35. Gemas
Pendaran lanskap langit malam yang disusupi lambatnya peredaran bulan merangkap saksi sepasang remaja yang saat ini tengah berjalan melingkupi kesunyian. Masing-masing membentuk gestur tak nyaman seakan keberatan untuk membuka pembicaraan. Alasannya, jarak mereka terlampau berjauhan lantaran Karin tak sanggup mengejar jenjangnya langkah kaki Alfa sedangkan Alfa enggan menunggu Karin bersisian. Laki-laki itu terus memunggungi Karin seolah pertengkaran kecil dengan Jo sebelumnya tak pantas didiskusikan.
Sebenarnya, Karin kesal Alfa memungutnya lewat cara yang kurang sopan. Namun, yang mengakibatkan kemarahan Alfa menguap terlebih dahulu adalah Karin sebab terlaksananya sandiwara ini merupakan hasil kesepakatannya. Semuanya, murni kesalahan Karin. Oleh karena itu, Karin tidak mengoreksi sedikit pun panasnya reaksi kecemburuan Alfa selain menebarkan harum bunga di hatinya. Ternyata begini, ya, rasanya dikejar seorang lelaki? Karin mengulum senyum. Astaga! ia tidak boleh asal mencerna perasaannya sembarangan!
Di sisi lain, meski kini laki-laki itu sedang memeragakan gestur super keren dengan menyimpan kedua tangannya ke dalam saku tanpa menilik sebersit pun ke arah belakang, sesungguhnya Alfa kewalahan hendak menuntun Karin ke area tujuan. Ia terlalu malu untuk sekadar menghadap Karin lantaran sikapnya yang berlebihan. Maksud Alfa, Karin paling tidak suka ketika ia menunjukkan amarahnya, bukan? Ingatannya tak bisa memungkiri bahwa respons kebencian Karin sering muncul kala itu terjadi.
Demikian, menanggapi batas peristiwa rujukan, Alfa tak pula melewati semaunya. Ia yakin, emosinya telah dipegang sempurna perihal mengendalikan keganasan. Buktinya, Alfa tidak mengepal ruas jemarinya erat niat menghajar Jo atau mengeluarkan kalimat keras nan menyakitkan. Sebaliknya, Alfa cuma memberi peringatan agar Jo tak lagi mengganggu Karin supaya ia tak kehilangan. Perasaan yang berakar 4 tahun silam tumbuh kembali memengaruhi akal sehatnya.
Menyadari banyaknya potensi hal bernilai positif yang menguar di sekeliling kehadiran Karin, membuat Alfa tak ayal dapat melepasnya terbang seringan udara. Alfa masih ingin mengeskplorasi keterkaitannya terhadap Karin. Namun, kebenaran aksi sepihaknya sulit Alfa konfirmasi. Barangkali, diamnya Karin sekarang menandakan bahwa perempuan tersebut sebetulnya malas berada di sekitar Alfa. Lelaki jahil dan menyenangkan layaknya Jo mungkin lebih menarik di mata Karin.
"God! Clear your mind!" Cerminan presensi Alfa di benak menggeleng singkat. Susah payah Luna menyemangati, semudah itukah percaya dirinya luntur? Tidak! Perjuangannya baru saja dimulai.
Kenyataannya, Alfa hanya bingung bagaimana caranya mendekati seorang perempuan. Karin merupakan pengalaman pertamanya. Sepanjang perkenalannya terurai, bahkan sejak lahir percakapan hangat tersebut bermula, biasanya Karin yang mengumbar suasana tipis bersyarat kaya akan warna. Tak melulu tentang keriangan, sedikitnya, Karin mampu menyentuh titik terlemah Alfa walau kekuatannya belum sanggup Alfa izinkan menembus permukaan.
"Kita mau ke mana, sih?" Tak kuasa menanti laki-laki itu berbicara, kaki Karin menghentak di tanah seraya memasang raut cemberutnya karena pegal mengikuti Alfa dengan menangkup buku-buku tebal di dekapan. Lelaki tersebut tidak mengasihnya keringanan, seperti Alfa bisa, 'kan? Mengajukan tawaran berupa membawa beratnya tumpukan jilid materi ini?
"Sebentar lagi."
Jawaban singkat Alfa tambah mengerucutkan bibir Karin. Ia menghela napas pendek. Sebersit emosi negatif sulit tumbuh meski Alfa tengah bertindak menyebalkan. Apa awalnya selalu begini, ya? Sepemahaman Karin, cerita Rania memaklumi kekurangan Zaki juga persis mencetak hal serupa. Tabiatnya dan Rania berbeda, bukan?
"Kita udah sampai."
Mendengar nada berat itu kembali bergaung, Karin menyisir pandangannya ke depan usai menunduk melahap kejemuan. Pemandangan yang menyisir lensa matanya membuat Karin sontak berbinar tersenyum lebar.
Kedua alis Alfa berjengit antusias. Apa lokasi pilihannya tepat menggugah suasana hati Karin?
"Bagus banget! Lo tau tempat ini dari mana?"
Sejatinya mau tersenyum, Alfa malah terdiam berlagak abai. Ia tidak membalas cerianya tatapan Karin yang tak aman bagi detak jantungnya. Refleksi cahaya bulan yang terbias sempurna di genangan kolam terpancar cantik memercik salam yang ingin Alfa titipkan. Cukuplah, ia mengatur keseimbangan. "Ayo, duduk."
Ajakan Alfa Karin turuti sebagaimana penglihatannya tak berhenti memindai eloknya tumbuhan teratai yang mengambang di sepanjang perjalanan. Ketika tubuhnya berhasil menjajahi bangku taman ditemani kehadiran Alfa, Karin berujar, "Dibandingkan dalam ruangan, sejujurnya gue prefer belajar di luar yang cenderung nggak membosankan. Waktu kecil, jadwal gue padat banget sampai sesulit itu sekadar main ke kebun belakang rumah."
Punggung Alfa menyender. Ia menyimak cerita yang disuguhkan oleh Karin.
"Efek terbatasnya pergerakan gue dulu lumayan menempel, sih, hingga sekarang. Makanya, setiap ada perlombaan kayak begini, semisal otak gue udah panas rasanya nggak jarang pengin istirahat jalan-jalan." Karin mengayunkan kakinya yang bergantung di penyangga kursi. Kepalanya menengadah, ia menghirup banyak udara segar. "Makasih, ya, udah bawa gue ke sini."
Alfa tertegun. Atensinya tercuri sesaat Karin memejamkan kelopak matanya. Kesempatan tersebut ia gunakan untuk mengamati wajah Karin. "Iseng aja," ucapnya kemudian berganti jalur menghadap lurus.
Karin membulatkan netra. "Hem? Apanya yang 'iseng'?"
"Tempat ini. Iseng aja gua temukan," balas Alfa menjawab pertanyaan Karin sebelumnya. Ia berbohong, padahal faktanya, sejak kemarin Alfa sengaja mengelilingi hotel mencari titik sempurna hendak menciptakan momen kebersamaan. Menilik saran di internet, katanya perempuan gemar lingkungan yang berkesan indah dan menenangkan.
"Oh, begitu." Karin mengangguk-angguk. "Cocok juga selera lo di gue."
Kelima jemari Alfa mengusap tengkuk. Badannya menegak kaku. Entah mengapa ungkapan Karin yang bermakna keselarasan membuatnya tersipu.
"By the way, Luna mana, ya? Kita mau belajar di sini, 'kan?"
"Hm?" Menyadari adanya sosok yang hilang, Alfa bergumam. Ia melupakan Luna? Tidak, sedari awal niatnya ke sini memang bukan untuk berkumpul sebagai tim melainkan Alfa hanya ingin berdua dengan Karin. "Iya, baru selesai mandi? Coba gua chat lagi," dalihnya menutupi seolah-olah rampung mengabari. Telunjuknya buru-buru menggulir kontak Luna mengirim petunjuk lokasi. Betapa tak tahu terima kasihnya Alfa jika kini ia mengabaikan Luna yang mungkin dilanda kebingungan di ruang baca.
Menyambar tumpukan buku di sebelahnya, Karin tersenyum. Membuka diri terhadap sosok Keith Farez Alfansa barangkali tidaklah seburuk yang ia kira. Setelah menerima seluruh kenyataan sekaligus usai berperang melawan dilema, Karin justru lega. Ia jadi mengerti apa yang Kanova bicarakan di malam itu. Timbulnya penyakit di balik kata suka sejatinya mudah dikabulkan seiring banyaknya pendustaan. Selama ini, Karin selalu menjauhi Alfa walau sebenarnya ia menyimpan ketertarikan. Embel-embel fokus perlombaan menjelma alasannya untuk tidak memedulikan perasaan. Faktanya, atensi Karin sering terbuang percuma lantaran ia enggan menyelesaikan permasalahan. Karin ragu mengizinkan dunia remajanya disusupi kisah romansa yang tak jelas menabur kebermanfaatan. Sekarang berhubung ia sudah tahu ingin mengolahnya seperti apa, Karin tak lagi memusingkan. Cinta sifatnya tak selalu membutakan, bukan? Biar saja semuanya berjalan. Karin akan memahaminya secara perlahan.
"Karina!"
Mendengar suara lantang Alfa berseru, sontak Karin menoleh. Ia terperanjat, kala mendapati wajah dan bahu laki-laki itu tampak menegang, kedua kakinya menjinjit ke atas, sedang dahinya berjengit lunak seolah-olah menghindari konteks ancaman. Menghadap ke bawah, Karin menemukan seekor kucing berkalung kepemilikan tengah mengeluskan kepalanya ke betis Alfa yang terekspos sebab mengenakan celana pendek.
"Punya siapa, ya?" Sembari menggendongnya ke pangkuan, Karin terkekeh. Saraf Alfa termasuk halus bisa merespons secepat itu akibat sapuan bulu hewan menggemaskan tersebut. "Geli, ya? Kadang gue juga begitu kalau tiba-tiba disenggol ku—"
"Kenapa diangkat? Turunin Karina!"
"Loh?" Mata Karin membulat. Ia mencerna kalimat. Reaksi Alfa bukan dikarenakan gerak spontan keterkejutan?
Meow!
"Ssssshh!" Alfa mendesis. Laki-laki itu mengetatkan rahang. Tubuhnya mundur sekian senti hendak mengamankan diri ke belakang.
"Lo ... takut kucing?" tanya Karin sebatas menduga yang langsung disambar bantahan tinggi oleh Alfa.
"Nggak! Sejak kapan?!"
"Oh, nggak?" Karin mengulum senyum. Mendadak, semburat kejahilan muncul melebarkan lekuk di bibirnya. Ia memeluk kucing tersebut dengan penuh kasih sayang. Seraya menggeserkan posisinya mendekati Alfa, Karin menawarkan. "Mau coba pegang?"
"Itu kucing, Karina!"
"Ya, memang kucing, 'kan? Terus kenapa?"
"'Terus kenapa' lo bilang?" ucap Alfa terdiam sejenak. Alisnya menukik tajam. Laki-laki itu mengalihkan pandangannya. "Kukunya tajam, Karina! Dia bisa mencakar! Tangan gua pernah dibikin sampai berdarah pas kecil."
"Tapi, ini kucing domestik, Alfansa, bukan kucing liar."
"Tetap aja bahaya, 'kan?"
Tentu, jawaban polos itu membuat Karin tergelak. Kelopak matanya menggaris tipis menjatuhkan air lantaran tak kuasa mendapati kekonyolan Alfa. "Ya, ampun Alfansa, selain galak, lo, tuh, ternyata punya sisi yang menggemaskan juga, ya?"
Alfa mendengkus. Ia tidak suka Karin mempermainkannya. Dahulu, ia benar pernah bertengkar dengan seekor kucing. Namun, gestur Karin yang memburai tawa entah kenapa malah mencuri perhatiannya. Jauh di lubuk hati Alfa, sebetulnya ia senang mampu menghadirkan keceriaan bagi Karin. Selama ini, yang dapat ia picu hanyalah pertikaian. Alfa lega Karin mau menikmati waktu bersamanya. Itu berarti, prediksi Luna mengenai Karin yang mungkin berpotensi turut pula menyukainya bisa diusahakan, bukan?
"Berhenti bercanda, Karina," kata Alfa seraya menyurai rambutnya mengembalikan wibawa. Daripada itu, Alfa pikir kucing sialan tersebut telah memberinya masalah baru. Seharusnya, tadi ia tidak bersikap berlebihan. Apa di mata Karin dirinya sudah tidak keren sekarang?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top