34. Respons

Usai mementaskan sandiwara—yang ke sekian kalinya hari ini sukses dilancarkan—sesuai instruksi Jo persis di sekitaran presensi Alfa, kini Karin berpindah tempat menuju ruang baca sekalian menunggu anggota timnya memasuki waktu belajar. Agenda makan sore usai berjalan. Isitirahat pula telah disematkan oleh Karin kepada Alfa dan Luna untuk sejenak merebahkan diri atau membersihkan tubuh sebelum bergabung dengannya yang sudah rapi, bahkan saat gelap urung sepenuhnya menyentuh langit malam.

Kebetulan, Jo sama rajin seperti Karin rupanya. Melihat Karin yang tengah sendirian, Jo lantas bergabung menarik kursi tepat duduk di seberangnya. Kontak spontan tersebut tentu tidak ada dalam rencana, perbincangannya didasari penantian kehadiran akan rekan masing-masing di titik pertemuan.

"Berhubung ronde pertama bakal dimulai besok dan sekarang kita juga lagi senggang, mau bahas ini?" Jo mengeluarkan selembar kertas yang ia duga berpotensi menuntut sumber kekacauan Alfa.

Sebelah kaki Karin melipat ke atas lutut. Ia menopang dagunya menggunakan ruas jari seolah-olah siap menghadapi evaluasi Jo. Jantungnya berdegup cukup kencang. Sebenarnya tanpa dijelaskan pun, Karin tahu hasilnya bagaimana. Karena setiap percobaan berlangsung, Alfa selalu terjerat memasuki jaring perangkap. "Boleh, kenapa enggak?"

Kepala Jo mengangguk. Telunjuknya menyorot daftar reaksi buatannya yang menunjukkan adanya tanda ketertarikan. Ia berkata, "Kita cuma butuh 5 list sikap unik untuk membuktikan dia suka sama lo. Yang mana, sebanyak empat dari keseluruhan udah berhasil dikerjakan." Jo mencentang urutan kotak ceklis menggunakan pensil yang ia simpan di saku baju. Batang kayu tersebut ia jepit di depan mulut. "Lo tau, 'kan? Itu artinya apa?"

"Ini terlalu kenak-kanakan. Semua yang kita lakukan sekadar permainan, bukan?"

"'Sekadar permainan'?" Jo terkekeh. Jemarinya sigap mengambil alat tulis yang menghalanginya untuk berbicara, "Karin, cewek secerdas lo nggak mungkin mau terima taruhan 'kekanak-kanakan' ini kalau lo nggak serius pengin cari tahu tentang kebenarannya. Kenapa pura-pura nggak peduli, 'kan?" Karin tidak menjawab. Keraguan itu menyebabkan Jo niat mengulas pertanyaan mematikan lainnya, "Lo takut menerima fakta andai dia suka sama lo, ya?"

"Nggak!" Tanpa disadari, Karin tiba-tiba membentak. Ia menelan ludahnya berusaha menetralkan panasnya suasana. Letak kacamatanya ia benahi sesuai posisi seraya memindahkan pandangan. "Maksud gue, data yang lo punya nggak valid. Tau dari mana kesimpulannya bisa ditanggungjawabkan?"

"Ya, gua akui memang nggak scientific. Tapi, selaku remaja laki-laki yang pernah jatuh cinta dan memiliki sekitar lima mantan pacar, gua rasa pengalaman tersebut cukup kredibel dimanfaatkan buat menilai. Nggak segalanya perlu disetujui secara ilmiah dulu untuk digunakan, bukan? Lagi pula, hubungan itu sifatnya practical. Kalau intuisi lo buta, setidaknya lo butuh mengandalkan logika."

Karin termenung. Ia tahu Jo lebih ahli di bidang ini. Pengetahuan Karin seputar keterikatan soal laki-laki dan perempuan adalah nol besar! Tidak seperti Rania atau Namira, Karin tidak pernah sekali pun terlibat kisah romansa yang berkaitan terhadap lawan jenis. Menyisipkan sekilas keinginan saja enggan. Namun, di luar dugaan, hatinya malah beresonansi terpikat pesona Keith Farez Alfansa yang belakangan ini baru ia akui. Meski begitu, tekadnya masih sama, Karin tidak mau mengejar asmara karena menurutnya perlombaan merupakan hal yang paling utama.

Sayangnya, tawaran Jo yang—semudah itu—mengupas dunia baru Karin, justru membubarkan sisi profesionalismenya tanpa pertahanan. Mengetahui bahwa sosok laki-laki yang ia sukai mungkin juga membalas perasaannya serupa, tentu membuat Karin penasaran. Suatu gejolak aneh memaksa Karin untuk membuktikan jika memang timbal balik itu benar adanya, maka esensi yang tercipta antara dirinya dan Alfa patut dihubungkan. Melalui sandiwara ini, betapa terkejutnya Karin ketika Alfa banyak menguar reaksi negatif atas apa yang Jo sebut sebagai respons kecemburuan.

"Kalau lo mau, kita bahkan bisa mengecualikan agenda nomor limanya."

"Bukannya itu yang paling penting?"

"Oh?" Seringaian Jo tampak melebar. Ia tertawa kecil sembari memajukan badannya menjumpai Karin. "Lo pengin banget, ya? Dia berani merebut lo dari gua?"

"Jangan sembarang, deh! Gue nggak berharap begitu!"

Gelak Jo semakin terburai. Mendapati pipi Karin tersemu padam, ia mengafirmasi informasi tambahan yang menarik pusat perhatiannya. "Karin, ternyata lo nggak pintar menyembunyikan perasaan, ya? Awalnya, gua kira ini sekadar cerita cinta dia doang yang bertepuk sebelah tangan karena lo nggak peka. Ternyata berlaku di keduanya. Udah berapa lama lo menyimpan rasa ke dia?"

Karin menekuk bibirnya masam. Sejumput peserta lain yang mulai mengisi ruang baca berlalu-lalang merayapi kebingungannya. Segampang itu, ya, Jo mengungkap rahasianya terkait Alfa? Apa gerak-gerik Karin terlalu kentara? Atau jangan-jangan Alfa pun sudah mengetahuinya? Memproses bentuk ketertarikannya pada Alfa saja butuh berhari-hari bagi Karin. Efeknya yang sebesar itu perihal menyangkut kesehatan jantung dan kejernihan berpikirnya menuntut Karin kewalahan. Terlampau sibuk mencerna perasaannya sendiri, menyebabkan Karin melewatkan unsur pokok mengenai perubahan manis Alfa tanpa memeriksa alasan di baliknya. Menyadari tingkah laku laki-laki tersebut yang kian mendekatinya beberapa waktu lalu sampai kini adalah berlandaskan turut menyukainya pula, apa yang harus Karin lakukan?

"Lupakan, pertanyaan gua yang tadi nggak usah lo jawab. Kembali ke taruhan kita, kalau lo baru yakin setelah menyaksikan adanya sikap kelima, mau lihat itu sekarang?"

"Eh?!" Karin terperanjat. Netranya membulat lebar sebagaimana kebimbangan yang ia punya tak sempat dibicarakan.

"Jangan khawatir, sebentar lagi syaratnya bakal terlengkapi. Lo cuma perlu mengikuti instruksi sederhana yang gua berikan," ucap Jo menyambar ke depan, menemukan sang boneka tengah gusar menatapnya penuh ancaman.

Demi perenungannya yang sudah muak dilanda kegelisahan terkait buru-buru atau tidaknya mengejar seorang perempuan, Alfa tidak tahan lagi. Laki-laki yang akrab disapa Jo atau apa pun itu nama panjangnya harus segera hilang dari peredaran. Seharian ini, Alfa merasa Jo telah memperdayanya habis-habisan melalui Karin. Seberapa akrabnya hubungan baru yang terjalin di antara mereka, Alfa tidak boleh membiarkannya berkembang melebihi ini.

"Semisal Karin belum menyatakan apa-apa, berarti mungkin aja, 'kan? Kalau sebetulnya, Karin juga suka sama kamu?"

Kalimat Luna tadi sore menjadi pegangan yang kembali membangkitkan padamnya semangat Alfa. Rona kepercayaan diri terbakar membara meliputi tubuh jenjangnya. Rumitnya kontemplasi masalah emosi, pertimbangan terganggunya Karin ketika didekati, dan aksi penghindaran berkedok abai itu usai bersemayam menghambat pergerakan Alfa. Sesuai pencerahan Luna, selagi Karin urung menyatakan penegasan, Alfa tidak akan menyerah begitu saja. Banyak ragu tidaklah menggambarkan sosoknya sama sekali. Jika Karin memanglah penting, maka kumpulan kegagalan di belakang detik ini tidak perlu ia hiraukan selain terus memperjuangkan kehendak agar Karin sanggup melihat kesungguhannya.

Menyerang di muka, ekspos kehangatan Jo dan Karin yang mengumbar ke sekeliling membuat dahi Alfa mengernyit dalam. Panas di badannya meluap-luap. Tawa Karin yang selama ini belum pernah ia terbitkan, terhambur seru sebab lelucon Jo yang tak terdengar sesumbarnya seperti apa. Gestur Karin tampak centil sebagaimana tangan lentiknya menepuk bahu Jo akibat candaan yang dilontarkan. Jemarinya menutupi mulut, lipatan matanya menekuk tipis, Alfa tidak suka Jo merebut sesuatu yang ingin dimilikinya.

Tanpa berpikir panjang, kaki Alfa pun melangkah lugas menyambangi target sasaran yang terpisah 10 meter berdasarkan posisi berdiri. Rautnya tidak melunak barang sedikit, alis tebalnya menekuk sengit, rahangnya mengetat kencang, sorot matanya menusuk tajam, Alfa tidak segan mendeklarasikan makna bahwa ia niat mengusir Jo menjauhi Karina Garda Kusuma.

"Oh, lo udah datang?"

Sapaan bernilai basa-basi Karin memegang penuh atensi Alfa. Sekiranya Karin peduli ia ada di samping, Alfa meredakan amarahnya. "Karina, ayo, ikut gua," ujarnya mengulurkan tangan.

Namun, alih-alih dapat membawa Karin dengan damai, Jo malah membuat suasana semakin runyam. Tanpa diminta, seringaian jahilnya muncul seraya menepis juluran jemari Alfa. Ia menentang, "Karin itu tamu gua, lo nggak bisa sembarang ajak dia pergi begitu aja, 'kan?"

"Kenapa? Lo ada masalah sama gua?" tanya Alfa terpancing keributan. Kerangka badannya ia tegakkan sembari mengangkat dagunya tinggi menguar aura intimidasi. Meski pembawaannya tidak melewati batas ketenangan, hal itu cukup menindas Jo seorang.

"Pembicaraan gua sama dia belum selesai. Kalau lo nggak punya urusan, tunggu sebentar, oke?" ucap Jo melawan dominasi kekuasaan Alfa. Ia melirik Karin demi memberi isyarat agar segera mengeskalasi konflik apabila terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Tetapi, usai sekian detik ia membalas tatapan Alfa, laki-laki itu malah menurunkan tingkat ketegangan.

"Semoga kalimat ini sanggup lo pahami," kata Alfa menghela napas panjang. Ia memejamkan netra melunakkan pandangan. Janjinya untuk tidak berlaku menakutkan, berusaha Alfa kendalikan di hadapan gadis yang ia sukai. "Karina itu tim gua. Gua yang lebih berhak buat ambil waktunya dibandingkan lo. Di sini yang 'nggak punya urusan' itu lo, Jonathan! Jangan ganggu dia lagi! Dia butuh belajar menyiapkan perlombaannya bersama gua." Melalui pernyataan tersebut, Alfa pun melirik Karin untuk kemudian mengajaknya pergi meninggalkan ruang baca yang masih sepi berpenghuni.

Tentu, dari belakang Karin mengikuti Alfa selepas menangkup buku-bukunya dalam dekapan. Sempat berkontak mata mengamati Jo, laki-laki itu melambaikan tangannya riang sambil tersenyum lebar mengantarkan Karin ke jawaban yang dicari. Samar-samar, Karin membaca gerak bibir Jo yang membuka singkat. Susunan pesannya berbisik, "Cowok lo galak parah! Jangan lupa bayarannya, ya? Selamat berlayar!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top