32. Gelisah

Menyisir ibu kota seberang selaku tuan rumah, hari datangnya babak penyisihan sukses mengundang seluruh kandidat berkumpul di titik lokasi mewah bernuansa hotel bintang lima. Sebelum menempati kamarnya masing-masing, setiap anggota tanpa terkecuali perlu menghadiri rapat pertemuan yang sudah diatur guna memaparkan agenda kegiatan. Lantaran peserta yang tergabung masih terbilang cukup banyak sejak seleksi kualifikasi, ruang pelaksanaan pun terpisah menjadi lima bagian sehingga per biliknya menampung sekitar empat puluh kepala remaja.

Karin, Alfa, dan Luna tidak duduk sejajar layaknya susunan tim kompak yang hendaknya selalu hadir berdampingan. Sebuah permintaan disematkan oleh penyelenggara agar meski judul utamanya berkompetisi, mereka tetap berkenalan membangun hubungan baik dengan apa yang seharusnya disebut sebagai lawan yang terletak di kanan dan kirinya.

Mengenai kerenggangan yang sengaja ia ciptakan terhadap Alfa, usai beberapa hari lalu, Karin sudah memantapkan diri untuk tidak lagi bertindak menjauhkan. Lahirnya keputusan tersebut, tentu memunculkan segenap konsekuensi yang telah Karin pertimbangkan, butuh ia jalankan. Daripada menghancurkan relasinya dengan Alfa yang sesulit ini pada akhirnya dapat terbentuk, Karin akan bersikap profesional mengurung bumbu asmaranya seolah-olah tidak kasat mata. Karin harus terbiasa atas perubahan manis yang sedikit demi sedikit Alfa tunjukkan untuk menghargai pertemanannya. Mungkin, itu merupakan sifat Alfa yang sebenarnya, sifat yang sebelumnya terus Karin ragukan pernah tumbuh, namun demikian adanya.

Alangkah lucu, bukan? Andai Karin termakan asumsi yang sempat begitu ia yakini lalu terbawa perasaan sendiri? Padahal Alfa hanya bersikap ala kadarnya. Karin tidak menyangka fase kasmarannya dihantarkan melalui seorang Keith Farez Alfansa yang dahulu sungguh arogan. Permainan hati, menurutnya benar-benar membingungkan.

"Nama lo siapa? Boleh kenalan?"

Pertanyaan bisik yang menguar di sampingnya membubarkan lamunan Karin. Ia menoleh, menemukan sosok lelaki yang serupa mengenakan kacamata bulat berbingkai hitam tengah tersenyum ke arahnya. "Kenapa nggak? Gue Karin, kalau lo?"

Sebelah tangan lawan bicara Karin terjulur singkat dengan maksud ingin bersalaman. Sembari memutar badan agar mudah berhadapan, ia menampilkan gestur hangat memberikan jawaban, "Jonathan Alexander, akrab dipanggil Jo, tapi nggak harus. Jujur, nickname Jo terdengar membosankan di telinga. Belakangan ini, gua berniat untuk ganti sebutan jadi Nathan, Alex, atau Xander. Menurut lo gimana?"

"Jonatahan Alexander, akrabnya dipanggil 'Jo'?" Karin menganggukkan kepala. Idenya tidak terlalu buruk. Sejurus kemudian, Karin membalas senyuman. "Yeah, it does sound a bit boring. Tapi, nggak perlu diganti, gue suka. Bayangannya ada kesan semacam lo berasal dari keturunan mafia atau mungkin lo merupakan putra sulung kesayangan keluarga. Nathan, Alex, atau Xander sedikit berlebihan. Kecuali karakteristik lo condong ke tokoh novel cowok berduit atau f boy material yang sering teman-teman gue baca."

"Woah ... proposisi lo tajam juga, ya? Beruntungnya, tebakan kedua lo benar. Gua 'putra sulung kesayangan keluarga'. I mean, how can they not love me?" Jo terkekeh. Ia membalikkan pandangan ke belakang mengamati instruktor membahas informasi lewat proyektor yang menyala. "Ngomong-ngomong, gua rada was-was obrolan kita ganggu perbincangan yang super menjemukan ini. Tapi, berhubung dia yang bilang sendiri supaya kita saling berkenalan, seharusnya nggak jadi masalah, 'kan?"

Karin membenarkan posisi duduknya. Ia memfokuskan netranya ke depan seraya memegang kertas bantuan untuk memahami segenap pengumuman yang disampaikan. "It's not a big deal if we can keep our voice down. Lo dari cabang provinsi mana?"

Alhasil, beragam topik acak pun dibicarakan oleh Karin bersama teman barunya yang bernama lengkap Jonathan Alexander. Karin tahu, ia sebetulnya tidak terlalu mahir menyambung percakapan secara leluasa dengan orang asing. Namun, memulainya di sisi Jo, semua tak terasa begitu canggung. Entah apa ini karena keterampilan sosial Karin yang meninggi efek pembelajarannya saat mendekati Alfa dahulu atau mungkin Jo yang memang mudah diajak bergaul, segalanya berjalan baik-baik saja.

Penilaian pertama Karin mengenai Jo? Laki-laki itu agaknya cukup santai menikmati sambutan di awal kunjungan. Menilik caranya yang tiba-tiba menyapa di sela-sela penjelasan izin pemanfaatan fasilitas yang bisa dipakai, tampaknya Jo tidak serius menanggapi perlombaan layaknya kandidat yang lain. Mengacu pada perbincangan, di beberapa titik, Jo memiliki binar kejahilan berkat gestur seringaian unik yang lazim ia tunjukkan serta cerita seru soal melanggar aturan di sekolah, namun pula banyaknya prestasi kejuaraan sebanding menyelamatkan. Melalui hal tersebut, singkatnya, Jo merupakan tipe remaja pintar yang tak sungkan berbuat onar demi mencari kebahagiaan. Hidupnya terbilang seru dan menyenangkan. Karin terkejut dapat menemukan variasi sosok cerdas yang berjenis itu di EKSEMPELAR.

Tak disangka, waktu cepat berlalu hingga sekian menit fokus Karin terbelah dua untuk menertawakan candaan Jo dan serba-serbi skenario jadwal yang dibeberkan pemandu kegiatan sepanjang berlangsungnya babak penyisihan. Anomali pun sontak berubah ketika Jo sadar akan sesuatu yang mengakibatkan Karin terheran-heran. Selepas indra penglihatan Jo memindai ke sembarang arah, laki-laki itu tersenyum simpul menelengkan kepala kepada Karin demi melemparkan sebuah pertanyaan.

"Wah, gua kena pantau. Kenapa nggak bilang punya pacar? Cowok lo seram juga. Tolong lurusin, ya, nanti kalau gua nggak bermaksud apa-apa. Oh, kalian satu tim?"

"Hah? Pacar?" Omong kosong tersebut lantas menyebabkan Karin membulatkan netra tak mengantisipasi adanya lonjakan topik. Selintas kekehan ringan menjadi tanda bahwa ia sama sekali tidak mengerti apa yang Jo ucapkan terhadapnya. "Sok tau banget, deh? I don't have any boyfriend."

Mendengarnya, Jo membelalak. Telunjuk dan jari tengahnya mengusap pelipis hendak mencerna keadaan. Sedetik berikutnya, ia berkata, "Lo bercanda, 'kan? Kalau bukan pacar, terus tatapan intimidasi yang barusan gua terima itu apa?" Kedua alis Karin saling bertemu menggumamkan kebingungan. Esens kepolosan yang menguar dari perempuan tersebut mengatakan ia ingin meminta elaborasi lebih lanjut atas apa yang sedang Jo utarakan. Hendak menghubungkan, Jo pun membuka mulutnya demikian lebar. "Ah, benar bukan pacar, ya? Tapi, lo kenal dia?"

Garis ekor mata Jo yang melirik ke sudut kiri Karin ikuti hingga akhirnya petunjuk tersebut mempertemukan ia dengan Alfa. Sekilas Karin amati, raut wajah Alfa tampak berang di sana. Namun, usai lelaki tersebut sadar bahwasanya Karin turut memperhatikan, rahangnya melunak mengalihkan pandangan. "Oh, iya, dia setim sama gue," jawab Karin tak ayal membersitkan tanya dalam benak. Ekspresi marah yang sempat Alfa pasang sebelumnya dipengaruhi karena apa? Jalannya rapat ini terlalu membosankan untuk ditunggu?

"Salah kira, gua pikir ditandai singa galak, taunya masih malu-malu kucing."

"Hah? Gue nggak paham? Dari tadi lo membicarakan apa, sih?"

"Itu, teman setim lo, Alga? Eh, siapa namanya?"

"Alfa, Jo."

"Iya, maksud gua itu." Jo kembali menghadap Karin. Ia memberitakan kabar gembira yang dirasa mampu mengakibatkan Karin terkesima. "Dia, suka sama lo."

"Astaga, Jo? Omongan lo semakin lama semakin ngaco, deh." Namun, tidak bertindak sesuai harapan, Karin justru tertawa. Ia menggeleng pelan berusaha mencocokkan kalimat yang nahas sulit terbayang di kepala. Alfa menyukai dirinya? Jangan bercanda. "Fantasi lo luar biasa, ya? Mana ada yang semacam itu?"

"Lo nggak percaya?" Satu hal yang tidak Karin ketahui mengenai Jo, lelaki tersebut paling tidak senang apabila pendapatnya diragukan. Jo mempunyai kecenderungan untuk membuktikan instingnya harus tepat guna ketika sudah yakin dilontarkan. "Ini menarik." Sehingga, menanggapi reaksi Karin yang menolak dasar premis tersebut, Jo menjengitkan sebelah alis seraya mengangkat sudut bibirnya tipis mencetak satu seringaian kecil. "Mau taruhan? Ayo, buat sebuah permainan. Yang kalah menanggung resikonya sendiri, tapi."

Menapaki kosongnya lorong hotel di lantai sekian, menciptakan hening selain daripada dentuman kaki yang terus melangkah pasti menuju kamar yang dicari. Kedua perempuan yang berbincang seru di depannya kini, alurnya tidak ia ikuti. Alfa memiliki agendanya pribadi, yaitu merenungkan siapa laki-laki berkacamata sebelumnya yang berani mengajak Karin berkenalan begitu santai?

Entah kenapa, melihat—secara langsung—Karin tersenyum di hadapan lelaki lain membuat hati Alfa mendadak tidak tenang. Walau Karin sudah tidak menjauhi berkat ucapannya waktu itu, progres hubungan mereka tidak serta-merta berkembang, bahkan ke titik semula. Tembok yang Karin bangun tidak mutlak runtuh hanya karena Alfa sanggup mengajukan kemauannya. Sebab, persetujuan Karin tidak dilanjuti dengan keterangan tambahan. Karin tidak menceritakan alasannya mengabaikan sehingga Alfa tidak tahu apa yang harus ia benahi untuk mengembalikan perhatian.

Alfa terkepung aksi kaku yang sekarang sangat ia sadari, ia malah kesusahan mendekati lantaran tidak memahami kesalahan apa yang mungkin pernah ia lakukan sehingga membuat Karin tidak nyaman. Tingkat percaya dirinya lesak menghilang semenjak ia menimbang mungkin Karin membutuhkan waktu untuk kembali bersikap akrab kepadanya. Namun, perbaikan yang sabar ia tunggu justru Karin bagikan kepada sosok sembarang. Jelas, Alfa tidak menyukainya.

"Nomor 306, ini punya kita, Lun." Menyerahkan kunci kamar ke genggaman Luna, Karin terus merogoh isi tasnya tempat ia menyimpan akses ruangan milik Alfa.

Luna yang inisiatif menarik koper Karin lantas membuka pintu terlebih dahulu hendak menolong temannya menata barang bawaan.

Karin yang masih sibuk menyisir saku, ditinggal berdua bersama Alfa yang senantiasa berdiri tepat di sampingnya. Aura laki-laki itu menguar sejenis panas yang membakar detak jantung Karin. Gerak tangan Karin jadi canggung berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya sebab kesulitan mengenali barang. Ranselnya terlampau penuh. "Sebentar, ya?"

"Ya," jawab Alfa menanti. Beberapa detik sayangnya tak kunjung jua membuahkan hasil. Mengetahui gadis tersebut tengah kewalahan, Alfa menawarkan jasa untuk mencari benda terkait. Telapaknya yang lebar terjulur sigap menampung di muka udara. Ia berkata, "Biar gua aja."

"Oh, oke." Mempermudah urusan, Karin mengizinkan Alfa menyentuh pekerjaannya agar terpindai sempurna. Lelaki itu meletakkan tas Karin di atas sebelah lutut yang tertekuk kala ia menundukkan tubuh jenjangnya. Matanya yang tajam menyapu pandangan secara keseluruhan. Sesuai harapan, lewat sekejap Alfa mampu menemukan barang yang dibutuhkan terselip di antara buku pelajaran.

"Akhirnya dapat juga. Makasih, ya, udah dibantu," ujar Karin tersenyum manis tepat di saat Alfa berbalik menatapnya. Menerima hal tersebut, raut Alfa sontak tampak gelagapan yang kemudian entah mengapa malah membuang muka dengan segera. Laki-laki itu menyimpan kedua tangannya ke dalam saku. Karin melanjutkan, "Gue masuk kamar duluan, ya? Sleep tight, Alfansa."

"Sure, you might as well, Karina," balas Alfa tersipu. Selepas Karin memunggungi, perlahan netra Alfa kembali aman menghadap depan. Seharusnya, kalimat pengantar tidurnya itu sudah cukup menenangkan hati Alfa. Seharusnya, sederhana Karin yang sepakat tidak lagi menghindari genap memuaskan keraguannya agar Karin tidak pergi ke mana-mana. Namun, sisi serakah Alfa yang menginginkan keutuhan merasa ada yang perlu ia pastikan. Tak kuasa menahan diri, Alfa pun mengungkap sebuah pertanyaan yang merangkap gelisahnya, "Karina,  cowok yang tadi itu siapa?" 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top