38. Favorit
Ketidaksempurnaan praktik rencana pada ronde pertama lusa kemarin membuat Karin menyadari suatu hal tentang kelemahan yang terdapat dalam performa timnya. Tanpa terkecuali kemampuan Alfa yang tentu masih bisa ditingkatkan, dirinya dan—utamanya—Luna ternyata kurang tanggap perihal ketangkasan motorik. Selang 1 hari berlatih menjawab cepat sembari memperagakan menekan tombol berwujud benda sembarang sayangnya belum cukup meningkatkan pergerakan. Permainan kedua di babak penyisihan sungguh sengit. Sedari tadi, Alfa, Karin, dan Luna kesulitan menyeimbangi sengitnya dominasi pertarungan menghadapi sembilan regu lawan sekaligus.
Tet
"Pada proses biosintesis metabolisme sel, substansi unit yang membentuk makromolekul disebut sebagai polimer."
Hening meliputi sejenak, juri pun mengonfirmasi kalimat tersebut selaku jawaban yang benar. Satu poin lagi-lagi diakumulasikan ke tim musuh.
Karin menggertakkan giginya kesal. Perolehan skor SMA Bina Bangsa sekarang urung menjamin kelompoknya mampu melanjutkan ke babak semifinal. Setidaknya, Karin wajib memastikan mereka bertiga masuk ke peringkat enam besar menurut hasil penjumlahan nilai di tahap ini dan kotak penentuan. Meski begitu, Karin tentu tidak memperlihatkan kecemasannya terhadap Alfa dan Luna. Mengacu jabatan ketua yang saat ini ia emban, sikap bijak dan ketenangan yang ia miliki jelas lebih pantas ditunjukkan.
Akibat keluhan berkonteks membandingkan mamah-nya yang cenderung mengganggu kestabilan berpikir, Karin jadi tahu bahwa performanya barangkali memang belum seberapa. Terbiasa akan kemenangan membuat Karin cukup terlena atas kepuasan fana. Sekejap, Karin lupa menghitung kumpulan insan yang melampaui perkembangannya.
"Nilai membanggakan bukan sebatas simbol siapa yang jadi juara pertamanya, 'kan? Mungkin segalanya nggak harus diartikan secara harfiah. Di balik itu, pasti ada usaha yang mengimbangi."
Beruntung, perbincangannya dengan Alfa 2 hari yang lalu menguatkan Karin soal bangkit menyiasati keterpurukan. Walau sempat kecewa lantaran mamah-nya hanya menyoroti satu hal, yakni dominansi, kalimat Alfa meyadarkan Karin bahwa perjuangan menuju ke situ adalah unsur penting yang patut pula memegang perhatian. Berdasarkan itu bagaimanapun kendalanya, Karin rasa semua sanggup dibenahi.
"Alfansa, Luna, dengar ucapan gue. Kita nggak bisa begini terus. Apa pun yang terlintas di otak lo berdua, tombol itu harus langsung ditekan."
Mendengar bisikan Karin, Luna termenung. Raut wajahnya mengerut kebingungan tengah menimbang keputusan. "Tapi, kalau salah, skor kita bakal dikurangi satu, Rin. Apa kamu yakin, kita bisa terima resiko itu?" balas Luna tampak bimbang. Perempuan itu ragu dapat melakukannya seiring pengalaman ini masih awam baginya.
"Kalau sisa tim ini isinya bukan kalian, gue nggak mungkin ngomong begitu. Alasan gue berani mengucapkan hal tersebut adalah karena gue tau betul lo berdua sehebat apa. Hafalan lo itu super banget Luna. Gue jamin lo nggak bakal salah. Sebaliknya, lo cuma perlu mempercepat gerakan supaya dapat mencuri kesempatan untuk menjawab. Kepintaran lo nggak akan berpengaruh apa-apa buat kita, Lun, semisal lo tahan terus di dalam otak. Alfansa juga, walau sepanjang permainan lo udah gesit, gue percaya lo bisa jauh lebih cekatan dibandingkan ini."
Saling beradu pandangan, Alfa, Karin, dan Luna kemudian menganggukkan kepala menandakan persetujuan. Masing-masing menampilkan gestur yang berkesan serius seolah semangatnya berkibar semakin membara. Alfa menegakkan kerangka tubuhnya, Karin menyesuaikan posisi bingkai kacamatanya, sedangkan Luna mengambil napas panjang mengisi ketenangan.
Mengamati pertanyaan berikutnya, materi lingkup sosial humaniora pun muncul dibacakan dengan keras oleh pemandu acara perlombaan. Topik mengenai pertempuran mempertahankan negara pasca kemerdakaan sontak dilontarkan kembali menegangkan suasana. Alfa dan Karin lantas melirik Luna hendak menyisipkan kekuatan agar rekannya itu siap merebut peruntungan kali ini. Begitu waktu menjawab diberikan, tangan Luna segera berayun tangkas ke pusat podium mengabulkan harapan.
Tet
Sayangnya, sistem menempatkan Luna berada di urutan kedua. Seorang laki-laki berambut cepak dari tim sebelah lebih dahulu membunyikan bel ternyata.
"Terjadinya pertempuran Surabaya disebabkan adanya kewaspadaan rakyat atas kedatangan AFNEI yang diboncengi sekutu NICA."
Namun, usai detik berjalan meninggalkan penantian, beruntungnya jawaban tersebut tidaklah benar menurut kunci yang diciptakan para juri. Lampu merah lalu menyala mengisyaratkan kelompok tersebut kehilangan satu poin perkara gagal mengutarakan informasi secara tepat. Mengacu aturan tata laksana—berhubung soal belum berhasil dipecahkan seutuhnya, kesempatan memperoleh skor otomatis dilemparkan kepada Luna. Sempat menelan ludah menurunkan tingkat ketegangan, perempuan itu pun lugas menyampaikan pengetahuannya.
"Pertempuran Surabaya tercetus akibat terbunuhnya Jenderal Malaby dan penolakan rakyat berdasarkan ultimatum penyerahan senjata dari pihak Inggris."
Selintas mendapati reaksi juri yang bertindak mengonfirmasi, lipatan garis mata Luna mengerut tipis yang dibalas senyuman ceria oleh Karin sedangkan respons Alfa senantiasa santai menjengitkan alis. Gestur afirmasi mereka yang seolah berkata 'Luna memang hebat' tersebut membuat ia semakin percaya diri unjuk kemampuan. Sifatnya yang lembut bukanlah hambatan bagi Luna bersikap cekatan. Sebaliknya, Luna hanya perlu beradaptasi terhadap anomali yang menuntutnya mendobrak perlawanan.
"All right, let's show them what we got."
Dengan hadirnya pembuktian itu, tiga remaja perwakilan SMA Bina Bangsa kini siap mengeluarkan potensi maksimalnya.
Terselimutinya rona kekhawatiran yang menguar di sela-sela sesi istirahat ronde kedua rampung terlewati usai diisi ramainya pembicaraan tentang siapa yang berpeluang maju ke tahap selanjutnya. Puas beradu asumsi berdasarkan baik dan buruk kualitas performa sebelumnya, pengumuman secara terbuka terkait hasil pertandingan pun akan segera dikabarkan yang lantas turut meningkatkan kadar kecemasan.
Selagi menunggu, tidak seperti Karin dan Luna yang tampak tegang menjetikkan kuku atau sekadar mengaitkan ruas jemarinya masing-masing, Alfa merenungkan masalah lain perihal seorang gadis yang mampu menggali sumber motivasinya. Selama melalui rangkaian peristiwa khususnya di babak penyisihan ini, Alfa baru menyadari kerja otaknya dapat meningkat drastis ketika Karin mendukung ataupun menyemangatinya. Amplifikasi tersebut merupakan suatu keajaiban. Mengetahui buah usahanya sanggup membuat perempuan itu senang, entah mengapa Alfa merasa ikut bahagia sekaligus terdorong melepaskan upaya apa pun demi menghadirkan lekuk manis di bibir Karin.
Kembalinya esensi aneh ini menimbulkan kebingungan pada diri Alfa. Pada dasarnya, membangun mental selaku juara di perlombaan adalah hal yang sudah lama tidak Alfa implementasikan. Andai boleh jujur, bahkan awal mula intensi Alfa mengikuti EKSEMPELAR tidaklah pernah disisipi keseriusan. Seluruhnya, diliputi kemarahan. Alfa tidak suka, Alfa benci, Alfa ingin menjauhi, namun presensi Karin justru mengirimkannya satu hadiah kecil bermakna perhatian.
Setelah ia sukses menyumbang banyak poin di pertengahan hingga akhir permainan tadi, Karin berjingkrak bangga sembari tersenyum luas memujinya. Gestur apresiasi itu menyebabkan hati Alfa menghangat seakan Karin paham cara menanggapi nilai kontribusinya. Di hadapan Karin, jerih payah Alfa tidak dianggap sia-sia. Sebuah pintu yang dahulu enggan Alfa kunjungi, kini malah berderik lebar mengundangnya.
"Jangan panik, guys, berdoa terus kita lolos ke tahap berikutnya, ya?"
Seruan itu mengakibatkan ekor mata Alfa melirik ke sudut bawah. Berhubung tergetnya tengah fokus mengamati layar proyektor, diam-diam Alfa jadi bisa memindai wajah Karin tanpa ketahuan. Secara objektif, Alfa pikir eksplorasinya terhadap Karin memang mendatangkan segudang perubahan positif jika ia tidak menutup kenyataan. Bila tahu efeknya berkisaran drastis, demikian Alfa menyesal kenapa ia tidak dekat dengan Karin lebih cepat daripada sekarang.
"Look! It's already started!"
Seraya mengusap tengkuknya kasar, Alfa menghela napas panjang. Tidak tahu. Pokoknya, seumpama nama tim mereka benar ada di peringkat enam teratas, Alfa mau Karin membayar upah kecerdasannya selain berupa senyuman dan kalimat pujian yang kurang memuaskan. Bagaimanapun juga, dia ini aset yang paling hebat, bukan?
"Rin, punya kita udah muncul?"
Tak sengaja menoleh ke arah samping, Alfa mendapati Luna sedang berjinjit kesusahan melihat tampilan monitor sebab lokasinya yang ada di ujung keramaian. Dipunggungi puluhan badan yang menghalangi jarak pandangan, tentu tidak menguntungkan Luna yang tampak antusias mengiringi pengumuman.
Sekilas menumbuhkan simpati, Alfa lalu menyentuh pundak Luna hendak menawarkan untuk bertukar posisi berdiri. Menilik papan digital dari titik mana pun, rasanya bukanlah masalah bagi Alfa menimbang postur tubuhnya yang menjulang tinggi. Usai memastikan keadaan Luna baik-baik saja, Alfa lantas turut mengamati.
Tercetusnya bunyi tidak mengenakan serta warna bingkai yang didominasi pulasan kelabu membuat Karin sontak terperanjat histeris lantaran terbawa suasana yang menurutnya begitu mencekam. Hasil keputusan mulai diedarkan dari urutan terbawah, yaitu kesepuluh. Suara tangis kandidat yang gagal menyambung perjuangan memburai keras di sekitar pendengaran. Disusupi duri kecemasan, dengan tenang Karin terus berupaya mengatur pernapasan. Telapak tangannya terasa lembab dan berkeringat meski udara yang bersikulasi sudah dilapisi pendingin ruangan.
Tak disangka, sorotan proyektor telah sampai di peringkat kedelapan. Puncak ketegangan tercipta seringan itu layaknya dua nama terakhir yang muncul akan menjadi penentuan apakah timnya bisa masuk ke babak semifinal atau tidak. Secepat detik berlalu Karin memejamkan netra, nada dering berkesan ceria dan segala sorak yang menyahut berbalasan dengan sedihnya kegagalan memenuhi telinga Karin. Memberanikan diri lewat kelopak matanya yang mengintip, raga Karin terguncang seketika menemukan identitas perwakilan Bina Bangsa tertulis di deretan keempat.
"Oh, my God! It's happening guys! We did it!"
Menjerit seraya memejamkan matanya erat masih mengendalikan hawa kebahagiaan, Karin pun segera membalikkan badan niat memeluk Luna hendak merayakan kesuksesan. Panjang lengannya tepat sasaran menangkap presensi seseorang. Refleks tersebut spontan digerakkan karena Karin tahu sedari tadi Luna terdiam di bagian belakang sebelah kirinya. Namun, teliti meraba struktur anatomi Luna, Karin pikir susunan fisik ini bukanlah milik perempuan tersebut.
Sisi wajah Karin terhambur pada suatu permukaan yang bertekstur bidang dan keras. Bukannya tepat bersinggungan dengan pipi Luna, kepalanya malah terdampar di ceruk leher manusia. Kerangka tubuh Luna jelas tidak mungkin sebesar ini. Adapun, parfum Luna yang Karin kenal beraroma segar khas buah dan sari bunga, berganti kontras mengandung ekstrak tajam berciri harum maskulin.
"Karina."
Sontak, begitu intonasi berat yang diselingi dehaman singkat itu bergaung memperingatkan, Karin segera undur menahan semburat malu. Jantungnya berdebar kencang tak karuan. Karin salah tingkah. Aliran darahnya kian memanas tiada terkira.
"Sorry! Sumpah gue nggak bermaksud apa-apa! Gue kira lo Luna! Tadi Luna ada di situ," ujar Karin menegaskan sembari merutuki kebodohannya. Ia tidak sanggup menatap Alfa yang barangkali tengah memasang ekspresi bersyarat kemarahan.
Tanpa sepengetahuan Karin, sebaliknya binar kepolosan laki-laki itu justru membulatkan netra kesulitan memproses. Kokohnya seorang Keith Farez Alfansa yang terkenal sukar dipengaruhi perempuan sedang terdiam kaku membasahi kerongkongannya dengan menelan ludah. Laki-laki itu membuang muka. Ia menarik napas panjang ingin menetralkan kondisi hati.
Mengenai bayaran sebelumnya, soal upah kecerdasan selain bentuk senyuman dan kalimat pujian yang sudah pernah Karin berikan, Alfa rasa tindakan tadi cukup membuatnya puas. Melebihi itu, hangatnya dekapan perempuan tersebut barangkali telah menjelma hadiah favorit Alfa sekarang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top