29. Jauh

"Pesan gua semalam kenapa nggak dibalas?" Di tengah keramaian hiruk pikuk suasana kantin, pertanyaan itu menguar jelas sebab perempuan yang menjadi lawan bicaranya saat ini abai sekali dalam memperhatikan syarat berkomunikasi. Alfa yang tidak mengerti alasannya kenapa, lantas mengerutkan kedua alisnya tajam tanda tak suka.

"Oh, sorry, chat lo ketumpuk kemarin. Ada yang penting?" Bersikap seolah-olah menyesal, namun tidak seutuhnya, perempuan itu lalu menyembunyikan jemarinya ke belakang tubuh seraya berjinjit melumaskan ketegangan. Wajahnya yang tampak santai, tidak sedikit pun membersitkan penyesalan.

Alfa yang anehnya merasa terganggu lantaran reaksi Karin terkesan berubah seratus delapan puluh derajat daripada sebelumnya, tentu menimbang segera barangkali respons yang ia tunjukkan kini sudah termasuk berlebihan. "Nggak ada. Selamat istirahat, Karina."

Menggaruk tengkuk tanpa mau berpikir panjang, Alfa kemudian beranjak menghampiri singgasananya sembari menyimpan tangan ke dalam saku. Seperti biasa, siswa-siswi yang heboh membawa gosip mulai berbisik tak karuan. Memorinya mengingat sebuah permintaan. 

"Mau diambil kapan dan di mana? Gue nggak mungkin, 'kan? Kasih di area sekolah? Bisa-bisa teman-teman yang lihat pada salah paham."

Berhenti sejenak, Alfa memindai ke arah sekitar di mana Karin lekas duduk bersama sahabatnya. Berdasarkan sudut pandang Alfa, gestur perempuan itu tampak tidak nyaman menerima penuturan berfakta miring yang mengatasnamakan namanya. Sekelebat dalam benak Alfa terlintas, apa jangan-jangan Karin memberi jarak karena risih akibat interaksi mereka semakin bersifat terbuka di ruang publik?

"Oh, kantin. Sama, dong, gue juga mau ke sana. Bareng, yuk?"

Alfa menggeleng. Jika memang benar adanya, dahulu Karin tidak mungkin mau seberani itu mengajaknya jalan bersisian. Catatan tambahan, ini bukan kali pertamanya mereka disinyalir membentuk hubungan diam-diam. Mustahil perempuan secerdas Karin termakan oleh bualan picisan.

"Woy, Tuan Muda kita kenapa cemberut begini, sih? Siapa yang resek? Si Karina itu bikin masalah lagi?"

Lontaran kalimat peduli berisyarat ejekan tersebut mengalihkan atensi Alfa. Ia membalas ucapan Vero yang begitu tak enak masuk telinga. "Jangan sembarang panggil dia pakai sebutan 'Karina'! Itu cuma gua yang boleh pakai!"

Mendengarnya, sontak Farhan, Vero, dan Revo, bersorak seru tak menyangka. Ini kali pertamanya bagi mereka melihat sosok Alfa yang menjelma pangeran Bina Bangsa mendadak posesif soal perempuan.

"Sebentar, kayaknya gua banyak skip. Terakhir gua cek, status musuh lo sama dia cuma berubah ke tahap pertemanan. Lain waktu, sekarang merangkap jadi apa? Teman, tapi mesra?"

"Haha! Jujur aja lo, Fa! Semenjak ikut perlombaan, lo sama Karin terlibat cinlok, 'kan?"

Pertanyaan dangkal yang dilimpahkan si identik Vero dan Revo bahayanya malah membuat Alfa semakin jengkel. Jemari lelaki itu mengepal erat, ia menyangkal definisi bodoh berselimut kuatnya lonjakan amarah.

"Berisik! Lo berdua belakangan ini keseringan main sama perempuan, ya? Gosipnya murahan!"

Sontak, usai kejengkelan Alfa berhasil mengurai tanggapan serangan balik, berbagai umpatan keluar dari ketiga temannya yang justru menggelak tawa tak memungkiri berpengaruh ketakutan.

"Anj*ng! Pedas banget omongan lo, Fa!"

"Mundur gua kalau Alfa udah marah. Bawa nama Karin memang nggak pernah beres ujung-ujungnya."

"Lo sebetulnya mau apa, sih, dari dia? Gua nggak paham asli."

"We're just friends. Understood?" Alfa mendengkus kasar. Ia kesal Farhan, Vero, dan Revo Farhan tidak membantunya sama sekali kecuali bermaksud menjahili. Di sisi lain, Alfa juga tidak berharap lebih lantaran ia pun tidak mengakui bahwa dirinya mulai kembali menyukai Karin. Terletak di seberang, Zaki sebagai satu-satunya orang yang mengetahui kenyataan tersebut lantas menggeleng seraya menutup wajahnya rapat menggunakan telapak tangan. Alfa membuang muka. 

Hari itu, di saat Karin mengucapkan selamat malam sekaligus menyentuh sisi rapuhnya demi mengajak bercerita, Alfa menyadari debaran jantung yang mendatanginya belakangan ini kian membesar kala ia menjalani momen bersama perempuan itu belaka. Agaknya, penilaian Alfa mengenai Karin yang berkesan memuakkan dahulu sebetulnya tidaklah tepat. Lambat laun, Alfa mengerti kebenciannya itu tercipta berlandaskan dendam pribadi.

Jika Alfa diizinkan untuk berkata jujur, di dekat Karin, entah mengapa sekarang Alfa merasa lebih tenang perihal mengontrol emosinya yang lepas berkeliaran. Kata-kata Karin yang esensinya menggambarkan kehangatan, kepedulian, sekaligus ketegasan sanggup membuka kerasnya konsep berpikir Alfa pelan-pelan.

"Gue cuma berharap, semoga lewat ini semua hal tersebut bisa lo temukan, ya. Semangat, Alfansa!"

"Justru ini perlu jadi 'masalah besar' karena gue khawatir sama lo!"

"Terlepas siapa yang jadi juara, dukungan antar sesama itu penting, 'kan, Alfansa?"

"Kalau boleh tau, lo lagi memikirkan apa memang?"

"Makasih buat semuanya, ya? Selamat malam, Alfansa."

Alfa mengusap dahinya. Selama ini, Alfa sadar ia banyak mengimplementasikan struktur regulasi emosi yang bersifat destruktif. Sebaliknya, kehadiran Karin mampu menyoroti perbaikan yang bermakna konstruktif. Meski begitu, Alfa masih jauh dari kata sempurna untuk menerapkan segalanya. Mungkin titik terangnya kini adalah, Alfa membutuhkan Karin dalam menemukan apa yang sebenarnya ingin ia tuju. 

"All right, let's be supportive boys. Kita kesampingkan dulu entah apa hubungannya Alfa sama Karin. Berhubung kita berempat punya pengalaman tricky terkait strategi pendekatan, ada yang pengin lo tanyain soal perempuan?"

Ekor mata Alfa menyasar cepat menyambangi tawaran menarik dari Farhan. Kedua tangannya melipat sigap di depan dada. Tajamnya sorot mata laki-laki itu melunak barang sebentar. Ia berkata, "Biar gua tekankan sekali lagi, ini bukan pendekatan!"

Merasakan lengan Vero menyikut pinggangnya yang berusaha keras menahan senyuman, Farhan pun mengangguk lugas hendak meyakinkan. "Sure, bukan pendekatan. We get it." Astaga! Sobatnya ini lucu sekali!

Memastikan teman-temannya telah sefrekuensi, Alfa mengembuskan napasnya perlahan-lahan. Menimbang beberapa hari yang lalu ia tidak membuat kesalahan barang sedikit pun, Alfa pikir ia tidak bisa memecahkan teka-teki ini tanpa bantuan. Karin tiba-tiba saja menghindarinya, komunikasi yang Alfa upayakan sengaja dibatasi, bahkan tawarannya menemani ditolak mentah-mentah. "Apa yang salah kalau gua mendadak dijauhi, padahal semua baik-baik aja sebelumnya?"

Termenung menggaruk pelipisnya menggunakan jari telunjuk, Farhan meminta Alfa menjelaskan kebingungannya lebih lanjut. "Dijauhi as in?"

"As in ... I don't get the amount of attention I used to have."

Sontak, Farhan, Vero, dan Revo membulatkan suara menandakan pemahaman seraya menganggukkan kepalanya berulang kali. Tiga kepala laki-laki itu membayangkan jawabannya masing-masing.

"Kalau konteks relation-nya adalah perihal lo sama Karin, sumpah, Fa, muka lo pas marah itu garang banget! Gua aja yang bukan cewek suka takut lihatnya. Lo masih sering tengkar nggak sama dia? Mungkin karena itu?"

"Setuju, sih. Waktu masa pemberontakan gua ketahuan pulang pagi pakai mobil dinas Bokap yang baret kanan kiri gegara ide tololnya Revo aja, beliau nggak pernah bikin gua semerinding itu." 

"Ya, Bokap auranya cenderung silent treatment, Ver. Alfa ekspresif. Nggak bisa disetarakan."

Mendapati pengakuan dari si kembar tentang kentalnya sisi menyeramkan yang dimiliki, alis Alfa tertekuk layu menyesali perbuatannya yang satu itu. "Gua udah nggak pernah marah lagi ke dia," jawab Alfa mengafirmasi. Meski proposisi yang diutarakan si kembar gagal menemukan titik permasalahan, Alfa tetap meneguhkan hati untuk berhenti meledakkan penuh amarahnya terhadap Karin. 

"Andai menurut lo semua baik-baik aja dan perubahan sikap dia terjadi begitu tiba-tiba, barangkali sumbernya bukan kebencian atau perilaku lo yang kebetulan nggak dia sukai?"

Kepalan tangan Alfa menumpu saling merekat menyentuh dagu. Ia bertanya, "What do you mean?" 

Memundurkan tubuh seraya melipat kedua tangan di permukaan dada, Farhan mengemukakan Alfa sebuah petunjuk yang mungkin dapat membantu persoalannya. "Well, sometimes selaku cowok, kita perlu memperhatikan pace pergerakan kita supaya cewek nggak merasa terancam atau keberatan ketika didekati. Ada kalanya, hubungan butuh dibangun pelan-pelan, begitu pula sebaliknya. Analoginya begini. Anggap indra pengecap gua merupakan reaksi yang diberikan oleh cewek sedangkan cara gua minum adalah effort yang pengin cowok kasih."

Farhan menyesap cairan dingin kepunyaan Vero yang berjarak sekian senti dari posisi duduknya. Ia berujar, "Lo semua tau gua nggak terlalu suka jus jeruk. Berhubung tadi gua cicipnya cuma dikit, lidah gua masih bisa toleransi buat masukin ke perut. Semisal dengan konsisten gua menerima pengulangan metode tersebut, who knows, I might give a chance to drink it up. Tapi, kalau minuman ini gua tenggak buru-buru." Farhan memiringkan kembali gelas kaca yang berwarna kekuningan tersebut. Benda cair itu mengalir menuju mulutnya yang terbuka lebar. Mengerut masam, sontak farhan menggeleng tak kuasa. "Rasanya kelewat aneh dan bikin gua terlanjur nggak tahan untuk melanjutkan. Alhasil, gua malas sentuh minuman ini lagi."

Membulatkan mata terkesima, Vero dan Revo bertepuk tangan memeriahkan. Mereka berdua mengucapkan kalimat pujian berbarengan. "What a genius demonstration, Han!"

Lain halnya di seberang lantaran tak puas memperoleh jawaban, Alfa mengajukan pertanyaan yang mampu memihak keinginan. Ia menegaskan, "I hate the concept. I don't take my chance to play gamble in a sloppy way. What is the fastest route I could go?"

"Wow, slow down, Big Boy!" Farhan terkekeh. Sobatnya ini tidak mengenal esensi kesabaran rupanya. "Penerapan option berikutnya kurang lebih begini. Gua doyan susu pisang. Kalau minuman ini gua tenggak buru-buru, kira-kira bagaimana?" Farhan menaikkan sebelah alisnya. Isi cangkir yang ia genggam ditelan habis tak bersisa. Selesai memperagakan, ia mengutarakan penjelasan, "No problem. Di mulut masih enak walau gua prefer menikmatinya secara perlahan. The point is, if you want to be accepted but to build the relation carefully is a big no for you to do, lo harus memastikan kalau dia juga suka sama lo."

"True, also you gotta make sure she's comfortable around you. The question is, apakah Karin merasa begitu?" Mengikuti alur pembicaraan, Zaki pada akhirnya unjuk pendapat bermaksud memanaskan hati Alfa. Sejak ia turut andil memengaruhi Alfa demi mengikuti perlombaan kala itu, sejujurnya Zaki tidak sepenuhnya mengikuti perkembangan teman kecilnya sudah maju sampai ke mana. Melihat demikian kondisi Alfa telah cukup berbaikan, rasanya Zaki benar tentang Karin yang mungkin bisa menjelma obat penawar untuk membantu Alfa memperbaiki isu pribadinya. Tentu, Zaki butuh melancarkan taktik ini sukses mencapai tempat tujuan. 

"Tapi, yang lo ragukan ini seorang Keith Farez Alfansa, Zak! Mana ada cewek yang nggak tertarik sama dia?"

"Jangan terlalu meninggikan, Rev. Perlu lo ingat, lawannya Alfa adalah Karina Garda Kusuma. Lo pikir cara dia menanggapi suatu hal itu sama kayak cewek pada umumnya? Belum terhitung, dulu Alfa sering bikin Karin jengkel setengah mati. Why she has to take the risk?" Meruntuhkan dukungan kepercayaan diri yang diberikan oleh Revo, Zaki mengangkat dagunya angkuh niat merendahkan harga diri Alfa agar membentuk sebuah kehendak yang bernilai lebih besar. "Jadi, apa yang bakal lo lakukan supaya Karin nyaman, Fa?"

Terdiam diliputi napasnya yang cukup berembus berat, Alfa menyisir pandangannya jauh ke sudut seberang menampaki sosok perempuan yang asik bercengkerama dengan kedua sahabatnya. Sejatinya, alasan Alfa mendekati Karin bukanlah soal ingin mengejar cinta layaknya kata orang-orang ataupun Farhan, Vero, Revo, dan Zaki. Alfa hanya mau membuktikan Karin benar mampu menangkal emosinya secara bertahap hingga ia bisa bebas melepaskan diri dari kuatnya kungkungan penyesalan.  

Mengenai surat pengantar terkait izin yang sekarang pun belum siap ia dapatkan, Alfa ragu bisa menghadapinya sendiri lantaran melalui nama yang tertera dalam daftar teleponnya saja, seonggok kebencian langsung muncul mendidihkan kerangka tubuhnya perihal wajib mengabari kepentingan yang muak ia bahas demi mendapat sebersit perhatian. 

Mengulang atau mengingat peristiwa masa lalu merupakan pintu di mana kebencian Alfa bisa terhempas mengarungi dirinya. Oleh sebab itu, Alfa membutuhkan Karin sebagai kunci ketenangan. Alfa tahu bersama Karin, ia akan lebih pandai mengatur pernapasan sehingga akses menuju memori kelamnya tidak terbuka berhamburan. 

Namun, masalahnya di saat Alfa begitu mengharapkan bantuan Karin untuk sekadar berada di sisinya, perempuan itu malah membatasi kontak seolah menyudahi entah mengapa. Salah satu alasan Alfa mau berperang melawan rasa takutnya, padahal karena Karin seorang. Memorandum yang Karin tegaskan tempo lalu konteksnya jahat sekali. Alfa dipaksa bergerak andai tak mau kehilangan.

Apabila berlaku—di luar permintaan utama yang dahulu sempat disepakati, satu bayaran yang harus Alfa tuntut atas kesalahan perempuan itu ialah, Alfa ingin Karin mengerti bahwa ia mempunyai biang kemurkaan yang berkembang teramat besar tanpa perlu dibicarakan. Jalannya perlombaan ini masih terasa panjang sekali. Selama itu, ketika Alfa menemukan serba-serbi yang berpotensi membuatnya jadi kalut, Alfa mau kehadiran Karin melingkupi sepi dunianya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top