bayanginnya. Nggak sangka aja babak semi dan finalnya digabung jadi satu. Habis ini, kita nggak bakal sering ketemu untuk mengikuti masa bimbingan intensif lagi."
"Well, gue yakin kita udah memanfaatkannya sebaik yang kita bisa." Seraya menggapai sebelah tangan Luna yang terlipat di meja, Karin tersenyum lebar. "Di luar itu, selepas perlombaan ini selesai, kita harus tetap berteman, ya?"
"Oh, Karin, pasti!" Netra Luna menyorot binar kebahagiaan.
Tak mendengar adanya balasan dari seorang laki-laki di seberang, Karin memicing sinis memaksa Alfa buka suara.
"Karina?" Menanggapinya, laki-laki itu mengerutkan dahinya dalam tak sependapat ucapan Karin tadi bersifat menggeneralisasi mencakup eksistensinya pula. Maksud Karin, sebenarnya apa menyisipkan kata 'kita' di sana? Alfa tidak berniat menjaga hubungannya dengan Karin hanya sebatas berjudul pertemanan. Yang Alfa mau, tentu melebihi itu.
"Nggak ada yang tau ke depannya bagaimana. Pertanyaan itu nggak bisa gua konfirmasi." Demikian, membalasnya menggunakan perputaran kalimat secara aman, Alfa lantas membuang muka agak kesal bercampur kebingungan. Sesungguhnya, Karin menganggap ia sebagai apa, sih, sekarang? Apa tindakan Alfa sejauh ini kurang menjelaskan intensi ketertarikannya terhadap lawan jenis?
"Ya, udah, terserah lo aja." Alhasil, menerima reaksi negatif lelaki tersebut, bibir Karin mengerucut tajam. Sebal, padahal tinggal menjawab 'iya' saja apa susahnya, sih? Situasinya jadi tidak enak, bukan? Meski Karin juga tahu Alfa sudah mengenal Luna sejak lama, namun ruginya di mana mengafirmasi persahabatan satu sama lain?
Di samping itu, Luna yang menyadari kedua rekannya tengah sibuk memasang ekspresi runyam tersendiri, malah tertawa kecil mengetahui apa yang barangkali diributkan dua insan tersebut dalam benak. Menurut Luna, kepolosan Alfa dan Karin soal percintaan itu lucu sekali. Kadar kepekaan mereka benar-benar buruk karena ini merupakan efek pengalaman pertama sehingga wajar tidak banyak yang mereka pelajari. Kendati begitu, Luna turut penasaran. Kira-kira, kapan, ya, mereka saling jujur mengutarakan perasaan masing-masing?
"Ngomong-ngomong, lampiran tiketnya udah masuk ke email kalian, 'kan?" Secepat itu hendak mencairkan suasana, Karin membuka topik baru sembari membenahi letak kacamatanya. Ia melanjutkan, "Remember, we stick to the plan."
Menurut aturan draft yang beberapa hari lalu rampung mereka kupas, sanak terdekat dari kandidat yang tersisa boleh berkunjung menonton pertandingan—babak mana pun—selaku tamu undangan eksklusif. Adapun, berhubung tempat diselenggerakannya tahap akhir ini berlokasi di kota mereka tinggal—demikian tidak mungkin memengaruhi waktu kedatangan, Alfa, Karin, dan Luna menyepakati kebijakan untuk tidak mengirimnya pada wali pilihan terkait sebelum mereka dapat memastikan masuk ke posisi yang menjanjikan, yaitu tiga finalis utama.
Kata Karin, sih, biar potensi kabarnya bisa maksimal mengejutkan orang tua. Logis bagi kedua rekannya karena melalui itu, Luna bisa meminimalisir kekecewaaan andai gagal menjadi juara sebab kalah di semifinal sedangkan Alfa hanya memedulikan hal bernilai besar untuk ditunjukkan.
Namun, di balik itu semua, Karin sebagai pengusung gagasan sebenarnya memiliki tujuan lain, yakni ia tidak mau kehadiran mamahnya mengganggu konsentrasi berupa tekanan siapa yang paling mendominasi di panggung kompetisi. Setidaknya, rencana ini akan mengulur peningkatan kadar ketegangan.
"Semoga aja benar jadi berita yang menyenangkan, ya, buat disampaikan. Nggak kebayang senangnya bagaimana," ucap Luna antusias sendiri.
"Makanya, kita harus tampil all out supaya semuanya bisa terwujud. Kali ini kita maksimalkan seluruh kemampuan yang kita punya. Perwakilan Bina Bangsa optimis menang?"
Merespons juluran tangan Karin yang terjulur di tengah udara, Luna ikut menyatukan jemarinya bertumpuk di situ. "Ya, kita bisa!"
Sebaliknya, Alfa yang cukup bosan memenuhi gestur kekanak-kanakan berkedok penyemangat tersebut menghela napasnya panjang—sejatinya malas, namun tetap kooperatif.
"All right guys! Ready?" Berseru memimpin sorak yel andalan, Karin lantas tersenyum ceria sembari membawa lengan rekan terhebatnya tinggi ke atas.
Berbeda dari sebelumnya, Alfa yang biasa hanya bersikap ala kadarnya justru menegakkan kerangka tubuhnya leluasa ikut menyulut api dingin yang membara. Motivasinya untuk meraih kemenangan, tentu telah berkembang pesat mengetahui ada yang ingin ia banggakan—selain Karin, yaitu kedua orang tuanya. Melalui momen perdana ini, mereka akan mendukung Alfa secara langsung. Sehingga bagaimanapun bentuk tantangannya, Alfa wajib unjuk performanya yang sejauh ini tak pernah tersampaikan.
"Sure, let's win these things."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top