39. Bangga
Bagi Karin, pulang ke rumah usai melewati sengitnya babak penyisihan bukanlah menjadi tempat pelarian yang pas untuk merayakan kemenangan. Belakangan ini, Karin kira segalanya cepat berganti dari menyenangkan ke sisi menyedihkan. Apa yang ia bawa tentang sekadarnya perjuangan tidak menumbuhkan reaksi yang diinginkan. Ternyata selagi performanya belum pasti menjadi yang paling hebat, perubahan tersebut tidaklah terhitung signifikan di mata mamahnya.
Jika ditanya sejak kapan semua kekacauan ini bermula, Karin tidak bisa merujuk apa pun selain seorang laki-laki bernama Keith Farez Alfansa yang melampaui kepintarannya. Dahulu, sebab kekalahan yang tak pernah diduga berturut-turut menimpanya, Karin pikir wajar saja mamahnya terkejut keheranan. Penalaran logisnya menyimpulkan, mungkin mamahnya itu bermaksud peduli akan penurunan kualitas belajarnya. Di luar itu, Karin pula merasakan kejanggalan serupa tentang mengapa ia tidak mampu menguasai ladang akademis seperti biasa.
Tidak tinggal diam, tentu Karin berusaha memforsir waktu lebih keras untuk menyaingi kemampuan rival terkuatnya. Semester demi semester, Karin menunjukkan kemajuan yang-walau sedikit tetap saja-berhasil mendekati nilai total ujian lelaki tersebut secara bertahap. Untuk Karin sendiri, memperlihatkan progres itu ke mamahnya sebagai pembuktian bahwa pengetahuan yang ia miliki tidak merosot sama sekali sebenarnya sudah cukup membanggakan. Namun, setiap protes yang masuk ketika pengumuman peringkat paralel dikabarkan lambat laun membuat Karin tersadar, perdebatan ini bukanlah tentang perkembangan melainkan siapa yang berlaku dominan.
Di samping motivasinya yang telah terdorong positif niat mengamplifikasi kecerdasan, kesenjangan tersebut malah mengakibatkan Karin cukup tertekan memproses tujuannya. Di balik hukuman berupa kemarahan mamahnya yang terus-menerus menyoroti kegagalan, sejatinya Karin kesulitan menerima. Meski selama dikomentari Karin banyak termenung mengikhlaskan, jujur di dalam hati ia sering merutuk menciptakan kalimat negatif yang berkesan menyalahkan atau membenci kekurangan pribadi.
Karin sedih ia tidak sanggup menyenangkan mamahnya perkara bidang yang seharusnya sangat mudah ia kuasai. Adapun, Karin merasa bersalah tidak memaksimalkan potensi sebesar harapan mamahnya. Mungkin, jika dipikir kembali, hal tersebut merupakan alasan mengapa dahulu Karin begitu sebal melihat Alfa bersikap congkak menyia-nyiakan talentanya. Andai Karin diberkati otak secermelang itu, barangkali Karin tidak akan mengecewakan mamahnya layaknya kini dan pula sebelumnya.
"Karin! Kamu, tuh, serius nggak, sih, ikut lombanya? Di dua pertandingan kemarin main kamu jelek terus, loh!"
Karin memilin jemarinya. Ia tidak tahu perlu membalas apa. Satu dari sekian kumpulan kata yang tersusun di kepala, Karin ragu menengahinya bagaimana.
"Boro-boro bisa geser ranking Alfa di Bina Bangsa! Perkataan kamu kayaknya cuma lewat telinga Mamah doang, ya, ternyata? Lawan musuh yang nggak seberapa di kotak penentuan aja kamu nggak mampu!"
"Tapi, sebagai gantinya Karin banyak jawab soal di ronde kedua, Mah. Karin berkontribusi penuh, kok, untuk tim."
"Ya, ampun Karin! Udah tau performa kamu buruk, kamu masih berani berkomentar?"
Mendengarnya, Karin tercelus pedih. Matanya membendung sedikit panas walau tidak serta merta ia tumpahkan begitu saja. Demi mengantisipasi lonjakan emosinya, Karin mengalihkan pandangan.
"Kalau kamu bersikeras merasa cukup di perlombaan ini, biar Mamah kasih tau." Bergerak menyambangi meja kaca yang terletak di belakang, Anna mengambil sehelai kertas putih yang berisikan coretan kasar. Halaman utama lembar tersebut ia bentangkan kepada anaknya. "Lihat, dari 25 pertanyaan kategori MIPA yang tersedia, kamu cuma mengeksekusi enam pertanyaan, Karin! Cuma enam!"
"Ya, nggak mungkin Karin jawab semuanya, 'kan, Mah? Itu juga terhitung bagus, kok, menimbang ada belasan peserta lainnya yang rebutan sama Karin."
"Tapi, Alfa dapat delapan poin, Karin. Dia mengungguli dua soal di depan kamu!"
"Kalau begitu bagus, 'kan? Karin sama Alfa saling melengkapi untuk menguasai pertandingan? Bukannya yang Mamah pengin pada akhirnya Karin berhasil memenangkan perlombaan?" Menelan ludah singkat hendak mencairkan perdebatan, Karin mendongakkan kepala berupaya meluruskan segalanya.
"Betul pencapaian kamu meraih kejuaraan itu penting, Karin. Namun, konteks sesederhana itu udah nggak relevan di situasi yang sekarang. Saat ini, kamu dikelilingi banyak pesaing dari berbagai provinsi dan pula ada di dalam satu tim yang sama dengan rivalmu sendiri! Kamu mengerti, 'kan? Peluang mendominasi agenda ini mengartikan apa saja?" Sayangnya, jalan pikiran Anna dan putri kesayangannya itu terlampau berbeda. Pulang membawa batang trofi merupakan hal wajib sedangkan pembuktian siapa yang paling bersinar di puncak takhta selaku kampiun adalah tujuan sejatinya. "Melebihi itu, EKSEMPELAR seharusnya jadi tolak ukur untuk memaksimalkan batas kemampuan kamu, Karin. Kalau di babak penyisihan kemarin kamu sukses cuma karena di-back up sama Alfa, terus gunanya kamu ikut kompetisi itu buat apa? Mau? Balik sekolah nanti ranking kamu selalu ada di bawah dia? Atau merasa cukup? Dengan 'kontribusi penuh' yang tadi kamu bilang?"
Melalui pungkasnya penekanan tersebut, Karin pun usai berkutik mengutarakan pendapat sembarangnya. Meski menyakitkan, apa yang mamahnya ungkapkan barusan tepat sasaran melucuti kenaifannya
"Semoga diamnya kamu menandakan bahwa kamu sudah paham, ya, Karin. Mamah pusing lihat kamu kayak begini! Nggak ada kelonggaran, pokoknya di babak semifinal besok kamu harus bisa mengimbangi Alfa. Mamah tunggu!"
Demikian dengan berlalunya Anna meninggalkan ruang keluarga, dada Karin setia berkecamuk menyiksa diri atas sukarnya menggapai objektif yang tersambar sampai ke perlombaan. Serba-serbi kalimat pembelaan yang ingin ia lontarkan kepada mamahnya membuat Karin segera tersadar bahwa intensinya melawan keluhan tersebut hanyalah wujud alasan kecil untuk membenarkan kesalahannya.
Mengusap butir air mata yang jatuh dari pelupuk sebelah kiri, Karin menarik napas panjang mengembalikan keseimbangan. Benar, di saat seperti ini, Karin tidak boleh melemah apalagi cepat puas terhadap sesuatu yang tidak seberapa. Bagaimana pun juga, maksud mamahnya itu baik, bukan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top