30. Tenang
Samar-samar, pergerakan mata pensil runcing yang mengorek jawaban di atas kertas lama-lama menyeruak bagai satu-satunya sumber suara yang dapat mengisi keheningan, namun tak nyaman untuk didengar. Suasana di ruangan tersebut, sejujurnya sangatlah tak ramah layaknya dihuni oleh dua orang asing yang sungkan berunding menengahi pertengkaran besar. Duduk enggan sejajar, serba-serbi obrolan tidak menguar, alhasil jarak tak segan terus dilamun melebar.
Sebenarnya, sebuah 'pertengkaran besar' yang baru saja digambarkan tersebut, implementasinya tidaklah pernah ada. Semua hanya berupa proyeksi yang terbayang dalam kepala. Khususnya di benak seorang remaja laki-laki, yang terkepung kabut pemikiran negatif serta penyakit hati berbentuk prasangka.
Pagi ini, kondisi Alfa terlampau buruk sekali. Bukan spesifik berpijak pada satu hari, melainkan sudah terbangun dari komposisi kelangsungan minggu sebelumnya yang terasa padat disusupi banyak duri. Perempuan yang ia butuhkan untuk sekadar menemani, hadirnya masih jauh didekati. Letaknya bersinggungan, tetapi begitu sukar digapai.
Mengacu ke seluruh petuah kecil yang dilontarkan oleh teman-temannya kurun beberapa waktu lalu, Alfa telah mencoba berbagai cara untuk membuat Karin merasa nyaman di sekitarnya. Alfa berusaha keras untuk menahan diri tidak bertindak buru-buru. Alfa tidak memaksa Karin membalas pesannya, Alfa tidak mewajibkan Karin mengambil tawaran presensi yang ia beri di sela-sela kegiatannya, pula Alfa tidak mendorong Karin untuk menjelaskan mengapa sikap ini dijatuhkan tiba-tiba kepadanya. Namun, setiap peragaan solusi itu tetap tidak menghasilkan sesuatu. Selepas sekian pertemuan tak lewat absen Alfa mengalaminya, kini semua terlihat jelas bahwa Karin sengaja menghindarinya.
Sering kali Alfa berpikir, apa mungkin ia berbuat salah? Terakhir Alfa mengakibatkan perempuan itu marah, adalah ketika ia pergi sejenak niat menenangkan diri usai menjalani babak kualifikasi yang salahnya tidak meninggalkan kabar. Alfa tidak tahu Karin akan mengkhawatirkannya. Meski begitu, Alfa sudah minta maaf dengan tulus yang syukurnya mau Karin terima.
Untaian momen yang mengikuti di depannya, menampilkan sedikit petunjuk yang sayangnya tidak dapat digunakan. Tentu, tidak masuk akal andai Alfa menganggap bahwa tindakannya mengantar Karin pulang atau bertukar kontak kala itu menjadi alasan di balik segalanya. Sebab, waktu tersebut merupakan puncak di mana hubungan mereka tengah baik-baik saja, bahkan berproses melangkah ke tahap yang lebih dekat.
"Sebentar lagi istirahat. Kalau udah selesai kasih ke gue, ya, biar nanti gue terusin ke Pak Jamal."
Kalimat itu menangkap atensi Alfa mengalihkan pandangannya layu ke arah depan. Sekarang Karin hanya mengajaknya berbicara apabila terdapat topik yang penting atau wajib saja untuk diutarakan. Semuanya bernilai formal. Alfa menyukai obrolannya yang dahulu. "Iya, Karina," jawab Alfa kemudian menyenderkan tubuhnya dengan lesu. Ia mengambil perangkat pintar dalam saku.
Sejatinya—selain Karin, ada satu beban besar yang mendominasi ruang pikiran Alfa. Perihal surat keterangan yang diperlukan sebagai syarat tambahan terkait izin perlombaan, Alfa berhasil mendapatkannya—tanpa bantuan siapa-siapa. Namun, sesuai dugaan, perjuangan tak seberapa yang Alfa lakukan tersebut sebaliknya begitu berdampak pada keadaannya.
Realitas masa kini dan juga peristiwa terdahulu terombang-ambing memutar kesadaran. Kekalutannya ia kontrol sendiri. Bodohnya daripada menghubungi Zaki, Alfa malah menguji ketidakpastian dengan memilih Karin yang tepat tak menggubrisnya sama sekali.
"Please, kooperatif sedikit. Lo pikir selama ini gua nggak capek buat selalu ada untuk tenangin masalah sentimen lo?"
Alfa mengusap wajahnya gusar. Pengakuan Zaki yang terdengar lelah malam itu membuat Alfa semakin muak terhadap kondisinya sendiri. Ternyata, ia memang menyusahkan. Berharap apa alih-alih Zaki yang notabenenya merupakan sahabat karib sejak kecil, Karin secara sukarela mau untuk setidaknya bergantian membantu kesulitan yang dialaminya?
"Suatu saat nanti, Nenek yakin dengan banyaknya pengalaman yang kamu hadapi, kamu akan belajar bagaimana caranya mengendalikan emosi, Alfa."
"Alfa harus jadi anak laki-laki yang lebih kuat, ya?
Alfa memejamkan mata. Memikirkan hal ini terus-menerus, entah kenapa menyebabkan kepala Alfa terasa berat. Ia menyampirkan mahkotanya jatuh bertumpu sebelah tangan yang terjulur panjang ke depan. Sebatang gadget yang ada digenggaman ia buat menyala menampilkan sederet percakapan mati beralaskan sosial media. Jejak tanggalnya hampir melewati sepekan ke belakang.
To: Dad
Are you busy?
20.00 P.M.
To: Dad
There's something I want to talk about.
22.00 P.M.
Demikian berhari ia pungkas bersabar menunggu, sampai sekarang pesan tersebut tak kunjung dibalas juga. Alfa menekan tombol kembali hendak membuka jendela berikutnya.
To: Mom
Kakak ikut lomba dan butuh izin dari orang tua buat menandatangani surat keterangan. Bisa?
22.05 P.M.
Cara ia menuliskan susunan kata tidak lagi diawali dengan bentuk basa-basi, seperti sebelumnya. Tidak mengerti apakah ini bergantung atas penegasan kalimat atau padatnya waktu yang dimiliki oleh masing-masing pihak, yang jelas Alfa mendapatkan balasan yang ia harapkan.
From: Mom
Akhirnya, Kakak ikut lomba setelah sekian lamanya. Boleh, Kak. Mamah senang mendengarnya. Makasih, ya, sudah mengabari. Tunggu sebentar lagi Mamah pulang ke rumah.
23.07 P.M.
Penuturan lembut yang hanya mampu ia bayangkan terucap langsung di benak itu seharusnya sanggup menggaris bibir Alfa tersenyum. Rona antusiasme yang terpancar, seolah-olah membangun semua menjadi nyata. Namun, daripada merasakan kebahagiaan, dada Alfa justru terimpit sesak. Tangannya mengepal kuat-kuat, yang saking kesalnya ia menahan amarah, percabangan urat sontak menyembul di permukaan lengannya.
Alfa menarik napas panjang. Apa yang ia dambakan dahulu tercetak sempurna menjelma mimpi buruk dalam perjalanannya. Netranya yang tertutup tidak segera ia buka. Sudah sebesar ini pun, Alfa masih penasaran mengenai unsur kuat dan pandai mengontrol emosi yang dirujuk oleh Nenek itu rupanya bagaimana.
Yang Alfa tahu—demikiannya tentang hari ini, sekarang ia berhasil tidak melukai atau melibatkan siapa pun perihal kalap meluapkan amarahnya. Alfa sukses memendam pedihnya sendiri walau cukup kecewa usaha konstruktif yang ia upayakan tidak membuahkan hasil pada percobaan pertama. Di samping itu, efek kesendirian yang meremangkan punggung lebarnya, terkadang menimbulkan keinginan untuk ada yang duduk bersisian. Berkenaan dengan isu berat yang terhubung sejak kecil menuju peralihan masa remajanya, salahkah jika pada akhirnya Alfa kembali mengharapkan sebuah perhatian?
"Nek, Alfa rindu." Dihampiri asap kantuk yang menjalar lambat-lambat, remaja laki-laki itu pun terlelap mengaburkan kesengsaraan. Barang sejenak, biar tidurnya memberikan kedamaian.
Terus berkutat pada soal-soal yang sebenarnya sudah rampung, namun pura-pura belum selesai ia kerjakan, tubuh Karin merasa tidak nyaman dikeliling situasi canggung yang membekap cuma karena kehadiran laki-laki itu. Hari ini, Luna tidak masuk sekolah. Katanya, ia sedang tidak enak badan sehingga di ruang tenang, Karin harus mengikuti bimbingan EKSEMPELAR eksklusif berduaan bersama Alfa.
Seakan belum cukup buruk, Pak Jamal selaku penanggung jawab mata pelajaran fisika malah izin meninggalkan ruangan menggunakan embel-embel "Bapak percaya kalian itu anak-anak yang pintar. Nanti, semisal kalian menemukan kesulitan yang Bapak ragu akan ada, temui Bapak di ruangan saja, ya?" kemudian menyuruh Karin mengumpulkan lembar pengerjaan andai sudah selesai.
Rencana Karin sontak berantakan. Konteks menjauhi Alfa yang sudah seminggu ini ia lancarkan, mendadak mati gaya lantaran tidak ada perantara yang dapat Karin salurkan demi mengisi kekosongan. Berulang kali, Karin menyadari laki-laki itu tengah memperhatikan keberadaannya. Memedulikan bahaya kondisi jantung yang masih berdebaran andai berani menghadapinya, tentu Karin mengambil langkah bijaksana untuk tidak membalas tatapan Alfa.
Laki-laki itu belakangan ini gencar sekali mendekatinya. Meski kadarnya perlahan berkurang, pula maksud Karin paham penafsirannya hanya berupa kebingungan sepihak, Karin pikir, adalah hal yang tepat baginya untuk membangun tembok agar hubungan yang terjalin antar dirinya terhadap Alfa tidaklah rumit demi kepentingan perlombaan. Iya, fokus Karin merupakan kemenangan.
"Sebentar lagi istirahat. Kalau udah selesai kasih ke gue, ya, biar nanti gue terusin ke Pak Jamal." Menghapus lalu melingkari kembali opsi yang sama, Karin berucap untuk mengulur waktu sekaligus memecah keheningan.
Laki-laki itu menjawab, "Iya, Karina."
Berbeda dari biasanya, nada bicara Alfa terdengar murung tak bertenaga. Namun, rasa penasaran yang muncul di kepala, tidak serta merta memengaruhi keseimbangan Karin untuk bertindak ceroboh dengan segera mengintip ke depan. Karin tidak boleh terlihat menunjukkan kepedulian. Sebaliknya, ia butuh bersikap profesional.
Sekian menit berlalu, mendengar suara decitan kursi serta meja terdorong akibat tubuh bidang laki-laki itu rubuh di atas juluran lengan yang menyangga, Karin akhirnya memanfaatkan momen untuk balas memperhatikan presensi Alfa.
Perangkat pintar laki-laki itu diletakkan begitu saja usai membaca sesuatu. Matanya yang tajam lantas tertutup rapat disertai napas yang menderu berat. Tangan laki-laki itu mengepal erat menampilkan sejulur urat yang tampak kental menyeramkan. Mendapati gejolak aneh tersebut, insting perempuan Karin tanpa berpikir panjang lantas bergerak hendak mendekati Alfa yang kesusahan. Namun, saat jemarinya sedikit lagi bisa menggapai Alfa, langkah Karin terhenti sebab lantunan kalimat pengharapan.
"Nek, Alfa rindu," gumam laki-laki itu.
Karin termenung. Gejolak amarah yang sempat muncul begitu besarnya, seketika pudar sebagaimana Alfa mulai pandai mengatur pernapasan. Karin pun menarik bangku untuk duduk di sebelah laki-laki itu seraya menelengkan kepala niat mengecek keadaan.
"Bikin kaget. Lo tidur?" Yang ditanya tidak menjawab. Wajah laki-laki itu tampak syahdu tak terganggu bisikannya. Karin berujar kembali, "Alfansa, sebenarnya, lo kenapa?" Melipat kedua lengan, Karin ikut bersender di bahunya sendiri sibuk mengamati sosok laki-laki yang jauh di lubuk hatinya ingin sekali ia mengerti.
Hubungannya dengan Alfa, tiba-tiba berubah semakin rumit. Berpindah dari satu tahap ke tahap lainnya, membuat Karin kesulitan mencerna segala apa yang sebetulnya tengah terjadi. Sederhana frasa bingung, bahkan tak cukup menjelaskan perkaranya. Semua terasa baru sampai-sampai Karin tidak tahu apa yang butuh ia selaraskan untuk melenyapkan dilemanya.
"Lucu, ya, bagaimana dulu kita akrab sebagai musuh, terus kenalan, having proper conversation, relasi kita baik-baik aja, dan sekarang ... malah balik canggung." Karin menekuk bibirnya ke dalam. Atensinya tak lepas menjerat laki-laki itu. "Gue nggak suka lo yang lagi marah. Lo, tuh, seram banget! Tapi, Alfansa, jujur kalau tenang begini, menurut gue lo lebih ganteng." Tak sengaja, refleks telunjuk Karin menyentuh kening Alfa begitu sopan, lelaki tersebut kemudian terbangun perlahan menegakkan kerangka tubuhnya. Karin terkejut.
"Karina." Bersamaan dengan rautnya yang masih mengerut sembari mengerjapkan mata, Alfa menangkap pergelangan Karin yang ia sadari, perempuan itu langsung menghindari sesaat netra mereka saling bertemuan. Ia berucap, "Mau ke mana?"
Terombang-ambing lantaran debaran detak jantungnya tak sanggup ia kendalikan, Karin berupaya keras memutar otak untuk membalas mudahnya kalimat Alfa. "Mau ... kumpulin lembar soal punya lo?" Karin membulatkan pandangan. Tak ayal respons spontannya terdengar masuk akal, ia tersenyum lebar menandingi. "Ini mau gue ambil, tapi nggak enak tadi lo pulas banget tidurnya. Sorry, ya, udah bikin lo kebangun?"
Alfa menghela napas panjang. Ia menurunkan genggamannya terhadap Karin. "Remember these words? 'Ingatkan gua ketika gua mulai mengusik ketenangan lo'."
"Hah?" Karin menjengitkan alis. Ia tidak memahami.
"Itu ucapan lo yang sebut pas dulu gua memaksakan semua salah pertengkaran kita selalu berpusat di diri lo." Alfa menunduk sebentar. Ia mengambil waktu sejenak sebelum maniknya yang tajam berhasil melingkupi tatapannya. "Maaf, gua nggak berpikiran terbuka. Mungkin gua udah banyak menyakiti. Kalau lo mengizinkan kalimat itu untuk gua pakai sekarang juga, semisal gua pernah berbuat salah lagi, tolong bilang, ya? Gua bakal belajar. Jadi, jangan jauh begini, Karina."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top