33. Gestur

Tak disangka, barang satu hari saja perkenalan itu terjadi, posisi Karin di genggaman Alfa benar-benar raib kecolongan. Laki-laki bernama Jonathan atau yang Karin sebut kemarin akrab dipanggil Jo, sangatlah pandai mengatur pergerakan. Sejujurnya, memasuki masa pubertas, Alfa tidak pernah merasa ditantang seperti ini perihal merebut hati perempuan. Di SMA Bina Bangsa, meski ia tidak mengakuinya secara langsung, sebetulnya Alfa tahu ia ada di puncak rantai ketenaran. Didekati banyak lawan jenis, membuat Alfa paham dengan sendirinya bahwa ia berpotensi menduduki peringkat satu selain di ranah akademik, yaitu merangkap pemain ulung soal meramu percintaan.

Sayangnya, hal semacam itu tidaklah menarik minat Alfa. Lebih tepatnya, Alfa malas memberi perhatian ke sekumpulan gadis remaja yang menurutnya tak patut dipedulikan. Namun, yang satu ini kondisinya berbeda. Semua yang bersangkutan dengan Karina Garda Kusuma berstatus pengecualian di mata Alfa. Itu pun baru ia sadari selepas memungkasi perenungan yang ia lakukan seminggu sebelumnya.

Kembali pada detik ini, hampir setengah hari usai berlalu, Alfa hanya menghabiskan waktu bersama Karin apabila jam belajar tim sedang terlaksana. Di sela-sela kegiatan kosong, Alfa tidak berkutik menangkap atensi Karin lantaran Jo cepat tanggap mengajak gadis tersebut berbicara. Sejatinya ingin protes, Alfa tidak mampu karena Karin terlihat bahagia berbincang dengan Jo apa pun itu nama lengkapnya. Setelah Alfa berpikir kenapa Karin cenderung memilih Jo dibandingkan dirinya, barangkali alasannya adalah tindakan Alfa dipenuhi runtutan pertimbangan sedangkan Jo berlaku sebaliknya. Di saat Alfa tengah menentukan agenda apa yang mungkin bisa mendatangkan kenyamanan bagi mereka berdua, Jo sudah mengakibatkan Karin tersenyum luas menghangatkan suasana. Belum sempat Alfa mengeluarkan suara, Jo sukses membawa Karin pergi berkeliling entah ke mana.

Satu permasalahan penting yang kini menyebabkan Alfa kepanasan, sebenarnya merupakan sikap Jo yang terang-terangan sengaja tidak berniat memahami situasinya. Berulang kali, ketika Alfa melempar sinyal ancaman lewat sorot intimidasinya saat Jo berada di sekitar Karin, bukannya mundur, laki-laki itu malah menyeringai kecil seakan membalas kata bahwa ia setuju hendak merebut perempuan yang tegas Alfa tandai. Respons tersebut, jelas Alfa anggap sebagai isyarat atas berkibarnya bendera perang. Berhubung Karin tidaklah dimiliki oleh lelaki mana pun, Alfa tidak mempunyai pilihan selain menanggapinya secara sehat.

"Kayaknya kemarin udah mendingan, sekarang jauhan lagi, ya?"

Pertanyaan yang mengalun lembut, tetapi esensinya sangat menyakiti itu mengalihkan atensi Alfa. Ia menoleh. "Nggak ada yang jauh," ujarnya bohong seraya menyantap roti berlapis telur yang tersedia di piring.

Luna meletakkan sendoknya dengan posisi terbalik. Ia mengangguk. "Benar 'nggak ada yang jauh'? Berarti, tatapan seram kamu itu cuma menyiratkan kemarahan karena kalah saing sama si Jo, ya?"

Alfa terperanjat, ucapan Luna membuat permukaan kulit di wajahnya terasa mengental melampaui ketegangan. "Gua nggak pernah kalah saing!" katanya tegas.

"Iya, perihal akademik dan olahraga, 'kan?" Luna memancing. Kedua tangannya terlipat rapi di atas meja. "Soal hubungan manusia bagaimana?"

Tahu teman kecilnya itu memiliki bakat matang tentang menilai rumitnya situasi, Alfa menghela napas panjang. Di depan Luna, tidak ada gunanya juga Alfa mengelak, akurasi Luna selalu tepat menimbang setiap pun yang ia tebak. Barangkali, Alfa bisa menuntut umpan balik dari Luna terkait tabiat buruknya. "Lun, sejak kejadian itu, apa lo masih memandang gua sebagai sosok laki-laki yang menyeramkan?"

"Kamu penasaran?" Luna melempar pertanyaan. Bibirnya menggaris lekuk tipis ke arah Alfa. "Semisal kalimat itu kamu maksudkan ke sisi aku yang masih kecil, jawabannya, iya. Luapan emosi kamu dulu bikin aku ketakutan dan nggak percaya diri sekadar berkenalan dengan orang baru. Tapi, aku yang sekarang bakal bilang nggak setelah mengerti alasannya."

Alfa termenung. Walau ia dan Luna sudah berbaikan, sisa penyesalan atas kebodohannya di bangku sekolah dasar dahulu terkadang suka bermunculan di saat ia sedang kesulitan menguasai masalah sentimennya. "Gua minta maaf. Ucapan gua memang kelewatan."

"Bukan salah kamu, Fa, kita cuma anak-anak waktu itu. Aku sendiri yang doyan banget dekat-dekat di sekitar kamu sampai nggak sadar kamu terganggu. Risih, ya? Ketahan main bareng kelompok kamu karena harus menemani aku?" Luna tersenyum. Ia memandang langit-langit putih yang melukis utuh ruang makan. "Tapi, semenjak akrab sama Karin, permintaan maaf kamu sekarang jadi terdengar lebih tulus, ya?"

"Hm? Iya?" Alfa mengusap tengkuknya. Ia tidak tahu.

"Aku lihat kamu juga nggak pernah bertengkar lagi sama dia. Karin pasti berarti banget buat kamu, ya, Fa?"

"Berarti?" Kembali, susunan kata yang keluar dari mulut Luna tak mampu Alfa tanggapi secara pasti. Luna dan gaya khas bicaranya yang sanggup membawa pikiran melanglang buana cukup sulit Alfa resapi. "Kenapa lo berpikiran begitu?"

"Entah, ya?" Luna menutup jemarinya di pangkuan. Ia diam sejenak membentuk bayangan yang terjamah di benaknya. "Kesan yang berbeda sering timbul ketika kamu ada bersama Karin. Sesuatu yang bikin sikap kamu sanggup berubah, cuma karena hadirnya dia semata." Iya, sekian lama menjabat orang ketiga mengamati perkembangan mereka berdua, observasinya tidaklah salah. Luna yakin serangkaian kemajuan Alfa disebabkan oleh istimewanya Karina Garda Kusuma. "Di depan Karin, kamu terlihat peduli, kamu nyaman, kamu berusaha mengendalikan amarah, dan satu hal penting lainnya, untuk pertama kali sekarang aku sadar ternyata kamu bisa takut kehilangan posisi di mata lawan jenis."

Kedua netra Alfa membulat. Ia menggerakkan pandangannya ke sudut kanan demi menutupi tebakan yang mengejutkan. Sekilas ungkapan Luna membuatnya meratapi kebenaran.

"Alfa, lagi jatuh cinta, ya?"

"Luna!" Nada berat Alfa berseru.

Luna terkekeh menutupi bibir lembutnya menggunakan ayunan jari-jemari. Wajah Alfa yang memerah padam menjelma bukti pernyataannya. "Aku bercanda, kok." Namun, alih-alih mendorong agar laki-laki itu mengakui, Luna menghargai perasaan Alfa yang mungkin tengah memproses segalanya. Daripada mencampuri, mungkin pendapat netralnya lebih sesuai digunakan untuk membantu keadaan stagnan hubungan tersebut. "Tapi, kamu nggak apa-apa? Jo sama Karin leluasa begini?"

Alfa menyisir jangkauan visualnya jauh ke seberang. Sepasang remaja yang tengah asyik bercakap sembari menikmati hidangan sore hari mengakibatkan tangan Alfa mengepal dengan erat. Sorot matanya kembali menajam. Jo dan Karin adalah kesatuan yang paling tidak masuk akal di benaknya. Namun, Alfa juga tidak tahu apakah presensinya patut diterima Karin atau tidak.

Menyisir memori pengalamannya yang berkesan buruk pada Karin di awal sampai pertengahan perkenalan, Alfa tidak menyertai apa pun selain sifat kasarnya yang mana sangat menyebalkan. Sayangnya, ketika Alfa ingin menciptakan kesan baru, entah mengapa Karin malah sulit ia gapai. Alfa lantas dilanda kebingungan mengenai apa Karin masih membenci dirinya atau tidak. Diselimuti tindakan buru-buru pula sebaliknya, hasilnya tetap saja serupa.

"Gua nggak mau dia terbebani. Karina banyak menghindar setelah gua dekati."

"Kamu nggak gerak karena khawatir akan hal itu?"

Alfa menunduk. Ia merasa bodoh lantaran selalu bertindak ceroboh tanpa tahu apa yang Karin senangi. Kemarin, yang ia lakukan hanyalah menyemai perilaku kekanak-kanakan, seperti marah dan mengejar. Marah sebab tidak terima Karin berkenalan, bahkan akrab dengan lelaki lain, mengejar di saat jelas Karin meminta waktunya hadir membatasi. "Mungkin Karina nggak nyaman sama gua."

"Karin pernah bilang begitu?"

Alfa menoleh. Tatapannya yang layu tak tahu perlu berkata apa. "Gesturnya nggak bisa dibohongi."

"Gestur mengartikan apa aja, Fa," jawab Luna merapikan roknya yang terlipat. "Yang nggak bisa dibohongi itu nurani. Semua yang kita kendalikan, pasti mampu digerakkan sesuai kemauan kita. Entah itu tangan, mata, kaki, mulut," telunjuk Luna menyentuh setiap bagian yang ia sebutkan, "mereka diberkati cara untuk mengungkap kebenaran maupun dusta belaka. Orang sanggup menyatakan benci walau sejatinya dia menyukai."

Kalimat Luna menarik Alfa ke untaian momen di belakang saat dirinya dan Karin bertengkar hebat. Tidak sekali pun, Alfa pernah menikmati pertikaian yang terjadi. Hatinya, tak lepas meratapi.

"Tapi, dari sekian banyaknya gestur yang bisa dikendalikan, setidaknya satu perhatian harus kamu tempatkan ke mulut. Ucapan verbal menandakan adanya keinginan. Sebuah isyarat di mana manusia telah menetapkan keputusan usai berunding dengan hatinya. Contohnya, kayak penegasan kamu ke aku pas kecil dulu. Makanya, tadi aku tanya, Karin 'pernah bilang begitu' ke kamu?"

Terdiam sejenak, Alfa menggeleng. Wawasan humaniora Luna beruntungnya berhasil menenangkan kegelisahan Alfa. Di samping bidang akademik dan olahraga, perihal semacam ini merupakan hal yang paling sulit Alfa kuasai.

"Semisal Karin belum menyatakan apa-apa, berarti mungkin aja, 'kan? Kalau sebetulnya, Karin juga suka sama kamu?"

"Hm?" gumam Alfa tiba-tiba terbius oleh sambungan kata terakhir Luna. Jantungnya yang panas mendadak berloncatan tak tahu mengarah ke mana. Bola matanya membulat lebar, kedua alisnya terangkat tinggi, wajahnya menyiratkan binar kepolosan seolah-olah Alfa terlihat baru memegang sebersit harapan besar. "Karina ... suka sama gua?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top