31. Biang
Patah hati Kanova menjadi teman bermalam Karin ketika seharusnya ia sedang belajar habis-habisan menyiapkan babak penyisihan. Kakaknya itu terlihat murung terhambur di atas bantal guling yang tertumpuk berpijakan. Mengacu pada bagaimana caranya menenggelamkan wajah, berulang Karin sadar di samping kecewa, sebenarnya Kanova tengah kesal lantaran cintanya diabaikan. Alih-alih meluapkan, Kanova justru menelan perasaan.
Kembarannya itu terbiasa sabar menampung kesusahan. Menurut Karin—bukan bermaksud mengungguli karakterisik saudaranya sendiri, Kanova merupakan salah seorang laki-laki yang lemah lembut perihal mengekspresikan kemarahan.
Sejak kecil, Kanova tidak sekali pun tega membentak Karin dengan keras terlepas sebanyak apa pun kekacauan yang pernah Karin lakukan. Kontras terhadap dirinya yang sulit mengutarakan, Kanova itu sangat penyayang. Naif yang berbentuk kebodohan karena jika ia telah peduli pada seseorang, ia akan membelanya habis-habisan.
Seperti halnya ia melindungi Karin ketika mamahnya mulai mendorong terlalu keras soal prestasi semata, atau seperti halnya ia menerima kejahatan Pelangi yang baru Karin ketahui, ternyata tidak mengharapkan Kanova sesuai bayangan.
"Gua menyedihkan, ya? Bisa-bisanya gua asal tembak tanpa tau mau dia apa."
Karin menarik napas panjang. Ia mengusap punggung Kanova yang tengkurap tepat di sebelahnya. "It's not your fault, Ka. Penafsiran lo udah benar. Ini salah Pelangi aja yang kasih sinyal palsu."
Bergerak membalikkan badan, Kanova mengusap wajahnya pelan. Ia menatap langit kamar Karin yang berpendaran cahaya putih. "Apa gua terlihat sebodoh itu untuk dipermainkan, Rin?"
"Of course not." Karin menggeleng. "Mungkin Pelangi punya alasannya sendiri? Kita nggak ada yang tahu, Ka. Tapi, gue berani jamin itu bukan karena lo yang seolah-olah gampang buat diperdaya. You're my coolest brother ever! Kalau ada yang perlu menyesal, definitely it's her loss, not you."
Kanova cemberut. Netranya terpejam sebentar sebelum kembali membuka lebar. "But I do loss her as well. Miris bagaimana semuanya berakhir semudah ini. Gua benci untuk berputar lagi ke pertanyaan 'kenapa nggak dari dulu gua kejar cintanya dia'? Gua juga nggak pengin menganggap sikap Mamah yang terlalu mengendalikan sebagai alasan. Barangkali, kenyataannya gua adalah seorang pengecut yang sanggupnya cuma menunggu, sampai-sampai nggak sadar sesuatu yang ada di antara gua sama Pelangi terlanjur hilang berjauhan."
"Well, pengecut mana yang selalu berjuang membebaskan diri dari sekian banyaknya perjodohan usulan Mamah?" Karin tersenyum. Ia ikut berbaring di samping Kanova. "Menimbang cara lo yang pada awalnya coba menuruti permintaan supaya kesannya nggak terlalu menyakiti, gua bisa lihat kalau sebenarnya lo sayang sama Mamah, Ka. Ya, meskipun pada akhirnya, lo memberontak demi meluruskan keadaan."
Kekehan Karin menguar di ruangan. Dengusan jengkel Kanova turut menyertainya.
"Ka, gua kagum lo punya kendali diri yang begitu kuat. Masuk masa pubertas, gue ingat banget lo mulai bilang ke gue untuk jangan pernah ragu buat ungkapin ketidaksetujuan atas ikut campur Mamah yang mengganggu di kehidupan. Gue pikir, dari mana lo dapat pencerahan itu? Later then, I realized that we went through the same situation as a kid." Pandangan Karin mengabur selayaknya ia tidak mengenakan kacamata bulatnya. Tangannya sibuk memeluk bantal bergambar rusa betina. "Walau perihal apa yang kita bicarakan sekarang lo jelas unggul ada di atas gue, mungkin hasil di balik perkembangannya nggak secepat itu bisa lo rasakan. Barangkali, lo masih mencerna perasaan lo yang sering tertutupi demi kepentingan yang lain. Wajar pas ada yang nggak sesuai rencana, lo kesulitan menerima."
"I know." Kanova menarik gumpalan selimut. Ia meringkuk bak anak kecil mendominasi luasnya kasur Karin yang tidak seberapa. "Satu hal yang pasti, gua nggak mau mengulangi kesalahan yang sama. Gua capek, Rin. Kehendak hati harus diperjuangkan, bukan? Eventually, we're human anyway."
Karin termenung. Ia menjajah peristiwa sontak mengayak sebuah kalimat yang berbayang di kepala.
"Gua minta maaf karena udah buat lo khawatir."
"Ini udah malam, Karina."
"Mau ke depan? Biar gua temani sampai dijemput."
"Pesan gua semalam kenapa nggak dibalas?"
"Semisal gua pernah berbuat salah lagi, tolong bilang, ya? Gua bakal belajar. Jadi, jangan jauh begini, Karina."
Sudah seminggu ini, pikiran Karin tidak jernih mengamati materi hanya karena seorang laki-laki yang diam-diam tanpa disangka mampu memengaruhi kestabilan emosinya. Situasi tersebut, tentunya membuat Karin selaku remaja merasa labil menetapkan tujuan. Dahulu, padahal Karin yang bersikeras berharap Alfa turut berusaha meredakan sengitnya hubungan mereka. Kini, ketika lelaki itu secara terang-terangan mulai berani mendekatinya, Karin malah mundur menyembunyikan kehadiran.
"Mamah percaya sama kamu, Karin. Kali ini jangan bikin kecewa lagi, ya? Buat Mamah bangga."
Karin tidak tahu. Ia tidak dapat menerka sebatas mana Alfa bisa menghancurkan fokus berlombanya. Yang Karin sadari berdasarkan perbincangannya dengan Kanova beberapa saat lalu, kabur bukanlah jawabannya.
Karin tidak berhak membiarkan dilemanya bergaung mengakibatkan Alfa yang tidak mengerti apa-apa, merasa buruk lantaran perbuatan manis yang tidak sekali pun menyiratkan kesalahan. Alfa tidak pantas merangkap korban sebab objek kebingungannya semata.
Sejatinya, andai tidak membohongi realisasi, berada di dekat Alfa yang sekarang agaknya cukup nyaman usai direnungkan kembali. Setiap perubahan kecil yang perlahan lelaki itu tunjukkan, Karin sangat menghargainya. Ternyata, bukan Karin saja yang berupaya memahami. Sebaliknya, Alfa pun berlaku serupa.
Letak perbedaan yang dapat digarisbawahi adalah satu, dibandingkan Alfa, Karin pikir ia telah melewati sebuah batas yang tak seharusnya ia langgar. Mengenai konteks kehendak hati yang sebelumnya disinggung oleh Kanova, Karin rasa prioritasnya belum sampai melaju ke sana.
"Ka, gue mau tanya, deh." Memindahkan posisi menghadap lawan bicara, Karin menyimpan lengannya di bawah bantal sebagai sanggaan. Sebersit petunjuk yang mungkin bisa ia gunakan untuk menengahi situasi tiba-tiba terlintas dalam benak. "Lo suka sama Pelangi sejak kelas 10, 'kan?"
"Benar." Kanova menjawab. Kepalanya menggangguk menandakan konfirmasi. "Lupa? Lo orang pertama yang gua ceritain? Kenapa?"
"Nggak, gue cuma penasaran. Selama itu, lo, kok, bisa baik-baik aja berteman sama dia seakan rasa yang lo punya nggak pernah muncul ketika lo ada di dekat dia? Rahasianya apa? Atau karena lo cowok, segalanya jadi lebih mudah untuk disembunyikan?"
"Baik-baik aja?" Seraya menjengitkan kedua alis, Kanova mendengkus. Ia tidak menyetujui pernyataan yang sekilas dilontarkan adiknya tersebut. "Siapa bilang gua baik-baik aja? Menyimpan cinta seorang diri itu nggak pernah menyenangkan, Rin. Walau mungkin kelihatannya gua mampu mengontrol keadaan, pada dasarnya, gua tersiksa. Perlu gua tekankan, ini bukan perihal perbedaan gender yang katanya cewek cenderung vokal sedangkan cowok sebaliknya, tapi soal manusia yang hakikatnya hidup berdampingan dengan hati. Kita semua berperasa, Rin, siapa pun yang membohongi diri, pasti bakal tersakiti."
Kalimat terakhir Kanova menutup jalan keluar Karin yang ia tidak tahu masuk akalnya bertempat di sudut mana. Nilai, keraguan, dan keinginan sepihak bersatu padu membentuk pusaran besar yang tak kunjung jua ia temukan titik pemecahannya. Bergerak merupakan daya kecil yang Karin ilhami, barangkali sanggup membantunya menelusuri jawaban. Mengacu pada gagasan yang baru saja berpijak, sebuah pemetaan intisari atas biang permasalahan pun Karin utarakan seadanya, "Ka, salah nggak, sih, kalau kita suka sama seseorang?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top